SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI

Komunikasi telah dijadikan penunjang kehidupan manusia dan masyarakatnya sejak awal kehidupan umat manusia dan telah dipelajari sejak dulu. Hanya saja, komunikasi dipelajari masih sebagai perangkat kiat atau resep-resep berkomunikasi agar komunikasi yang dilakukan seseorang bisa sukses dengan indikatornya adalah maksud atau keinginan orang tersebut tercapai. Belum sebagai satu ilmu. Perkembangan berikutnya didorong oleh berbagai penemuan teknologi komunikasi seperti mesin cetak cepat, piringan hitam, radio, film yang membawa perspektif baru yaitu massifikasi komunikasi melalui media massa walaupun fokusnya masih soal kesuksesan komunikasi dengan indikatornya adalah tercapainya maksud atau keinginan para pelaku komunikasi. diharapkan. Saat itulah kemudian muncul banyak pertanyaan mengenai komunikasi, apa itu komunikasi, apa faktor-faktor yang berperan, bagaimana, mengatasi sosiologi, psikologi, bahasa, sastra, antropologi, politik bahkan termasuk para pakar bidang ilmu eksakta seperti fisika dan matematika. Pertanyaan ini memicu banyaknya penelitian dalam komunikasi oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. (M. Alwi Dahlan, 2008). Para pakar dari berbagai disiplin ilmu inilah yang disebut Everett M Rogers sebagaiforerunners (para pendahulu) dalam ilmu komunikasi. Rogers menjelaskan bahwaforerunners adalah ilmuwan yang membuat kontribusi intelektual yang penting pada studi komunikasi tetapi tidak mengidentifikasi diri dan murid- muridnya sebagai ilmuwan komunikasi dan juga tidak menginstitusionalisasi bidang ini dengan mendirikan sekolah atau departemen komunikasi di universitas-universitas. Merekayang disebutforerunners adalah Gabriel Tarde, Georg Simmel, George Herbert Mead, Kurt Lewin, Harold D Laswell, Paul Lazasfeld, Carl I Hovland, Norbert Wiener dan Claude E Shannon. Sebagai contoh, Lazarfeld misalnya menganggap dirinya dan murid-muridnya sebagai sosiolog dan bukan ilmuwan komunikasi (Rogers, 1994, dalam Budyatna, 2008:171-172). Dari hasil kerja keras para pakarforerunners inilah muncul khazanah perbendaharaan penelitian, pengetahuan dan teori mengenai komunikasi yang bersifat antardisiplin. Konvergensi dari semua pengetahuan ilmiah tentang komunikasi itulah yang mendorong pengembangan satu bidang ilmu baru yang disebut Ilmu Komunikasi (M. Alwi Dahlan, 2008). Orang yang berperan dalam proses melahirkan bidang ilmu inilah yang disebutfounder (pendiri) oleh Rogers yaitu ilmuwan yang tidak dididik secara formal dalam komunikasi tetapi menjalankan riset komunikasi dan mendidik generasi pertama dari ilmuwan-ilmuwan komunikasi dalam disiplin baru ini. Pendiri utama adalah Wilbur Schramm yang tidak hanya menginstitusionalisasikan studi komunikasi di Iowa, Illinois dan Stanford dalam bentuk institut riset komunikasi tetapi juga mengajar banyak pemegang gelar Ph.D Ilmu Komunikasi yang pertama (Roger, 1994, dalam Budyatna, 2008: 171-172). Di sini jelas disebut oleh Rogers bahwa chief founder (pendiri utama) dari Ilmu Komunikasi adalah Wilbur Schramm sementara proses pendirian Ilmu Komunikasi ini berlangsung di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, pendidikan jurnalisme sudah berkembang sejak tahun 1930-an. Tahun 1943, Schramm diberi kepercayaan untuk untuk memimpin School of Journalism di Iowa University. Pada waktu itu, jurnalisme masihlah satu ilmu terapan yang bicara mengenai how-to-do- it journalism dan programsemacam ini tidak hanya terdapat di Iowa University tetapi berjumlah ratusan yang ada diseluruh Amerika (sekalipun tidak semuanya hanya bicara how-to-do it journalism tetapi ada juga yang sudah menekankan pentingnya penelitian dan telah memasukkan mata kuliah ilmu-ilmu sosial seperti sejarah pers, hukum dan manajemen ke dalam kurikulumnya yaitu di School of Journalism di University of Wisconsin, Madison yang dipimpin oleh Willard G Bleyer). Schramm punya ide bahwa sebaiknya mata kuliah ilmu-ilmu sosial juga diberikan bahkan Schramm mengusulkan agar didirikan program Ph.D di bidang komunikasi massa. Masalahnya adalah Schramm saat itu kekurangan dana untuk membiayai rencana-rencananya sehingga ia berpaling ke tempat lain yaitu University of Illinois. Di universitas itu Schramm mendapatkan posisi dalam inner circle of adviser. Ia lantas minta programnya di Iowa bisa direalisasikan di Illinois. Permintaannya dikabulkan dan berdirilah Institute of Communication Research dengan Schammm sebagai direkturnya. Esensi dari lembaga iniadalah program doktor di bidang ilmu komunikasi yang bersifat interdisipliner dengan biaya besar untuk riset plus Schramm diangkat menjadi guru besar pertama Ilmu Komunikasi. Problem berikutnya adalah ketiadaan buku teks bagi Ilmu Komunikasi. Untuk mengatasinya, Schramm kemudian mengadakan konferensi dengan menjelaskan mengenai lembaga yang dipimpinnya dan program doktoral yang dijalankannya. Setelah itu beberapaforerunner seperti Lazarfeld, Hovland, Casey menyampaikan makalah mereka dalam konferensi itu. Selanjutnya, makalah-makalah itu disunting dan diterbitkan dalam satu buku berjudul Communication in Modern Society yang menjadi buku teks pertama bagi Ilmu Komunikasi. Setelahitu, Schramm mengumpulkan lebih banyak artikel dan makalah dan menerbitkannya menjadi buku berjudul Mass Communication yang menggantikan buku pertama sebagai buku teks. Schramm kemudian berpikir bahwa lebih mudah untuk mendirikan bidang akademi baru di satu universitas swasta yang bergengsi. Oleh sebab itu ia pindah lagi ke Stanford University. Memang saat itu Stanford belum termasuk universitas ranking kelas atas di Amerika Serikat, tetapi masuknya Schramm adalah juga demi meningkatkan ranking Stanford. Di Stanford, Schramm memimpin Institute for Communication Research. Di Stanford, mudah sekali bagi Schramm untuk menggalang dana yang membuat ia semakin mudah mengembangkan bidang ilmu yang masih belia yaitu ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 172-175). Selanjutnya, ilmu ini berkembang terus di Amerika Serikat sesuai dengan tuntutan zaman melahirkan banyak cabang. Tidak lagi hanya melulu membicarakan soal kepentingan perang atau pembangunan tetapi juga sudah mulai dimanfaatkan dalam praktek politik, bisnis, dan industri (M. Alwi Dahlan, 2008). Pertanyaan berikutnya adalah: walaupun komunikasi sudah disadari sangat berpengaruh pada kehidupan manusia dan masyarakatnya sejak lama, mengapa komunikasi baru berkembang dengan pesat ke arah ilmu pada abad XX? Tentu ada faktor-faktor yang yang mendorong perkembangan itu. Littlejohn menjelaskan, ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan komunikasi menjadi Ilmu Komunikasi. Pertama, adanya perkembangan teknologi komunikasi seperti radio, televisi, telepon, satelit, dan jaringan komputer yang disertai munculnya industrialisasi, bisnis-bisnis besar dan politik global yang menyebabkan komunikasi mulai dianggap penting dan mulai mendapat perhatian. Kedua, adanya ketertarikan terhadap komunikasi sebagai suatu subjek studi karena dipromosikan oleh filsafat progressivisme dan pragmatisme yang merangsang munculnya hasrat bagi kemajuan kehidupan masyarakat melalui meluasnya perubahan sosial. Ketiga, adanya beberapa perkembangan yang mengarahkan munculnya ketertarikan pada komunikasi secara akademik yaitu pengaruh politik dari pesan publik yang memicu kesadaran untuk melakukan riset atas propaganda dan opini publik serta adanya perkembangan ilmu sosial yaitu ketika sosiologi dan psikologi sosial menjadi pemimpin dalam mempelajari komunikasi. Kebanyakan riset sosiologi pada tahun 1930-an ingin mengetahui cara-cara komunikasi mempegaruhi individu dan masyarakat sedangkan dalam psikologi sosial banyak dilakukan riset untuk mengetahui efek menonton film bagi anak-anak, propaganda dan persuasi, serta dinamika kelompok. Keempat, adanya dominasi dari kepentingan komersial yang kuat yang membuat orang tertarik untuk memperlajari komunikasi agar bisa diterapkan dalam bisnis yaitu untuk tujuan-tujuan pemasaran atauperiklanan. Kelima, pasca Perang Dunia II, ilmu sosial telah menjadi ilmu yang secara penuh terlegitimasi dan muncul ketertarikan yang kuat dan tetap pada proses-proses sosial dan psikologikal. Komunikasi menjadi studi yang cukup penting (Littlejohn, 2002: 3-4). Terakhir, diluar yang dijelaskan Littlejohn kita bisa menambahkan adanya kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II. Pemerintah Amerika Serikat kala itu menghadapi kendala-kendala seperti bagaimana meyakinkan rakyat agar mau ikut perang, mengubah gaya hidup perdamaian menjadi gaya hidup perperangan. Kendala-kendala ini membuat pemerintah Amerika Serikat memobilisir para pakar untuk melakukan penelitian mengenai komunikasi demi mendapatkan solusi atas kendala-kendala itu dan memenghasilkan sati organisasi yang bernama Offiice of War Information atau OWI. Termasuk didalamnya adalah para pemikir Mahzab Frankfurt yang melarikan diri dari Jerman ke Amerika Serikat (M.Alwi Dahlan, 2008). Dengan demikian, komunikasi sesungguhnya adalah bidang ilmu yang masih muda umurnya. Lantas, bagaimana hubungan ilmu komunikasi dengan bidang ilmu lainnya? Seperti yang kita lihat dalam sejarahnya, komunikasi adalah hasil konvergensi berbagai pengetahuan tentang komunikasi dari berbagai bidang ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, psikologi dan matematika (M. Alwi Dahlan, 2008). Maka dari itu ilmu komunikasi ibarat ”jalan simpang yang paling ramai dengan berbagai disiplin ilmu yang melintasiya” dan bisa dianalogikan dengan kota purba Babelh Dehre yang sering disinggahi para musafir sebelum melanjutkan perjalanan. Masing-masing musafir itu kemudian meninggalkan sesuatu di kota purba itu. Persis seperti komunikasi yang dilewati oleh berbagai disiplin ilmu danmendapatkan pengkayaan dari berbagai disiplin ilmu itu (Schramm, 1980 dalam Anwar Arifin, 2006: 15). Itulah sebabnya mengapa komunikasi menjadi ilmu yang sangat eklektik dan interdisipliner. Schramm sebagaifounder (pendiri) dari Ilmu Komunikasi sendiri menyadari bahwa tidak mungkin mengembangkan komunikasi menjadi satu bidang ilmu yang mandiri dengan mengabaikan bidang ilmu lainnya. Namun, demikian tetap harus memberikan penekanan pada hal yang berbeda dengan ilmu- ilmu sosial lainnya. Komunikasi adalah bidang ilmu pengetahuan sekaligus juga terapan yang menghasilkan profesionalisme. Industri media massa seperti radio, televisi, film dan lainnya membutuhkan para pekerja yang terampil dari lulusan ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 176). Inilah bentuk hubungan ilmu komunikasi dengan disiplin ilmu lain, juga hubungannya dengan dunia profesi. Lebih jauh, untuk membedakan Ilmu Komunikasi dengan disiplin ilmu yang lain, kita perlu ingat bahwa sekalipun bidang ilmu yang lain juga meneliti komunikasi, tetapi mereka melihatnya sebagai proses sekunder. Psikologi misalnya mempelajari perilaku individu dan memandang komunikasi sebagai salah satu bentuk perilaku. Sedangkan Sosiologi yang fokus pada masyarakat dan proses sosial memandang komunikasi hanya sebagai salah satu faktor sosial. Kita, sebagai ilmuwan komunikasi, tidak memandang komunikasi sebagai proses sekunder melainkan primer. Komunikasi adalah pusat dari semua pengalaman manusia dan Ilmu Komunikasi adalah bidangilmu yang dicirikan/dikaraterisasikan dari fokusnya pada komunikasi sebagai topik utama dan perhatiannya pada keluasan topik komunikasi itu (Littlejohn, 2002: 5-6). Bagaimanapun, perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Serikat mengambil pendekatan yang berbeda dengan di Eropa. Pendekatan Amerika Serikat lebih bersifat kuantitatif demi mengejar objektivitas hasil penelitian sedangkan di Eropa lebih bersifat kritis, historis dan kultural karena pengaruh Marxisme yang ada di dalamnya (Littlejohn, 2002:4). Dalam hal ini, pakar Ilmu Komunikasi D. Lawrence Kincaid bahkan telah membedakan antara perspektif Barat dan Timur. Kincaid berpendapat bahwa cara berpikir Timur juga bisa berkontribusi pada pemahaman kita atas komunikasi. Oleh sebab itu, dengan sangat berharga Kincaid membandingkan antara perspektif Barat dan Timur. Perspektif Barat yang dimaksud oleh Kincaid adalah perspektif yang dipakai di Amerika Serikat dan Eropa di atas. Perbedaan itu adalah (1) teori-teori Timur berupaya untuk fokus pada keutuhan (wholeness) dan kesatuan (unity) sedangkan pespektif Barat lebih mempelajari bagian-bagian dan tidak menggabungkannya dalam satu proses yang menyatukan. (2) Banyak teori Barat didominasi oleh visi individualisme. Manusia dianggap aktif mengejar tujuan personal. Sebaliknya, banyak teori Timur memandang capaian komunikasi sebagai hasil yang tidak direncanakan dan alamiah. (3) Banyak teori Barat didominasi oleh bahasa. Di Timur, simbol verbal, terutama ucapan dijalankan dan dipandang dengan skeptis. Cara berpikir Barat juga dicurigai oleh tradisi Timur. Apa yang dianggap penting dalam banyak filsafat Asia adalah wawasan intuitif yang didapat dari pengalaman langsung. Wawasan semacam itu bisa didapat dengan tidak memotong kejadian/peristiwa alamiah, yang juga menjelaskan mengapa sikap ’diam’ menjadi sangat penting dalam komunikasi Timur. Terakhir (4) keduanya mengkonseptualisasikan relasi dengan cara yang berbeda. Pada hambatan-hambatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul tidak hanya dari para praktisi komunikasi (misalnya jurnalis atau orator) melainkan juga dari para pakar berbagai bidang ilmu seperti Fokus ini mulai berubah dan perkembangan komunikasi ke arah ilmu mulai tumbuh pasca Perang Dunia I dan terus berlanjut sampai Perang Dunia II ketika ternyata banyak orang mulai menyadari bahwa penerapan pengetahuan komunikasi yang selama ini diketahui tidak bisa menjamin tercapainya efek yang diinginkan. Malah bisa berbalik memunculkan efek yang tidak perspektif Barat, relasi ada antara dua orang atau lebih. Dalam perspektif Timur, relasi lebih rumit karena selalu melibatkan perbedaan posisi sosial seperti peran, status dan kekuasaan (Littlejohn, 2002: 4-5). Di Indonesia, Ilmu Komunikasi adalah salah satu bidang studi yang paling diminati. Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya program studi Ilmu Komunikasi di universitas-universitas. Mengapa demikian? Saya pikir karena adanya pertemuan dua arus kepentingan. Seperti kita tahu, industri media adalah industri yang paling banyak dijalankan saat ini. Hitung saja jumlah stasiun televisi (lokal dan nasional), jumlah stasiun radio, jumlah koran (lokal dan nasional), jumlah majalah, dan lainnya. Industri media ini adalah industri padat modal yang harus dikelola dengan sangat hati-hati dan profesional karena persaingan yang sangat ketat antara media itu sendiri. Artinya, industri media memiliki kepentingan atas adanya pekerja-pekerja yang terampil dan profesional dalam mengelola media. Sebaliknya, lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh banyak orang. Menyadari kebutuhan industri-industri media itu, orang kemudian berbondong-bondong belajar di program Ilmu Komunikasi dengan harapan setelah lulus nanti bisa berkerja di industri media tersebut. Baik sebagaireporter, news reader, editor, filmmaker, cameraperson, dan profesi lainnya. Berdirinya banyak sekali program Ilmu Komunikasi di universitas-universitas serta masuknya orang secara berbondong-bondong ke dalam program Ilmu Komunikasi ini juga berimbas pada kebutuhan yang besar atas tenaga pengajar dalam Ilmu Komunikasi. Akibatnya, pendidikan Ilmu Komunikasi pada level yang lebih tinggi (pasca sarjana) semakin diminati orang.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi