Bermula dengan Bismillah

AWAS “BAHAYA LATEN” RADIKALISME AGAMA DI SEKOLAH


Beberapa waktu lalu, dua buah bom meledak di Jakarta . satunya di hotel JW Marriot dan lainnya di Hotel Ritz carlton. Khalayak dibuat prihatin, marah dan mengutuk aksi biadab yang menewaskan beberapa orang itu. Segera setelah peristiwa itu polisi menyelidiki siapa pelaku dan apa motif di balik pengeboman tersebut. Hasilnya –seperti diduga banyak orang sebelumnya- pelakunya adalah gerakan Islam garis keras ( sering di sebut Islam radikal dan ekstrem ) dan motif mereka tentunya “berjihad” dengan cara mereka sendiri, menggunakan kekerasan atas nama agama! . Tapi, yang membuat kaget adalah salah satu pelakunya pengebomnya(bomber) bernama nana sukrna adalah seorang berumur 19 tahun, dan mantan ketua “rohis” sebuah sekolah. Sederhananya, Rohis adalah sebuah kelompok “rohani Islam” yang di ketahui sering men”didik” para calon “pengantin”( istlah lain pelaku bom yang sedang di siapkan) . Mereka –para pengantin- di beri doktrin –doktrin yang menjelaskan pentingnya memerangi apa yang mereka sebut para “orang kafir” di muka bumi). Saking hebatnya, seolah para perekrut bom tadi mamapu menunjukan “jalan ke surga” yang begitu diidamkan. Tapi, yang terjadi justru menimbulkan “neraka sistemik” di kehidupan bangsa dan bernegara. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, apakah pemerintah, ulama, lembaga pendidikan atau elemen masyarakat yang lain. Menilik pelakunya, sangat mungkin lembaga pendidikan seperti sekolah, menjadi tempat persemaian bibit-bibit pelaku kekerasan atas nama agama, apakah benar?.
Tinjauan Etimologis

Radikalisme dalam berbagai definisi dapat kita temui diantaranya :
Dalam ‘kamus Ilmiyah Populer “ karya Pius a partanto dan M dahlan Al barry mnejelaskan makna radikalisme sebai Faham politik kenegaraaan yang menghendaki perubahan dan peromabakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Sedangkan dalam Kamus Wikipedia, Radikalisme merujuk kedalam beberapa arti
1.Ekstremisme, dalam politik berarti terolong kepada kelompok-kelompok Kiri radikal, Ekstrem kiri atau Ekstrem kanan.
2.Radikalisasi transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal, revolusioner, ekstremis, atau militan. Sementara istilah "Radikal" biasanya dihubungkan dengan gerakan-gerakan ekstrem kiri, "Radikalisasi" tidak membuat perbedaan seperti itu.
Dalam kamus jhon, M Echoll di sebutkan salah satu makna radikal sebagai “merusak”
Dengan demikian, kalau kata radikalisme disandingkan dengan agama, maka yang terjadi adalah penggunaaan segala cara untuk merubah secara ekstrim untuk meraih segala bentuk perubahan, walaupun harus merusak, membunuh dan menyengsarakan orang-rang tidak bersalah atas dasar agama. Padahal, dalam ajaran agama apapun tidak ada perintah untuk merusak akan tetapi unuk Rahmatan lilalamiin ( Islam yang di ajarkan memlalui sikap sikap bersahabat, ramah, dan segala permaslahan beraga di selesaikan dengan berdialog) . Sehingga bukan peruhan yang baik yang mereka hasilkan, akan tetapi sebaliknya.
Sejarah perkembangan gerakan radikal dan ekstrim dalam Islam
Prof. Dr Said Aqil Siradj (2010) menjelaskan, lahirnya kelompok ekstrim sudah ada sejak abad pertama hijriyah . Tapi mereka mulai berani menunjukan diri di hadapan nabi sekitar tahun 8 hijriyah, pada saat Rasullulah baru saja memenangkan perang hunain . Dalam perang tersebut ghanimah ( barang rampasan.pen) yang di peroleh sangat melimpah . dalam pembagian yang di lakukan di ja’ronah , tempat miqad umrah , asahabat senior nabi seperti Abu baker , Usman , Umar , ali dan Saad dan lainnya tidak mendapat ghnimah .Tapi, sahabat yang baru masuk Islam mendapat ghanimah meski mereka sudah kaya. Tentunya haltersebut menimbulkan keheranan, sehingga tiba-tiba seseorang yang bernama Dzil Khuwaisir maju kedepan dengan sombong sambil berkata “ berlaku adillah wahai Muhammad” Nabi SAW pun berkata “ celakalah kamu, yang saya lakukan ini adalah perintah Allah dan tidak ada orang yang lebih adil d atas bumi ini melebihi saya “.
Setelah Dzil khuwaisir pergi rasulullah bersabda “ akan lahir ( Muncul) dari umat Islam orang-orang yang hafal alquran tapi tidak melewati tenggoroannya ( tidak memahami substansi misi-misi alquran dan hanya hafal di bibir saja) mereka itu sejelek –jeleknya makhluq bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka. ( HR Shahih Muslim). Prediksi Rasullah pun terbukti pada Ahad pagi , 17 ramadhan 40 H , Pagi itu khalifah ali terbunuh oleh Abdurrahman ibnu Muljam, seorang yang akhirnya melahirkan kelompok khawarij. Kelompok ini memiliki prinsip , orang yang melakukan dosa besar satu kali di anggap kafir. Jadi, Sayyidina Ali di bunuh karena terlibat dalam perang jamal atau shiffin yang berakibat terbunuhnya sesama muslim. Dan beliau dia anggap kafir.
Hubungan Khawarij dan kelompok ekstrim kekinian
Menurut Kyai Said, secara resmi saat ini tidak ada yang namanya mazhab khawarij, tapi di oman ( Qatar) saat ini ada madhab ibaditah , fiqihnya mengikuti abul abdurahman al ibadi yang memiliki kesamaan dengan khawarij. Memng orang oaman tidak mengakui mereka kharaij . akan tetapi menurut kyai said pemahaman dan pemikiran termasuk yang ekstrim bahkan menghalalkan segala cara , sepanjang zaman akan terus ada .
Kondisi Praktik kekerasan berbasis agama di Indonesia
Tidak bisa di pungkiri, sebagai negara terbesar penduduk Islamnya ini Indonesia mempunyai sejarah kelam, terutama satu decade terakhir ini, akan adanya serentetan aksi –aksi kekerasan yang di sebabkan oleh para penganut Islam garis keras itu . Peristiwa bom bali tahun 2002, berlanjut bom bom la in termasuk teakhir bom JW Marriot ( kali kedua di bom sebelumnya) dan Ritz carlton, menunjukan fakta masih adanya praktik pratik yang salah dalam beragama di Indonesia. Akibatnya banyak pihak yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu urusan menjadi korban. Dalih mereka ingin melawan kafir justru membuat takut oang –orang untuk datanga di Indonesia. Sehingga iklim ekonomi, social dan politik menjadi kacau. Kepercayaan investasi di Indonesia menjadi berkurang drastic.
Memang, jumlah mereka ( Islam ekstrim) sangatlah sedikit( minoritas) , tapi, karena minoritas itulah kreatifitas mereka menjadi terpacu, seakan ingin menunjukan diri mereka ada dan tidak bisa sebelah mata. Niat mereka memperjuangkan keyakinan yang mereka anut menjadikan kebencian dan ketidak simpatian berbagai fihat akibat cara keji yang mereka gunakan. Beberapa pendapat mengemuka tetntang bagaimana mereka begitu berhasil mendidik para “pengantin” untuk menjadi bomber . Menurut beberapa penelitian diantaranya mbak cicik farha dari rahima institute dan Sejiwa menyatakan bahwa mereka ( para perekrut bom) memulai dari tingkat sekolah, terutama tingkat sekolah menegah, di sebutkan bahwa di sebuah sekolah di jawa barat para “rohis” mempunyai kegiatan ekstra kulrikuler berupa layihan perang-perangan, mirip jundullah(tentara) di afganistan.

Tapi, sangat mungkin pendekatan yang di lakukan para perekrut pengantin adalah pendeketan psikologis . Memang, siswa sekolah menengah yang secara psikologis anak didiknya sedang labil. Butuh sentuhan personal biar mereka merasa menjadi manusia sebenarnya. Agakanya, ruang kosong yang jarang tersentuh oleh dunia pendidikan kita itu, di manfaatkan betul. Tentunya, melalui intensitas pertemuan dan “rayuan-rayuan surga” yang bisa menjadikan mereka selau datang mendengarkan dan bersemangat mengikuti ajaran .Akhirnya, dengan janji surga mereka rela melakukan apaun perintah yang di yakini mereka sebagi perintah agama. Memerangi orang kafir, walaupunharus membunuh banyak orang yang ternyata bukan kafir.
Perlunya Pendidikan Moderat
Beberapa Upaya yang di lakukan banyak pihak terkait dengan maraknya siswa yang”dikorbankan” untuk jalan yang salah. Mulai Pemerintah, akademisi , Ulama dan kelompaok masyakat “cinta damai” lain. Diantara kalau di pesantren dan sekolah sekolah mulai di sosialisasikan pemahaman slam yang ramah damai dan tidak keras. Bahekan, sempat di usulkan untuk mengawasi pusat pusat ibadah di dekolah seperti mushola atau masjid, guna mengantisipasi pergerakan kaum ekstrimis yang memang menjadikan tempat tersebbut sebagai pusat persemaiannya. Peran saling bersinergi dari semua elemen masyarakat di butuhkan terutaman lewat bjalur pendidikan. Sehingga, nanti para pengantin tidak jadi berbulan madu .

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI