Norma Resiprositas dan Hak atas Subsistensi petani : Perlawanan Terhadap Eksploitasi (catatan)

Berbicara petani, sama halnya berbicara kaum marginal lain, seperti buruh , tukang las, karyawan kontrak. Mereka di hadapkan pada masalah yang sama : eksploitasi . Kalau buruh, di eksploitasi(baca: di peras) tenaga dan keringatnya oleh majikan dan bos mereka, tukang las di peras tenaga oleh pemilik bengkel, maka petani pun dieksploitasi tenaga dan segenap modal yang dipunya (semisal sepotong tanah ) atau penyewa dari “tuan tanah” . Petani menurut James T scott , sebenarnya mempunyai kekuatan subsistens dan Norma Resiprositas , untuk melawan hegemoni yang memeras (eksploitatif) . Beberapa bentuk perlawanan dan kemarahan yang dilakukan petani, tidak lebih karena hak-haknya tidak hargai dan di perlakukan secara tidak adil, Dan bahkan, penderitaan yang di rasakan mereka telah mengkebiri nilai-nilai moral, yang di junjung begitu tinggi . Sebenarnya, seberapa jauh kekuatan yang di miliki para petani, tersebut mampu menyelesaikan ketidakadilan yang menimbulkan kemarahan moral dari mereka, tergantung dari bagaimana memenuhi kebutuhan dan hak yang harusnya di terima petani. Cenderung lemah Menurut James T Scott, definisi mengenai petani ada dua macam, pertama , ia adalah seseorang pencocok tanam, yang umumnya nya hidup di pedesaan dan produksinya, terutama di tujukan untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan konsumsi keluarganya, ini bersifat sentralistik. Kedua, ia merupakan bagian dari satu masyarakat yang lebih luas ( termasuk golongan elit yang bukan petani, dan negara) yang melakukan pungutan. –pungutan terhadapnya . Dengan pengertian tersebut , petani dalam melakukan aktivitasnya, secara umum tidak sendirian, karena dia ternyata harus berhadapan dengan sang “tuan tanah” dan negara. Beruntung bagi petani, ketika yang di hadapinya mjikan atau tuan tanah yang bermoral baik, karena hak dan kebutuhan hidup yang seharusnya mereka rasakan akan terpenuhi . Tapi kebanyakan, sosok yang di hadapi petani , baik pada level tuan tanah , bahkan negara, memposisikan petani pada situasi yang lemah dan mudah di eksploitasi. Dan , dalam beberapa kasus yang terjadi di negara Asia Tenggara, seperti Viertnam dan Myanmar, menunjukkan adanya pelanggaran moral-ekonomi yang yang di lakukan oleh segelintir golongan elit dan negara. Hal tersebut menjadi sebab terjadinya pemberontakan oleh kaum petani. Posisi petani memang sering menjadi objeck kepentingan para elit dan negara, hal ini telah terjadi jauh –jauh hari, seperti pada masa zaman kolonial . Hal inilah yang memunculkan perilaku “bejat” dari para elit penguasa untuk menguras sebesar –besarnya sumber daya alam (kebanyakan yang di garap petani) untuk di angkut ke negaranya tanpa memberi harga yang layak dan upah yang memadai atas tenaga yang di keluarkan para petani . Sejauh mana pengertian eksploitasi yang di maksud? James scott memberi penjelasan tentang makna ekploitasi, yang berhubungan dengan tindakan a moral tadi, dia menyatakan “ ada sementara individu , kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja , atau atas kerugian orang lain” , hampir senada dengan scott, dalam kamus populernya, Pius dan M Dahlan mendifinisikan eksploitasi sebagai pemerasan , pengusahaan pendayagunaan dan penarkan keuntungan secara tidak wajar . Dengan pemahaman tersebut , petani benar –benar tidak di beri ruang dan kesempatan, untuk menikmati hasil jerih payahnya, secara layak dan memadai, sehingga tata hubuingan yang seharusnya menguntungkan kedua belah pihak di simpangkan lewat keuntungan sepihak . Untuk memudahkan identifikasi terjadinya eksploitasi, Scott menyebutkan dua ciri eksploitasi , pertama dilihat dari “kacamata” sosialis, yakni ekploitasi sebagai satu tata hubungan antar peroangan , kelompok atau lembaga , di satu sisi ada pihak yang di eksploitasi, di pihak lain ada yang mengeksploitasi .Kedua, dilihat dari sudut non sosialis, ekploitasi sebagai distribusui yang tidak wajar dari usaha dan hasilnya , dan hal ini memerlukan adanya satu ukuran tentang keadilan distribusi .Adanya ketidakadilan mengimplikasi suatu norma tentang keadilan . Sebenarnya, ada persoalan serius yang di hadapkan oleh “sosok” eksploitasi ini. Persoalan di sebabkan tentang adanya ukuran standar tentang tata hubungan tersebut yang masih belum bisa di jadikan kesepakatan secara pasti dan mengikat . Bagi satu orang mungkin bisa menerima standar; ukuran( eksploitasi ) tersebut , tapi pada pihak yang lain menganggap hal tersebut tidak sah. Scott mencontohkan bagi seseorang yang menganut tradisi marksis, tentu akan mengatakan, teori tentang nilai berdasar tenaga kerja, adalah merupakan landasan konsepsial untuk menilai tingkat eksploitasi . Oleh karena bagi mereka ( marksis), semua nilai pada tingkat terkhir, berasal dari tenaga kerja, maka nilai lebih yang di ambil semata –mata atas dasar pemilikan sarana produksi dalam bentuk sewa, laba, dan bunga, merupakan ukuran - ukuran eksploitasi. Akan tetapi teori tersebut tidak berlaku , bagi sebagian orang yang ekploitasi sebagai sebuah tata hubungan obyektif, yang memungkinkan orang, untuk melihat secara seksama, situasi yang tidak begitu eksploitatif, dan atau eksploitasi yang lebih eksploitatif. Pola eksploitasi akan semakin tersamar, bahkan sulit di buktikan, ketika seseorang dihadapkan pada metode deduktif . Menurut Scott tingkat kesulitan pertamanya adalah sampai sejauh mana orang dapat menerima prinsip –prip moral yang di jadikan landasan bagi kriteria tentang keadilan itu. Sehingga harus ada kata sepakat antar fihak yang saling berhiubungan . kedua, melemahkan kegunaan analitis akan konsep itu sendiri, dan pada gilirannya, konsep –konsep tadi tidak bisa “jembatan “ antara pengertian yang a prtiori tentang eksploitasi daengan perasaan subyektif dari yang di eksploitasi. Untuk solisi menjelaskan ukuran eksploitasi tersebut Scott menawarkan adanya konsep tentang kesadaran palsu ( False consciousness) di sebutkan dengan konsep tersebut andaikata persepsi dapat di ukur secara tepat , maka persepsi – persepsi buruh dan atau petani , yang menurut teori tidak di eksploitasi , tidak sesuai dengan situasi obyektif mere maka mereka di katakan sebagai dalam suatu keadaan palsu. Konsep ini berbicara akan kemungkinan yang sangat riiil ,bahwa, masalah si pelaku bukan sekedar masalah perspsi yang keliru. Konsep tersebut secara otomatis mengabaikan kemungkinan bahwa orang tersebut memang mempunyai ukuran –ukuran sendiri yang langgeng tentang keadilan dan eksploitasi . inilah, yang menyebabkan dia menilai situasinya sendiri secara berlainan dengan pengamat deduktif. Dengan kata lain dia mungkin mempunyai moral ekonomi sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI