Jalan Terjal Menuju Perguruan Tinggi

Peter F Druker, dalam buku Post Capitalist-Society(1993) menawarkan solusi mengenai pendidikan. Dalam aksiomanya Druker menyatakan semakin banyak mendapatkan pendidikan sekolah, orang akan semakin sering membutuhkan pendidikan sekolah lebih lanjut . Solusi ini bisa menuai keniscayaan, selama pendidikan menjadi perhatian serius dari pemerintah - dengan segala kebijakannya – dan masyarakat . Di indonesia kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah sering menimbulkan masalah baru dan cenderung merugikan rakyat . Kebijakan UN dan SPMB yang baru saja dilaksanakan menimbulkan ekses fisik dan psikis berbagai elemen pendidikan, termasuk di dalamnya siswa dan masyarakat . Dua hari kemarin (6 dan7 juli), seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) serentak di laksanakan di berbagai perguruan tinggi (negeri) seluruh indonesia . Dan seperti tahun –tahun sebelumnya, terjadi tren menurun pada SPMB tahun ini, terdapat angka penurunan 7.5% dari 337.057 pendaftar SPMB tahun 2004, menjadi 311.000 pada tahun ini (kompas 07/07) . Penurunan seakan membenarkan ketidakantusiasan para siswa untuk masuk ke PTN, mereka ngeri melihat tingginya biaya belajar PTN . Disisi lain, masih banyak siswa yang tidak lulus UN tahap I kemarin sehingga harus mengulang pada UN tahap II tanggal 22 nanti. Hasil UN kemarin, bisa jadi bagian dari awal rentetan permasalahan pendidikan nasional, terutama bagi tingkat menengah atas. Seminggu sebelumnya, hasil Ujian Nasional (UN) tahap pertama tingkat SLTP dan SLTA di umumkan .Banyak pihak menyambut hasil UN dengan berbagai kecemasan, dan terbukti ! . Sebagaimana di beritakan berbagai media, sebanyak 20,96 % dari 261 . 750 ribu siswa, tidak lulus . Terjadi kenaikan 11,76 % dari tahun sebelumnya yang `hanya` 9,22 % , ironisnya, daerah – daerah yang biasanya menjadi basis percontohan pendidikan juga mengalami kenaikan signifikan ketidaklulusan itu . Di yogyakarta misalnya, daerah yang terkenal dengan sebutan `kota pelajar` . Dikota ini terdapat sebanyak 13 SMA yang mempunyai 0 % angka kelulusan . Sementara untuk daerah tertinggal yakni daerah yang selama ini kurang di perhatikan pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan, angka ketidak lulusannya lebih tinggi . Semisal di aceh, sebanyak 48.160 (43.3%) dari 111.482 siswa SMP /Tsanawiyah, dan SMA/ Aliyah tidak lulus, ini berarti hampir separuh peserta UN di aceh gagal . Bandingkan dengan tahun sebelumnya, `hanya`33% . Angka - angka tersebut sangat memprihatinkan . Berbagai pertanyaan di tujukan kepada pemerintah, sebagai penanggung jawab penyelenggara UN . Pertanyaan – pertanyaan itu bermuara kepada keprihatinan terhadap mutu pendidikan nasional, sekaligus mempertanyakan hasil UN sebagai satu –satunya tolok ukur mutu pendidikan nasional . Banyak faktor yang menjadikan fakta tingginya angka ketidaklulusan ini . Ketika pemerintah menetapkan standar nilai minimal sarat kelulusan untuk tahun 2004/2005 sebesar 4,25 untuk masing -masing bidang studi tanpa konversi, dengan maksud mengetahui secara pasti kualitas pendidikan siswa melalui nilai aslinya tanpa adanya rekayasa (pengkatrolan)seperti terjadi tahun tahun sebelumnya, disamping itu juga sebagai pemetaan pendidikan di tiap daerah. Dengan standar nilai minimal itu, membuat sebagian pihak terutama siswa merasa keberatan , sebagian siswa sudah berupaya dengan maksimal mempersiapkan diri menyambut UN termasuk ikut bimbingan belajar di luar jam sekolahnya, ternyata jadi tidak lulus hanya karena salah satu nilai UN -nya ada yang kurang dari 4,25 , sehingga mereka harus mengulang pada UN tahap kedua . Sedangkan, pengulangan UN ini berimbas pada jenjang selanjutnya, karena sebagian besar perguruan tinggi (PT) yang tergabung dalam Paguyuban Rektor sudah menentukan batas waktu minimal bagi siswa untuk memenuhi persyaratan administrasi sebagai syarat masuk siswa termasuk di dalamnya surat tanda kelulusan dan penyerahannya sebelum UN tahap kedua . Kebijakan ini membuat siswa (tidak lulus) yang sudah terlanjur mendaftar di PT bersangkutan tidak bisa melanjutkan keinginannya karena dia terpaksa harus mengulang. Memang mereka masih beruntung, sebagian dari PT ada yang memberi kelonggaran bagi siswa yang ingin mengulang di UN selanjutnya dengan syarat yang lulus yang akan di terima Tidak Sekedar Inkonversi Nilai Permasalahannya tidak selesai sampai hanya membuat kebijakan Inkonversi nilai dengan standar tertentu . Kita bisa saja salut atas kebijakan pemerintah itu, karena dengannya diharapkan dapat terukur kualitas pendidikan dan dapat di ketahui daerah – daerah mana saja yang harus di beri perhatian lebih serius . Namun apabila pemerintah mau melihat lebih jauh dengan kenyataan hasil UN diatas, mestinya pemerintah mengimbanginya dengan kebijakan penunjang lain . Misalnya, membantu pembiayaan kepada siswa lulus berprestasi dan orangtuanya tidak mampu .Dan kebijakan itu tidak lain melalui peningkatan anggaran belanja negara untuk pendidikan . Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dulu menjadi dambaan setiap siswa berprestasi tapi orang tuanya tidak mampu, sekarang menjadi momok tersendiri bagi mereka . Privatisasi PTN yang di mulai dua tahun lalu membuat subsidi yang biasa diberikan pemerintah berkurang ,dan berimbas dana selebihnya di bebankan pada siswa sehingga biaya PTN sekarang jauh lebih tinggi, mencapai angka1miliar . Persoalan lain, bagi siswa yang mengulang UN akan mendapat beban psikologis terutama bagi mereka yang sudah terlanjur mendaftar di PTN . Mereka di hadapkan kekuatiran UN berikutnya tidak mendapatkan nilai yang di harapkan, sehingga terpaksa mereka harus menanggung malu dan menjadi trauma karena tidak jadi masuk PTN . Tidak bisa dibayangkan, bagaimana mereka harus melewati hari –hari selanjutnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebagian dari mereka menjadi pengangguran, atau paling tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup . Demikian juga dengan orang tua, disamping harapan menyekolahkan anaknya menjadi sirna ( minimal tertunda), mereka mendapat rasa malu serta cemoohan dari masyarakat karena anaknya tidak jadi melanjutkan sekolah. Kebijakan UU pendidikan pemerintah yang sering kontradiktif, antara kebijakan satu dengan lainnya juga bisa permasalahan . Kebijakan itu bisa menyebabkan kebingungan tersendiri dalam tataran pelaksanaannya . Semisal, tentang kebijakan pendidikan tahun 2003 yang masih di pakai sampai sekarang- walaupun dengan berbagai penyempurnaan-. Yaitu tentang keputusan Menteri pendidikan Nasional 03 Pasal 10 ayat (1) tentang Ujian Akhir yang menyatakan bahwa yang lulus, dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang pendidikan yang lebih tinggi artinya hanya siswa SMU atau sederajat yang lulus yang dapat di terima di Perguruan tinggi .Dengan demikian Perguruan tinggi tidak dibenarkan menerima calon mahasiswa yang belum lulus dan hanya memiliki Surat Tanda tamat Belajar . Anehnya, pada kebijakan selanjutnya, pemerintah membuat kebijakan bagi mereka yang belum lulus (belum mempunyai surat tanda kelulusan) dapat menempuh pendidikan tinggi (jika lolos seleksi) sebagai mahasiswa percobaan selama setahun . Perlunya Kebijakan Kompeherensif Alhasil, permasalahan –permasalahan pendidikan tersebut banyak di akibatkan perundangan yang berkutat di wilayah teknis belum pada wilayah ideologis. Ketika undang –undang Sisdiknas meligitimasi Privatisasi PTN misalnya, menimbulkan implikasi Pemerintah cenderung melepaskan pelayanan pendidikan , padahal pendidikan harus di berikan kepada warga negaranya . Dengan kebijakan ini(kembali) mencerminkan ideologi liberal dari pemerintah . Ada baiknya kebijakan itu mempertimbangkan aspek riil sosial kemasyarakatan sehingga pendidikan tidak menjadi alternatif – alternatif. Reformasi juga bukan sekedar gebrakan populis semata, pun hanya sebagai lip servis yang semu yang merugikan masyarakat . Target pendidikan juga semestinya di iringi dengan kebijakan secara komperehensif;menyeluruh sebagai pendukungnya .Misalnya, pemerintah seyogyanya memperkuat infrastruktur sekolah, disamping memperbaiki kesejahteraan guru . Reformasi politik tahun 1998, ternyata tidak berimbas positif pada reformasi –reformasi bidang lain, terutama pendidikan . Sehingga menjadi wajar, Indonesia memiliki predikat sebagai negara terbelakang dalam hal pendidikan dalam beberapa tahun di wilayah Asia . Bahkan, hingga sampai sekarang (tahun ini, Indonesia berada di peringkat 12 ). Padahal sebelumnya, Indonesia mampu menjadi percontohan pendidikan negara Asia lain.Melihat kenyataan ini, peran media, masyarakat dalam pengawasan baik pada saat pembuatan maupun pelaksanaan UU kebijakan pendidikan sangat di perlukan. Ini penting, sebagai upaya menyukseskan reformasi pendidikan sebagai bagian dari implementasi UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa nan beradab.

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI