Pola komunikasi pesantren dalam konteks politisasi Nahdlatul Ulama
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Banyak ragam pola
komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren. Penyebaran informasi juga pengetahuan tidak
selalu berlangsung secara baik. Pihak penerima senantiasa mendapatkan dan
meyakini apa-apa yang dipahami pemberi pesan, tapi terjadi proses dialogis juga
dialektis.
Pihak penerima dalam
hal ini santri memiliki otonomi untuk menyeleksi informasi dan pengetahuan mana
saja yang mereka perlukan dan mana saja
yang tidak. Proses dialogis muncul karena notabene santri memiliki kepercayaan
dan pemahaman yang sama dengan kiai mereka. Proses pendidikan dalam pesantren
berjalan sesuai harapan pihak pengasuh.
Transfer ilmu berjalan
baik, sementara para santri mengikuti petunjuk dan saran kiai mereka. Mereka
meyakini apa yang diajarkan sang kiai adalah benar apa adanya. Karena proses
yang sama telah dijalankan sang kiai saat belajar pada kiai guru (senior) nya
dan menguasai ilmu yang sama yang diajarkan kepadanya.
Proses pendidikan
pedagogis berlangsung hingga siswa (santri) mencapai tahap pemikiran dewasa.
Menginjak usia dewasa, santri memiliki wawasan dan cara berfikir yang lebih
mandiri dalam menentukan beragam ilmu yang mereka terima. Termasuk dalam
menentukan pengetahuan dari luar pesantren untuk dasar kepercayaan mereka
menyangkut kebenaran.
Tentu saja, kebenaran
dalam hal ini terkait dengan hal-hal yang sifatnya profan. Sesuatu yang bisa
dilakukan melalui tafsir dan apa saja yang diajarkan oleh kiai adalah salah
satu dari tafsir itu. Ada banyak ragam tafsir dalam Islam baik menyangkut
masalah-masalah keduniawiaan maupun keabadian (akherat).
Setiap muslim memiliki
kemampuan untuk melakukan pemikiran yang berbeda dari muslim lainnya selama
masih dalam koridor ‘keimanan’. Seorang santri bisa saja berbeda pandangan
dengan kiai mereka bila menyikapi masalah-masalah social politik sekitarnya. Ada
keniscayaan bahwa urusan sosial, maupun politik adalah pilihan. Meski sang kiai
menjatuhkan pilihannya pada paham politik tertentu, ada diantara santri yang
memiliki pilihan lain yang berbeda. Mereka menganggap bahwa urusan politik
semacam itu tak mengikat dan menjadi wilayah privat mereka.
Tentu saja, kebanyakan
dari santri tetap mengikuti pilihan sang kiai. Dalam budaya pesantren,
mengikuti pilihan dan semua tata cara hidup kiai merupakan kewajaran. Apa saja
tindak tanduk, perilaku, dan petunjuk sang kiai dianggap benar adanya, karena
semua itu melekat dan menyatu dengan penguasaan ilmu kehidupan yang sudah matang
(final). Dalam kerangka itu perbedaan pandangan dengan kiai,-- meski dalam
urusan pilihan sebagai warga negara—dianggap tidak wajar dan tidak mendapatkan
tempat di dunia pesantren.
Hal inilah yang
menjadikan transfer nilai pada diri kiai ke para santri cukup efektif.
Pengajaran ilmu dan pengetahuan berlangsung lebih mudah dan tidak seperti pada sistem
pendidikan umum.
Begitupun dengan
pandangan-pandangan kiai terhadap dunia. Setiap wawasan dan pemahaman kiai
terhadap masalah-masalah kebangsaan juga akan diikuti dan dipahami secara sama
oleh santri.
Maka dari itulah, peran
sentral kiai dalam pesantren menjadi salah satu titik tolak dalam penelitian
ini. peran itu menentukan penyebaran
tentang corak Islam yang berkembang di dunia pesantren. Penafsiran Islam yang
beragam di Indonesia, menempatkan pesantren ikut memberi andil dalam menciptakan
keberagaman pandangan dan pemikiran social politik. Ada perbedaan penafsiran
khususnya jika dikaitkan dengan konsep kebangsaan, seperti menyikapi
pluralisme, HAM, dan instrument penunjang demokrasi lain. Tapi urusan agama,
--dan paham aswaja yang menjadi pedoman NU,-- semua mengikuti pandangan kiai.
Sesuatu yang berkaitan
dengan urusan sosial dan politik, sebagian menafsirkannya dengan kacamata
agama. Para kiai NU lebih berorientasi fiqih, ketimbang filosofi. Hasilnya pun
beragam. Kenyataan menunjukkan bahwa ada banyak kiai NU yang masih memiliki
keyakinan tentang Negara Islam. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr
KH Masdar F Masudi mengungkapkan sinyalemen mengejutkan bahwa dari kalangan NU
sendiri ada banyak kiai yang berpendapat bahwa Negara Islam itu tidak menjadi
masalah.
Pun jika ditanya
masalah-masalah social lain seperti pemikiran Islam liberal, kasus Irsyad
Manji, perkembangan syiah dan ahmadiyah yang muncul belakangan di tanah air.
Para kiai NU tidak satu suara dalam hal ini. mereka memiliki keyakinan dan
pandangan berbeda dan sebagian justru ada yang mengarah pada Islam militan
(radikalisme). Padahal NU dikenal dengan karakter Islam yang moderat, toleran
dan menjunjung tinggi kemajemukan sebagaimana pemikiran gusdur (Abdurrahman
Wahid).
Ini menandakan bahwa
perkembangan pemikiran di lingkungan pesantren sudah sedemikian berubah seiring
dengan perkembangan modernisasi dan perubahan masyarakat. Metode pengajaran
mungkin saja tak berubah, tapi tafsir kiai terhadap realitas yang menjadikannya
berubah. Kiai masih mengendalikan pola pengajaran yang telah berkembang lama di
lingkungan pesantren, namun apa yang ia ajarkan salah satunya adalah bentuk
respon terhadap realitas. Pandangan mereka mengikuti perubahan yang terjadi.
Bagi mayoritas kiai,
pandangan NU tentang kebangsaan memang sudah final. Indonesia yang majemuk,
menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi oleh seluruh masyarakat. NU
menjadi pelopor bagi paham kebangsaan seperti itu. Penerimaan NU terhadap pancasila
dan nilai-nilai di dalamnya sudah dikumandangkan sejak pendiri NU KH Hasyim
Asyari menyatakan keluar dari Masyumi. Paham kebangsaan itu terus dijaga hingga
kini. Bahkan, semasa gus dur, NU menunjukan diri sebagai organisasi Islam yang
memperjuangkan pluralisme, secara intensif di Tanah Air.
Kendati begitu, dalam
satu dekade terakhir, keterlibatan para kader dan pengurus NU dalam politik
membawa dampak negatif bagi organisasi. Praktik mone politics (suap) mulai
merebak pada acara-acara NU. Para kandidat pengurus NU terpilih tak malu lagi
menggunakan kekuatan financial untuk memperebutkan sebuah jabatan di
kepengurusan NU, baik daerah hingga pusat.
Pada ranah politik,
tafsir kiai atas realitas lebih kompleks dan majemuk. Masing-masing kiai
memiliki otonomi untuk menentukan pilihan politiknya. Begitupun dengan
santrinya. Harapan untuk membumikan ajaran dan nilai-nilai NU di lingkungan
politik, berdampak sebaliknya. Para kiai justru larut dalam hiruk pikuk politik
dan aksi dukung mendukung kandidat bupati, gubernur dan presiden serta para
caleg dari partai yang berbeda-beda.
Tarik menarik
kepentingan politik mendominasi kehidupan pesantren di banding masa-masa
sebelumnya. Banyak kiai yang menduduki jabatan-jabatan politis di partai maupun
pemerintahan, namun peran mereka tidak menentukan perubahan sebagaimana tujuan
awal perjuangan. Kepentingan partai lebih mendominasi ketimbang sebaliknya.
Alhasil, proses artikulasi aspirasi warga NU terbentur kendala kekuasaan yang
hegemonic yang menentukan arah dan tujuan partai politik.
Jika pada masa
pemerintahan Orde Baru, peran negara begitu dominan maka pada era paska
reformasi, pergeseran kekuasaan beralih ke elit-elit partai yang mengendalikan
kader-kadernya di parlemen dan pemerintahan.
1.2.
Identifikasi
Masalah
Penelitian ini ingin mengungkap
bagaimana komunikasi internal dan eksternal pesantren. Komunikasi melalui sistem
pendidikan yang tengah berjalan di antara kiai dan santrinya. Tentu juga
mencakup pertanyaan, bagaimana komunikasi yang terjadi di pesantren baik
vertical (santri-kiai) dan horizontal (kiai-kiai). Juga komunikasi di luar
kelas pesantren dan bagaimana penyebaran informasi dan pengetahuan berlangsung.
Sementara komunikasi eksternal menyangkut komunikasi politik, termasuk sikap
dan pandangan kiai dan dunia pesantren terhadap kepentingan politik baik dari
parpol maupun perseorangan.
Berangkat dari situ,
persepsi NU dengan dunia pendidikan pesantren-nya yang unik mulai mengalami
perkembangan. Ada banyak ragam komunikasi di lingkungan NU. Penyebaran
informasi dan pemikiran tak hanya berlangsung antara kiai dengan santri, tapi
antara kiai dengan kiai dari ponpes lain dan kiai-santri dengan informasi luar
secara bebas. Proses komunikasi terakhir berlangsung melalui media massa baik internet
dan mempengaruhi penafsiran atas teks (baik melalui buku bacaan, media
internet, maupun teleconferen, dll).
Selama ini, pola
komunikasi antar-kiai NU merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak
berdirinya organisasi berbasis pesantren ini. Silaturrahmi merupakan bagian tak
terpisahkan dari NU. Komunikasi melalui kegiatan tersebut, menciptakan ruang
dialog sekaligus pertukaran pemikiran, pengetahuan dan pandangan masing-masing
menyangkut tafsir Islam atas realitas.
Ada banyak perubahan
dari pola komunikasi yang terjadi di pesantren beriringan dengan perkembangan
penggunaan teknologi internet. Selain media TV, setiap orang dengan mudah mengakses semua
persoalan yang mereka hadapi untuk mendapatkan jawabannya di internet. Beragam
penerbitan buku, jurnal dan ruang-ruang dialog publik ikut menentukan pola pikir
dari pandangan Islam yang terbatas menjadi lebih luas.
Asumsi orang tentang
pola komunikasi di pesantren yang relatif tertutup dibandingkan sistem
pendidikan umum perlu pendalaman lebih jauh. Ada keberagaman praktik pendidikan
di sejumlah pesantren NU. Umumnya, mereka masih membatasi para santrinya untuk
tidak memiliki kebebasan menonton semua acara TV, interaksi santri laki-laki
dan santri perempuan dan juga dengan masyarakat luar pesantren.
Lingkungan pesantren
yang tertutup, memungkinkan pengajaran ilmu agama tak terkontaminasi dengan
pengetahuan dari luar yang ‘merusak’. Bagi santri yang lebih dewasa, pola
pendidikan pedagogis di lingkungan pesantren secara sadar akan mencari
kebebasan baik secara psikis maupun dalam mendapatkan informasi yang lebih
longgar. Media sosial dan internet dengan piranti teknologi mutakhir menyediakan semua akses
yang dibutuhkan.
Tak pelak, dalam
periode 1990-2000-an kehidupan pesantren mengalami tantangan. Meski kurang
kurang berkembang di pedesaan, tapi bagi pesantren-pesantren tradisional yang
umumnya ada di pedesaan, akses internet dan informasi mudah didapat. Di
bandingkan komunitas pesantren di perkotaan, keterbukaan informasi di desa masih
belum berkembang baik.
Pola komunikasi yang
terjadi masih didominasi dengan sistem pengajaran di dalam kelas serta kuatnya
hegemoni kiai. Apa yang mereka terima tak berbeda dengan apa yang dipahami oleh
kiai mereka.
Bibit penolakan pada
nilai-nilai luar amat jelas di lingkungan pendidikan semacam ini. Mereka
cenderung defensif dari masuknya nilai-nilai asing dan melakukan tindakan
reaktif sebagai respon dari ketakutan penyebaran nilai baru tersebut.
Penyerangan warga NU
pada penganut syiah di Sampang, dan pengikut MTA di Blora, Cepu dan Bojonegoro
membuktikan bahwa para pesantren di daerah belum siap menerima pandangan
demokrasi yang menuntut penghormatan pada kebebasan HAM, pluralisme dan toleransi.
Berbeda dengan para
santri yang kaya, yang notabene memiliki perangkat teknologi mutakhir yang
memudahkannya menggunakan akses komunikasi tersebut. Mereka banyak memperoleh
pengetahuan yang tidak terbatas dari luar lingkungan pesantren.
Dalam adab sopan
santun, tata karma memang masih kuat. Tradisi menghormati kiai masih kental di
semua pesantren NU. Namun dalam pemikiran mereka tak lagi total pada pemahaman
kiai khususnya menyikapi beragam persoalan keseharian. Banyak kiai yang tak
lagi mengikuti informasi dan pengetahuan terkini.
Perkembangan teknologi
meniscayakan kemandirian setiap orang untuk mendapatkan informasi secara bebas.
Peran kiai tetap menentukan dalam pembangunan fundamental keimanan seseorang.
Tapi, banyak kenyataan menunjukkan bahwa politik kiai seringkali gagal
menggiring santri ke pilihan politik mereka.
Kendati begitu, notabene
peran yang dimiliki sang kiai tetap mempengaruhi dinamika politik khususnya
paham kebangsaan di tanah air. Isu besar menyangkut pluralisme dan demokrasi
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menguat setelah KH
Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI keempat. Wacana tentang NU yang moderat,
toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman di tanah air semakin
jelas.
Maka tak pelak, jika
ada pandangan dari beberapa kiai NU yang masih menyetujui tentang konsep ‘negara Islam’, terasa menjadi aneh. Ketua
PBNU, KH Masdar F Masudi, pernah mengingatkan
bahwa pandangan seperti itu sebenarnya sudah lama berkembang dan diyakini kiai-kiai
NU. Konsep ‘negara Islam’ tidak ada salahnya dalam ajaran sejarah Islam. Ini
karena notabene kiai NU lebih banyak mengutamakan kaidah fiqih yang lebih
mengedepankan urusan ‘halal-haram’ ketimbang
yang lebih substansial. Kiai yang lebih faham fikih saja, tentu setuju konsep
‘Negara Islam’ dan kecenderungan itu karena Islam seolah mesti dilihat dari
sudut pandang fiqih. Banyak ulama suni didominasi oleh cara pandang dunia dari
latar fikih ini, sehingga mereka lebih banyak bicara soal formal, hukum, dan kurang
menyentuh soal filosofi dari hukum dimaksud.
Seiring perkembangan
informasi, pola komunikasi yang ‘cair’ akan mengubah cara pandang pesantren
khususnya para kiai-nya dalam melihat dunia. Interaksi dengan luar menjadi
keniscayaan dan komunikasi yang terjadi baik antar sesama kiai maupun dengan
para santri tentu menghasilkan perubahan-perubahan yang lebih moderat.
Bagaimana pola
komunikasi yang selama ini berkembang di pesantren NU? Mengacu pada Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bukunya Pesantren mencari makna[1], ada dua pola
komunikasi yang ada di lingkungan pesantren yang pertama, interaksi vertical antara santri dan kyai yang bermuara pada kepemimpinan sentralistik
otoritatif dan kedua, interaksi horizontal
yang lebih ‘cair’, terbuka karena santri menjadi partner, teman dialog .
Kesemuanya terangkum dalam sebuah cara hidup ala pesantren melalui system pendidikan (kurikulum dan pengajarannya).
Pesantren mempunyai kehidupan tersendiri yang unik dan khas. Di dalamnya
terdapat tradisi yang dikenal sebagai
tradisi pesantren yang menurut sahal merujuk terminology ”tradisi” Edward
Shills di sebut sebagai sesuatu yang diwarisi oleh generasi sekarang ini dari
generasi pendahulunya, yang bersifat non materi (nilai-nilai), serta non
diskriminasi jenis kelamin. KH. Abdurahman Wahid dalam “pesantren sebagai sub kultur’ Menggerakkan tradisi: esai-esai
pesantren menyebutkan nilai-nilai (mores) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan
sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama "cara kehidupan
santri", yang oleh sementara kalangan (terutama oleh Clifford Geertz dalam
bukunya The Religion of Java) dicoba untuk
dikontraskan dengan apa yang dinamakan "kehidupan kaum abangan" di
negeri ini[2].
Abdurahman melanjutkan
disamping memiliki Selain
kurikulum pelajaran yang sedemikian lentur (luwes)[3],
Struktur pengajaran yang unik dan memiliki ciri khas ini
tentu saja juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula[4]. Visi
untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kelak menempati kedudukan
terpenting dalam tata nilai di pesantren, visi mana dalam terminologi pesantren
dikenal dengan nama keikhlasan (berbeda dengan keikhiasan yang dikenal
di luar lingkungan masyarakat, yang mengandung pengertian ketulusan dalam
menerima, memberikan, dan melakukan sesuatu di antara sesama makhiuk).
Orientasi ke arah kehidupan alam akhirat ini (dikenal dengan tenninologi
pandangan hidup ukhrawi), yang terutama ditekankan pada pengerjaan
perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin, merupakan pokok dasar
kehidupan pesantren,
Kehidupan pesantren
sebagaimana diungkapkan sahal diwarnai
dengan norma-norma ajaran Islam, dimana ajaran Islam menekankan sikap patuh dan
tawaddu . Mengutip dari Dr. Zamakhsari
Dhofir dalam karyanya Tradisi Pesantren, sahal menegaskan
sikap patuh serta tawaddu ini dapat dimaklumi , karena para santri baik laki-laki maupun wanita,
menganggap bahwa kyai merupakan “sumber
pokok “ dari kesegala kepemimpinan dan wewenangnya (leadership and authority) dalam menentukan kehidupan dan
lingkungan pesantrennya , disamping
adanya rasa percaya penuh kyai terhadap dirinya sendiri (self confidence), baik dalam masalah
ritual(di antaranya belajar kitab kuning, ngaji laku) dan maupun bidan manajemen (sistem pengajaran,
berorganisasi dan sebagainya).
Dengan adanya sikap
patuh dan tawaddhu, maka menurut sahal
akan tercermin pula sikap disiplin santri terhadap segala sesuatu yang
menjadi kewajibannya[5].
Dari sini akan terlihat betapa para santri itu ditempa dan digembleng untuk
bias mengisi dirinya dengan akhlaq yang mulia(akhlaq alkarimah) karena tingkah laku santri selama 24 jam selalu
mendapat pengawasan dari kyai yang mengasuhnya-sudah barang tentu
timbulnya sikap ini di landasi dengan
keikhlasan yang tinggi- serta dilatih dalam kesederhanaan, kemandirian dan
kesetiakawanan. Semua sikap dan watak
tersebut merupakan fundamen dan modal yang kuat bagi para santri dalam membawa
dirinya untuk memperoleh keberhasilan apa yang menjadi cita-citanya dan jika
nanti terjun kemasyarakat, mampu sebagai community
leader dalam masyarakat tersebut, naik sebagai pemimpin keagamaan maupun
social.
Dari adanya sikap serta watak
tersebut, menurut Sahal, maka terwujudlah interaksi yang bersifat vertical antara kiai
dengan santrinya karena adanya
kepemimpinan yang bersifat sentralistik otoritatif, dimana para santri tidak
berani menentang kepemimpinan
pengasuhnya, kecuali para kyai atau ulama yang lebih besar pengaruh dan
wibawanya. Disamping model kepemimpinan tersebut , dipesantren, terdapat adanya
keikhlasan kyai sebagai penyalur ajaran dan pengetahuan, serta ketaatan santri sebagai murid yang siap
menerima semua wejangan yang disampaikan kyainya. Selama tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan syara`, serta interaksi yang bersifat horizontal, yang
berbentuk antar santri sendiri.
Interaksi tersebut
tidak membedakan status ekonomi dan social, karena adanya kesadaran dari dalam
diri santri dalam mengenyam pendidikan pesantren, mereka merasa sebagai partner in
misfortune dan pengajaran.[6] Dua pendekatan tersebut
menyebabkan output yang berbeda. Tidak mengherankan diantara
pesantren-pesantren NU banyak sekali corak dan warna pemikiran di dalamnya.
Beberapa santri
berupaya membawa warna pesantren kearah yang sangat luwes terhadap keadaan.
Mereka lebih mudah terbuka untuk menerima informasi dan berani melakukan
perubahan-perubahan mendasar baik dalam gagasan, sikap maupun perbuatan.
Diantaranya banyak yang masuk bidang-bidang lain seperti politik, budaya,
ekonomi dan sebagainya. Sementara beberapa santri lain tetap bersikukuh
memegang apa yang selama ini mereka dapat di pesantren. Mereka relatif tertutup
terhadap perkembangan dilingkungan sekitar mereka.
1.3.
Perumusan
Masalah
Pesantren dengan sistem
pendidikan dan keunikan kultur yang ada di dalamnya, menarik untuk bahan
penelitian. Selain interaksi mereka dengan masyarakat lokal dan perkotaan,
beberapa pesantren NU memiliki akses ke
luar negeri. Banyak santri NU memperoleh
beasiswa ke luar negeri, baik ke Arab Saudi, Afrika Utara, AS maupun Eropa. Era
2000-an menunjukkan jumlah alumni pesantren yang belajar ke luar negeri sangat
besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini menambah warna kehidupan pesantren
semakin beragam.
Keberagaman berkembang
justru dari keterbukaan informasi yang menghampiri kehidupan pesantren. Baik
kiai, guru maupun para santri bisa memperoleh informasi tidak hanya dari
pelajaran di kelas dan ceramah kiai, tapi dari dialog dengan sesama santri
dengan bahan pengetahuan yang mereka peroleh secara otodidak.
Lalulintas informasi
dan pengetahuan tentang masalah sosial, ekonomi dan politik sedemikian cepat,
kadang tanpa ada yang mampun mengontrol sedikitpun meski dari pihak pengelola
pesantren. Para santri mampu mengolah sendiri pengetahuan itu menjadi bahan
kajian diantara mereka dan menyebar di lingkungan pesantren. Kesadaran santri
akan masalah-masalah sosial politik menjadi sebuah keniscayaan. Setiap orang
memiliki kebebasan berfikir dan mengutarakan pandangan mereka sendiri atas
realitas di sekitarnya.
Sikap kritis seperti
itulah yang akhirnya berdampak pada penilaian santri atas perilaku politik
kiai. Setiap santri tak mudah mengikuti arahan dan petunjuk kiai mereka untuk
urusan-urusan politik. Peran kiai dalam hubungan internal pesantren dilihat
dalam konteks guru dan murid dan tak ada kaitannya dengan aksi dukung mendukung
kandidat pilihan kiai mereka.
Sang santri akan
mengambil jarak dengan pilihan kiai jika hal itu dianggap bertentangan dengan
hatinuraninya. Apalagi jika pilihan politik kiai dianggap tidak sejalan dengan
norma-norma dan ajaran moral yang mereka terima selama ini. Hal ini akan
mempengaruhi citra kiai di mata santrinya dan hubungan internal antara kiai dan
santri menjadi bermasalah.
Dalam satu dasawarsa
terakhir, penilaian tentang baik dan buruknya perilaku kiai kebanyakan lebih
ditentukan dari penilaian atas perilaku politiknya. Maka tak heran, jika di
lingkungan NU khususnya pesantren mulai berkembang penilaian kiai yang tidak
terlibat dalam partai politik, justru lebih dihormati ketimbang kiai yang terjun
ke dunia politik.
Penilaian masyarakat
tidak hanya berdasar pada peran politik kiai yang berseberangan dengan semangat
organisasi NU untuk kembali ke khittah 1926. Namun, lebih karena dalam
pandangan santri, dunia politik yang berkembang saat ini cenderung pragmatis
dan oportunis. Komunikasi politik kiai
gagal mendapatkan simpati dari para santrinya dan apalagi masyarakat. Justru
lantaran peran kiai dalam politik sebagai bagian dari kepentingan partai
politik itulah, maka citra kiai di dunia pesantren mengalami penurunan.
Dalam kerangka itulah,
penelitian ini berupaya mengungkap pola komunikasi politik yang dilakukan kiai
di luar pesantren, dan akibat dari kegiatan itu di lingkungan internal
pesantren. Apakah hubungan santri dan kiai berubah, setelah sang kiai terlibat
kegiatan politik praktis? Apakah citra
kiai di mata santri menjadi rusak karena pilihan politiknya?
Dari sinilah benang
merah antara komunikasi kiai di lingkungan politik (luar pesantren) dan
komunikasi kiai di lingkungan pesantren (organisasi).
Untuk mengungkap lebih
detail perihal itu, barangkali berikut ini dua pertanyaan yang perlu diajukan terkait
pola komunikasi di lingkungan pesantren dan di luar pesantren:
1.
Bagaimana pola
komunikasi internal pesantren NU?
2.
Bagaimana
Komunikasi eksternal pesantren? Bagaimana bentuk komunikasi Politik Kiai menghadapi
politisasi Pesantren?
1.4.
Tujuan
Penelitian
Bertolak dari rumusan
masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kenyataan lebih
detail tentang pola komunikasi yang terjadi di dalam lingkungan pesantren.
Komunikasi yang berlangsung secara internal organisasi baik di antara kiai
dengan santri dan horizontal sesama kiai dan sesame santri menyikapi penetrasi
kepentingan politik yang memasuki pesantren. Secara garis besar tujuan utama
penelitian adalah mengungkap komunikasi politik kiai dan sikap pesantren atas
masuknya kepentingan politik kekuasaan baik dari partai politik, maupun
kepentingan politik perseorangan.
Komunikasi politik yang
dilakukan para kiai, menjadi sorotan
utama mengingat bentuk interaksi sosial dan politik kiai-kiai NU notabene
berkaitan dengan tarik menarik antara masuk ke wilayah politik atau mundur dari
politik sebagaimana amanah organisasi yang mencanangkan kembali ke khittah
1926. Ketentuan itu mensyaratkan NU tak lagi terlibat dalam urusan kegiatan
politik praktis. Meski terjadi perubahan sosial yang menyentuh wilayah pesantren,
banyak cara yang dilakukan para kiai sebagai elit pesantren untuk menyiasati
keadaan lewat cara komunikasi politik yang elegan.
Tentu saja, beragam
interaksi dengan wilayah politik di luar pesantren, mempengaruhi pandangan kiai
terhadap persoalan-persolan kebangsaan sebagaimana selama ini menjadi pegangan
NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini selain akan
menggunakan parameter pandangan kiai tentang faham kebangsaan dengan mengungkap
pola komunikasi yang mereka lakukan, juga siasat kiai menghadapi kepentingan
kekuasaan.
1.5.
Penelitian
Sebelumnya
Ada banyak penelitian yang telah dilakukan
menyangkut keterlibatan politik NU dan komunikasi internal dan eksternal pesantren.
Beberapa diantaranya:
Wasisto Raharjo Jati,
penelitian tentang Ulama dan Pesantren Dalam Dinamika Politik dan Kultur
Nahdlatul Ulama, tesis Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta,
2008. Penelitian ini juga melihat relasi kuasa antara ulama dan pesantren dalam
dinamika politik Nahdlatul Ulama. Wasisto mengungkapkan elemen penting politik
dan kultur Nahdlatul Ulama, dan keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai politiknya nahdliyyin. Adanya konflik organisasi yang terjadi di PKB
turut mempengaruhi dinamika NU sehingga menimbulkan adanya
fragmentasi di antara
ulama dan pesantren.
Implikasinya adalah terjadi divergensi politik dan kultur antar para
ulama dan pesantren di basis wilayah NU yakni di Jawa Tengah maupun Jawa
Timur.
BAB
2
KERANGKA
KONSEPTUAL
2.1.
Komunikasi
Organisasi
Berdasar perspektif
tradisional (fungsionalis dan
obyektif), komunikasi organisasi cenderung menekankan pada kegiatan
penanganan pesan yang terkandung dalam suatu batas organisasional. Fokusnya
adalah menerima, menafsirkan dan bertindak berdasarkan informasi dalam suatu
konteks. Tekanannya adalah pada
komunikasi sebagai suatu alat yang
memungkinkan orang beradaptasi
dengan lingkungan mereka.
Sedangkan bila dipandang
dari perspektif interpretif,
komunikasi organisasi adalah proses
penciptaan makna atas
interaksi yang merupakan
organisasi. Komunikasi adalah
proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara dan
mengubah organisasi.
Perspektif komunikasi
organisasi mencoba melengkapi dan menyatukan keseluruhan pandangan
dalam analisis organisasi. Menambahkan faktor teknologi dan
pengaruh lingkungan luar organisasi sebagai faktor yang turut serta
mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi. Salah satu model yang dapat
digunakan untuk menggambarkan pendekatan ini adalah teori sistem.
Berdasarkan konsep
sistem, organisasi digambarkan
sebagai suatu yang
terdiri dari bagian-bagian yang
saling bergantung dan saling
berinteraksi, juga dengan lingkungannya. Organisasi sebagai suatu sistem
keberadaannya juga tidak terlepas dari sistem lain yang
lebih besar. Sehingga
kelangsungan organisasi dipengaruhi
oleh banyak hal,
diantaranya teknologi dan
faktor-faktor lain yang
terdapat dalam lingkungan suatu organisasi seperti lingkungan politik,
ekonomi dan sosial. Komunikasi berdasar perspektif integratif menerapkan
pola-pola komunikasi yang sangat bervariasi antara satu organisasi dengan
organisasi yang lain.
Pola komunikasi tergantung pada
fungsi dalam organisasi,
lingkungannya dan latar belakang
pendidikan dan sosial para anggota organisasi. Selain itu, perspektif ini juga
melihat bahwa komunikasi organisasi tidak hanya sebatas
pada komunikasi internal
tetapi juga melibatkan komunikasi
eksternal dengan para pelanggan,
komunitas, pemerintah dan aspek lain
dari lingkungan yang turut mempengaruhi
kelangsungan organisasi.
Pesantren Sebagai kesatuan
Organisasi dalam masyarakat memiliki karakteristik budaya yang membedakan
dengan beragam bentuk organisasi lainnya. Pendekatan budaya untuk melihat
organisasi pesantren menentukan proses pemahaman tentang perubahan
karakteristik masing-masing orang yang menjadi anggota organisasi tersebut dan
yang terlibat di dalamnya. (Pendekatan
Komunikasi Organisasi , dalam Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005,
Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson Wadsworth Chapter 9
dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika.
2.2.
Oligarki
Partai
Kajian sosial masa Orde
Baru didominasi wacana demokrasi dalam hubungannya dengan negara. Keadaan ini
berlangsung hingga kini setelah Orde Baru tumbang dan sistem politik demokrasi
ditegakkan. Hanya saja, banyak kalangan menilai demokrasi yang berjalan
hanyalah demokrasi elektoral. Ketika partai dengan kekuasaan di legislatif dan
ekskutif mulai mengambil alih negara dari tangan kekuasaan Soeharto dengan
militernya.
Kekuasaan dengan
demikian tak serta merta ada di tangan rakyat. Rakyat dalam pandangan oligarki
hanya dimanipulasi suara (voters) dalam pemilu untuk mendukung partai yang
mengklaim diri mewakili aspirasi mereka. Kehendak rakyat sebagaimana pengertian
demokrasi klasik aristoteles, jauh dari proses
politik dan kenegaraan. Dalam hal ini elit-elit politik partai dan yang
menduduki kursi ekskutif mulai menguasai kepentingan rakyat.
‘demos’ yang berarti rakyat
(voters), saat ini tidak dapat merepresentasikan diri dengan otonom atau lepas
dari kekuatan-kekuatan bisnis-politis yang mengendalikannya. Akibatnya,
demokrasi elektoral sulit mewujudkan definisi demokrasi. Melainkan pemerintahan
yang diperintah dan dikendalikan oleh segelintir orang yang oleh Aristoteles
disebut ”oligarki”.
Secara sederhana
pengertian oligarki berarti kekuasaan yang di pegang oleh segelintir orang atau
golongan. Term oligarki ini pertama kali dipopulerkan oleh Robert Michels,
dalam bukunya Political Parties (1915). Michels menemukan gejala oligarki elite
pada kasus Partai Sosial Demokrat (SPD), Jerman. Oligarki adalah sebuah
kontradiksi, apalagi bagi SPD yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun
tipikal keparta-iannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based
party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan
hitam-putihnya partai, termasuk dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
masa depan partai.
Tipikal partai semacam
ini seharusnya menempatkan kader sebagai tulang punggung partai karena
merekalah penggerak sekaligus penyumbang sumber daya finansial partai. Robert
Michels mempelajari bagaimana sistem kepartaian yang ada di Jerman, dan mencoba
merumuskan pemikirannya dengan sebutan “The Iron Law of Oligarchy” atau dalam
bahasa Indonesia berarti Hukum Besi Oligarki.
Salah satu fungsi
partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat
terhadap pemerintah, Partai timbul karena adanya sistem demokrasi yang
menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanan negara
secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik.
Rakyat adalah golongan
mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam
oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Namun,
yang perlu kita pahami adalah, apakah partai politik benar-benar menjalankan
fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat?
Setiap partai
membutuhkan bantuan finansial untuk menjalankan dan terus “memberi makan”
orang-orang yang ada didalamnya. Ini adalah faktor penting yang membuat Hukum
Besi Oligarki itu hidup. Layaknya manusia, organisasi-pun memiliki kebutuhan,
yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai
politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum
Besi Oligarki.
Secara langsung
dikatakkan dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik oleh Dr. Ichlasul
Amal bahwa “Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas
pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus, barang
siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara dengan oligarki”.
Pertanyaannya adalah apakah Partai Politik masih tetap konsisten terhadap
tujuan mulia sebagai wadah penyampai aspirasi rakyat?
Ketika sebuat partai
politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada
konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh
berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Pada akhirnya
partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk
mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi
rakyat dibelakangnya. Bukan murni dalam bentuk materiil kebaikan pengusaha
oligarkis partai ini dibalas.
Melainkan dari
keputusan yang setiap kader partai terpilih dalam parlemen untuk mampu
mempertahankan golongan penyokong partainya dan melupakan hakikatnya sebagai
Partai Politik harapan rakyat, Partai Politik pembela rakyat, dan yang ada
hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi
partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan
rakyat.
Pun dengan kenyataan di
Indonesia sejak masa reformasi 1998 hingga kini. F. Budi Hardiman Pengajar
Filsafat Poliik STF Driyakara dalam bukunya yang berjudul ‘Dalam Moncong
Demokrasi’, Kanisius, 2013 menyebut sampai menjelang Pemilu 2014, demokrasi di
Indonesia tidak juga menjauh dari moncong oligarki.
Dalam pengertiannya,
jika yang dominan dalam proses politik adalah kehendak rakyat maka itulah
sistem demokrasi. Tapi kalau dikuasai elit-elit yang dipilih oleh rakyat, maka
sistem politik tersebut terjebak pada oligarki. Kepentingan bangsa dengan
demikian tak lagi sesuai dengan aspirasi rakyat.
Penelitian ini tak
bermaksud mengurai lebih dalam tentang realitas politik yang sudah berubah.
Melainkan hendak mencari relevansi peran kiai dan pesantren dalam konstelasi
politik yang didominasi sistem oligarki partai tersebut. Dominasi para elit partai
membutuhkan sumber legitimasi massa melalui peran religious mereka. Ada
beberapa kiai yang terjebak pada arus politik semacam itu, ada kiai yang tetap
menjaga netralitasnya dan ada banyak yang antisipatif terhadap tangan-tangan
kekuasaan oligarki.
Kiai dan pesantren
bagaimanapun memiliki sejarah panjang dalam politik dan perhelatan terbentuknya
negara Indonesia.
Sejak awal terbentuknya
Indonesia, kiai dan pesantren adalah pemersatu beragam etnis dan suku bangsa
yang menyebar di seluruh daerah dengan menggunakan sentimen primordialisme agama.
Para santri yang datang dari seluruh daerah di nusantara, kemudian memiliki
ikatan agama dan emosional untuk membentuk satu kesatuan bangsa. Awal mulanya
kesatuan itu datang dari kesamaan agama karena sesame muslim. Indonesia
terbentuk dari gagasan para santri yang ada di aceh hingga ternate. Setelah
itu, mereka melawan bentuk penindasan kolonialisme dengan menggandeng
kelompok-kelompok lain yang non muslim untuk bergabung. Ide dasar sumpah pemuda
diuntungkan oleh kondisi sosial yang berkembang sebelumnya, dimana peran
pesantren di Jawa terutama menjadi ujung tombaknya.
Kini pandangan
kebangsaan di kalangan pesantren banyak yang mulai berubah seiring dengan
perubahan sosial dan politik. Banyak kepentingan pragmatis kekuasaan yang
mencengkeram wilayah-wilayah pesantren hanya untuk mendulang suara bagi partai
dan kekuasaan mereka.
Disinilah peran
komunikasi diantara pesantren dan kiai-kiai mereka menghadapi realitas politik yang
berubah. Penelitian ini menelisik sedikit untuk menyingkap sejauh mana
kepentingan oligarki memasuki ranah pesantren, tapi juga lebih fokus pada
bagaimana komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren menyikapi masalah
tersebut.
Tentu ada perbedaan
penafsiran di kalangan pesantren. para kiai tidak satu suara menyatakan sikap
politik mereka. Adakah pandangan pragmatis melatari komunikasi kiai? Ataukah
tetap teguh menghindar dari ranah oligarki, atau melawannya dengan pendidikan
dan kekuasaan yang mereka miliki? Komunikasi yang bagaimana yang dilakukan para
kiai tersebut agar para pengikut dan santri mereka memiliki wawasan dan
pandangan yang sama dengan kiai mereka.
Mengingat lemahnya kontrol
masyarakat di Indonesia, membiarkan demokrasi jatuh pada sistem oligarki akan
membawa implikasi besar pada keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokratisasi adalah sebuah perjuangan bersama.
Peran kiai dan
pesantren,-- yang memiliki sejarah panjang dalam berdirinya Indonesia,-- harus
punya komitmen tak hanya untuk menguatkan sistem negara hukum, melainkan juga
memberdayakan institusi masyarakat agar demokrasi bisa tegak kembali. Tanpa
komitmen itu, demokrasi hanya akan mengumpankan suara rakyat (demos) ke dalam
moncong oligarki sebagaimana terjadi sampai saat ini.
Penelitian ini mengambil
fokus pada dua hal. Pertama, bagaimana komunikasi internal pesantren. Kedua,
bagaimana komunikasi politik kiai saat berhadapan dengan kekuatan oligarki
partai dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaannya,-- baik tawaran
jabatan politis maupun organisasi di lingkungan Ormas NU. Bagaimana caranya ia
mempertanggungjawabkan sikapnya itu pada masyarakat dan khususnya pada anak
didik mereka. Disinilah, fokus penelitian tentang pola komunikasi politik
antara pesantren dan kekuasaan, khususnya komunikasi kiai dengan
kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Apakah sistem di
pesantren memiliki kaitan dengan kemandirian di bidang politik dan bagaimana
komunikasi politik yang terjadi selama periode pasca Orde baru 1998 hingga
sekarang (2013). Penentuan rentang waktu
penelitian ini berkaitan dengan terbentuknya kekuatan politik partai dengan
‘hukum besi oligarki’-nya yang lebih mendominasi pentas politik nasional.
Dominasi itu ditandai dengan minimnya (kalau tidak bisa dikatakan ‘ketiadaan’)
aspirasi masyarakat yang diwakili parpol tersebut baik dalam penetapan
kebijakan-kebijakan di parlemen maupun kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
Kenyataan adanya
dominasi ‘hukum besi oligarki’ di lingkungan parlemen dan pemerintah (ekskutif)
saat ini jejaknya bisa dilacak pada pada masa-masa sebelumnya.
Selama Orde Baru
berkuasa, Soeharto dengan dukungan militer dan parlemen mengkooptasi sejumlah
ormas dan organisasi politik untuk mendukungnya. Tak terkecuali, Ormas NU
dengan ribuan pesantrennya. Rezim Orde Baru tidak memberi peluang munculnya
kelompok—kelompok oposan. Tindakan represif dalam sistem politik yang otoriter
tersebut menyebabkan peran kiai dan pesantren di lingkungan NU mengambil sikap
berbeda. Tentu saja ada yang mendukung dan menolak menjadi bagian dari sistem
tersebut. Namun sebenarnya, tidak semua kiai dan pesantren dapat
diklasifikasikan pada dua kategori tersebut.
Melalui komunikasi
politik yang ‘cantik’, banyak kiai NU menyatakan dukungannya pada kepentingan
kekuasaan di waktu tertentu, namun di waktu lainnya, menolak. Sikap politik ini
menyesuaikan kondisi situasi politik yang berkembang. Ini menandakan betapa
faktor komunikasi menjadi perihal esensial selama masa Orde Baru yang otoriter tersebut.
Pun dengan masa-masa
setelah Pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada era kepemimpinan Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sikap dan
komunikasi politik yang seperti itu, masih menjadi pilihan. Banyak kiai yang menjatuhkan
dukungannya pada partai tertentu, dan pada waktu lain mereka berubah ke partai
lain. Bahkan menyangkut sikap politik pada masalah kebangsaan dan demokrasi.
Sikap para kiai NU tidak mungkin diseragamkan. Lalu pertimbangan apakah yang
membuat komunikasi politik para kiai dengan pesantrennya itu berbeda-beda?
Disinilah kita bisa
mengkaitkan latar belakang sosial, mulai dari pola interaksi dan komunikasi
yang dilakukan kiai dengan dunia internal (pesantren) dan eksternal (politik).
Apakah interaksi antar
kiai itu lebih menentukan pilihan-pilihan politiknya ataukah ada interaksi
lainya? Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, mengungkapkan
bahwa komunikasi diantara satu dengan kiai-kiai lainnya di lingkungan NU
merupakan tradisi yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam NU. Ini mencipkan
kondisi kebersamaan diantara kiai senior (sepuh) dengan kiai muda (santrinya),
baik dalam transfer ilmu agama maupun pengetahuan politik.
Umumnya santri yang
pernah ‘berguru’ pada kiai sepuh dan telah menjadi kiai, tetap teguh
menghormati dan mendengar pesan guru mereka (kiai senior). Alhasil, komunikasi
itu terus terjalin dan tak terputus meski santri yang telah menjadi kiai itu
menyebar di manapun. Faktor kiai kharismatik
juga menciptakan adanya
preferensi politik bagi kalangan warga NU. Faktor komunikasi seperti inilah
yang melatari penelitian ini untuk mengungkap pandangan pesantren NU menyikapi sistem
‘oligarki’ baik dari kekuasaan partai maupun kekuasaan pemerintah.
Tentu saja, ini memiliki
relevansinya dengan output pendidikan pesantren dan nilai-nilai yang diajarkan di
dalam sistem pendidikan internal oleh kiai-kiai mereka. Bentuk-bentuk
komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren memang telah berlangsung lama.
Dalam perkembangannya, meski komunikasi diantara kiai senior dengan kiai
muridnya itu tetap terjalin, namun dalam beberapa kasus tidak selamanya,
pilihan yang disarankan oleh kiai senior selalu ditaati.
Persoalan politik
merupakan pilihan pribadi masing-masing orang, termasuk para santri. Notabene
santri pun tak semuanya patuh pada ajakan kiai mereka untuk menjatuhkan pilihan
pada salah satu partai politik saja. Juga pada kepentingan kekuasaan pemerintah
maupun pilihan untuk memilih pada pemilu Pilkada. Hal ini jarang terjadi pada
masa sebelumnya.
Sehingga kita bisa
menyimpulkan meski pola komunikasi antar kiai tidak mengalami perubahan
mendasar, tapi ada perubahan pada hasil komunikasi yang terjadi. Komunikasi di
pesantren juga diwarnai dengan sumber pengetahuan yang tidak dating dari kiai
sebagai guru mereka. Para santri mudah mendapatkan ilmu dan informasi lainnya
dari dunia luar baik dari sistem pendidikan umum maupun akses internet.
Ini memungkinkan
perubahan pilihan politik mereka sehingga tidak semata pada ketetapan yang
dianjurkan oleh kiai pesantren tempat mereka belajar. Untuk mengetahui pola
komunikasi itu, peneliti menggunakan variabel eksternal dengan menelisik
pandangan masing-masing anggota pesantren saat menanggapi kepentingan oligarki
ini.
Oligarki juga disadari
oleh para santri telah menjamah wilayah pesantren. Peran kiai yang menganjurkan
untuk memilih salah satu partai menunjukkan itu. Dari sikap dan pandangan para
santri dan bahkan kiai-kiai yang mengasuh pesantren yang dimaksud, maka
bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren bisa diketahui.
Dari titik tolak
masalah politik dan kekuasaan yang memasuki pesantren, perbedaan pandangan dan
pilihan politik para santri cukup beragam. Pandangan dan pilihan politik
kiai-kiai yang mengasuh pesantren mereka pun juga beragam. Meski kiai utama
yang menjadi panutan di pesantren tersebut menjatuhkan pilihan politik pada
satu partai atau kekuasaan, tapi kiai-kiai lain yang juga menjadi pengasuh di
pesantren yang sama tak ikut-ikutan pada piliha sang kiai utama.
2.3.PESANTREN NU
Prof Dr H Samsul Nizar,
MA et Al dalam buku, “Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual (Pendidikan Islam
di Nusantara) mendeskripsikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam (tafaqqah fiddin) dengan menekankan pentingnya
moral sebagai pedoman hidup masyarakat. Penyelenggaraan berbentuk asrama yang
merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan seorang kiai yang hidup di
tengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan pembelajaran,
serta pondok-pondok seagai tempat tinggal santri.
Pesantren sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam tradisional pada umumnya menggunakan
sistem non-klasikal. Di lembaga ini seorang kiai mengajarkan ilmu agama islam
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad
pertengahan. Yang membedakan dengan pendidikan lain adalah adanya pondok (asrama)
untuk santri baik laki-kali maupun wanita.
Selain itu matapelajaran
pondok pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain; tafsir, ilmu tafsir, fiqih, ilmu ushul fiqh,
tauhid, tasawuf, nahwu, sharf, badi’,ma’ani, balagoh dan sebagainya. Semua
pelajaran merujuk pada kitab-kitab bahasa arab yang lazim disebut kitab kuning.
Sistem pendidikan di
pondok pesantren yang demikian biasa disebut pondok pesantren salafiyah. Dari
lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional ini
memiliki fungsi 1, transmisi dan transfer ilmu islam, 2, memelihara tradisi
islam, dan 3, reproduksi ulama. [7]
Dalam penelitian ini
pesantren yang dijadikan obyek penelitian merupakan pesantren modern yang selain
menggunakan matapelajaran dinniyah (ilmu kitab kuning) juga menggunakan
kurikulum pendidikan umum (Kemendiknas dan Kemenag) .
Untuk mengetahui
bagaimana kehidupan di pesantren yang menjadi basis sosial Nahdlatul Ulama (NU)
tersebut, perlu melihat bagaimana sistem budaya yang berkembang di lingkungan NU.
Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan NU merupakan Ormas yang secara struktural
tergabung dalam satu organisasi. Namun ia juga merupakan sebuah tradisi yang
dianut oleh pengikutnya yang biasa disebut “warga nahdliyin”. Pengikut NU
secara kultural ini yang menjalankan tradisi beragama dengan tata cara yang
telah diajarkan secara turun temurun oleh kiai-kiai mereka dalam rentang
sejarah.
Secara organisasi, NU
memiliki struktur yang membawahi pesantren yakni Rabithah Ma`ahid Islamiy (RMI) NU atau ikatan pesantren pesantren
Islam NU. Struktur nya mulai tingkat pusat sampai ranting (desa/pesantren).
Dalam Situs Resmi NU, yaitu, www.nu.or.id, disebutkan, per mei 2013 terdapat
24.000 pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia.[8]
Secara organisasi, NU
juga memiliki struktur komunikasi seperti umumnya dalam organisasi massa
lainnya.
Untuk melihat bagaimana
bentuk komunikasi internal dalam pesantren, penelitian ini menggunakan
perspektif komunikasi organisasi seperti yang dikemukakan Gareth Morgan, Image
of Organization, Beverly Hills, CA : Sage, 1986 dan Littlejohn,Stephen W &
Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson
Wadsworth Chapter 9 dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika).
Dalam teori struktural
klasik pengertian Organisasi sosial merujuk pada pola-pola interaksi social
yang terjadi dalam sebuah kelompok
sosial yaitu, kelompok atau kumpulan orang yang terbentuk, atas dasar
kesamaan kepentingan yang saling berhubungan dan melakukan interaksi social.
Hubungan yang terjadi ini menghasilkan aspek status sosial yang berbeda.
Jaringan hubungan dan kepercayaan bersama suatu kelompok ini yang biasanya
disebut dengan struktur.
Asumsi perpektif klasik
melihat organisasi dipahami sebagai tempat (wadah) berkumpulnya orang-orang
yang diikat dalam sebuah aturan-aturan yang tegas dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang telah terkoordinir secara sistematis dalam sebuah
struktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara dalam
perspektif modern, organisasi sebagai sebuah jaringan sistem yang terdiri dari
setidak-tidaknya 2orang atau lebih dengan kesalingketergantungan, input,
proses,dan output. Menurut pandangan ini, orang-orang (komunikator) bekerjasama
dalam sebuah sistem untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan energy,
informasi dan bahan-bahan dari lingkungan.
Di sisi lain organisasi
juga memproduksi situasi/lingkungan budaya/realitas social melalui pemaknaan
atas interaksi dalam organisasi. Organisasi terbentuk karena adanya interaksi
(komunikasi) yang terjadi antar anggota melalui pemaknaan atas symbol-simbol,
baik symbol verbal maupun non verbal. Pandangan ini berdasar perpektif
interpretasi simbolik.
Sementara bagi kaum posmodernime,
menempatkan organisasi dalam bentuk sistem yang rasional empiris. Sistem dalam
pengertian modernism adalah hubungan rasional dari berbagai unsure yang ada
dalam organisasi yang cenderung mengesampingkan intuisi dan pengalaman
individu. Postmodernisme juga menganggap bahwa organisasi sebagai tempat
terjadinya negosiasi kekuasaan, dominasi kelompok dan pertarungan kepentingan
sehingga perlu adanya rekonstruksi kekuasaan. Untuk itu postmodernime mencoba
memberikan ruang pada munculnya partisipasi anggota organisasi.
Untuk melihat pesantren
sebagai sebuah organisasi, keempat perspektif ini mampu memberi alternatif bagi
peneliti untuk memahami keberadaannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh.
2.4.
Komunikasi
Politik
Landasan teoritis penelitian ini berpijak pada teori komunikasi politik
yang dikembangkan Dan Nimmo yang meliputi; komunikan sebagai penyampai pesan
kepada komunikan, dengan menggunakan strategi untuk mencapai tujuan politiknya
berupa; kekuasaan, materi dan pangaruh. Dalam aplikasinya,
diniscayakan adanya proses dalam menjabarkan bentuk-bentuk komunikasi politik,
dalam hal ini dalam komunitas NU.
Tradisi komunikasi di
kalangan kaum nahdliyin tidak dapat dijelaskan secara terpisah dari
konteks sosial tempat komunikasi itu berlangsung. Ia senantiasa berkaitan
secara fungsional dengan situasi sosial dan budaya para pelakunya, seperti
terlihat pada komunikasi komunikasi
kiai-santri yang tidak bisa dijelaskan secara terpisah dari lingkungan
pesantrennya. Proses komunikasi ini bukanlah proses yang terbebas dari konteks
atau kenyataan-kenyataan sosial budaya yang melatarbelakangi para pelakunya.
Karena itu, pada setiap komunitas terdapat budaya komunikasi yang menjadi salah
satu identitasnya, khususnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan interaksi dan
pertukaran informasi yang mewarnai kehidupannya. Termasuk ke dalam hal ini
komunitas beragama yang juga memiliki ciri-ciri tersendiri bagaimana mereka memainkan
peran-peran komunikasi, baik di antara sesamanya (in-group) maupun
ketika berhubungan dengan komunitas yang ada di luar dirinya (out-group).
Dari berbagai literatur
yang dikaji mengenai komunikasi politik, umumnya dikaitkan dengan peranan
media massa dalam proses komunikasi yang
dilaluinya. Hal ini mencerminkan adanya kecenderungan peneliteian dan karya
yang terkait bentuk-bentuk komunikasi politik meliputi;
1). Retorika politik
Retorika politik atau
pidato politik merupakan suatu seni berbicara yang memiliki daya persuasi
politik yang sangat tinggi, dengan menggunakan bahasa lisan yang indah dan
memukau baik irama, mimik maupun intonasi suara sehingga pesan-pesan politiknya
sampai pada konstituen atau komunikan. Sebagian kalangan menganggap retorika
politik berbahaya jika kemudian digunakan sebagai medium propaganda.
2). Agitasi politik.
Agitasi politik adalah
suatu upaya untuk menggerakkan massa dengan lisan dan tulisan, dengan cara
merangsang dan membangkitkan emosi khalayak. Dalam hal ini seorang agitator
berusaha agar khalayak bersedia memberikan pengorbankan jiwa untuk mewujudkan
sebuah cita-cita politik. Agitator akan berusaha menimbulkan ketidakpuasan,
kegelisahan atau pemberontakan orang lain, baik melalui ucapannya atau melalui
tingkah lakunya. Namun agitasi cenderung berkonotasi negatif. Melalui agitasi,
seorang elite atau pemimpin mempertahanakan kegairahan para pengikutnya untuk
memperoleh kemenangan, yang akan diikuti oleh usaha-usaha selanjutnya dalam
serangkaian tujuan, terutama tujuan politiknya, baik berupa materi, kekuasaan
atau pengaruh.
3). Propaganda politik.
Propaganda politik
merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan
sistematik, untuk menggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan
mempengaruhi seseorang atau kelompok orang, khayalak atau komunitas yang lebih
besar (bangsa) agar melaksanakan atau menganut sebuah ide (ideologi, gagasan
sampai sikap) atau kegiatan tertentu atas kesadaran sendiri.
4). Public relations politik.
Public relations
politik merupakan suatu usaha atau kegiatan penyampaian ide atau pesan melalui
hubungan masyarakat, hubungan luar secara sadar dan sistematis dengan penekanan
kegiatan informasi dua arah secara timbale balik (two way traffic
communication). Dengan pola komunikasi dua arah tersebut, para politikus
selaku komunikator politik harus memperhitungkan perasaan, kemauan, kemampuan,
keinginan dan kebutuhan pokok rakyat. Maka mereka harus memiliki moralitas yang
baik di mata publik sehingga memperoleh kredibilitas dan menjadi teladan public
sebagai komunikator politik yang profesional.
5). Lobi politik.
Lobi politik merupakan
forum pembicaraan politik yang dalam perspektif komunikasi tercakup dalam
komunikasi persona, tatap muka dan dialogis. Mereka melakukan tukar pandangan
tentang suatu masalah dan kemampuan melakukan negosiasi, sehingga seorang
pelobi politik memiliki pengaruh pribadi dan
kepekaan.
6). Pola tindakan politik.
Pola tindakan politik mencakup lobi politik, retorika politik dan kampanye
politik. Sesungguhnya, tindakan politik dalam peristiwa
komunikasi politik yang bertujuan untuk membentuk citra (image) politik
bagi khalayak (masyarakat) dengan menggambarkan realitas politik yang memiliki
makna.
7). Kampanye politik.[9]
Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk
memperoleh dukungan politik dari rakyat. Kegiatan tersebut paling semarak sebab
melibatkan massa, misalnya kampanye kandidat dalam pemilihan presiden atau
kepada daerah (pilpres dan pilkada).
Masing-masing bentuk
komunikasi politik tersebut adalah untuk membangun citra politik, guna
mendulang suara atau membangun kekuatan politik yang diorientasikan pada
kekuasaan. Kampanye politik tersebut tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
media massa, baik media cetak maupun elektronik. Konsekuensinya, pendekatan
analisis yang digunakannyapun pada gilirannya lebih banyak menggunakan analisis
media massa, terutama berkaitan dengan teori-teori hubungan antara media dan
masyarakat, seperti teori tentang pesan, mekanisme penyebaran informasi yang
terjadi, serta efek-efek psikologis dan sosiologis yang ditimbulkannya.
2.4.1 Unsur-unsur
Komunikasi Politik
Adapun unsur-unsur komunikasi politik meliputi:
1. Komunikator politik.
Komunikator politik adalah individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan,
atau yang berada dalam suatu institusi, asosiasi, partai politik,
lembaga-lembaga pengelola media massa dan elite elite masyarakat. Komunikator
politik merupakan bagian integral dalam berlangsungnya proses komunikasi.
2. Komunikan politik.
Komunikan politik
adalah penerima pesan-pesan politik dari komunikator politik. Komunikan politik
dapat bersifat perorangan, kelompok, organisasi, masyarakat atau partai
politik.
3. Pesan komunikasi politik.
Pesan komunikasi
politik adalah pesan yang merupakan produk dari komunikator yang disampaikan
kepada komunikan. Dalam konteks komunikasi politik, maka pesan-pesan yang
diterima komunikan adalah pesan politik elite selaku komunikator. Dalam pidato
politik, pesan politik harus dilengkapai dengan pesan nonverbal (tidak
terucapkan) berupa gerakan, pakaian dari asesoris lainnya. Dalam pesan
nonverbal mempunyai fungsi repetisi (mengulang), subtitusi, kontradiksi
(menolak), komplemen (melengkapi) dan aksentuasi (menegaskan) pesan-pesan
politik yang sudah disajikan secara verbal.
Untuk itu sedikitnya
terdapat enam fungsi pesan nonverbal yang sangat penting dalam kommukasi
politik. Keenam hal tersebut Waft (1) mementukan makna dalam komunikasi
antarpersona; (2) perasaan dan emosi lebih cermatdisampaikan lewat pesan
nonverbal ketimbang pesan verbal; (3) menyampaikan makna dan masud yang relatif
bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan; (4) metakomunikatif atau lebih
memperjelas makna pesan; (5) lebih efisien; dan (6) sebagai sarana sugesti yang
paling tepat. Penyusunan pesan politik yang tepat sesuai dengan kondisi dan
khalayaknya, sangat tergantung dari politikus dan partai politiknya. Jika
politikus itu tidak cermat, pesan-pesan politiknya.
4. Media komunikasi politik.
Media komunikasi
politik merupakan alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik dari komunikator
kepada komunikan. Oleh karenanya, media merupakan alat atau bagian cukup
penting dalam sirkulasi komunikasi politik sehingga dapat tersosialisasikan
dengan baik. Tulisan Reese dan Shoemaker telah coba membuka tabir tentang
betapa pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang sangat memengaruhi isi
media. Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap isi suatu
media, di antaranya adalah pengaruh pekerja media (penyiar atau jurnalis),
pengaruh organisasi media, pengaruh ekstramedia, dan pengaruh ideologi.[10]
Peneliteian Reese dan Shoemaker tersebut menunjukkan bahwa pengaruh
"siapa" (menurut taksonomi Lasswell) atau "kelompok yang
memengaruhi isi media" (menurut Reese dan Sheomaker) atau juga
"komunikator politik" (yang oleh Nimmo disebut sebagai komunikator
profesional) dalam menyampaikan "isi pesan" ternyata tidak kalah
pentingnya dari pengaruh lainnya, seperti "media",
"khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang
dilakukan.
5. Sumber dan efek komunikasi politik.
Sumber komunikasi politik adalah asal keluarnya atau munculnya suatu isu
yang dapat dijadikan materi pesan politik. Sumber dari berasal
dari elite politik. Sementara efek komunikasi politik adalah pada respons komunikan
dalam mengimplementasikan pesan-pesan politik komunikator yang biasanya terdiri
dari elite politik. Efek yang cukup berhasil adalah terciptanya perilaku
komunikan atau khalayak, publik, terhadap pesan politik yang mereka akses.
2.5. Strategi dan Tujuan Komunikasi Politik
1. Strategi Komunikasi Politik
Keberhasilan komunikator politik menyampaikan pesan politiknya sangat
ditentukan pada strategi komunikasi politik yang dikembangkannya. Strategi
tersebut antara lain; memahami peta politik secara umum, mengenal kondisi
sosial komunikannya serta mampu memanfaatkan publikasi media.
Dalam strategi
komunikasi politik, memilah dan memilih metode yang tepat, sangat tergantung
pada kondisi dan situasi khalayak. Pada dasarnya, semua metode penyampaian atau
cara memengaruhi orang lain itu masing-masing dapat digunakan dan dapat
menciptakan efektivitas sesuai dengan kondisi khalayak. Metode-metode yang
disebutkan itu dapat saja dipergunakan secara bersama-sama sehingga kekurangan
yang satu dapat ditutupi oleh yang lain.
Dalam literatur ilmu komunikasi, dikenal beberapa metode yang dapat
diterapkan dalam strategi komunikasi politik. Anwar Arifin menawarkan beberapa
metode komunikasi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi dan situasi
khalayak, yaitu (1) redundancy (2) canalizing; (3) informative; (4) persuasive; (5) educative;
dan (6) cursive.[11] Penerapan metode tersebut dalam komunikasi politik dapat
berupa metode redundancy atau repetition, yang dapat diartikan sebagai upaya
memengaruhi dengan jalan mengulang-ulang pesan politik kepada khalayak seperti
yang dilakukan dalam perusahaan yang menawarkan barang dan jasa di dalan siaran
radio dan televisi. Dengan metode ini, banyak manfaat yang
dapat ditarik. Manfaat itu antara lain adalah khalayak akan lebih memperhatikan
pesan itu, karena pesan dilakukan berulang-ulang dart kontras dengan pesan lain
yang tidak diulang-ulang sehingga akan lebih menarik perhatian.
2. Tujuan Komunikasi Politik
Sementara itu,
komunikasi politik bertujuan bangun citra politik yang baik bagi khalayak.
Citra politik itu terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima, baik
langsung maupun melalui media politik, termasuk media massa yang bekerja untuk
penyampaian pesan politik yang umum dan aktual.[12] Citra politik
juga berkaitan dengan sosialisasi politik karena citra politik terbentuk
melalui proses pembelajaran politik. Sementara menurut Dan Nimmo, bahwa citra
politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian, dan
pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik.[13]
Selain itu, komunikasi
politik bertujuan untuk membangun citra politik yang baik bagi khalayak, maka
seorang elite dituntut secara maksimal membangun akses komunikasi politiknya
untuk mencapai cita-cita politiknya dalam meraih kekuasaan. Citra politik itu
terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima, baik langsung maupun melalui
media politik, termasuk media massa yang bekerja untuk penyampaian pesan
politik yang umum dan aktual.[14]
Citra politik juga berkaitan dengan sosialisasi politik karena citra
politik terbentuk melalui proses pembelajaran politik. Sementara menurut Dan
Nimmo, bahwa citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian,
dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik.[15]
Selain citra politik, komunikasi
politik juga bertujuan membentuk dan membina pendapat umum serta mendorong
partisipasi politik. Partisipasi politik sebagai tujuan politik dimaksudkan
agar individu-individu berperan serta dalam kegiatan politik. Salah satu bentuk
partisipasi politik yang paling penting ialah khalayak memberikan suaranya pada
politikus dalam pilkada, pilgub, pilpres dan partai politik dalam pemilu.
Pembentukan pendapat umum dalam komunikasi politik sangat ditentukan oleh media
politik, yakni media massa.[16]
3.
Pendekatan
Kultural Organisasi
Kajian sentral dalam
tradisi ini adalah tentang simbol-simbol dan pengertian yang membentuk suatu organisasi.
Tradisi ini memahami bahwa
dunia organisasi diciptakan oleh
anggotanya dalam cerita-cerita, ritual-ritual, dan pekerjaan tugas. Struktur
organisasi sesunguhnya tidak dirancang sebelumnya tetapi muncul dari
tindakan-tindakan anggotanya secara informal dalam aktifitas mereka
sehari-hari.
Penelitian pada budaya
organisasi menjadi penting mengingat organisasi sosial memiliki elemen-elemen
yang sudah ada sebelumnya yang saling bertindak dalam cara dapat diduga ke
asumsi bahwa ada pemaknaan yang terus berubah yang tersusun melalui komunikasi.
Budaya organisasi dapat dipengaruhi oleh tradisi sosiokultural dalam
komunikasi.
Dalam tradisi ini
organisasi memberikan peluang bagi adanya penafsiran budaya. Organisasi
menciptakan sebuah realitas bersama yang membedakan mereka dari organisasi
dengan budaya lain.
Gareth morgan
menjelaskan dalam hal ini pemaknaan bersama, pemahaman bersama, dan perasaan
bersama semuanya merupakan cara yang berbeda dalam menjelaskan budaya. Dalam membicarakan
budaya kita sebenarnya membicarakan sebuah proses pembentukan realitas yang
memungkinkan manusia melihat dan memahami kejadian, tindakan, objek, ucapan
atau situasi tertentu dalam cara yang
berbeda.
Pola-pola pemahaman ini
juga memberikan dasar untuk membuat perilaku seseorang berarti dan pantas.
Budaya organisasi adalah sesuatu yang dihasilkan melalui interaksi
sehjatuihariu da;amorganisasi bukan hanya tugas pekerjaan, tetapi semua jenis
komunikasi. [17]
2.6.
Pola Komunikasi
Pola komunikasi
diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses
pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dimensi
pola komunikasi terdiri
dari dua macam,
yaitu pola yang berorientasi pada
konsep dan pola
yang berorientasi pada
sosial yang mempunyai arah
hubungan yang berlainan.[18]
Tubbs dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan itu dapat
dicirikan oleh: komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer satu bentuk perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk
dan lainnya. Dalam
simetri, tingkatan sejauh mana
orang berinteraksi atas
dasar kesamaan. Dominasi
bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan.[19]
Disini kita mulai
melihat bagaimana proses
interaksi menciptakan struktur
sistem. Bagaimana orang merespon
satu sama lain
menetukan jenis hubungan
yang mereka miliki. Dari pengertian diatas maka
suatu pola komunikasi
adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau
lebih dalam proses
pengiriman dan penerimaan pesan
yang dikaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi
langkah-langkah pada suatu aktifitas
dengan komponen- komponen yang merupakan
bagian penting atas terjadinya hubungan
komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi. [20]
BAB
3
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1. Paradigma
Penelitian
Paradigma yang
digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Interpretif. Menurut Babbie
dalam Hennink (2011) paradigma adalah model atau framework bagi observasi dan mengerti apa yang kita
lihat dan bagaimana memahaminya. [21]Dengan
kata lain paradigma perspektif besar dan cara pandang kita dalam melihat
realitas, paradigma adalah kerangka acuan
kita dalam mengorganisir observasi kita dalam penelitian. Creswell
(2010) menyebutkan paradigma dengan istilah
worldview atau pandangan-dunia
sebagaimana Cuba (1990) dalam Creswell (2010) pandangan-dunia memiliki arti
kepercayaan dasar yang memandu tindakan.
Pandangan-dunia adalah orientasi umum terhadap dunia dan sifat penelitian yang
dipegang kukuh oleh peneliti. [22]
Paradigma interpretif
menurut Hennink (2011) merupakan respon dari paradigma positivistik atau
sosial science, yang merupakan paradigma dominan pada tahun 1970-an.
Paradigma interpretif memiliki aspek bagaimana memahami manusia, memiliki
pengalaman hidup orang-orang dan memahai sesuatu dari perspektif mereka sendiri
yang disebut juga perspektif emic, atau perspektif dari dalam.
Dalam penelitian ini,
dengan paradigma interpretif diharapkan dapat memahami dan menjelaskan
bagaimana komunikasi antar kiai yang berpandangan kaku, tradisional, modern, politis
dan apolitis.
Juga masing-masing karakteristik santri sehingga bisa didapatkan pemahaman mendalam
tentang apa, dan bagaimana masalah-masalah komunikasi antar elemen dalam
komunitas pesantren. Ikhtiar diarahkan pada upaya memahami bagaimana cara
pandang kiai dan santri terhadap diri
mereka sendiri serta bagaimana perspektif mereka terhadap pemikiran kiai dan santri lain yang berbeda
pendapat atas segala hal. Serta bagaimana komunikasi antar pemikiran yang
terjalin diantara mereka.
Demikian pula
sebaliknya, bagaimana cara pandang komunitas pesantren terhadap diri mereka
sendiri dan pesantren satu yang moderat memandang pesantren militan dan komunikasi antar budaya
yang terjadi antara sesama pesantren.
Dalam penelitian dengan
menggunakan paradigma interpretif sujektifitas, peneliti tentu saja akan
mempengaruhi hasil penelitian, latar belakang peneliti sedikit banyak akan
mempengaruhi interpretasi dari penelitian itu sendiri, tetapi perspektif yang
digunakan adalah bukan peneliti melihat lingkungan pesantren khususnya pesantren yang diasuh kiai dengan pandangan politis
dan yang tidak sebagai objek penelitian, namun bagaimana memahami secara
mendalam melalui sudut pandang kiai satu dengan kiai lainnya, santri satu dan
santri dari pesantren lainnya.
3.2. Pendekatan
Penelitian
Terkait dengan
paradigma interpretif adalah pendekatan kualitatif. Creswell (2010) menyebutkan
penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami
makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari
masalah sosial atau kemanusiaan.
Penelitian kualitatif
menerapkan cara pandang penelitian bergaya induktif, fokus terhadap makna
individual dan berusaha menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Dalam
Hennink (2011) penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam dari isu-isu penelitian dengan perspektif dari studi dan konteks pemikiran.
Penelitian kualitatif adalah cara yang paling pas untuk menjelaskan pertanyaan
‘mengapa’ dan pertanyaan ‘bagaimana’ untuk mendapatkan hasil yang mendalam
dalam menjelaskan sebuah proses atau perilaku.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan mendapatkan
pemahaman yang mendalam pada komunikasi di lingkungan pesantren yang melibatkan
faktor sehingga menghasilkan karakteristik pesantren NU yang berbeda-beda.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk menggeneralisir komunikasi antar kiai karena masing-masing kiai memiliki pengalaman keagamaan dan latar pendidikan
yang berbeda.
Pembatasan dua pesantren saja yaitu Al Amnaniyah, Ngawi yang di asuh KH. Wasik Amruri, dan
Amnaniyah II yang diasuh KH Taufik Amnan,
bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus dan dianggap cukup
mewakili karakter pesantren NU yang satu politis dan lainnya apolitis.
Alasan dua pesantren
ini menjadi obyek penelitian juga karena masing-masing kiai pengasuh memiliki
kepentingan politik yang berbeda. Satu kiai menolak tawaran menjadi pengurus
partai, sementara kiai lain menerima menjadi pengurus. Latar belakang perbedaan
pilihan itu turut memberi andil dalam menciptakan model pengajaran dan sistem
pengelolaan pesantren.
Ini cukup relevan
sebagai obyek penelitian karena tujuan penelitian yang akan mengungkap aspek
komunikasi politik memiliki kaitan dengan komunikasi internal di organisasi
pesantren. Gus Wasik dengan gaya dan karakter pribadi yang apolitis bahkan anti
politik, mendapatkan apresiasi positif dari para santri karena prinsipnya.
Sementara Gus Taufik
yang memilih terjun ke politik, tidak seperti itu. Ia mendapatkan penilaian yang berbeda karena
pandangan santri dan masyarakat pada umumnya tentang politik masih apriori. Ada
semacam anggapan tentang kegagalan komunikasi politik yang dijalankan Gus
Taufik, sehingga persepsi di masyarakat jadi buruk.
Para santri dari
masing-masing pesantren juga memiliki alasan berbeda menyangkut pilihan politik
kiai mereka. Khalayak umum pun memang lebih menghormati Gus Wasik meskipun
memilih untuk tidak berpolitik adalah sebuah pilihan politik juga.
Dari dua komunitas pesantren
dan masyarakat yang terlibat di dalamnya, peneliti anggap cukup mewakili tujuan
penelitian khususnya untuk mengetahui komunikasi politik yang berlangsung di
dalam dan luar pesantren. Tentu saja menyangkut bagaimana persepsi masyarakat
dan para santri terhadap kiprah mereka dalam kehidupan sosial.
3.3. Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode partisipatif dan sosiolinguistik dimana peneliti terjun
langsung dan tinggal dalam waktu tertentu bersama-sama santri Al Amnaniyah I
dan II. Menurut Hennink (2011) sosiolinguistik secara literal adalah deskripsi
dari bahasa kemunitas. Hal ini merupakan pendekatan penelitian yang
menghasilkan deskripsi dari cara hidup dari sebuah komunitas. Unit dari penelitian
adalah adalah suatu kelompok atau komunitas pesantren dan peneliti mengharapkan
pemahaman yang holistik dari komunitas pesantren tersebut.
Dalam studi sosiolinguistik
dan partisipatif peneliti tinggal dan berpartisipasi bersama-sama dengan masyarakat,
observasi juga menjadi salah satu sarana yang penting untuk mengumpulkan data.
Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu pada bulan Maret – Desember 2013
bertempat di Pesantren AlAmnaniyah I dan II, Desa Talok, Kecamatan Karangjati,
Kabupaten Ngawi.
3.4. Metode
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini
digunakan tiga cara dalam pengumpulan data yaitu in
depth interview, observasi dan tinjauan referensi. Menurut Patton (2002)
data kualitatif dapat terdiri dari kutipan hasil wawancara langsung, observasi
langsung di lapangan dan dari dokumen-dokumen tertulis sebelumnya.
Pada penelitian ini
peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi pola
komunikasi antar kiai di lingkungan NU, peneliti juga melakukan wawancara
mendalam terhadap beberapa informan di lapangan serta mengumpulkan data-data
lain yang dibutuhkan dari referensi-referensi sebelumnya.
Pada saat melakukan
penelitian di dua pesantren di Karangjati Ngawi, peneliti tinggal menginap di asrama
santri setempat, dan tempat menginap juga atas rekomendasi kiai pengasuh, dan
dari situlah di dapatkan informasi seputar paham, keyakinan, dan
pandangan-pandangan keagamaan dan politik kiai dan santri terhadap permasalahan
sosial sekitar.
Strategi pemilihan
informan di lapangan menggunakan
intensity sampling, dan criterion sampling. Patton (2002) menyebutkan sampel intensitas
adalah memilih sampel yang dianggap memiliki informasi yang kaya dan mendalam
tentang isu dan permasalahan di lapangan. Sedangkan sampel kriteria adalah memilih
informan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mendapatkan informasi.
Sampel intensitas dalam
penelitian ini adalah informan-informan dari kalangan santri yang dianggap
lebih ber’ilmu’ dan menguasai wawasan yang cukup mendalam baik dalam bidang agama dan sosial. Diantara
informan itu, alumni pesantren Al Amnaniyah I yang menjadi guru di pesantren
tersebut Kang Subakir, dan alumni pesantren yang mendirikan pesantren baru di
desa Bringin, Sawilan dan Sugeng. Selain itu para santri senior, dan pegawai
yayasan Alamnaniyah I dan II untuk mengungkap praktik money politic di NU Ngawi
dan juga para tim sukses kandidat Ketua PCNU terpilih, M Kalam.
3.5. Metoda
Analisis Data
Pada penelitian kali
ini analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Baxter dan
Babbies (2004) menyebutkan analisis data kualitatif adalah proses-proses
kreatif namun terintegrasikan dalam langkah-langkah yang sistematis, sehingga
bersifat fleksibel namun masih memiliki koridor-koridor yang jelas. Hasil dari
analisis wawancara akan digabungkan dengan hasil observasi dan hasil data-data
dari referensi sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang
isu-isu yang berada dalam ruang lingkup penelitian. Pemaparan dari hasil
analisis data akan dimasukkan dalam hasil dan pembahasan penelitian. Dari
penggabungan antara analisis wawancara, hasil observasi dan rujukan
penelitian-penelitian sebelumnya diharapkan akan didapatkan gambaran yang mendalam
tentang komunikasi di antara semua variable penunjang keberadaan komunitas dua
pesantren atau lebih.
Patton (2002)
menyebutkan kriteria keabsahan dari penelitian
kualitatif dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya adalah validitas dan kredibilitas
hasil penelitian, hasil penelitian dapat dikatakan valid apabila hasil yang
disampaikan sama dengan apa yang diamati di lapangan, namun demikian pada
penelitian kualitatif, validitas tidak bersifat tunggal tetapi jamak karena
dipengaruhi juga oleh subjektivitas dan latar belakang peneliti. Kriteria
lainnya adalah konfirmasi, hasil penelitian ini harus dapat dikonfirmasi di
lapangan apa yang terjadi di lapangan baik proses maupun data dapat di kroscek
ulang. Hasil penelitian juga harus dapat
di audit pada keseluruhan proses
penelitian (dependability).
Beberapa hal lainnya adalah dasar teori yang digunakan baik
komunikasi politik, konsep tentang oligarki partai untuk mengetahui sejauh mana
perilaku dan kegiatan para kiai di daerah itu menyikapi persoalan-persoalan
yang mereka hadapi.
Kerangka berfikir dari
para kiai itu memiliki kesamaan dengan para elit NU atau tidak, semua bisa
dilihat dari parameter analisa sosial politik yang terjadi. Dari situ, perlunya
konsep komunikasi politik yang berkembang di lingkungan NU pada satu dasawarsa
belakangan. Pengetahuan tentang itu, membantu kita mencermati gejala yang
terjadi di lapangan. Begitupun dengan konsep tentang organisasi NU, Oligarki
partai dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan mereka.
Selain itu juga tentang
lamanya waktu penelitian, metoda sosiolinguistik dalam penelitian ini
membutuhkan waktu yang lama dalam mengamati proses-proses komunikasi di
lingkungan pesantren. Semakin lama waktu penelitian diharapkan pemahaman yang
di dapatkan akan semakin dalam. Pemilihan informan juga mempengaruhi keabsahan
dari penelitian, informan yang dipilih harus memiliki wawasan yang kaya akan
bahasan yang menjadi fokus dalam penelitian, selain itu pemilihan informan harus relevan dengan
tema-tema utama pada penelitian.
3.6. Pola Komunikasi
Bertolak dari kerangka
teori di bab II, penelitian ini memfokuskan diri pada pola komunikasi yang
terbentuk di komunitas pesantren, dengan beberapa bentuk hubungan antara dua orang atau
lebih dalam proses
pengiriman dan penerimaan pesan
yang dikaitkan dua komponen interaksi.
Interaksi pertama
bersifat horizontal dan kedua vertical. Horizontal melibatkan kiai dengan kiai,
santri dengan santri, sementara vertikal antara santri dengan kiai. Pola
komunikasi itu ditandai dari gambaran atau rencana dari anggota organisasi
pesantren, yang meliputi langkah-langkah menyikapi kondisi dan perubahan
lingkungan dan sikap itu merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan
komunikasi diantara mereka.
Titik tolak pada pola
komunikasi itulah yang mengantar argumentasi pada kajian bahasa
(sosiolinguistik) yang dilakukan anggota komunitas tersebut. Dalam hal ini,
pengungkapan perasaan, kesan dan simbol-simbol bahasa tertentu yang digunakan
baik kiai maupun santri memiliki relevansinya dalam studi tentang pola
komunikasi tersebut.
BAB
4
PEMBAHASAN
DAN ANALISA DATA
4.1.
Ponpes
Al Amnaniyah Ngawi
4.1.1.
Pengasuh Ponpes Al-Amnaniyah
KH Wasik Amruri (Gus Wasis) menjadi pengasuh Pondok
Pesantren Al-Amnaniyahh, di desa Puhti Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi
Jawa Timur, setelah menggantikan ayahnya KH Soleman (Gus Sol) 1993. Sejak awal
berdirinya pesantren NU ini ia tidak pernah melibatkan diri dalam urusan
politik praktis. Kegiatan pengajaran dilakukan secara terpisah antara
pendidikan khusus ilmu agama (Diniyah) di pesantren dan pendidikan formal mulai
madrasah, tsanawiyah, hingga aliyah. Bangunan pesantren yang diasuhnya
terpisah-pisah berdasarkan sistem pendidikan yang diajarkan. Pengajaran
dinniyah dilakukan di lokasi pesantren yang ada di Desa Talok, Karangjati,
Ngawi, mengikuti sistem sebelumnya secara turun temurun setelah ia menggantikan
peran sang ayah KH Soleman yang meninggal akhir 90-an. Sementara sang kakak, KH
Taufik Nurazis atau yang lebih dikenal dengan Gus Taufik awalnya menjadi satu
bagian dari pengasuh pesantren, sebelum akhir 1999-an ia memisahkan diri dari
pesantren keluarganya.
Gus Taufik menggabungkan diri dengan partai
kebangkitan bangsa kabupaten Ngawi. Ia dikenal memiliki afiliasi kuat atas
pemikiran Gus Dur, dan sejak 1998 ia aktif di Dewan Pengurus Cabang Kabupaten
Ngawi, sebagai sekretaris umum. Sejak awal pemilu legislatIe, ia terpilih
sebagai anggota DPRD Kabupaten Ngawi dari Partai Kebangkitan Bangsa. Bahkan
saat ini ia masih menduduki jabatan itu.
Kegiatan politik, mengantarkan gus taufik memiliki
banyak jaringan dan dukungan dari kalangan warga NU. Sejak menggantikan sang
ayah mengasuh pesantren NU yang juga peninggalan dari sang kakek KH Mohamad
Amnan, sejak itu pula basis dukungan kepadanya berasal.
Gus Taufik awalnya tidak tertarik pada partai
politik karena sesuai pandangan umum di lingkungan keluarganya, pesantren dan
NU tidak boleh berpolitik. Namun sejak pendiri PKB, KH Abdurrahman Wahid
memiliki pandangan berbeda dengan para kiai NU lainnya tentang politik, maka
pemikirannya terhadap hubungan NU dan politik pun berubah. Ia mendukung gagasan
Gus Dur untuk melibatkan diri di bidang politik untuk membumikan
prinsip-prinsip moralitas NU menyebar di ranah pemerintahan.
Dalam perkembangannya, perubahan pandangan tersebut,
tak selamanya bertahan. Seiring dengan perkembangan sosial, kegiatan politik
yang bertujuan mulia, sedikit demi sedikit mengalami distorsi. Kepentingan
untuk mendapatkan dukungan dan kekuasaan, baik di legislatIe maupun ekskutif,
menjadi lebih dominan dan kegiatan yang mengedepan pada akhirnya adalah ikhtiar
mencari dukungan riil dari masyarakat.
Dan basis dukungan para kiai NU itu tentu tak jauh
dari pesantren tempat mereka hidup dan besar.
Apalagi dengan jumlah lulusan pesantren yang cukup besar. Mereka tentu
masih memiliki ikatan emosional dengan pondok pesantren dan kiai pengasuh
tempat mereka belajar dulu.
Pun dengan pesantren Al Amnaniyah. Para santri yang telah menimba ilmu di
pesantren yang berdiri sejak 1918 ini, cukup banyak dan menyebar di seluruh
kawasan kabupaten Ngawi dan sekitarnya. Di kalangan warga NU, pesantren Al
Amnaniyah yang ada di desa Puhti (Talok) cukup dikenal seluruh warga Jatim
bagian barat. Mengingat usia pesantren yang cukup tua, maka tak pelak lulusan
pesantren yang ada di seluruh daerah Ngawi cukup banyak dan potensial bagi
basis dukungan politik baik di tingkat lokal kabupaten maupun regional
provinsi.
Kondisi ini dimanfaatkan Gus Taufik untuk meraih
simpati bagi pencarian suara pemilihan legislatif untuk daerah ngawi. Sementara
sang adik, Gus Wasis, lebih memilih menjauh dari arena politik. Dua perbedaan
pandangan antara dua pengasuh pesantren Al Amnaniyah ini menjadi contoh terbaik
bagi potret riil pesantren NU di Jatim, Jateng, dan daerah lain di Tanah Air.
Ada yang khas dari kenyataan pesantren-pesantren NU
tentang pilihan afiliasi politik mereka. Meski secara structural dan cultural
pesantren NU tidak mengijinkan terlibat dalam urusan politik praktis, namun
para pemimpin dan pengasuh pesantren acapkali memainkan peran indIidual mereka
dengan tidak mengatasnamakan pesantrennya, untuk terlibat dalam bidang politik.
Mereka menggunakan dalih hak pribadi sebagai warga negara yang sah untuk
dicalonkan sebagai anggota legislatIe, kepala daerah maupun kepala negara.
Hal sama dilakukan pengurus NU baik di tingkat
provinsi (PWNU) dan bahkan di PBNU. Tak sulit mencari bukti keterlibatan mantan
Ketua Umum PBNU periode-periode
sebelumnya yang mengajukan diri sebagai pribadi menjadi calon presiden dan
wakil presiden pada pemilu-pemilu lalu. Sebut saja, Mantan Ketua Umum PBNU, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Hasyim Muzadi. Saat didaulat oleh Megawati
Soekarnoputri untuk mendampingi nya sebagai cawapres pada pemilu 2009 lalu,
Hasyim berdalih bahwa ia memiliki hak politik sebagai pribadi bukan organisasi
(PBNU). Hal sama dilakukan para kader dan pengurus NU lainnya baik di pusat
maupun di daerah.
Kenyataan politik yang mempengaruhi kehidupan pondok
pesantren Al Amnaniyah, tak dapat dielakkan akan memberi konskuensi sosial
masyarakat sekitarnya. Tidak hanya itu, para alumni pesantren tersebut,
terpilah pada bermacam pandangan menyangkut kemandirian pesantren NU sebagai
tempat belajar mengajar dan menyebarkan ajaran-ajaran ahlu sunnah waljamaah,
dengan tempat pencarian dukungan politik para pengasuhnya.
Sementara
bagi pengasuh pesantren, pesantren dilihat tetap sebagai pusat
penyebaran ilmu pengetahuan Islam dan ajaran-ajaran mulia para ahli agama yang
merintis sistem pengajaran secara turun temurun. Namun, di sisi lain, pesantren
juga bisa menjadi sarana pengajaran tentang masalah-masalah di luar ajaran
agama seperti problem sosial, politik dan ekonomi.
Dalam kerangka itu, pesantren membawa misi
menyadarkan masyarakat untuk menjalankan prinsip hidup yang jujur, benar, dan
toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa. Penyadaran inilah yang menjadi tugas
para kader pesantren NU untuk terjun di wilayah politik. Gus Taufik
mengungkapkan bahwa tugas mulia KH Abdurrahman Wahid justru lebih berat di
bidang politik, karena harapan membumikan nilai-nilai luhur NU di parlemen dan
pemerintahan tidaklah mudah.
Tugas berat itulah, yang kini juga mesti dilakukan
para kader NU baik para pemimpin NU di lingkungan pesantren maupun non
pesantren (structural) untuk turut bertanggungjawab dan ikut membenahi sistem
politik yang bobrok. “Jadi kalau kita hanya ngurusi pesantren
saja, itu kurang luas pengaruh perubahannya. Kita hanya mengubah kesadaran para
santri saja sementara masyarakat luas tidak menjangkau nilai-nilai kebajikan
yang terkandung dalam ajaran NU. Nilai-nilai mulia yang dianut NU seperti
tawasuth, tawazun dan tasamuth, hanya dikenal di lingkungan pesantren saja. Ini beda kalau kita keluar
dan berjuang membumikan ajaran itu melalui lembaga-lembaga politik yang ada di
luar pesantren. disitulah kita perlu mempertimbangkan aktfiitas politik bagi kader NU,”
kata Gus Taufik (wawancara November 2013).
Perbedaan pandangan dalam hal politik, meniscayakan
perbedaan dalam pola pengasuhan pesantren Al Amnaniyah. Sang adik, Gus Wasik,
menolak semua partai politik menggunakan pesantrennya untuk kegiatan pencarian
dukungan. Sementara Gus Taufik memberi kelonggaran kepentingan partai politik
masuk.
Guna menjaga netralitas saudaranya yang mengasuh Al
Amnaniyah itu pula, Gus Taufik mendirikan pesantren baru Al Amnaniyah II di
tempat lain. Sejak akhir 1998-an, yayasan Al Amnaniyah II didirikan dengan
membangun sistem pendidikan dengan kurikulum Diknas mulai tingkat TK, SD, SMP
dan SMK. Meski dengan sistem pendidikan umum yang mengikuti kurikulum
Kementerian Pendidikan Nasional, namun tetap menerapkan waktu pendidikan
dinniyah pada malam sore dan malam hari. Di Al Amnaniyah 2 juga disediakan
asrama yang mampu menampung 300 santri dan santriwati.
Secara formal kurikulum pendidikan formal di
pesantren yang masih dibawah yayasan Al Amnaniyah itu juga menerima murid yang
sekaligus bisa menjadi santri seperti halnya di Al Amnaniyah I. Meski berbeda
kurikulum, namun metode pengajaran dua pesantren yang masih dalam satu atap
(yayasan) itu, memiliki kesamaan pada pengajaran kitab-kitab kuno sebagaimana umumnya pendidikan pesantren NU. Dalam satu
minggu, baik di Al Amnaniyah I dan II membuka pengajian rutin baik untuk
kalangan santri-santrinya dan juga untuk kalangan umum, sehingga dari sini
ajaran-ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah tetap lestari. Untuk pengajian rutin dilakukan
di beberapa ruang pesantren dan masjid yang ada didalamnya, sementara pengajian
umum dilakukan di pondok tersebut dengan melibatkan semua warga masyarakat
sekitar yang berminat mendalami ilmu alquran. Sementara sistem pengajaran di Al
Amnaniyah II pengajian khusus untuk santri ditiadakan dan lebih memilih
pengajian umum saja, serta pendidikan umum mulai TK sampai SMK sesuai kurikulum
Diknas.
4.1.2.
Komunikasi Organisasi
Pondok
Pesantren Al Amnaniyah I dan II yang berada di bawah yayasan AlAmnaniyah Karangjati
Ngawi, adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang telah berdiri sejak 1944.
Dalam perkembangannya pondok pesantren yang paling besar di kota ngawi bagian
timur ini bukan lagi sekedar organisasi kecil yang terdiri dari kiai dan
santri, namun bisa digambarkan sebagai miniatur NU. Pondok Pesantren ini
memiliki sebuah struktur serta sistem
organisasi dan seperangkat peraturan yang mengikat seluruh komponen organisasi.
Pondok Pesantren Al-Amnaniyah (untuk menyebut Alamnaniyah I) dipimpin oleh seorang
kiai yang berlaku sebagai ketua umum yang disebut Dewan Pimpinan Majelis, serta dibantu oleh beberapa orang kiai
sebagai koordinator bidang, yang disebut sebagai Dewan Majelis. Kemudian
dibantu oleh Dewan Guru serta
Dewan Harian yang termasuk didalam
nya para santri yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan.
Santri adalah sebuah sebutan bagi seseorang yang
belajar agama di pondok pesantren. Santri bisa dibedakan menjadi dua kelompok,
yakni santri ngajak dengan santri mondok.
Santri ngajak merupkakan santri yang tidak tinggal atau menetap di dalam
pondok, mereka hanya datang untuk mengaji kemudian pulang ke rumah. Sedangkan santri mondok adalah santri
yang tinggal dan menetap di asrama yang telah disediakan oleh pondok pesantren,
santri seperti inilah yang lebih terikat terhadap ketentuan pondok pesantren.
Banyaknya
jumlah santri yang bermukim di pondok pesantren menyebabkan mereka
dibagi dalam beberapa asrama putra dan putri, setiap asrama diasuh oleh seorang
Kiai (Gus) yang masih keturunan dari pendiri pondok Pesantren Al-Amnaniyah.
Fenomena komunikasi organisasi yang terjadi di
Pondok Pesantren Al-Amnaniyah umumnya berjalan dengan lancar. Mulai dari santri
awalnya tidak saling kenal menjadi kenal
bahkan ada yang menjadi akrab, kemudian mereka berinteraksi sehingga
dapat menjadi bekerjasama dalam satu tim dengan baik. Hubungan santri dengan
pengasuh juga berjalan dengan baik,
karena ditengah padatnya kesibukan seorang kiai, sebagai pesangasuh
beliau selalu menyempatkan diri untuk mengawasi
dan beriteraksi dengan santri- santri mereka seperti saat mengimami
shalat berjama’ah atau ketika memberikan pengajian.
Demikian pula dengan santri, mereka selalu menjaga
hubungan baik dengan para pengasuh,
karena para pengasuh bukan lagi sekedar guru melainkan sebagai pengganti orang
tua bagi para santri. Dengan adanya interaksi antar indIidu akan menimbulkan
proses belajar baik bersifat kognitif maupun afektif, menyampaikan dan menerima
pesan serta dapat menyesuaikan diri meskipun secara umum komunikasi berjalan
lancar namun ada pula hambatan yang menghalangi selama melakukan proses
komunikasi baik persoalan subyektif maupun obyektif.
Pondok pesantren memiliki cara yang khas serta
berbeda dengan lembaga pendidikan
lainnya dalam menunjukkan rasa hormat seorang murid (santri) kepada gurunya
(kiai), rasa hormat ini mereka tunjukkan
dengan cara berkomunikasi yang mereka lakukan. Cara berkomunikasi yang mereka
lakukan bukan hanya sekedar komunikasi verbal saja tapi juga yang sifatnya non
verbal seperti jarak yang digunakan ketika santri berkomunikasi dengan kiai,
cara berbicara dengan kepala tertunduk, berjalan membungkuk dan sebagainya
merupakan contoh komunikasi non verbal antara santri dan kiai. Cara
berkomunikasi seperti ini merupakan tradisi yang berawal dari satu kebiasaan
untuk sebuah penghormatan kepada guru namun kebiasaan ini akhirnya turun
temurun menjadi satu tradisi dari generasi ke generasi.
Pondok Pesantren Al-Amnaniyah mengajarkan sebuah
kitab mengenai adab ta’lim mutaalim (tata cara mencari ilmu serta berperilaku
kepada guru), salah satu cara yang diajarkan untuk memperoleh ilmu yang
bermanfaat dan barokah adalah tawadhu’ kepada guru. Tawadhu’ berasal dari
bahasa arab, dari akar bahasa wadho’a yang artinya adalah merendahkan diri atau
tunduk patuh (adab). Berdasarkan pemahaman dari ilmu inilah yang
menyebabkan seorang santri harus berlaku tawadhu’ (hormat) kepada guru (kiai) .
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan
menyebarnya arus globalisasi, menjadikan
tradisi yang telah ada sejak lama
mulai memudar. Para santri yang dulunya bila bertemu dengan kiai
selalu menunjukkan rasa hormat (saliman,
berjalan membungkuk, kepala tertunduk),
atau paling tidak memberikan
salam. Kini sudah mulai meninggalkan
budaya-budaya serupa, budaya semacam ini tidak terlalu berpengaruh jika
dilakukan di lingkungan luar pondok pesantren namun dalam dunia pesantren
ini merupakan suatu kemunduran moral. Sedangkan
tujuan umum dari sebuah pondok pesantren adalah menghasilkan seorang yang ahli
dibidang agama memiliki moral yang baik sehingga menjadi teladan bagi
masyarakat disekitarnya. Tentu kemunduran moral ini sangat memprihatinkan dan
sudah tidak sesuai dengan tujuan umum pondok pesantren.
Seperti
organisasi lainnya, Pondok Pesantren Al-Amnaniyah juga memiliki visi,
misi serta tujuan umum yang akan dicapai, dan untuk dapat mencapai suatu tujuan
maka perlu untuk menciptakan suatu iklim
komunikasi yang baik antara pimpinan
(Dewan Kiai) dan anggota
organisasi (Dewan Harian dan Santri). Berangkat dari studi kasus diatas
peneliti, ingin mengetahui komunikasi organisasi yang terjadi Pondok Pesantren
Al-Amnaniyahh, yang nantinya ini akan dapat digunakan sebagai acuan dalam
memperbaiki kualitas komunikasi yang sudah ada sehingga dapat dengan mudah
mencapai tujuan organisasi (Pondok Pesantren Al-Amnaniyah I dan II Ngawi)
4.1.3. Ketauladanan Kyai
Upaya pembinaan kepribadian santri di pondok
pesantren lebih banyak dilakukan dalam bentuk hubungan timbal balik antara Kyai
dengan para santrinya baik secara personal maupun kelompok, yang tampil secara
wajar tidak dibuat-buat sehingga menimbulkan keakraban. Hubungan semacam ini
sangat efektif dalam upaya pembinaan kepribadian santri, karena para santri
melihat langsung keteladanan kyai dalam berbagai segi.
Kyai banyak menghabiskan waktunya untuk kepentingan
pesantren, setiap santri diperhatikan perilaku dan prestasi belajarnya secara
teliti. Pengawasan dilakukan dalam berbagai aktIitas belajar, beramal dan
perilaku sehari-hari. Melalui para
anggota Dewan Kyai, Dewan Guru, pengurus Dewan Santri dan para pengurus asrama
yang mengawasi secara langsung, Kyai dapat mengetahui para santri yang taat,
berprestasi atau yang suka melanggar peraturan. Bagi santri yang berakhlak
mulia, cerdas dan rajin diberi perhatian khusus dan diberi bimbingan
secukupnya, karena mereka diharapkan kelak akan menggantikan posisi Kiyai. Oleh
karena itu tidak jarang santri yang berprestasi dalam bidang pengajaran dan
perilakunya terpuji dijadikan mantu oleh Kyai. Kyai di pondok pesantren
dijadikan sebagai figur sentral bagi keluarga, para santri, dan masyarakat
sekitarnya, karena disamping beliau sebagai kepala keluarga, guru dan pimpinan
pesantren, juga Kyai dianggap sebagai tokoh masyarakat. Kesedernanaan,
kepiawaian, ketawaduan dan keikhlasan dalam penampilan kehidupan sehari hari,
merupakan ciri khas penampilan Kyai Salafiyah. Keharmonisan hubungan Kyai
dengan keluarganya merupakan pencerminan dari sebuah keluarga bahagia (keluarga
sakinah). Situasi semacam ini membawa kesan yang sangat mendalam bagi santri
dalam mempersiapkan diri sebagai kepala keluarga, tokoh masyarakat, dan sebagai
ulama. Dengan demikian pembinaan kepribadian di pesantren lebih banyak
ditampilkan dalam bentuk keteladanan Kyai dan keluarganya. Namun demikian kita
tidak bisa menutup mata bahwa di antara keluarga Kyai baik putra atau karib
kerabatnya ada yang menempatkan diri seperti kyai sepuh, hal ini merupakan
pemandangan yang kurang enak dilihat dan bisa menjatuhkan wibawa kyai dan
wibawa lembaga pesantren itu sendiri.
4.1.8 Komunikasi Pendidikan di Pesantren Al
Amnaniyah
Hasil pengamatan langsung peneliti terhadap situasi
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Al Amnaniyah, khususnya dalam
komunikasi antara Kyai dengan Santri dipandang sangat padat dengan muatan
nilai-nilai edukatif. Bila Kyai menyuruh, marah, berkelakar, atau mengumbar
humor, semuanya dalam konteks pembinaan pribadi santri, sampai tindakan Kyai di
luar kesengajaan untuk melakukan upaya pendidikan, akan ditafsirkan santri
sebagai tindakan yang disengaja karena sudah terbina kepercayaan Santri
terhadap kyainya.
Tindakan pendidikan yang dilakukan di luar
kesengajaan (kesadaran), sesungguhnya merupakan hasil pendidikan dalam
kesadararmya, karena ketidak sengajaan dalam suatu tindakan akan dipengaruhi
oleh pengalaman yang disengaja. Pengalaman yang diperoleh dalam kesengajaan
(kesadaran) seseorang akan mengendap menjadi ketidak sadaran. Dan pengalaman
yang disengaja atau pengalaman sadar itu suka muncul dalam tindakan yang tidak
disengaja atau tidak disadari. Oleh karena itu ketidak sengajaan atau ketidak
sadaran dalam suatu tindakan itu akan muncul sebagai suatu tindakan positif
manakala pengalaman yang disengajaannya atau disadarnya positif. Suatu tindakan
di luar kesadaran dapat muncul karena kebiasaan, kebiasaan akan muncul dari
pengkondisian, dan pengkondisian itu dilakukan dalam suatu tindakan yang
disadari, sedangkan tindakan yang disadari lahir dari pengalamannya.
Demikian halnya dengan komunikasi Kyai-Santri di Al
Amnaniyah terkesan seolah-olah
komunikasi yang tidak disadari tetapi penuh dengan nilai-nilai edukatif. Hal
itu terjadi karena situasi pendidikan diciptakan sedemikian rupa sehingga
komunikasi Kyai-Santri berjalan dalam suatu pola komunikasi khas pesantren.
Kepatuhan dan ketaatan santri kepada kyai bersifat absolut, karena telah
terbina kepercayaan dan saling pengertian antara Santri dengan Kyai.
Sistem asrama merupakan salah satu faktor yang amat
mendukung bagi terciptanya komunikasi edukatif, karena hubungan Kyai-Santri
berlangsung sepanjang .hari. Hubungan mereka berjalan secara intensif dan
konsisten dalam suatu lingkungan tertentu, aturan tertentu dan budaya tertentu.
Dalam sistem pesantren tradisional, hubungan antara guru dan murid sangat erat.
Seorang santri secara permanen hidup dalam lingkungan pesantren, dekat dengan
rumah Kyai dan taat secara absolut kepada Kyai. Salah satu kelebihan sistem
pendidikan di pondok pesantren dibanding dengan sistem pendidikan di lembaga
lain, adalah adanya hubungan yang akrab antara Kyai dengan santri. Hubungan
yang akrab ini ditunjukkan oleh Kyai baik dalam hubungan fungsional, hubungan
instrumental maupun hubungan Personal sesuai dengan kontek hubungannya. Dari
hubungan yang akrab ini, telah menyebabkan penuangan ilmu bapak kyai kepada santrinya
demikian intensif, bahkan bukan hanya terbatas pada Umunya saja, akan tetapi
seluruh perilaku dan tutur kata bapak kyai sudah merupakan bahagian dari upaya
pembinaan watak dan kepribadian santri, sebab kehidupan Kyai merupakan contoh
bagi kehidupan santrinya.
Keutuhan situasi yang diciptakan di Al
Amnaniyah telah memperlancar Kyai dalam
membina kemandirian santri, karena komunikasi interaktif yang positif antara
Kyai, Ustadz, dan Santri di pondok pesantren, ditunjang oleh penciptaan situasi
pendidikan yang utuh di mana penataan fisik bangunan, penataan sistem
pendidikan dan pengajaran, serta ketauladanan para Kyai dilakukan secara
terpadu dan utuh. Sebagai contoh, penataan bangunan fisik di komplek pesantren
dilakukan secara terpadu dengan penataan sistem pendidikannya, agar
memperlancar bagi kyai untuk mengawasi semua kegiatan santrinya. Langkah
pertama dan utama yang dilakukan KH Wasik dalam menciptakan komunikasi edukatif
adalah penciptaan situasi pedidikan yang utuh melalui pengkondisian lingkungan
fisik.
Dengan penyediaan sarana dan fasilitas pesantren
yang ada sekarang ini, dapat membawa dampak psikologis dalam berkomunikasi
antara Kyai dengan Santrinya. Penataan bangunan-bangunan fisik yang berada di
dalam lingkungan pondok pesantren mengisyaratkan suatu komunikasi yang intim
dan akrab antara kyai dengan santrinya.
Bangunan rumah Kyai lebih sederhana dibanding dengan
madrasah atau asrama santri. Pakaian kyai yang khas merupakan komunikasi
batiniyah dalam rangka pembinaan pola dan sikap hidup sederhana bagi santrinya.
Komunikasi edukatif semacam itu telah membawa santri
pada perkemabangan pribadi secara bertahap, dan pada tahap-tahap perkembangan
tertentu para santri tidak lagi memerlukan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pihak pesantren karena mereka telah sampai pada proses internalisasi
nilai-nilai pengetahuan agama yang mereka peroleh dari kyai.
Salah satu contoh untuk mendidik santri agar gemar
berjamaah dibuatnya suatu peraturan bahwa setiap santri wajib melakukan
berjamaah pada shalat fardu tepat pada awal waktunya, dan dilakukan sekaligus,
sehingga bila ada santri yang ketinggalan shalat berjamaah ia merasa malu
shalat munfarid, karena dipandang oleh para santri lainnya sebagai santri yang
melanggar peraturan pesantren. Pada awalnya peraturan itu dirasakan berat namun
Karena kondisi lingkungan, kebiasaan dan pengetahuan tentang betapa besar nilai
pahala bagi orang yang melaksanakan shalat berjaamaah, pada akhirnya kewajiban
berjmaah itu tidak lagi menjadi beban.
Upaya lain yang dilakukan Kyai dalam mencipatakan
suatu situasi komunikasi non fisik adalah mewujudkan suasana keakraban sehingga
timbul kehangatan kasih sayang sebagai seorang bapak, seorang guru, seorang
panutan, sehingga bagi para santri dan masya'rakat lingkungan pesantren tidak segan-segan
menyampaikan permasalahan yang dihadapinya baik permasalahan pribadi maupun
masalah yang menyangkut kepentingan pesantren.
Lingkungan pergaulan antara sesama santri nampak
akrab dan saling menitipkan diri sebagai musafir penuntut ilmu yang sama sama
jauh dari orang tua. Semangat kebersamaan dan saling tolong menolong, merupakan
pemandangan umum dalam kehidupan pesantren yang tumbuh secara alamiah. Namun
tidak menutup mata bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan pesantren suka
terjadi walau tidak berani menampakkan secara demonsratif ke permukaan, oleh
karena usia santri pada umumnya para pemuda yang sedang dalam usia pancaroba di
mana gejolak asmara sebagai seorang pemuda yang cenderung agresif.
Dari pembahasan di atas dengan merujuk pada tiga
momen dalam penciptaan pendidikan di pesantren Al Amnaniyah diciptakan dalam suatu iklim pendidikan
tertentu yang mempertimbangkan tiga momen; yaitu momen fisik, momen psikologis,
dan momen sosio kultural.
Letak geografis dan Lokasi pesantren terisolir dari
masyarakat luas mengandung arti bahwa pembinaan sikap hidup mandiri dalam
rangka membina kepribadin santri di pesantren Al Amnaniyah dirancang dalam rangka mengkondisikan santri
ke dalam situasi pendidikan tertentu yang sangat memungkinkan terjadinya
komunikasi intensif dan konsisten antara Kyai dengan Santri, pemilihan lokasi
semacam ini dilakukan dengan maksud agar para santri tidak terpengaruh oleh
situasi-situasi lain di luar situasi pesantren.
Penataan Letak bangunan-bangunan yang ada di komplek
pesantren Al Amnaniyah mencerminkan
suatu upaya Kyai dalam menata lingkungan fisik yang sangat memungkinkan
terjadinya upaya pembinaan kepribadian melalui komunikasi edukatif antara Kyai
dengan Santri.
Mesjid yang megah ditempatkan di tengah komplek membawa
kesan tersendiri bagi santri yaitu kebanggaan terhadap ajaran Islam. Antara
asrama putra dan putri dibatasi oleh rumah para kyai mengandung makna bahwa
berhubungan lain jenis yang goir mukhrim dilarang- Pintu-pintu keluar komplek
dihadang oleh rumah-rumah anggota Dewan Kyai mengandung arti bahwa begitu ketat
pengawasan kyai terhadap santri agar tidak keluar masuk komplek dengan
seenaknya. Pemindahan kepala keluarga yang bukan anggota Dewan Kyai ke luar
komplek mengandung arti bahwa lingkungan pesantren harus bersih dari
pengaruh-pengaruh di luar sistem pesantren.
Tata-tertib masuk ke mesjid yang terpampang di dekat
pintu masuk mesjid, mengingatkan para santri agar terbiasa bila masuk mesjid
membacakan doa' dan melakukan shalat tahiyatal masjid. Wirid ba'da sholat
terpampang di papan tulis diletakkan di bagian dalam mesjid merupakan suatu
media sekaligus mengingatkan bahwa seusai shalat dianjurkan untuk membiasakan
membaca wiridan ba'da shalat.
Di hadapan santri yang sedang mendapatkan kesulitan
dan memerlukan perhatian khusus, KH Wasik
tampil sebagai seorang bapak yang penuh kasih sayang dan mengharapkan
putranya menjadi orang-orang yang baik, terkadang beliau tampil sebagai seorang
ulama besar yang sedang memberikan fatwa kepada ummatnya. Dari berbagai
tindakan dan sangsi yang diberikan Kyai kepada para santri yang melanggar
peraturan pesantren, sikap pemaaf Kyai sangat dominan. karena apa yang
dilakukannya semata-mata dalam upaya mendidik para santri.
Penampilan KH Wasik
semacam ini membawa kesan yang sangat mendalam bagi santri, terkadang
para santri manja kepada Kyai seperti kepada orang tuanya sendiri, terkadang
mereka merasa takut bila melanggar disiplin seperti kepada seorang komandan.
Perilaku Kyai dan tanggug jawabnya terhadap santri
melahirkan wibawa yang talus, sikap hormat, sayang, dan perhatian khusus dari
para santrinya, sehingga seluruh keluarga dan orang-orang yang dekat dengan
Kyai seperti kecipratan berkah Kyai, seperti dikatakan dalam Syair Ahmad Syauki
Bey, yang artinya : "Barang siapa yang hidup bersama orang yang mulia, dia
akan terbawa mulia. Dan barang siapa hidup bersama orang yang hina, maka dia
tidak akan menjadi mulia. Tidakkah engkau melihat betapa kulit kambing yang
hina, akan diciumi orang karena ia dipakai raembungkus Al-Quran". (Ahmad
Syauqi)
Seperti pada umumnya lembaga pendidikan pesantren
berada di daerah pedesaan, oleh karena itu sosio budaya masyarakat desa akan
mewarnai corak pergaulan masyarakat pesantren. Pesantren Al Amnaniyah Karangjati
berada dalam lingkungan masyarakat jawa di daerah pedesaan, yang dikenal
memiliki budaya sopan santun dan gotong royong.
Dalam budaya masyarakat jawa berkenaan dengan
masalah pendidikan khususnya perilaku murid terhadap guru, dikenal istilah,
"guru itu harus digugu dan ditiru artinya guru itu harus dituruti
perintahnya dan ditiru perilakunya. Istilah ini sangat besar pengaruhnya dalam
dunia pendidikan di daerah Pajawan termasuk dalam dunia pendidikan pesantren.
Rasa hormat pada orang tua atau orang yang lebih
tua, kepada para ulama, guru, dirasakan dominan mewarnai kehidupan di
pesantren. Contohnya bila seorang jamaah bertemu dengan seorang ulama, kyai,
atau guru, mereka lebih dulu mengulurkan tangan bahkan kepadaulama atau kyai
sepuh tidak segan mereka mencium tangannya sebagai rasa hormat dan mengharap
berkah. Bila tiba musim panen masyarakat. merasa bangga bila mengirimkan
sebahagian hasil panennya kepada ulama atau kyainya, dan guru.
Perilaku semacam itu menunjukkan rasa hormat dari
seorang santri kepada kyai atau dari orang yang lebih muda kepada yang lebih
tua. Kondisi seperti ini dibiarkan berjalan secara alamiah bahkan KH Wasik
mendukungnya dengan caranya sendiri.
4.1.9
Komunikasi Internal Organisasi
Berdasarkan hasil observasi, peneliti juga
menemukan bahwa ada kasus yang berkembang di pesantren Al-Amnaniyah ini
dikarenakan iklim komunikasi yang cukup kondusif. Hal ini dapat diukur dari
enam dimensi iklim komunikasi, yaitu :
Pertama, iklim kepercayaan di Pondok Pesantren Al-Amnaniyah sangat
bagus, karena para santri yang belajar di pondok pesantren pada dasarnya sangat
mempercayai para Kiai sebagai seorang pemimpin ataupun pentransfer ilmu bagi
mereka, santri sangat percaya cukup dengan menghormati Kiai maka mereka kelak
akan mendapatkan sebuah ilmu yang bermanfaat ketika mereka kembali ke
masyarakat. Kedua, adalah pengambilan
keputusan partisipatif dalam keorganisasian memang baik, karena pengambilan
keputusan yang dilakukan di pondok pesantren tidak hanya berdasarkan laporan
dari para dewan Kiai atau pengasuh saja tapi mendengarkan masukan- masukan dari
para santri atau juga para staf pelaksana yang seharusnya juga berhak
memberikan masukan bagi kebijakan pondok. Ketiga, iklim kejujuran yang tercipta
di organisasi sudah baik. Pengurus atau pembina asrama tidak berusaha untuk
menutupi keluhan dari para santri di depan pengasuh selanjutnya pengasuh
mencoba untuk menangkal sendiri masalah yang timbul di asrama untuk tidak
sampai pada pihak Majelis. Perilaku seperti ini sebenarnya perlu karena
bagaimanapun santri adalah segolongan orang yang memiliki keinginan untuk
menyampaikan pendapat dan dihargai pendapatnya. Keempat, keterbukaan dalam
komunikasi ke bawah dalam organisasi pondok pesantren dikatakan cukup baik.
karena pada dasarnya komunikasi vertikal antara Kiai dan santri berjalan lancar
terlebih Kiai memiliki power (kekusaan) untuk dapat menyampaikan informasi atau
kebijakannya. Berbagai informasi yang dibutuhkan santri untuk melaksanakan
kewajiban dan kebijakan pemimpin (Kiai) tersedia secara baik dengan berbagai
bentuk lesan ataupun tulisan. Kelima,
menejemen pondok pesantren cukup terbuka dalam mendengarkan komunikasi ke atas,
dengan kata lain keterbukaan dalam mendengarkan pendapat kurang baik. Dewan
Pimpinan Majelis memang sering mengadakan koordinasi dengan pihak pengasuh
setiap tiga bulan sekali namun pimpinan tetap memiliki otoritas penuh untuk
memutuskan sesuai dengan pemikiran mereka. Selain itu para pimpinan pondok
mengadakan rapat evaluasi terhadap kinerja karyawan sehingga mereka mencoba
untuk mendengarkan keluhan dari para karyawan. Keenam, perhatian pada tujuan
berkinerja tinggi, lancar karena
pimpinan selalu mendengarkan keluhan dari para karyawan sehingga karyawan
memiliki keinginan untuk berkinerja lebih bagus lagi, para karyawan menyadari
hal ini karena mereka menganggap ini adalah selain sebuah pengabdian juga bentuk
penghormatan mereka kepada pengasuh pondok.
Pimpinan majelis lebih
meperhatikan kinerja dari para santri yang dididik di pesantren Al-Amnaniyah,
terutama dalam hal penyeimbangan pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Perhatian terhadap kesejahteraan dan kemudahan fasilitas kepada santri untuk
mempelajari berbagai bidang ilmu dengan cara memberikan wadah untuk belajar.
Berdasarkan hubungan
posisional antara santri dengan Kiai bisa dikatakan lancar karena komunikasi
berjalan dua arah dari atas ke bawah. Kiai tidak hanya memberikan kebijakan nya
berupa perintah, larangan, dan anjuran kepada para santri. Pada komunikasi ke
atas, santri diberikan keleluasaan untuk menyampaikan informasinya baik masukan
maupun kritik terhadap kinerja pondok. Sebenarnya tidak ada larangan tertulis
namun secara tersirat, hanya dalam etika menuntut ilmu seorang santri tidak
diperkenankan untuk membantah apa yang dikatakan oleh guru, kedudukan santri
dan Kiai disini adalah guru dan murid.
Hubungan posisional
sesama Kiai sangat berbeda dengan sebelumnya atau bisa dikatakan cukup lancar,
karena Al-Amnaniyah masih menggunakan sistem kekeluargaan maka yang memimpin di
Al-Amnaniyah ini terdiri dari suatu keluarga besar yang memuliki hubungan
kekerabatan yang dekat satu sama lainnya. Walaupun secara struktural ada atasan
dan bawahan namun setiap indIidu menyadari bahwa Al-Amnaniyah adalah titipan
nenek moyang yang harus dijaga bersama, sehingga setiap indIidu diberikan keleluasaan
untuk dapat menyampaikan informasinya baik ke atas maupun kebawah.
Sedangkan hubungan
antar personal antara Kiai dan santri terjalin cukup harmonis, karena ditinjau
dari segi apapun santri sangat menghormati dan mengidolakan Kiainya terutama
para Kiai yang menjadi figur atau tokoh utama panutan mereka (santri).
Sebaliknya para Kiai juga sangat menhargai keberadaan para santri, karena bagi
para Kiai santri adalah suatu amanah yang harus dijaga, diasuh dan dididik
sesuai dengan tutunan agama Islam.
Secara personal santri
sangat menghormati Kiai nya terutama pengasuh asramanya, karena biasanya sosok
Kiai yang menjadi figur utama santri adalah pengasuh asramanya. Namun hal ini
tidak terjadi pada semua santri, karena terdapat sejumlah santri dari beberapa asrama dengan komunitas
yang besar kurang mengenal keberadaan para pengasuhnya, sehingga mereka
meimilih figur Kiai atau pengasuh asrama lain untuk menjadi panutan mereka.
Sedangkan untuk
hubungan personal antara santri dengan Kiai non pengasuh, secara umum santri
hanya mengenal para Kiai atau keluarga yang ikut terjun aktif dalam membina dan
mengajar para santri, seperti Dewan Majelis, Kiai / gus yang kerap menjadi imam
di masjid, Kiai (Gus) yang memberikan pengajian di asrama, dan para Kiai (Gus)
yang mengajar dilembaga formal seperti
diniyah (sekolah agama) dan
sekolah umum. Jika terdapat diantara keturunan pendiri pondok (keluarga pondok)
yang tidak terjun aktif dilingkungan pondok secara umum maka tidak akan dikenal
oleh para santri. Perlakuan santri terhadap mereka (keluarga pondok) ini sangat
beragam ada yang mencoba untuk mencari tahu dan adapula yang cuek tidak mau
tahu.
Intinya santri yang
bersikap kurang tawadhu’ kepada
Kiai/B.Nyai disebabkan karena kurangnya komunikasi antara santri dan
para pengasuh pondok pesantren Al-Amnaniyah‘Ulum. Berbicara masalah komunikasi
di pondok pesantren tentu intensitas pertemuan menjadi hal yang sangat penting,
karena seseorang akan merasa memiliki kedekatan jika mereka saling mengenal
atau minimal sering bersua (bertatap muka). Menilik sebuah pepatah “tak kenal
maka tak sayang”, fenomena ini juga berlaku bagi hubungan santri dengan Kiai
dan keluarga yang ada podok. Jika Kiai dan keluarga jarang berinteraksi atau menampakkan diri di
kalangan santri maka santri tidak tahu keberadaannya dan juga tidak mengenalnya
sehingga otomatis santri akan bersikap biasa saja jika bertemu dengan mereka.
Keadaan seperti ini tidak lain karena disebabkan oleh kurangnya intensitas
pertemuan sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi satu sama lain.
Kurangnya intensitas pertemuan sendiri merupakan sebuah akibat dari kesibukan
dari masing-masing pihak baik santri dan Kiai dan keluarga.
4.2
Komunikasi Internal Ponpes Al Amnaniyah II
Untuk lebih mengetahui
mengenai iklim komunikasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah II yang diasuh oleh
KH Taufik Amnan, peneliti menggambarkan hubungan yang terjalin pada tiap elemen
berdasarkan pada arah aliran informasinya, yaitu komunikasi vertikal ke atas (upward communication), komunikasi vertikal
kebawah (downward communication), dan
komunikasi horizontal.
4.2.1.
Arus Komunikasi Vertikal ke Atas (Upward Communication)
Dalam komunikasi
organisasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah arah aliran komunikasi ke atas (Upward Communication) bisa berupa
komunikasi hubungan posisional maupun hubungan antar personal. Jika yang
komunikasi sifatnya hubungan posisional santri dapat memberikan suatu informasi
secara berjenjang dari bawah ke atas.
Pendapat atau masukan
biasanya disalurkan melalui pengurus asrama atau pembina terlebih dahulu,
kemudian pengurus dan pembina akan mamberikan laporan kepada pengasuh asrama.
Pendapat atau masukan sebisa mungkin disortir oleh pengasuh asrama jika dapat
dilaksanakan langsung maka itu akan menjadi kebijakan asrama namun jika bisa
digunakan pada lingkup yang lebih besar
maka akan di jadikan pertimbangan dan masukan bagi pihak majelis. Dan
pada akhirnya tetap pihak majelis lah yang akan memutuskan diterima atau
ditolaknya masukan yang ada.
Sedangkan komunikasi
yang sifatnya hubungan personal maka santri langsung berhubungan dan
berinteraksi dengan pengasuh maupun Kiai secara umum yang ada di pondok. Dan
berikut ini peneliti akan lebih menggambarkan mengenai komunikasi yang terjalin
antara santri dengan Kiai dan keluarga.
4.2.2.
Komunikasi Santri Terhadap Pengasuh
Setiap santri yang
berasal dari luar kota Ngawi diwajibkan untuk berdomisili di sebuah asrama yang
telah disediakan oleh pondok. Di Ponpes Al-Amnaniyah II sendiri terdapat satu
asrama induk putra dan 13 asrama putra-putri yang diasuh oleh seorang Kiai yang
merupakan keturunan dari pendiri pondok. Dalam wawancara yang dilakukan pada
beberapa santri yang tinggal di beberapa asrama yang diasuh langsung oleh
seorang Kiai, peneliti mendapati adanya perbadaan mengenai bentuk hubungan yang terjalin serta
komunikasi yang dilancarkan antara santri terhadap masing – masing pengasuh.
Wawancara pertama yang
dilakukan peneliti ditujukan pada seorang santriwati yang diasuh oleh seorang
kiai senior dimana kiai asrama “A” ini sangat perhatian dan dekat dengan para
santrinya tidak jarang sang pengasuh mangajar dan mengimami sendiri para
santrinya. “Pengasuh sama murid sangat
dekat sekali mbak…sampai-sampai Kiai sangat perhatian banget sama
santrinya”(Wawancara : Sabtu,November 2013). Karena kedekatan dengan pengasuh
ini juga tidak terlepas dari sering tidak nya seseorang bertemu satu sama lain,
Mela mengaku cukup dekat dengan keluarga kiai karena berada satu lingkungan
dengan rumah kiai, dan pengasuh sangat total dalam mengawasi para santrinya.
Iklim kepercayaan yang
terjalin antara santri kepada kiai pengasuh, cukup tinggi dimana santri selalu
mempercayai apa yang dikatakan pengasuh dan tidak ada penyangkalan terhadap apa
yang diperintahkan oleh pengasuh. Sosok Gus Taufik yang juga anggota DPRD
Kabupaten Ngawi ini adalah sosok yang kharismatik dan menjadi acuan bagi para
santri.
Dalam pelaksanaan
komunikasi keatas yang terjalin antara santri dengan pengasuh diasarama ini
sangat baik karena dalam penyampaian informasi kepada pengasuh sangat jujur
dan terbuka. Santri yang bisasanya diwakili oleh para
pengurus senantiasa berupaya memberikan laporan yang jujur artinya tidak hanya
yang bersifat positif saja tapi juga yang sifatnya negatif sehingga pengasuh
benar-benar mengerti mengenai keadaan para santrinya. “ibu
pasti tahu masalah apa aja yang di hadapi sama santrinya terutama yang
berkaitam sama sekolah, kalo ada apa-apa sama sekolah biasanya pihak sekolah
langsung laporan sama pengasuh, ato kalo masalah asram biasanya mbak-mbak
pengurus yang laporan sama ibu (pengasuh).”
Pada komunikasi keatas
ini juga diketahui bahwa pengasuh asrama “A” cukup terbuka atas adanya masukan
baik berupa usulan dan juga masukan yang diberikan oleh para santri. Pengasuh
disini lebih sering bertindak sebagai tempat bertanya dan mejawab segala
permasalahan dari para santri. Di asrama Mela, komunikasi yang dilancarkan bisa
bersifat personal maupun posisional, seperti pernyataan Mela di atas pengasuh
sering memberikan perhatian secara langsung kepada santrinya, dan jika secara
posisional santri lebih sering memberikan masukan melewati para pengrus asrama
saat ada rapat asrama atau langsung sewaktu-waktu melewati ketua asrama. Dari
hasil rapat asrama yang dilakukan setiap kamis malam biasanya langsung disampaikan
oleh para pengurus kepada pengasuh. Dan
kemudian masukan ini akan diproses apakah cukup menjadi sebuah kebijakan baru
atau hanya sekedar wacana.
4.2.3.
Komunikasi Santri Terhadap Kiai Non Pangasuh Dan Dewan Majelis
Setelah diketahui
bagaimana komunikasi yang terjalin antara santri dengan pengasuh asrama,
kemudian peneliti ingin mengetahui komunikasi yang terjalin antara santri
dengan Kiai dan keluarga non pengasuh dan Dewan Pimpinan Majelis. Berdasarkan
pengamatan peneliti hubungan yang terjalin antara santri dengan non
pengasuh juga berjalan baik, santri
mengenal cukup banyak pengasuh asrama lain dengan berbagai macam cara, baik
bertanya dengan teman atau karena sering bertemu dan pernah di ajar di sekolah
atau melalui pengajian umum di asrama, namun ada sebagian pengasuh lainnya yang
tidak dikenal oleh santri.
Banyak hal yang
menyebabkan santri kurang menaruh perhatian pada perilaku kiai mereka di luar
pesantren. namun ada beberapa santri yang menyatakan tidak tertarik pada
persoalan-persoalan politik sebagaimana ditekuni Gus Taufik. Dari pengakuan
mereka, ada beberapa santri yang sebenarnya menyayangkan sikap dan pilihan
politik kiai mereka.
Sebagaimana pernyataan
informan 1: “saya sebenarnya mendukung Gus Wasik yang tidak mau dicalonkan oleh
partai politik. jadi kalau Gus Taufik ikut-ikutan politik, ya itu urusan beliau.
Kita-kita yang penting sekolah
disini. (Wawancara santri: Mei 2013).
Informan 2 : “sebagian
teman menolak sikap kiai NU yang menjadi anggota dewan, karena mereka biasanya
mengajak orang partai ikut ‘main’ di pemilihanpengurus NU Ngawi.” (Wawancara :
Sabtu, 30 Mei 2013 Pkl.20.00 WIB)
Dari pernyataan berikut
ini akan didapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan mengenai perbedaan sikap
yang di tunjukan santri kepada masing-masing pihak. Jika menilai Kiai/keluarga
non pengasuh namun mereka (santri) kenal bila terkait masalah politik, umumnya
mereka tidak sependapat. Sementara para santri Gus Taufik, justru mengidolakan
Gus Wasik untuk urusan itu.
Berbeda dengan para
Kiai/keluarga non pengasuh, perlakuan santri terhadap para Kiai yang menjabat
di Dewan Majelis sangat hormat seperti halnya kepada para pengasuh asramanya
masing-masing, walaupun para Kiai yang berada di Majelis tidak mengajar mereka
secara langsung namun santri merasa turut dididik oleh para Dewan Pimpinan
Majelis dan santri juga merasa memiliki kedekatan emosional dengan para
pemimpin di Al-Amnaniyah I dan II. Kepercayaan yang diberikan santri kepada
para kiai sangat besar karena mereka menganggap apapun yang menjadi keputusan
dan kebijaksanaan kiai adalah yang terbaik.
Pada komunikasi
vertikal ke atas ini (upward communication),
biasanya santri juga turut andil dalam meberikan masukan-masukan untuk
perbaikan kebijakan yang ada di pondok pesantren. Namun masukan-masukan para
santri ini hanya bisa disampaikan melalui pembina atau pengurus asrama saja
kemudian dari para pembina dan pengurus
asrama ini informasi akan disampaikan kepada pengasuh, oleh pengasuh informasi
ini di kaji ulang jika masukan ini dapat diterima dan diterapkan di asrama maka
ini akan menjadi kebijakan asrama namun jika dirasa ini bisa menjadi masukan
bagi pesantren maka akan di komunikasikan kepada pihak Dewan Pimpinan Majelis
melalui rapat koordinasi antar biro.
Pada komunikasi ini
iklim kejujuran yang diberikan dari elemen yang bawah kepada atasan kurang
terbuka ini dikarenakan pengasuh hanya ingin menyampaikan dan melaporkan bagian
terbaik dari para santri yang di asuhnya dan menutupi bagian buruknya namun
tidak menutup kemungkinan ada pula pengasuh yang melaporkan secara jujur apa
yang terjadi di asramanya dengan tujuan untuk mencari cara penyelesaian
bersama.
Karena kurangnya media
untuk menyampaikan aspirasi para santri kepada dewan pimpinan majelis secra
langsung, maka aspirasi yang disampaikan pun terbatas dan ini juga menunjukkan
sejauh mana dewan majelis mampu untuk mendengarkan masukan dari para santrinya.
Dewan pimpinan majelis
merupakan basis pimpinan yang ada di pondok pesantren Al-Amnaniyah memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap kinerja para santri dan bawahannya untuk
mencapai tujuan dari pondok pesantren yaitu mencetak generasi yang “Berotak
London Berhati Masjidil Haram.” Santri sangat dimudahkan sekali dalam hal
fasilitas apapun untuk menunjang kegiatannya memperoleh ilmu yang hendak
dimiliki nya baik umum maupun bidang agama.
4.2.4.
Arus Komunikasi Vertikal Kebawah (Downward Communication)
Sama halnya dengan
komunikasi ke atas yang terdapat di Al-Amnaniyah II, komunikasi ke bawah yang
dilancarkan oleh Kiai kepada santrinya bisa berupa hubungan posisional maupun
hubungan antar personal dan secara garis besar isi informasi yang dilancarkan
bisa berupa perintah, larangan, himbauan, dan peringatan. Komunikasi ke bawah
yang dilakukan oleh seorang Kiai kepada santri ini bisa bersifat langsung
ataupun berjenjang karena di organisasi ini Kiai memiliki otoritas penuh untuk
dapat menentukan bagaimana cara termudah untuk menyampaikan informasi kepada
santrinya. Sedangkan arah aliran informasinya merupakan kombinasi antara serentak
dan berurutan.
Pada bentuk komunikasi
posisional arah aliran informasi di awali dari sebuah keputusan Dewan Pimpinan
Majelis yang di komunikasikan kepada Biro, anggota biro ini sebagian besar
adalah sejumlah pengasuh asrama yang ada di pondok. Dari Biro inilah informasi
ada yang disampaikan secara langsung ataupun melalui perantara pembina atau
pengurus asrama.
Bentuk hubungan antar
personal antar santri dan Kiai biasanya hanya terjalin di lingkup yang kecil
sperti di asrama karena seperti yang telah dijelaskan di atas hubungan seorang
santri dengan Kiai yang mengasuh ataupun mengajar disekolah seperi halnya
hubungan antara anak dan orang tua. Dan
berikut ini peneliti akan menggambarkan bagaimana komunikasi yang terjalin antara Kiai terhadap
para santrinya.
Bara santri mengakui
juga adanya permintaan dari kiai mereka untuk membantu meloloskan diri menjadi
anggota DPRD Kabupaten Ngawi periode 2009-2014. Peran para pengasuh untuk
mengawasi pilihan politik santri juga menentukan perolehan suara Gus Taufik dalam
pemilu.
4.2.5.
Komunikasi Pengasuh Terhadap Santri yang Diasuh
Komunikasi yang
terjalin antara santri dan pengasuh pada umumnya terjalin dengan harmonis
karena seorang pengasuh minimal faham siapa santrinya, sekolah dimana dan lain
sebagainya karena bagi seorang pengasuh santri adalah sebuah amanah yang harus
diterima dan dididik dengan baik jadi minimal bertemu ketika mengimami sholat
berjama’ah atau ketika mengaji alqur’an
mereka dapat bertemu secara langsung dan melakukan komunikasi antar personal.
Pada komunikasi
vertikal kebawah antara pengasuh dengan santrinya, seorang pengasuh akan
menyampaikan sebuah informasi baik secara langsung maupun tidak langsung,
penyampaian pesan secara langsung bisa berupa himbauan atau nasihat secara
lesan kepada santri-santrinya. Biasanya ini dilakukan setelah mengimami sholat
ataupun saat mengawasi santri dalam kegiatan muhadhoroh (latihan kepemimpinan),
namun tidak menutup kemungkinan informasi dari pengasuh akan disampaikan
melalui pengurus atau pembina asrama untuk disampaikan kepada santri baik lesan
dan tulisan.
Namun situasi seperti
ini ternyata tidak terjadi di seluruh asrama, ada beberapa asrama yang
memiliki komunikasi yang kurang baik
antara santri dan pengasuhnya.
Pengasuh memiliki
kepercayaan yang penuh kepada seluruh pembina yang menjadi pengawas bagi para
santrinya namun kepercayaan kepada para santri sangat dipertanyakan karena
pengasuh tidak benar-benar mengenal siapa
dan bagaimana sifat dari santri yang di asuhnya.
Dalam hal keterbukaan
pada komunikasi ke bawah, pengasuh yang sangat jarang terlibat dengan santri
biasanya hanya memberikan masukan yang digambarkan memalalui kebijaksanaan para
pembina. Tidak jarang pengasuh hanya memberikan pengumuman berupa surat yang
hanya ditempelkan di mading asrama. Dan memalalui pembina asrama juga pengasuh
mendorong para santri untuk menghasilkan suatu buah dari kinerja yang baik.
Asrama ini memang mengkondosikan para santri untuk tetap menjadi santri
unggulan dengan memberikan fasilitas lebih untuk belajar karena asrama ini
memiliki tujuan untuk menjaga kualitas siswa-siswa unggulan di Al-Amnaniyah II.
Kepercayaan pengasuh
terhadap santri juga bisa berupa masukan yang diberikan oleh para santri
menjadi hal yang cukup berharga untuk didengar oleh pengasuh dan ini juga
menjadi pertimbangan pengasuh dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam
pengambilan keputusan pengasuh biasanya memberikan opsi-opsi kebijaksanaan yang
kemudian di sampaikan kepada para pengurus dari pengurus opsi ini di sampaikan
kepada para santri untuk selanjutnya para santri yang akan memilih sendiri apa
yang mereka inginkan, dan pada akhirnya tercapailah suatu kesepakatan
bersama. Seperti dukungan santri untuk
pencalonan kiai pada Pemilu legislative untuk DPRD Ngawi, Gus Taufik mengaku memang pernah memberi
saran khusus agar menggunakan suara mereka untuknya. Namun dia tetap
membebaskan para santrinya untuk memilih siapapun caleg yang dianggap baik. Yang
penting hubungan antara kiai dan santri, terbuka, dan jujur satu sama lain.
Pada dasarnya iklim
kejujuran yang diberikan pengasuh kepada santrinya sangat baik dimana pengasuh
tidak menutupi suatu informasi ataupun kelemahan asrama yang diasuh nya dari
para santri, kedekatan pengasuh dengan santri menjadikan hubungan pengasuh dan
santrinya sangat terbuka dan selalu diwarnai dengan kejujuran dalam
menyampaikan informasi. Hal ini juga berhubungan dengan keterbukaan dalam
menerima masukan dari para santrinya, namun seperti sifat manusia yang lainnya
keterbukaan terhadap adanya kritik masih kurang.
Asrama memberikan
beraga fasilitas baik dalam bentuk fisik maupun pengajaran yang diperuntukkan
bagi santri. Hal ini ditujukan sebagai pembentuk perhatian dari para pengasuh
untuk mendorong para santri mencapai kinerja yang optimal selama belajar di
Al-Amnaniyah II. Hasil wawancara dengan santri-santri perempuan, Atik dan inet
(informan 1 dan 2) membuktikan itu.
Informan I menyatakan :
“memang Gus Taufik memberi kebebasan dalam menggunakan hak suara, tapi tetap
saja bila kita salah pilih ada banyak sanksi yang menunggu. Jadi pada intinya
untuk urusan politik kiai orangnya sangat otoriter banget.”
Informan II: “Pengasuh
lebih suka mengambil keputusan sendiri dan hanya memberikan sedikit penawaran
kebijakan bagi para santrinya. Ketika membuat suatu kebijakan pengasuh
memberikan penawaran-penawaran yang harus dipilih oleh para santri, namun
ketika santri memilih keputusan masih tetap berada di tangan pengasuh sehingga
bisa dikatakan penawaran ini hanyalah sekedar formalitas saja.”
Meski terpaksa, para
santri Al Amnaniyah II tetap menggunakan hak suara mereka untuk mendukung kiai
sebagai anggota DPRD. Namun dalam benak mereka, rasa hormat kepada kiai seperti
itu sudah mulai berkurang.
4.2.6.
Komunikasi Kiai Terhadap Alumni Al Amnaniyah
Banyak alumni pesantren
Al Amnaniyah mengetahui pilihan politik pengasuh sejak lama. Pada awalnya,
mereka menyatakan dukungannya karena partai kebangkitan bangsa (PKB) yang
didirikan oleh NU dianggap partai yang bersih dan amanah untuk warga NU.
Dalam perkembangannya,
partai yang didukung oleh kiai mereka berubah. Dan keterlibatan kiai dalam
partai, menjadi bahan perbincangan diantara sesama alumnu. Salah seorang
alumni, Sawilan (Informan 4) mengungkapkan,”Kita semua sebagai alumni tentu
akan lebih menghormati Gus Wasik yang berani menolak bergabung dengan partai.
Toh jadi dewan dan pengurus NU di Ngawi sama-sama korup begitu,” ujar santri
yang kini mengembangkan pesantren sendiri di Krompol, Bringin, Ngawi itu.
(Wawancara,November 2013).
Hal sama diakui
Subakir, alumni Al Amnaniyah lain. Dia
mengatakan: “Sebenarnya Gus Taufik sama halnya dengan Gus Wasik tentang
prinsipnya pada kejujuran dan kerakyatan. Tapi dia jadi dewan, tentu saja
banyak ‘main-main’ dengan uang rakyat.” (wawancara informan 5, November 2013).
Pernyataan diatas
adalah sebuah gambaran dari hubungan alumni santri dengan Kiai mereka yang di
ungkapkan menyikapi pesantren Al-Amnaniyah II dalam kaitannya dengan politik.
Menurut pengamatan peneliti iklim komunikasi antara santri dan pengasuh ini
menjadi berubah setelah pilihan politik kiai masih mendukung kegiatan politik
praktis.
4.2.8.
Arus Komunikasi Horizontal
Komunikasi horisontal
merupakan komunikasi yang sifatnya lebih bebas atau lebih personal karena
melibatkan sekelompok orang yan meiliki kedudukan yang sama, komunikasi
horisontal di lingkungan pesantren lebih menonjol dibandingkan komunikasi
secara vertikal, karena bagaimanapun seseorang akan banyak berinteraksi dengan
orang yang memiliki tingkat pengetahuan dan berlatar belakang sama. Santri
lebih suka berkomunikasi dengan sesama santri karena tidak harus sungkan atau
salah bicara ketika berkomunikasi dengan seorang yang dihormati seperti Kiai.
Berikut ini peneliti ingin mengetahui komunikasi horisontal yang terjadi di
lingkup pesantren Al-Amnaniyah.
4.2.9.
Komunikasi Antar Santri
Komunikasi antar sesama
santri secara umum berjalan harmonis, karena para santri merasa mereka adalah
teman atau saudara seperjuangan yang harus saling tolong menolong dan mendukung
selama belajar di pesantren ini, tapi dilain pihak mereka adalah pribadi yang
berbeda dan memiliki berbagai ego masing
– masing. Seperti penuturan
beberapa informan berikut ini mengenai kedekatan mereka dengan sesama teman.
Informan 1 mengatakan :
“ya dalam urusan politik pun kita saling tukar informasi. Kadang mencakup
tema-tema panas,” sembari menunjuk kampanye di pesantren.
Informan 2 : “Kalo
kampanye politik sih kita sepakat untuk tetap netral. Anjuran Gus Wasik lebih
kita dengar. NU kan ga boleh ikut mendukung siapapun di politik.”
Informan 3 : “kalau semua
santri di depan kiai tentu akan mengikuti saran kiai. Tapi kalau sudah di luar,
yang mau pilih siapa saja itu tak ada yang bisa mengontrolnya.”. Kedekatan
hubungan antar santri biasanya selain di
dasari oleh kesamaan nasib tapi juga di dasari oleh latar belakang pendidikan
dan asal daerah. Proximity (kedekatan) berupa asal daerah adalah faktor terkuat
dalam menjalin kedekatan.
Walaupun di pondok
pesantren hubungan antara santriwan dan santriwati sangat dibatasi namun
menurut pengamatan peneliti, mereka masih tetap dapat bersosialisasi secara
umum di sekolah maupun di organisasi. Dan pada waktu tertentu seperti hari
libur santriwan diperkenankan mengnjungi asrama santriwati atau sebaliknya
walau dibatasi oleh waktu dan di awasi oleh pengurus asrama atau keamanan.
4.2.10.
Komunikasi Antar Kiai Dewan Majelis Dengan Non Majelis
Hubungan Kiai baik yang
tergabung dalam majelis maupun non majelis bisa di kategorikan hubungan secara
vertikal maupun horisontal, karena dewan majelis hanya terdiri dari delapan
orang Kiai perwakilan dari masing-masing keluarga yang merupakan keturunan dari
pendiri pondok.
Hubungan secara
vertikal ini bersifat posisional dimana Kiai Dewan Majelis berada di pimpinan
teratas dari organisasi dan posisi Kiai non majelis berada di bawahnya baik
sebagai biro ataupun pengasuh saja. Hungan antar personal yang terjalin pun
cukup baik karena setiap tiga bulan sekali para Kiai yang termasuk dalam
struktur orgsnisasi maupun tidak selalu mengadaklan pertemuan untuk membahas
problem – problem yang timbul di pondok pesantren baik problem organisasi
maupun problem yang menyangkut keseharian para santri.
4.2.11. Komunikasi Antar Kiai Pengasuh Asrama
Selain pertemuan yang
dilakukan pihak Kiai setiap tiga bulan sekali, maka setiap ada acara di salah
satu asrama setiap pengasuh mencoba mengundang pengasuh asrama lain untuk
hadir. Ini juga merupakan upaya untuk mengenalkan para santri kepada para
pengasuh asrama lain.
Adapula upaya lain yang
dilakukan pengasuh untuk memperkenalkan santrinya kepada pengasuh asrama lain
yaitu mulai menganjurkan kepada santri baru untuk sowan kepada para pengasuh
yang ada di pondok pesantren Al-Amnaniyah. Ini juga merupakan upaya pengasuh
untuk menjaga hubungan baik dengan para keluarga non pengasuh agar tidak ada
kecemburuan sosial di antara mereka.
Hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa komunikasi organisasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah berdasarkan
enam dimensi. Kepercayaan, pengambilan keputusan partisipatif dalam
keorganisasian, kejujuran, keterbukaan dalam komunikasi ke bawah, mendengarkan
pada komunikasi ke atas, perhatian pada tujuan berkinerja tinggi.
Bagi kiai (keluarga
pondok) sendiri haruslah meluangkan waktunya untuk terjun atau aktif dalam
membina para santri karena santri hanya akan menghargai orang yang berjasa
kepadanya seperti dalam suatu hadist disebutkan, “saidul qoum khaadamuhum”
(pemimpin suatu kaum adalah orang yang melayani kaum itu). Jadi jika ingin
disebut sebagai pemimpin maka para kiai ini harus melayani para santrinya.
4.3.
Komunikasi Politik Ponpes Al Amnaniyah
4.3.1.
Campur tangan Politik Dalam Pesantren dan Pandangan Alumni Terhadap Pilihan
Politik AlAmnaniyah I dan II
Sejak Gus Taufik
menjadi anggota DPRD Kabupaten Ngawi dan Sekretaris DPC PKB Ngawi, maka sejak itu,
warna politik Al Amnaniyah berubah. Masyarakat melihat afiliasi politik Gus
Taufik sebagai salah satu pengasuh Al Amnaniyah II, merupakan representasi
pesantren yang diasuhnya. Meski Sikap Gus Wasik dalam hal ini lebih netral,--
tidak memihak salah satu parpol dalam Pemilu,-- namun tetap saja pengaruh
partai PKB yang didukung Gus Taufik amat besar.
Buktinya, dukungan Gus
Taufik pada PKB memberi keuntungan besar bagi pesantren Al Amnaniyah II yang ia
dirikan pada akhir 1998-an itu. Selain keuntungan dukungan financial dari
beberapa sumber dana partai, akses politik dan kekuasaan selama menjadi Anggota
DPRD Kabupaten Ngawi, memberi sumbangan
yang tidak sedikit bagi perkembangan pesantren yang dikelolanya.
Pengakuan dari para
tenaga pengajar dan sejumlah pegawai lembaga pendidikan di Al Amnaniyah II
mengungkapkan hal itu. Sementara secara politis, Gus Taufik juga memberi
kontribusi suara signifikan bagi partai yang kini dipimpin Muhaimin Iskandar
untuk wilayah Ngawi. Hubungan simbioses mutualisme (saling menguntungkan) ini
terjalin sejak awal berdirinya PKB hingga kini.
Sementara Gus Taufik
mengaku untuk menjalankan kegiatan lembaga pendidikan yang didirikannya ini
selain murni dari swadaya, iuran pendidikan dan anggaran rutin dari Kemendiknas
berupa dana BOS serta sejumlah sumbangan. Maklum saja, lembaga pendidikan Al
Amnaniyah II terdaftar di Diknas dan kurikulumnya berbeda dengan Al Amnaniyah I
yang berada di bawah Kementerian Agama. Sementara dukungan kepada PKB tidak
memiliki kaitan dengan Al Amnaniyah II yang berlokasi di Desa Bangon, Kecamatan
Karangjati, Kabupaten Ngawi ini. “Kami membangun
pesantren ini dari modal sendiri dan iuran dari masyarakat. Jadi murni swadaya
dan tidak ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Kalau pun saat ini mendapat
bantuan dana BOS, itu setelah pesantren Al Amnaniyah 2 berjalan dan iuran rutin
dari para santri dan pelajar juga berdatangan,” kata Gus Taufik
(informan 1).
Dalam beberapa
kesempatan setiap Gus Taufik mengisi pengajian dan ceramah agama yang
berlangsung di beberapa daerah di Ngawi, selalu ia mengungkapkan visi misi yang
mulia dalam membumikan nilai-nilai NU di ranah politik. Ia tentu saja tak
pernah menyinggung urusan aliran dana apapun menyangkut kapasitasnya sebagai
calon legislatif dalam kampanye pemilu, pengurus DPC PKB Ngawi, dan anggota
DPRD II Ngawi. Juga hal ihwal dukungan
finansial bagi terselenggaranya kegiatan belajar mengajar di Al amaniyah II.
Sementera Gus Wasik
berbeda. Dalam hal financial, afiliasi politik dan pandangan-pandangan
ke-NU-annya secara tegas dan transparan ia ungkapkan di hadapan publik lewat
acara pengajian umum, maupun pengajaran-pengajaran internal di pesantrennya.
Ini menurutnya, harus diutarakan secara terbuka agar para santri dan masyarakat
NU Ngawi yang lainnya bisa membedakan kepentingan politik dan kepentingan syiar
agama.
Bagi Gus Wasik,
komunikasi kepada warga NU dan masyarakat umum dilakukan dengan mengatakan apa
adanya tanpa menggunakan bahasa yang bias kepentingan. Sebagai warga NU,
katanya, ia harus menjaga jarak dari partai politik, pemerintahan daerah dan
tawaran-tawaran ekonomi para pencari dukungan. Banyak pengakuan dari para
santri dan alumni Al Amnaniyah yang mengungkapkan sodoran bantuan pembangunan
masjid pesantren dari Pemkab Ngawi, dan dinas pendidikan kabupaten ditolaknya.
Menurut Ahmad Subakir (informan dari alumni pesantren) pembangunan masjid Al
Falah yang berada di dalam pesantren memang murni iuran dan infak dari kalangan
santri sendiri dan beberapa sumbangan masyarakat sekitar.
Menurut Gus Wasik, pilihan
untuk menggunakan dana masyarakat karena ia sebagai pengasuh pesantren ingin
menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam bersodakoh. Pesantren memberi sarana
beribadah bagi para santri, keluarga santri dan masyarakat lain untuk
mendapatkan pahala dengan cara mengeluarkan infak, zakat, dan sodakoh untuk
pembangunan masjid Al Amnaniyah itu. “Kalau semua kebutuhan pembangunan fisik
masjid dipenuhi oleh Dinas Agama Pemkab Ngawi, maka masyarakat tidak punya
tempat untuk beramal dong?” Kata Gus Wasik berdalih.
Namun sejatinya,
pilihan tersebut bagi para santri dan guru (disapa kang) di Al Amnaniyah,
sebagai wujud dari sikap tawadu kiai dalam menjalani hidup yang baik. Islam
mengajarkan anjuran luhur untuk mencari nafkah, sumber rizki dari cara halal
dan dana yang benar. Sang pencipta kata Gus Wasik, telah menggariskan
masing-masing pihak sumber kemakmurannya masing-masing. “Kalau kita percaya
pada pandangan itu, dan yakin akan karunia-Nya yang berlimpah, tentu tidak akan
mencari sumber ekonomi dari wilayah ‘abu-abu’” tuturnya (wawancara November
2013).
Gus wasik memang tak
mengatakan secara jelas apakah dana sumbangan Pemkab Ngawi tersebut dicurigai
dari sumber yang tidak halal? Namun dalam pandangannya dan umunmnya para santri, prinsip hidup yang benar tidak
hanya dijadikan pengetahuan semata. “Tapi harus dijalankan dalam kehidupan
sehari-hari,” kata santri senior Ahmad Subakir (informan 2).
Pengakuan subakir
dibenarkan santri lainnya, H Sugeng (57). Menurut pengusaha pupuk organik ini,
gurunya memiliki kepribadian yang kuat, jujur dan tak mudah menyerah oleh
keadaan sosial-ekonomi yang menghimpit. Selama mengabdi di pesantren Al
Amnaniyah sejak remaja (masa KH Soleman) ia mengetahui detail sejauh mana
komitmen Gus Wasik dalam hal sumber dana pesantren. Ini berbeda dengan sang
kakak, Gus Taufik
yang tidak membeda-bedakan asal muasal dana untuk pembangunan pondoknya di
Bangon.
Dalam ranah politik,
Gus Wasik juga secara terang-terangan menolak DPC PKB Ngawi untuk
mencalonkannya sebagai anggota legislatif, menolak sumbangan partai untuk
membangun gedung pesantren dan banyak penolakan lainnya terkait jabatan di
Organisasi PKB maupun Struktural PCNU. Pada akhirnya, sikap tegas dan
netralitas Gus Wasik ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat dan tentu
saja dari para alumni dan santri Al Amnaniyah. Sebagaimana ayahnya, KH Soleman,
ia cukup luas wawasan ilmu keagamaan dan cara pengajarannya pun mudah dipahami.
Prinsip moralitas yang dipegang Gus Wasik, mengikuti jejak panjang sang ayah
dalam menjaga warisan pesantren dari sang kakek, dengan memegang teguh ajaran
moral yang baik dan benar. Ini juga dipahami oleh pada santri-santri mereka dan
masyarakat kebanyakan di wilayah Ngawi dan sekitarnya.
4.3.2.
Campur Tangan Politik Dalam Pemilihan Ketua PCNU Ngawi
Sikap netral kiai NU
seperti ini pula jamak dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Dari
komunikasi politik yang terbuka yang dilakukan Gus Wasik, memberi warna berbeda
dengan komunikasi politik yang dilakukan Gus Taufik. Meski keduanya, sama-sama
memiliki dasar argumen yang kuat, namun pilihan-pilihan itu sebenarnya cermin
dari perkembangan dunia pesantren NU ketika berhadapan dengan kekuasaan partai
politik.
Kepentingan partai
politik di satu sisi, dengan kepentingan pesantren NU di sisi lain, adalah dua wilayah
yang senantiasa berinteraksi sepanjang dasawarsa terakhir. Sejak berdirinya PKB
yang cikal bakalnya adalah para kiai-kiai besar di lingkungan NU, maka silang
sengkarut tarik menarik kepentingan itu masih akan terus berlanjut, meski para
tokoh NU yang juga pendiri PKB sudah tak ada lagi.
Bagaimana para kiai NU
baik di pusat maupun di daearah memainkan opini politik mereka guna meraih
dukungan dari khalayak NU yang jumlahnya besar? Inilah yang menjadi bahan
kajian menarik yang tak akan habis-habisnya.
Bagiamana pola
komunikasi para kiai itu dalam percaturan politik lokal mereka, juga apa saja
alasan mereka melibatkan diri dalam pilihan politiknya itu? Tentu penelitian
ini akan mencoba mengungkap argumen apa saja yang diutarakan para kader NU baik
di Pusat dan Daerah, guna mendapatkan legitimasi dari warga NU sendiri.
Legitimasi inilah yang
menjadi dasar dari beragam argumen mereka saat mereka menjatuhkan
pilihan-pilihan politik dan setidaknya inilah bentuk pertanggungjawaban para
kiai pada para santri dan warga NU pada umumnya. Ungkapan-ungkapan yang mereka
utarakan dalam berbagai kesempatan kepada publik adalah bagian dari komunikasi
politik, apalagi dalam kondisi saat ini dimana kepentingan partai politik
sangat dan amat dominan dalam kehidupan politik nasional.
Partai politik dalam
pengertian akademis, sangat menentukan para kader-kader mereka di daerah baik
kader dari kalangan NU maupun luar NU. Kader-kader ini lebih banyak diatur dan
ditentukan kepentingannya oleh para elit parpol. Bagi kader yang tidak menaati
aturan main itu, tentu akan terpinggirkan, baik
secara jabatan maupun dikalahkan lewat pemilihan.
Sebut saja, proses
pemilihan pengurus PCNU Kabupaten Ngawi yang dilakukan di Ponpes Al Amnaniyah I
Talok, Karangjati, Ngawi, 12 November 2013 lalu. Para pengurus PCNU terpilih
adalah kader-kader NU yang mendapat sokongan dana besar dari partai PKB, dan
kader NU yang tidak memiliki kemampuan financial yang cukup akhirnya kalah
suara. Ketua Tanfidziyah PCNU Ngawi H Isrodin dikenal memiliki usaha agrobisnis
yang sukses dan DPC PKB Ngawi mendukungnya. Ia dengan kemampuan financial yang
cukup, mampu mengendalikan suara peserta sehingga secara aklamasi ia terpilih
lagi sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Ngawi untuk periode lima tahun
mendatang. Ia bisa mengatur permainan
yang menurut pengakuan sejumlah peserta tergolong curang.
Bagaimana tidak, untuk
menjadi bakal calon saja, ia bisa menentukan lolos tidaknya kandidat lain yang
ingin bersaing dengannya. Suara peserta yang selama proses pemilihan
berlangsung ia atur sedemikian rupa sehingga hanya dia seorang yang berhasil
lolos. Dua calon lain gagal memperoleh
suara yang disyaratkan oleh panitia Konferensi Cabang (Konfercab) NU yang
diselenggarakan di Ponpes Al Amnaniyah Talok Karangjati, Ngawi, 12 November
2013.
Praktik money politic yang ia lakukan diakui
para peserta sendiri yang mendapatkan hak suara. Sekretaris MWC NU Kecamatan
Paron, Wahyudianto, mengungkapkan sebelum acara Konfercab berlangsung, H
Isrodin mengumpulkan sekitar 100-an peserta di Rumah Makan Karangasri untuk
konsolidasi. Masing-masing juga mendapatkan uang akomodasi Rp 350 ribu sebagai wujud solidaritas atas dukungan
kepadanya. Bagi pengurus ranting dan MWC yang berasal dari Ngawi bagian barat,
memang disediakan transportasi 3 bus untuk mengantarkan mereka ke tempat acara
yang berada di Ngawi bagian timur (Karangjati).
Bagi pengurus ranting
lain yang belum mendapatkan ‘akomodasi’ dari H Isrodin, mereka pun menanyakan
hal itu kepada Koordinator. Selama proses pemberangkatan dari Ngawi barat ke
Timur, semua peserta akhirnya mendapatkan ‘jatah’ yang sama melalui Kalam
(coordinator pemenangan H Isrodin).
Dari kalkulasi
perolehan suara, dan aktIitas lain yang dilakukan Kalam kepada peserta lain
dari Ngawi Selatan, Utara dan Timur, akhirnya bisa diatur mekanisme pelolosan
Isrodin sebagai satu-satunya calon untuk posisi Ketua PCNU (tanfidziyah) Ngawi.
“Beberapa pengurus MWC dan ranting dari Bringin, Pangkur, dan desa-desa di
kecamatan Padas juga banyak yang mendapatkan kucuran ‘dana akomodasi’ dari
Isrodin melalui Kalam,” kata Wahyudianto.
Hal ini diakui
Sekretaris MWC kecamatan Padas, Mualimin. Ia mengakui menerima dana akomodasi
dari Kalam dengan persyaratan tidak menggunakan suaranya pada proses
penjaringan bakal calon. Hal sama juga dibenarkan oleh ketua ranting NU
kedungprahu, Mukhlis. “Saya dan pengurus dari Padas lain yang
berjumlah 10 orang memang memperoleh uang itu. Dan saya yakin para pengurus
ranting dari ploso, dero dan desa-desa di kecamatan pangkur ikut menerima dana
yang sama. Saya telpon sarmidi di Pangkur, katanya memang menerima,”
ucap Mukhlis (Informan 3).
Menanggapi tudingan
itu, koordinator pemenangan H Isrodin, Muhamad Kalam, mengatakan kalau bantuan
dana Rp 350 ribu per orang itu tidak terkait pencarian dukungan bagi Isrodin.
Sebagai ketua PCNU yang masih terpilih periode sebelumnya, tentu tak ada
salahnya jika para kader-kader NU yang berasal dari wilayah jauh dari lokasi
acara Konfercab diberi bantuan. “Kami memang juga yang menyediakan angkutan bus
kota itu,” ujar Kalam (wawancara informan 4).
Proses pemilihan
pengurus NU di Ngawi kenyataannya, didominasi oleh kekuatan suap yang dilakukan
oleh calon terpilih. Sementara KH Wasik Amruri yang dikenal jujur, sederhana,
dan tidak menggunakan dana apapun untuk mencari dukungan pemilih, kalah.
Informasi lebih detail tentang bagaimana praktik money politic menentukan
kemenangan H Asrori sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Ngawi diungkapkan Sekretaris
MWC Kecamatan Bringin, Sawilan (informan 5).
Sebagai bentuk
tanggungjawab moral kepada organisasi, sawilan menolak untuk mengakui
kepemimpinan H Isrori karena cara-cara yang ia lakukan untuk menang dalam
Konfercab akhir 2013 kemarin, tidak benar. Sebagai salah satu pendukung dan
santri Gus Wasik, ia berpendapat bahwa tradisi kejujuran di lingkungan NU,
sudah mulai luntur. Praktik money politik yang dijalankan H Isrodin justru
mendapat sambutan luar biasa dari para pengurus ranting NU lain. Ini menandakan
bahwa para peserta Konfercab sendiri banyak yang sudah mengganggap money politic
sebagai hal wajar dan tidak lagi dipandang ‘tercela’.
Dalam wawancara, Gus
Wasik secara eksplisit tidak terang-terangan menuding praktik money politik
terjadi pada Konfercab 2013 lalu. Namun, ia menengarai ada perubahan pandangan
hidup yang dialami para pengurus NU daerah tentang memaknai proses politik yang
terjadi.
Pada acara Konferensi
Cabang (Konfercab) NU Ngawi, yang diselenggarakan di Ponpes tempatnya, 12
November 2013, Gus Wasik tak begitu ngotot untuk memenangkan pemilihan. Ia
mundur dari proses pemilihan lanjutan setelah proses penjaringan untuk
penetapan bakal calon berakhir. Dia sebenarnya mendapatkan dukungan 256 dari
selisih 12 suara saja dari pesaingnya. Namun ia menyatakan menyerahkan
kepercayaan pada kandidat lain yakni, KH Abdul Azis untuk jabatan Rais Syuriah
PCNU Kabupaten Ngawi periode 2014-2019.
Sementara Ketua
Tanfidziyah PCNU, KH Isrodin juga terpilih untuk kedua kalinya melalui proses
yang hampir sama. Pada seleksi bakal calon Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten
Ngawi, ia satu-satunya kandidat yang lolos seleksi bakal calon dalam Konfercab
tersebut.
Kendati proses
pemilihan berlangsung lancar dan cepat, beberapa peserta mengaku ada permainan
kotor dibalik kemenangan Ketua Tanfidziah dan Syuriah PCNU Ngawi. Sekretaris
Umum MWC (Musyawarah Wilayah Cabang) Bringin, Sawilan, mengungkapkan bahwa para
kader NU yang menjadi pengurus ranting dan MWC di sebagian besar wilayah ngawi,
tak memiliki kepekaan pada kearifan, kejujuran, dan nilai-nilai kebaikan
sebagaimana diajarkan di dunia pesantren.
Notabene para pengurus
ranting dan kader NU yang ia kenal, lebih mudah menganggap uang bantuan dari
siapapun sebagai satu bentuk rizki. Para kader di bawah itu lanjutnya, bukan
melihat ‘bantuan’ baik berupa uang dan tawaran-tawaran reward lain (seperti
janji posisi kepengurusan di jajaran PCNU) sebagai bagian dari suap.
Kendati mereka mengerti
itu suap, pengurus ranting --yang sebagian juga adaah kawan dekatnya itu,--
tidak terlalu peduli apakah praktik itu akan merugikan bagi moralitas
masyarakat atau tidak. Orientasi para kader lebih pada pencapaian materi dalam
waktu singkat dan meski hanya untuk sesaat. Sawilan menunjuk bukti suap yang
dilakukan calon bupati Ngawi yang kini terpilih, Budi Sulistiyo (Kanang) kepada
ketua PCNU Ngawi.
Meski Isrodin menolak
anggapan adanya suap berupa satu unit kendaraan Toyota Innova untuk pemenangan
calon bupati Kanang pada periode 2010-2015, tapi sejumlah pengakuan dari tim
sukses Kanang, dan pengurus PCNU lain menunjukkan bukti berbeda. Secara teknis
kendaraan tersebut diberikan melalui skema kredit (angsuran) yang selama proses
pembayaran ditanggung oleh Kanang. Meski skema pembelian kendaraan atas nama
Isrodin, tapi jika dalam proses pemilihan bupati 2010 para pengurus dan kader
NU Ngawi tidak membuktikan dukungan suaranya, maka Kanang tidak akan membayar
angsuran selanjutnya. “Skema ini kami berikan kepada para tokoh NU lain yang
ada di Bringin, Paron dan daerah lainnya,” kata Agung, salah satu orang
kepercayaan bupati Ngawi terpilih, mengungkapkan (wawancara informan 7, tim
sukses bupati terpilih).
Agung mengungkapkan
salah satu tokoh NU yang memiliki pesantren di Bringin, awalnya menerima
sumbangan mobil untuk pesantrennya berupa Toyota Avansa. Tapi perolehan suara
dari kantong NU yang ada di daerahnya tidak menunjukkan suara yang signifikan,
akhirnya bantuan ‘suap’ untuk tokoh itu tak dilanjutkan. Artinya, untuk proses
kredit mobil yang sudah dibayar down payment (DP) nya oleh tim sukses Kanang,
setelah pemilihan selesai, tak diteruskan. “Kami paling hanya kehilangan uang
DP (kredit kendaraan) saja, setelah itu biar mereka (tokoh-tokoh NU) itu yang akan meneruskan pembayaran
kreditnya,” imbuh Agung.
Kasus suap kepada para
kader NU baik pada proses pemilihan kepala daerah maupun pemilihan-pemilihan
jabatan lain di lingkungan structural NU sudah terjadi sejak lama. Bagi
Sawilan, praktik itu merupakan bantuk kelunturan moral yang sudah mewabah di
masyarakat tidak hanya NU saja. Siapapun mereka bila dihadapkan pada tawaran
kemudahan yang bersifat duniawi tanpa melihat aspek moralitas di dalam
menentukan pilihan politiknya, akan mudah menerima suap secara biasa. Seolah
kegiatan suap menyuap dalam proses pemilihan jabatan politis sebagai hal wajar
dan sudah semestinya diterima apa adanya.
Padahal bagi Sawilan,
penerimaan uang suap sebagai bagian dari bentuk perbuatan tercela yang mesti
dijauhi keberadaannya. Nilai-nilai yang tertanam pada diri semua santri yang
pernah menekuni dunia belajar mengajar di pesantren Al Amnaniyah dengan gus
wasik sebagai kiai mereka, tentu akan mengerti hal itu. Tidak semua santri
memang memahami apa-apa yang baik dan yang tidak baik. Banyak hal yang menjadi
catatan selama menyelami pemikiran kiai pengasuh pesantren Al Amnaniyah I itu
bila sudah mengenalnya.
Pandangan para santri
terhadap Gus Wasik, tak terbatas pada sosok tauladan yang patut mereka tiru
dalam kehidupan sehar-hari. Tapi tatacara hidup zuhud yang ia ajarkan merupakan
bentuk perlawanan terhadap merebaknya dekadensi moral yang terjadi di
masyarakat sekitarnya. Hasil wawancara dengan semua informan, peneliti
menemukan satu kesamaan penilaian pada diri Gus Wasik sebagai figure pengasuh
pesantren yang meneruskan sifat sang ayah (KH Soleman) dan kakeknya (KH Amnan).
Sifat-sifat itu kata mereka, menurun pada diri Gus Wasik, dengan tata cara
hidup jujur, sederhana dan tidak terlibat pada dunia kebendaan.
Ajaran paling
mengesankan yang dialami para santri termasuk Sawilan, adalah bagaimana
memprioritaskan hal ihwal kehidupan yang kekal. Dunia akherat, penerimaan amal
dan ibadah oleh sang Khalik, menjauhi perbuatan tercela, menganjurkan perbuatan
baik (amar ma’ruf nahi mungkar), dan beragam konsep tentang kema’rifatan.
Keyakinan pada semua ajaran sang kiai mutlak dilakukan dalam ranah sosial.
Bagi gus taufik, justru
keyakinan pada ajaran-ajaran itulah yang juga mesti disebarkan dan dijalankan
di ranah politik. “kita jangan apriori pada politik, tapi bagaimana mengubah
budaya politik yang kotor itu menjadi lebih baik. Itulah tugas kita,” kata Gus
Taufik (wawancara informan 1). Meski dalam
beberapa hal, ia tak menampik banyak sumbangan dari pihak luar, namun
sumbangan-sumbangan itu menurutnya, tidak bermotif kepentingan. Kecuali kalau
sumbangan itu berpengaruh pada sikap politiknya, maka itu sudah bentuk suap.
Selama ini ia mengaku sumbangan ke Amnanniyah II murni tercatat secara sah baik
dalam bentuk BOS (kemendiknas) maupun dari para donator yang menyebutkan
niatnya memang untuk amal. “Kalau ada sahabat kita memberi bantuan agar ia
dapat beramal, kita tak boleh menolaknya. Karena pembangunan pesantren
bagaimanapun akan memberi manfaat baik bagi masyarakat maupun pemberi donator.
Terkecuali kalau bantuan ke pesantren itu dalam rangka pemenangan salah satu
calon bupati, misalnya. Itu yang tak boleh dilakukan,” ucap Gus Taufik.
Kasus pemberian bantuan
dari salah satu calon bupati Ngawi ke pengurus NU, menurutnya, tidak bisa
dibenarkan. Ia mengakui praktik suap telah menjadi kelumrahan di lingkungan NU.
Ini lantaran dalam banyak hal para kader dan warga NU melihat kenyataan politik
baik di tingkat propinsi maupun nasional yang menampakkan dinamika yang sama.
Sebut saja pada setiap
acara pemilu, maupun pemilihan presiden, para pemimpin (elit) NU di tingkat
nasional menyambutnya dengan gegap gempita. Hajatan besar itu dipandang sebagai
bagian dari momen untuk bertarung pada wilayah politik, dan ironisnya yang
dipertontonkan oleh mereka adalah praktik politik praktis. Para tokoh NU
nasional tersebut, kata Gus Taufik, cenderung mengejar pencapaian kekuasaan
semata, tanpa membawa misi mulia dari para pendiri NU di masa lalu.
Untuk membuktikan hal
itu, Gus Taufik memberi contoh pada komentar para pemimpin NU di Jakarta, yang
melakukan komunikasi politik secara verbal. Kalaupun mereka menggunakan dalih
agama dan ajaran-ajaran Aswaja sebagaimana dianut NU, itu hanya untuk menutupi
realitas politik yang sebenarnya.
Senada dengan Gus
Taufik, pandangan yang tak jauh berbeda diakui Gus Wasik. Dalam wawancara
November 2013 lalu, mantan Rais Syuriah PCNU Ngawi itu melihat banyak tokoh NU
nasional terjebak pada kegiatan politik praktis. Ini memang menjadi preseden
yang kurang baik bagi warga NU di bawah. Pola serupa akan ditiru dan dilakukan
para kader dan tokoh-tokoh NU lokal untuk mencari legitimasi atas kegiatan
politik yang sama.
Sudah bukan rahasia
lagi bahwa pada Muktamar NU di Makassar, para kandidat Ketua Umum PBNU
menggunakan praktik suap kepada para peserta yang dari daerah. Para pengurus
PCNU dari seluruh kabupaten di Tanah Air, menjadi sasaran perebutan suara oleh
para kandidat. Praktik suap kepada peserta Muktamar saat itu, diketahui oleh
Gus Wasik sendiri yang saat itu hadir mendampingi Pengurus PCNU Ngawi. “Saya
sendiri mengetahui bagaimana tim sukses masing-masing calon, menawarkan
sejumlah dana untuk dukungan yang akan diberikan,” kata Gus Wasik yang
dibenarkan Gus Taufik. Jadi dalam pemilihan pengurus PBNU saja seperti itu,
maka bisa dibayangkan perilaku yang terjadi di tingkat kabupaten.
Tentu saja, ini menjadi
preseden buruk bagi NU di Ngawi. Kiblat para kader dan pengurus NU di daerah
tak lagi melihat bahwa praktik lacung itu tidak baik. Mereka memaklumi bahwa
siapa yang membayar dengan nilai rupiah lebih besar akan mendapatkan dukungan.
Parameter pemimpin NU terpilih dengan demikian bukan lagi pada kepribadian sang
tokoh yang baik budi pekertinya, jujur, sederhana dan amanah menjalankan tugas
organisasi NU di daerah, melainkan murni hanya suap.
Ironisnya, kekuatan
financial untuk memenangkan calon pemimpin NU di daerah datang dari parpol. PKB
yang memiliki kepentingan peraihan suara mereka di daerah Ngawi dan sekitarnya,
merasa perlu untuk mengegolkan calon-calon pengurus NU yang mereka dukung
dengan sokongan dana. Praktik ini terungkap dari pengakuan para peserta
pemilihan pengurus NU di Puhti, Ngawi, 2012 lalu.
Bentuk intervensi
partai politik dalam ranah organisasi NU, membawa implikasi besar bagi proses
belajar mengajar di Pondok Pesantren Al Amnaniyah I dan II, Karangjati Ngawi.
Bagi pengasuh pesantren NU yang memiliki afiliasi politik tertentu, dukungan
parpol membawa perubahan pada meningkatnya pembangunan fisik bangunan pesantren
yang bersangkutan.
Perolehan dukungan
financial pesantren, memang tidak serta merta datang langsung dari partai yang
menopangnya, melainkan juga dari jaringan lobi kader partai tersebut di tingkat
pemerintahan dan legislatIe. Dinas pendidikan setempat misalnya, tentu akan
sulit menolak tekanan yang diutarakan salah satu fraksi di DPRD kabupaten
maupun provinsi untuk membantu pesantren yang mereka dukung.
Jaringan lobi di
parlemen dan pemerintahan inilah yang menjadi alasan pihak Diknas untuk
memasukkan pesantren yang bersangkutan masuk dalam daftar program pengembangan
pendidikan yang dilakukan Kemendiknas. Inilah awal muasal alokasi dana BOSS
misalnya, bisa dengan mudah didapatkan sejumlah pesantren NU di daerah-daerah.
Jaringan dukungan dari
parlemen tempat para kader NU berkecimpung, menjadi sumber kekuasaan yang
menentukan bagi perolehan anggaran pemerintah untuk bidang pendidikan.
Sementara dukungan para pengasuh pesantren NU kepada parpol yang bersangkutan
senantiasa bisa berubah dan tidak tetap. Bagi masing-masing parpol, menarik
dukungan para kiai NU tentu akan menguntungkan secara politik. selain perolehan
suara, legitimasi politik bisa didapatkan dari suara yang datang dari dunia
pesantren tersebut.
Hal ini tentu
dimanfaatkan para kiai-kiai NU untuk memainkan bidak catur mereka dalam ranah
politik. penelitian ini tentu tidak akan mengurai lebih jauh masalah seperti
itu, namun pada komunikasi yang digunakan para kiai saat mereka berhadapan
dengan kepentingan parpol. Oligharki parpol dengan kepentingannya seperti itu,
dalam hal ini, tentu hanya sebagai variabel saja dari potret komunikasi yang
terjadi di lingkungan pesantren NU.
Lebih lanjut,
komunikasi politik, Gus Wasik dan Gus Taufik menjadi contoh karakteristik dan
perilaku politik kiai-kiai NU baik di Jawa Timur, dan Jawa Tengah serta kiai NU
pada umumnya. Di satu sisi, mereka yang meyatakan penolakannya pada kegiatan
politik (apolitik) kecuali politik kebangsaan, dan mereka terlibat dalam kegiatan
politik (politis), baik politik kepartaian maupun perseorangan (Pilkada,
Pilpres, dan pemilihan legislatif).
4.3.3.
Sikap Politik Pengasuh Pesantren
Sikap dan pandangan
politik pengasuh pesantren Al Amnaniyah sebagaimana digambarkan di awal
bertolak dari perbedaan penafsiran pada ajaran Islam sendiri. Bagi sebagian
umat Islam khususnya warga NU, hubungan antara Islam dan politik tak bisa
dipisahkan. Sementara yang lain berpendapat bahwa tugas politik NU tidak
seperti yang dilakukan para kadernya yang berorientasi pada posisi-posisi
politis semata baik di pemerintahan maupun legislatif. Tapi perjuangan politik
yang lebih luas, yakni, kerakyatan dan kebangsaan.
Bila demikian yang
terjadi, maka tugas para ulama untuk membumikan ajaran-ajaran ahlussunnah waljamaah
dan memberdayakan warga NU yang notabene masih terbelakang, menjadi terhambat.
Dalam perkembangannya, NU senantiasa lebih dijadikan kendaraan saja dan sumber
legitimasi bagi kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan.
Dalam catatan sejarah,
hubungan antara NU dan politik tak selalu membawa implikasi positif bagi umat.
Umumnya, para elit NU yang terpilih dalam posisi politik tertentu, acapkali
lupa pada misi dakwah yang seharusnya mereka emban. Umat NU masih bisa
membedakan antara kepentingan pribadi aktor politik yang mereka pilih dengan
yang tulus memperjuangkan aspirasi warganya.
Selain itu,
prinsip-prinsip islam Ahlussunnah wal
jamaah yang dijunjung tinggi sebagai pandangan hidup warga NU, tidak
memberi tempat pada watak keserakahan, cinta duniawi, kekayaan dan juga
kekuasaan yang ada di dunia politik. Konsep hidup aswaja, menurut mereka,
bertolak belakang dari sifat-sifat manusiawi yang seperti itu. Tak heran, jika
figur pemimpin spiritual yang tepat bagi mereka adalah para kiai, alim ulama
yang hidupnya zuhud (sufi), sederhana, tidak ambisius, dan menjauhi arena
politik.
Banyak contoh ulama NU
yang dijadikan rujukan mengenai sifat hidup yang baik itu yang patut jadi
tauladan oleh santrinya. Gus Wasik menyebut nama-nama kiai sepuh di awal masa
perjuangan seperti pendiri NU KH Hasyim Asyari, KH Cholil Bangkalan, KH Wahid
Hasyim, KH Mustofa Bisri, KH Sahal Mahfudh, dan
lainnya.
Ini berbeda dengan
peran politik yang dijalankan para politisi dari NU masa sekarang. Notabene mereka hanya menjadikan NU sebagai
kendaraan politik dan parahnya lagi, menyerahkan suaranya untuk instrument
pencarian legitimiasi bagi pusat-pusat kekuasaan. Tentu saja, para politisi itu
mendapat imbalan dari sikap politik dan dukungannya tersebut berupa keuntungan
yang bersifat material. Praktik suap dan korupsi,--meski dalam ranah ini perlu
kajian lebih dalam,-- sudah sedemikian dalam memasuki wilayah sakral dalam
tubuh NU, yakni Pesantren.
Bagi pengasuh Ponpes
Al-Amnaniyah, Gus Wasik, kenyataan seperti itu sudah ia pahami sejak lama. Jauh
sebelum ketua umum PBNU KH Abdurrahman Wahid membentuk Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) untuk mewadai aspirasi politik warga NU, banyak kiai di pedesaan
Jawa sudah mampu melihat arah dan kemungkinan mobilisasi warga NU untuk
memasuki bidang politik kepartaian.
Legitimasi Gus Dur
(sapaan Abdurrahman Wahid) saat itu kata Gus Wasik, cukup kuat di kalangan
warga nahdliyin. Setelah diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim Soeharto
selama Orde Baru berkuasa, simpati cukup besar tentu akan diberikan kepada cucu
pendiri NU itu. Ini terlihat setelah Rezim Orde Baru runtuh, tak ada yang
berani menyanggah legitimasi Gus Dur dalam ranah politik bahkan hingga menjadi
presiden RI keempat.
Namun, seiring
perkembangan politik, pencarian sumber kekuasaan dan dukungan politik akan
menyeret NU sebagai organisasi dalam sebuah dilema. Satu sisi amanat Khittah
untuk mundur dari kegiatan politik praktis, sementara sisi lain perlunya warga
NU memberikan support politik bagi pemimpin mereka yang sangat dihormati. Tarik
menarik diantara dua kutub inilah yang akan menentukan perilaku dan komunikasi
politik para kiai NU yang ada di bawah.
Bagi gus wasik, pilihan
menjauhi panggung politik konsisten ia pegang sampai kapanpun. Dalam wawancara
dengan peneliti, ia mengungkapkan bahwa apapun alasan orang menekuni peran
politis baik di DPRD maupun Kepengurusan PCNU di Ngawi, akan membawa konskuensi
spiritual dan sosial yang akan mereka terima.
4.4.
Komunikasi Politik Pengasuh Pesantren
Bagaimana komunikasi
politik yang mereka jalankan? Dari analisa di lapangan, peneliti menemukan
kaitan mendasar antara pilihan politik para elit NU yang ada di pusat (pengurus
NU di tingkat wilayah (PWNU dan PBNU) dengan pilihan politik para kiai pengasuh
pesantren di tingkat kabupaten.
Para kiai NU di tingkat
kabupaten menggunakan referensi para elit NU yang ada di propinsi dan pusat
guna menyikapi masalah-masalah yang mereka hadapi di daerahnya. Peran para elit
NU tersebut dengan mudah dipahami dan ditafsirkan oleh para kiai di Kabupaten
untuk mengarahkan kebijakan-kebijakan serta retorika yang mereka gunakan untuk
menjalin komunikasi dengan masyarakat dan warga NU khususnya.
Dalam beberapa
kesempatan, Gus Wasik dan Gus Taufik mengungkapkan bahwa dalam melihat realitas
politik di tingkat nasional, alasan mereka sependapat dengan pilihan politik
para kiai sepuh baik di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jakarta yang menjadi
referensi dalam setiap ceramahnya. Pertimbangan itulah yang menjadi dasar
menentukan pilihana-pilihan politis. Bagi Gus Taufik, kiprah Gus Dur dalam
politik adalah contoh nyata bahwa warga NU memiliki hak sama dengan warga
lainnya untuk memperebutkan posisi politik baik di tingkat legislatif maupun pemerintahan.
Argumen rasional yang
ia kemukakan menyatakan bahwa mengamalkan ajaran agama ‘amar maruf nahi mungkar’
tidak cukup melalui dunia pendidikan pesantren yang ia kelola. Dakwah islam
akan lebih membumi melalui bidang politik dan gaungnya akan lebih luas. Ia
mengungkapkan pandangan-pandangan politik keagamaannya itu melalui ceramah-ceramah
dan pengajian rutin setiap minggu di pesantrennya, dan beberapa kesempatan
seperti acara khatmil (khataman alquran).
Semantara bagi Gus
Wasik, sikap politik Gus Mus (KH Mustofa Bisri) dan KH Sahal Mahfudh, adalah
tauladan yang baik bagi kader NU di daerah. Kedua tokoh NU itu tak mudah
tergiur oleh tarik menarik kepentingan politik yang memasuki Organisasi NU.
Baik secara structural dan cultural, NU harus membatasi diri pada
kegiatan-kegiatan sosial yang tidak melibatkan diri pada politik kekuasaan.
4.
4.1. Tauladan Sikap Elit NU Bagi Kader Di Bawah
Bahkan untuk menegaskan
sikapnya itu, KH Sahal adalah orang yang mengusulkan agar ada reorientasi NU
untuk pembelaannya pada paham kebangsaan dan keutuhan NKRI semata. Bukan pada
urusan politik praktis seperti sekarang.
Awalnya memang pada isu
disintegrasi bangsa sejak wal pasca runtuhnya rezim Orde Baru. NU sebagai
bagian dari bangsa Indonesia, melalui sejumlah elitnya turut merespons isu NKRI
yang diusahakan dan yang dipetahankan oleh NU bukan sembarangan NKRI, tetapi
NKRI yang benar-benar bebas dan mandiri dari segala intervensi asing.
Dalam pernyataannya
mengenai isu tersebut, Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh mengungkapkan dalam
pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional Alim
Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Ia menegaskan, bukan
menunjuk suatu hal yang ada sudah sempurna, justru saat ini terlihat berbagai
problem yang dihadapi oleh NKRI. Selain persoalan sparatisme, soal pudarnya
identitas nasional, maka saat ini serangan terhadap kemandirian dan kedaulatan
bangsa ini juga semakin gencar, sehingga ketahanan nasional, baik dari segi
akidah, ideologi, politik dan ekonomi juga mengalami kebobolan.[23]
Sebagai akibat dari
semua itu, menurut Rais Aam Syuriah PBNU itu, pemerintah dan negara kehilangan
kemampuannya
untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Munculnya berbagai kelompok
ekstrem yang manggangu keutuhan bangsa, serta menganggu ketenangan tradisi dan
budaya masyarakat lokal, belum mendapat jaminan dari pemerintah yang ada.
Terlebih lagi soal kesejahteraan rakyat saat ini benar-benar memprihatinkan,
karena hampir semua sektor ekonomi yang strategis diserahkan pada pihak asing,
sehingga hasilnya tidak bisa ditasyarufkan untuk kepentingan rakyat, tetapi dihisap
oleh bangsa lain yuang sengaja menjajah bangsa ini.
Sudah semestinya
penegasan Kiai Sahal tersebut direspons oleh elit NU lainnya serta warga NU
secara keseluruhan, sehingga bisa dirumuskan sebagai agenda kerja. Agenda itu
kemudian diaplikasikan sebagai sebuah gerakan nyata. Ini arti sesungguhnya bagi
penegasan pada NKRI, bahawa ini siap mempertahankan, siap membela dan berjuang
serta melawan siapa saja yang mengganggu atau mengancam keutuhan NKRI.
Yang di dalamnya termasuk usaha untuk mengikis komitmen pada Pancasila dan
upaya pengikisan paham kebangsaan. Dalam hal ini, menjalankan kehidupan, NU
berangkat dari nilai spiritualitas, yang kemudian mengapliksikannya dalam
realitas, sehingga lahirlah manusia yang memiliki integritas. Dengan adanya integritas
moral dan intelektual itu, maka NU bisa
menjadi panutan, baik oleh warganya sendiri dan oleh seluruh bangsa ini.
Penegasan pada NKRI yang dilakukan NU, dengan demikian bukan penegasan yang
kosong, tetapi penegasan yang penuh makna dan syarat nilai, sebab penegasan itu
dilandasi beberapa prinsip sebagaimana yang disebutkan di atas, baik bersumber
dari Islam maupun Pancasila. Itulah landasan pertama dalam memerkuat kesatuan
dan keutuhan negeri ini.[24]
Dari segi proses
perumusannya, Pancasila sangat cocok dengan tradisi pemikiran yang berkembang
di NU, yang mempertemukan agama dengan realitas empirik, sebagai upaya
menghormati tradisi dan budaya yang sudah ada. NU tidak ingin agama dan sistem
ketatanegaraan yang dibangun lepas dari nilai agama dan tercerabut dari akar
kultural. Adanya kesamaan metode serta filosofi itulah NU menetapkan Pancasila
sebagai pilihan terbaik. Bukan terpaksa memilih atau pilihan buruk.[25]
Pancasila dan NKRI
bukan pilihan sebenarnya, melainkan hanya pilihan taktis, sebab bagaimanapun
Pancasila memiliki prinsip yang bisa menghambat selera liberal mereka.
Bagaimanapun Pancasila tidak sesuai dengan Undang-Undang yang telah mereka
amandir. Maka ketika mereka menegaskan pancasila, maka Pancasila juga akan
mereka amandir dan dimodulir agar sesuai dengan UUD yang sudah sangat liberal.
Bagaimanapun Pancasila masih mengangkat sistem permusyawaratan dan menjunjung
keadilan, sebuah prinsip yang tidak mereka kehendaki. Bagi NU problem relasi
agama vis a vis negara sudah selesai sejak keputusan Muktamar ke-27 di
Situbondo melalui penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Momentum ini juga
dimanfaatkan NU untuk menyatakan diri sebagai organisasi sosial keagamaan
dengan kembali ke khittah 1926.[26]
Berbeda dengan kelompok
NU, ketika Pancasila digunakan Orde Baru untuk menstigma kelompok lain, tanpa
ragu-ragu NU malah menegaskan Pancasila sebagai landasan kehidupan bersama yang
harus diberi muatan kemanusiaan dan keadilan. Karena itu ketika proses
desintegrasi bangsa ini kembali mengancam, maka NU juga menegaskan kembali
kesetiaannya pada Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bukan karena takut pada kelompok Islamis atau risau terhadap kelompok liberal,
melainkan sebagai sebuah pilihan pasti, mengingat kebaikan substansinya.
Pancasila merupakan
jalan tengah antara liberalisme, komunisme dan Islamisme, sebagaimana yang
terjadi dan disepakati pada awal perumusannya. Ketika jalan tengah itu kembali
dibelokkan oleh kelompok Islamis yang menghendaki ditegakkannya Negara Islam.
Dan juga tarikan kelompok sekuler yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
negara liberal, dengan mangamandemen konstitusi habis-habisan, maka NU kembali
meluruskan, menegakkan kembali dan menegaskan kembali komitmennya pada
Pancasila dan UUD 1945, agar tidak terus dibelokkan.
Penegasan itu tidak
hanya dari pengurus Tanfidziyah, tetapi juga dari jajaran Syuriyah, sebagaimana
ditegaskan oleh KH Ma’ruf Amin bahwa kalau NU dihadapkan pada pilihan Negara
Islam atau Pancasila, maka NU dengan tegas akan menghatakan tetap meilih
Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan alasan Pancasila merupakan pemikiran
terbaik bangsa ini dan merupakan kesepakatan terbaik dari bangsa ini,
maka keberadaannya harus dipertahankan untuk mewadahi keanekaragaman yang ada.
Hal sama juga ditegaskan oleh KH Hasyim Muzadi dihadapan para Pengurus PBNU dan
wilayah. Sangat jelas antara NU dengan kelompok lain dalam menyikapi Pancasila.[27]
Implementasi politik
kultural atau moral-kebangsaan NU pasca Orde Baru sebagai cerminan komitmen NU
untuk meneguhkan Khittah NU 1926. Selepas NU dari partai politik pasca kembali
ke Khitah 1926, sesungguhnya NU telah kembali menempuh jalur kultural. Politik
kultural itu muncul sebagai pengejawantahan dari moral force yang
dimilikinya. Dengan massanya yang besar, dengan pengaruhnya yang besar dan
dengan kekuatan moralnya yang besar pula, maka sebenarnya NU tidak hanya
memiliki kekuatan politik secara kultural atau politik moral, yakni bagaimana
bisa mempengaruhi proses perjalanan bangsa ini, tanpa berharap memperoleh
kekuasaan. Tetapi dengan kekuatan itu NU dengan sendirinya juga memiliki
kekuatan politik formal, untuk meraih kekuasaan.
Kalau kekuatan kedua
itu diambil, maka NU akan kehilangan jati diri sebagai organisasi sosial
keagamaan, karena secara substansial telah berubah menjadi organisasi politik
riil. Hal itu sebenarnaya yang dikhawatirkan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh
pada Rapat Pleno PBNU beberapa waktu lalu, sehingga ia menegaskan agar NU tetap
memegang perannya dalam menjalankan politik kultural, yaitu agar NU selalu
berupaya mempengaruhi proses kemajuan bangsa ini, tanpa berharap imbalan
kekuasaan.[28]
Selain itu pernyataan
tersebut juga sebagai bentuk penegasan terhadap problem politik nasional dewasa
ini, ketika para politisi tidak lagi peduli lagi terhadap nasib bangsa ini,
karena masing-masing sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sementara negeri ini
menghadapi ancaman yang sangat besar. Dari dalam dirongrong oleh para penjahat
ekonomi dan para penjahat politik, sementara dari luar diancam berbagai
intervensi dan inflitrasi yang sangat gencar dilakukan untuk memporakporandakan
keutuhan negeri ini.
Dalam situasi galau
semacam ini NU perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap keutuhan bangsa
ini. Oleh karena itu mempertahankannya merupakan suatu kewajiban, baik diminta
atau tidak, bahkan dihalangi sekalipun NU akan tetap melakukan sebagai sebuah
tanggung jawab moral. Politik kultural memang tidak popular, bahkan beresiko,
untuk membela keutuhan republik ini melawan berbagai pemberontakan, atau
melawan kampanye negatif dari negara asing, NU sering dituduh
sebagai kelompok oportunis yang mengikuti apa saja kemauan negara. Sikap itu
juga sering dianggap NU sebagai organisasi yang chauvinis dan konservatif
bahkan dianggap fasis, karena pikiran ini sejalan dengan sikap tentara. Dengan
berbagai caci-maki dan nistaan itu NU tetap dengan pendiriannya, karena
semuanya dijalankan dengan penuh perhitungan, niat yang lurus untuk membela
kemaslahatan bangsa dan rakyat. Itulah rasionalitas politik NU dan rasionalitas
politik kultural dalam rangka politik kebangsaan yang dijalankannya.
Sikap kebangsaan NU
bahkan telah dikukuhkan dalam khittahnya, sebagai ukhuwah wathoniyah, yang
menegaskan pentingnya solidaritas kebangsaan. Visi kebangsaan itu mempunyai dua
arah dan tujuan, baik sebagai upaya menjembatani berbagai perbedaan etnik,
agama dan cultural yang ada, maupun untuk menghadapi berbagai serangan militer,
budaya dan politik dari luar. Karena itu di dalam negeri NU berupaya menjaga
harmoni kehidupan antar komponen masyarakat, sementara keluar berusaha
menempatkan diri sebagai penekan dan pengawal bangsa ini. Tugas itu terus
diemban NU walaupun penuh risiko, termasuk risiko dikecam oleh kawan sendiri,
tetapi itu sebuah tugas suci, karena itu tetap dijalankan.
Dalam mengatasi krisis
keorganisasian yang dihadapi NU di tengah kancah perpolitikan nasional
yang sedang goncang saat ini, maka solusi yang ditawarkan oleh Rois Aam dalam
pidato iftitahnya untuk kembali menegaskan gerakan politik moral NU
adalah sebuah langkah yang sangat tepat dan sekaligus relevan untuk saat
ini. Suatu solusi yang sangat ditunggu dan sangat diharapkan, muncul dari
seorang pemimpin tertinggi NU dalam mengemudikan organisasi ulama ini di tengah
gelombang politik dan kekuasan. Untuk itu, NU harus berpegang teguh pada
prinsip-prinsip khittah. Kekurangteguhan dan kekurangpahaman terhadap nilai
dasar NU baik yang dituangkan dalam khittah maupun Qonun Asasi itu
membuat NU limbung dalam menghadapi topan politik, sehingga NU secara
kelembagaan terseret arus akhirnya tercampur aduk dengan urusan
politik sehingga kalau terus dibiarkan lambat laun NU kehilangin visi dan
orientasi kejamiyahannya. Arah ini yang selalu dijaga oleh segenap
jajaran pengurus PBNU syuriyah dan tanfidziyah.[29]
Penegasan kembali pada
politik moral sebagai penguatan moralitas warga, sehingga kaum Nahdliyin
kembali mampu menghayati dan mengamalkan moralitas ke-NU-an dalam segala aspek
kehidupan, yang diwarnai dengan pola hidup sederhana ditengah kehidupan yang
rakus dan serba duniawi. Menjujung nilai kejujuran di tengah suasana yang penuh
dengan manipulasi, menegakkan rinsip keadilan di tengah masyarakat yang
timpang, baik dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam arti itulah politik
warga NU dijalankan sebagai sarana penegakan moral.
Penegakan politik moral
ini mempunyai dua alasan yang sangat penting yaitu untuk memperkuat politik
kebangsaan dan politik kerakyatan, karena menurut penilaian Kiai Sahal, gerakan
poltik praktis telah merusak visi kebangsaan dan gerakan kerakyatan NU. Bisa
kita saksikan saat ini maraknya politik berdasarkan agama atau etnis tertentu,
juga, hilangnya integritas nasional, sehingga kita tunduk pada kemauan bangsa
lain, menjadi bangsa terjajah. Demikian juga berbagai undang undang dan
kebijakan yang menggusur hak-hak rakyat dibiarkan berlalu tanpa mendapat
pembelaan dari NU, padahal sebagian mereka warga NU. Persoalan itulah yang
menjadi kegelisahan Rois Aam, oleh karenanya politik moral perlu ditegakkan
untuk meneguhkan orientasi kebangsaan dan gerakan kerakyatan.
Prinsip-prinsip politik
kebangsaan itu menjadi pegangan pemikiran dan pandangan pribadi setiap kiai NU
yang ada di daerah. Hanya saja kata Gus Wasik, tidak banyak kader NU di bawah
yang menjalankan ketentuan moral para kiai sepuh seperti yang ditunjukkan KH
Sahal Mahfudh danKH
Mustofa Bisri.
Pilihan politik untuk
mencapai kursi kekuasaan baik di DPRD maupun kepala daerah, lebih menarik
daripada berjuang tanpa pamrih untuk keberlangsungan tatanan hidup berbangsa
dan bernegara dalam semangat toleransi, pluralisme dan demokrasi. Isu-isu itu
justru dipakai para kader NU yang duduk di jabatan politis untuk menutupi
kegiatan komersialisasi jabatan yang mereka kuasa. Komunikasi yang muncul dari
mereka adalah senantiasa memperjuangkan nilai-nilai aswaja itu, dan sejalan dengan
perjuangan para tokoh-tokoh NU di tingkat nasional.
Tapi dalam urusan
korupsi, para kader politik NU tidak memiliki sikap yang tegas, dan jelas
apalagi menentang secara sukarela untuk memberantasnya. Retorika antikorupsi,
kata Gus Wasik, memang menjadi makanan keseharian, baik melalui ceramah-ceramah
dan kampanye-kampanye pemilu, tapi setelah itu mereka sendiri yang melakukan
korupsi.
Gus Wasik mengungkapkan
keadaan itu, karena pengalaman dia sebagai Ketua Syuriah PCNU Kabupaten Ngawi
dan pengasuh Ponpes yang cukup ternama di daerahnya, membuktikan betapa banyak
dari orang-orang NU yang ia kenal, mengakui sendiri praktik yang kotor itu
tanpa merasa canggung. Ini menunjukkan bahwa urusan moralitas memang tergantung
pada masing-masing indIidu, dan kesempatan dari manapun adalah masalah cara.
Sayangnya, cara untuk
mencapai korupsi di bidang politik, adalah lewat organisasi masyarakat (Ormas)
yang bernama NU. Tak dapat dipungkiri bagi para pendahulu pesantren yang ada di
Ngawi melihat kenyataan sosial yang sudah sedemikian berubah. Para kader NU
generasi baru, rata-rata tidak memiliki pengalaman pendidikan di pesantren, dan
justru mereka datang dari kalangan masyarakat umum yang mengatasnamakan warga
NU.
Disinilah persoalan
sebenarnya untuk mencermati perubahan sosial di tubuh NU Ngawi. Apakah ini
jamak terjadi di lingkungan NU lain? Dalam perpektif organisasi, munculnya
kader-kader luar NU ke dalam tubuh NU ditandai dengan terpilihnya sejumlah
pengurus NU baik di tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga ranting dengan cara
money politics.
Konsekuensinya, para pengurus yang terpilih
itu, menggunakan jabatan organisasi mereka untuk kepentingan-kepentingan
pribadi. Komersialisasi jabatan akan muncul ketika para pengurus NU mendapatkan
tawaran dari luar organisasi terkait Pemilu, Pilkada, dan bahkan Pilpres. Tentu
saja, komersialisasi jabatan akan sulit terdeteksi oleh masyarakat karena
kegiatan mereka senantiasa bergerak di ‘bawah meja’.
Gus Wasik sendiri
merasakan bahwa proses pemilihan ketua tanfidziyah dan syuriah NU Ngawi pada
rentang 10 tahun terakhir, syarat dengan nuansa itu. Hal sama juga terjadi pada
saat pemilihan umum baik untuk perebutan kursi anggota dewan (legislatIe) di
semua tingkatan. Masing-masing caleg akan berbondong-bondong mendatangi para
kiai yang dianggap memiliki basis dukungan santri banyak. “Organisasi NU dengan
sayap organisasi di bawahnya, menjadi sasaran empuk dan lahan subur bagi
pencarian suara yang signifikan bagi para actor politik tersebut,” ujarnya.
Tak pelak, bagi kader
dan pengurus NU yang tak mempunyai landasan iman yang kuat serta tak memahami
visi misi organisasi NU secara benar, maka akan mudah larut pada permainan
politik praktis seperti itu. Komersialisasi jabatan juga menjanjikan keuntungan
baik materi dan kemudahan hidup yang cukup menggiurkan. Kendati demikian,
sebagai tokoh yang mendapat kepercayaan dari para santri dan masyarakat sekitar
pesantren, Gus Wasik merasa tidak pada tempatnya untuk ikut-ikutan terjun di
dunia politik. Ia secara terbuka tidak akan bersaing secara politis
memperebutkan sebuah jabatan di pengurus NU sekalipun, meski sebenarnya itu
bisa menentukan bagi arah NU ke depan.
Namun bagi pengurus
lain, kewenangan yang ada pada posisi pengurus di jajaran PCNU, akan membantu
mereka menyuarakan aspirasi warga NU agar di dengar di tingkat pusat kekuasaan.
Ketua PCNU Ngawi, H Isrodin mengatakan siapapun yang terpilih sebagai pengurus
NU cabang, harus bisa memposisikan diri sebagai pembawa amanah dari masyarakat.
Menyikapi tudingan
maraknya praktik korupsi di tubuh NU kabupaten, ia membantahnya. Selama ini
kata dia, memang banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dan tak ada bukti
bahwa ada permainan suap di balik setiap kegiatan politik itu. Sebagai kader
NU, ia tak akan memberi tempat pada praktik kotor itu di setiap lembaga
pemerintahan apalagi di tubuh NU. Sebagai Ormas keagamaan, NU harus menjadi
contoh yang baik bagi masyarakat tentang prinsip-prinsip moral, kejujuran,
kesederhanaan dan jauh dari sifat korup. “Kalau ada tuduhan tentang suap yang
dialamatkan ke pengurus NU, itu pasti datang dari pihak-pihak yang tidak ingin
NU tumbuh besar. Di setiap organisasi tentu ada saja orang yang tak suka pada
yang lain, dan selama ada aturan organisasi itu ditaati, maka hal itu tidak
masalah,“ katanya (wawancara informan 8).
Begitupun dengan
fasilitas yang dia berikan kepada para kader NU yang menjadi peserta Konfercab
di Karangjati, ia berpendapat bahwa hal itu merupakan tugas dia sebagai Ketua
PCNU yang masih menjabat. Jika lokasi Konfercab jauh di Timur, maka wajar saja
panitia menyediakan jasa transportasi kepada mereka. “Dan kami tak pernah
memberi dana apapun kepada mereka selain menyediakan 3 bus itu,” tambahnya
menanggapi laporan suap kepada peserta Konfercab.
Isrodin juga menyatakan
alasan dia terpilih sebagai Ketua PCNU lagi untuk kedua kalinya karena memang
para pengurus NU di MWC dan ranting memilihnya.
4.4.2.
Politik Moral NU
Meski NU dalam khittah
1926 disebut sebagai organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik,
besarnya syahwat politik para pengurus dan kader-kadernya akan menyeret NU
sebagai organisasi politik. Artinya, peran NU sama halnya dengan peran partai
politik. Masuknya sejumlah pengurus NU dari tingkat pusat, wilayah, dan cabang
untuk memenangkan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres)
tertentu dan calon legislative (Caleg) partai-partai yang ada menunjukkan NU
telah berperan sebagai “partai politik”.
Di sisi lain, PKB
sebagai partai yang mayoritas konstituennya warga NU tak mau kalah. PKB kian
mematangkan kecenderungan politik dalam tubuh NU. Masuknya sejumlah kiai/nyai
sebagai calon anggota legislatif (caleg), bupati, dan anggota DPD kian
menyempurnakan wajah NU sebagai entitas politik. Kentalnya aroma politik
pengurus NU dan kecenderungan kekuasaan pengurus PKB makin menguatkan kesan NU
adalah organisasi politik yang paling diperebutkan banyak pihak, tidak hanya
oleh kekuatan di luar NU, tetapi oleh elite NU sendiri.
Di sinilah sebenarnya
NU sedang menghadapi dilema luar biasa, setidaknya karena dua hal. Pertama, NU
akan kehilangan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah
diniyyah ijtimaiyyah). Sekali lagi, ini bukan hal baru dalam tubuh NU. Greg
Fealy mencatat pemandangan itu sudah menjadi perhatian Syuriah PBNU tahun 1960
agar elite NU tidak terjebak dalam politik hubbul jah, yaitu politik yang hanya
berorientasi kekuasaan atau jabatan. Dan, wujud mereka jelas tidak lagi
membesarkan NU, justru mengerdilkannya.
Kedua, NU akan semakin
asing bagi warganya, khususnya dalam ranah politik. Ini dibuktikan dengan
migrasi politik warga NU dalam pemilu presiden 5 Juli. Banyaknya warga NU yang
memilih SBY-JK pada Pilpres 2004 dan SBY-Budiono pada Pilpres 2009 menunjukkan
mereka tidak lagi percaya pada elite NU dan PKB.
Pemahaman pada
pentingnya moral NU sebagaimana sering disampaikan para tokoh NU di Jakarta,
sebenarnya sudah sampai pada kader-kader NU di kabupaten. Isrodin dan pengurus
PCNU lain mengatakan pemikiran itu memang harus menjadi catatan penting warga
NU. NU tidak boleh menerjunkan diri ke dunia politik, kecuali sebagai ormas
yang memperjuangkan paham kebangsaan dan moralitas aswaja.
Apa dan bagaimana
moralitas aswaja? Isrodin mengungkapkan moralitas itu tumbuh dan berkembang di
lingkungan NU sejak awal berdirinya organisasi keagamaan ini. Selain menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan masyarakat, dan kesetaraan bagi kaum
perempuan, NU mesti lantang menyuarakan gerakan anti-korupsi. “Gerakan
antikorupsi merupakan salah satu agenda penting untuk mendukung sistem
pemerintahan yang bersih dan sesuai dengan ajaran islam.”
Dalam beberapa
kesempatan, pandangan itu menjadi semacam salah satu platform NU di
daerah-daerah menyikapi realitas sosial politik yang berkembang. Ketua PCNU
Ngawi, H Isrodin sering mengemukakan bahwa kader NU harus memiliki kejelian
membedakan wilayah ‘abu-abu’ dan yang bersih. Jebakan sering muncul saat Pemilu
dan Pilkada datang. Para calon kontestan yang mencari dukungan ke basis-basis
NU sering menggunakan cara suap dengan cara halus.
Umumnya para caleg dari
partai, kata Isrodin, terang-terangan membagikan kaos dan sejumlah uang agar
warga NU memberikan suaranya kepada nya. Pun dengan proses Pilkada. Calon
bupati bisa mengucurkan dana politiknya ke para kader dan pengurus NU bahkan
langsung ke warga NU. Ini akan membuat cara berfikir warga NU menganggap suap
sebagai hal yang wajar dan tak perlu dilawan.
Pandangan tentang
moralitas NU, ia sampaikan kepada khalayak, juga forum diskusi yang ada di
lingkungan PCNU Ngawi. Semangat antikorupsi harus dimiliki semua pengurus NU dan
para kader mereka yang duduk di legislatif, dunia bisnis dan pemerintahan.
Kalau ada bukti pengurus melakukan tindak pidana korupsi, maka siapapun bisa
melaporkannya ke pihak berwenang. “Jadi kalau saya dituduh korupsi, ya silahkan
di proses hukum. Tentu harus disertai bukti yang kuat. Jangan hanya tuduhan
saja,” katanya. Meski ia membantah,
pengakuan dari para peserta dan tim suksesnya mengungkapkan hal berbeda.
Tak ada yang baru dari ‘bahasa
moralitas’ yang digunakan oleh para tokoh politik. menurut Gus Wasik, semua
orang tentu tidak akan mengatakan dirinya pencuri, meski sebenarnya melakukan
pencurian. Apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan, berbeda.
Pandangan tentang
moralitas NU seperti itu juga sudah sewajarnya diutarakan di setiap acara
politik baik yang melibatkan massa NU maupun khalayak umum. Permasalahan
sebenarnya, adalah apakah khalayak tahu bahwa kegiatan korupsi itu merusak, dan
menjadi agenda pribadi masing-masing orang untuk memberantasnya? Bagi sebagian besar warga NU, menurut Gus
Wasik, sebenarnya cukup tahu tentang adanya praktik-praktik politik uang (money
politic) di tubuh organisasi. Informasi adanya praktik politik uang di setiap
kegiatan NU mudah menyebar dari orang per orang, dari satu pengurus ke pengurus
dan dari kader ke kader NU lainnya mulai dari tingkat paling bawah sekalipun.
Bagi khalayak, mereka
yang melakukan kegiatan money politic baik untuk memperebutkan jabatan
kepengurusan organisasi maupun jabatan di legislative bagi para caleg seolah
menjadi hal yang lumrah karena sering dilakukan. Namun, mereka seolah tidak
mempunyai kekuatan untuk mengubahnya kecuali berharap pada pihak lain.
Dan pihak lain itulah,
salah satunya ada pada diri kiai sekaligus pemimpin kharismatik yang
mendapatkan kepercayaan dari umatnya. Bertolak dari asumsi itulah, Gus Wasik menilai bahwa proses penyadaran
yang terbaik bagi waga NU dalam bidang politik, adalah tidak terlibat dalam
urusan politik pragmatis, yang hanya mengejar posisi dan jabatan tertentu baik
di parlemen maupun pemerintahan.
Inilah yang ia utarakan
dalam beberapa acara pengajian di Pesantren Al Amnaniyah maupun di luar
pesantren. Pandangan-pandangan NU yang memperjuangkan visi kerakyatan dan
kebangsaan menjadi tema utama, ketimbang merekomendasikan salah satu caleg atau
calon bupati yang akan maju dalam pemilu dan pemilukada. Seperti pada pengajian
khatmil alquran pada 3 Desember 2013, ia mengungkapkan beberapa persoalan
terkait ajang Pemilu 2014 nanti.
Dalam sambutannya, Gus
Wasik mengatakan,”..sebagai bagian dari warga NU, kita harus paham watak
gerakan kerakyatan yang lebih mengedepankan kepekaan atas problem riil yang
dihadapi warga NU dan harus menjadi mainstream dari gerakan NU secara
keseluruhan. Selama ini komitmen demikian baru sebatas mendirikan lembaga-lembaga,
namun belum diikuti dengan tindakan dan komitmen yang lebih nyata. Bahkan,
institusi NU sendiri cenderung kalah kiprahnya bila dibandingkan dengan LSM-LSM
yang dikelola secara kultural oleh anak-anak muda NU. Sayangnya, selama ini banyak
dari kita yang suka pada hiruk pikuk politik praktis, dukung-mendukung salah
satu calon. NU sesuai khittah tidak akan mendukung salah satu calon baik
perseorangan ataupun partai politik…” (ceramah Gus Wasik, 3 Desember 2013 di
Pesantren Al Amnaniyah I, Karangjati, Ngawi).
Lebih lanjut menyikapi
khittah NU, pengasuh Ponpes Al Amnaniyah I ini mengungkapkan, “..sesuai
petunjuk dari Rois Aam Pengurus Besar (PB) NU KH Sahal Mahfudh yang menyatakan NU
harus sepenuhnya kembali sebagai jamiyyah
diniyyah wa ijtimaiyyah. Oleh karena itu, sekarang ini kita perlu segera
mengembalikan NU sebagai jamiyyah dinniyyah wa ijtimaiyyah.”
Dalam menyikapi
persoalan kebangsaan, Gus Wasik selalu menjadikan Rais Aam PBNU KH. Sahal
Mahfudh sebagai bahan rujukan. Ia sering mengingatkan, bahwa latar belakang
pendirian NU adalah sebagai jamiyyah diniyyah, sehingga fokus
kegiatannya pada bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Pengurus NU di tingkat
mana pun harus mampu memberikan pengarahan tentang politik dan demokrasi kepada
warganya, sehingga jama'ah toleran terhadap perbedaan.
Sementara Gus Taufik
merujuk pandangan dan pemikiran Gus Dur dalam setiap ceramahnya. Pertarungan
diantara dua pandangan itu, merupakan refleksi dari kondisi elit NU yang
terlibat dalam proses tarik menarik antara kepentingan kiai yang politis dan
yang tidak.
Sejatinya, kepentingan
yang lebih menentukan adalah partai politik dengan strategi menempatkan para
kiai dalam jajaran kepengurusan di tingkat pusat hingga daerah di kabupaten.
Mereka mendapatkan posisi tersebut, lantaran faktor ketokohannya sebagai vote
getters (pendulang suara) di basis pesntren.
Para kiai memperoleh
keuntungan material, dan sedikit kekuasaan, namun tidak menentukan sebagaimana
peran elit parpol. Contoh nyata dari kuatnya kepentingan parpol atas kiai, seperti penentuan garis kebijakan partai dan
tata aturan organisasi yang menempatkan ketua umum, sekjen dan pengurus di DPP
maupun DPW yang bisa mengeluarkan keanggotaan siapapun dari organisasi
Partainya.
Kasus pencopotan
jabatan anggota DPR, DPRD oleh pengurus partai menunjukkan bahwa sewaktu-waktu
para kiai yang duduk di jabatan politis itu dengan mudah di lengserkan. Di
titik inilah, kekuasaan oligarki partai yang mengerucut pada elit politik
begitu nyata.
4.5. Karakteristik Budaya Komunikasi
Politik Elite NU
4.5.1.
Pengaruh Otoritas Elite dalam Budaya
Politik NU
Melacak akar
budaya dan basis komunikasi komunitas
NU, tidak terlepas dari pengaruh determinan kiai dengan basis pesantrennya
sebagai bagian utama komunitas Nahdliyin. Dalam konteks penelitian ini, kiai
diposisikan sebagai elite NU yang juga memainkan peran dan perilaku politik
dalam pengertian luas. Pada dasarnya, tradisi komunikasi di kalangan kaum
Nahdliyin tidak dapat dijelaskan secara terpisah dari konteks sosial tempat
komunikasi itu berlangsung. Artinya, komunitas Nahdliyin senantiasa berkaitan
secara fungsional dengan situasi sosial dan budaya komunitasnya, seperti
terlihat pada perilaku komunikasi kiai-santri yang tidak bisa dijelaskan secara
terpisah dari lingkungan pesantrennya. Dalam tradisi pesantren, kiai sebagai
elite NU memiliki otoritas yang dapat mempengaruhi opini dan perilaku politik
publik NU.
Jika meminjam,
kategorisasi Dan Nimmo, maka dengan menggunakan karakteristik kiai-kiai dalam
komunitas NU dapat dikategorikan ke dalam kelompok komunikator profesional,
mereka memiliki keahlian mengendalikan dan mempengaruhi orang dengan
keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol. Kiai sebagai komunikator
politik mampu memainkan peran-peran sosial yang signifikan, terutama dalam
proses pembentukan opini publik. Kiai adalah semacam makelar simbol, atau orang
yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke
dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain yang berbeda, tetapi tetap
menarik dan mudah dimengerti.[30]
Di kalangan NU, adalah
kiai merupakan figur elite yang mampu menerjemahkan atau mengomunikasikan
bahasa politik ke dalam bahasa agama yang mudah dipahami dan diterima para
jama'ahnya atau nahdliyin sebagai komunikan. Selain itu, kiai juga sekaligus
menjadi sumber informasi utama dalam pengambilan keputusan politik untuk
berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam sesuatu proses politik. Di
antara faktor-faktor yang memperkuat sosok kiai sebagai komunikator politik
adalah karena kekuatan kharisma yang menyebabkan munculnya kepengikutan massa
secara irrasional.[31]
Komunikasi irrasional seperti ini, dalam banyak hal, tentu akan berdampak pada
meningkatnya efek kepengikutan massanya secara signifikan. Simbol-simbol
komunikasinya ditafsirkan secara subjektif, sesuai dengan konteks lingkungan
pada saat berlangsungnya komunikasi. Komunikasinya tidak berlangsung dua arah.
Komunikasi khas NU ini hanya berlangsung satu arah (one-way-communication),
dan bahasa yang disampaikannya pun banyak yang perlu ditafsirkan secara
khusus.
Selain itu, di kalangan
NU terdapat sejumlah simbol-simbol keagamaan, misalnya, kiai selalu
diidentifikasi sebagai sosok yang berpakaian khas seperti; sarung, serban dan
peci. Karena kekhasan ini pula komunitas muslim tradisionalis ini, terutama
kiai, santri dan warga pesantren pada umumnya, sering disebut kaum sarungan.
Isyarat nonverbal lainnya adalah mencium tangan ketika bersalaman. Para santri
yang baru masuk pesantren pertama kali diajarkan etika bersalaman ini sebagai salah
satu akhlak (perilaku) yang baik, terutama ketika bersalaman kepada kiai dan
orang-orang yang lebih tua dari mereka. Caranya, ada yang hanya mencium
punggung ujung tangan sebelah kanan, ada pula yang mencium telapak tangan dan
punggungnya dari tangan yang digunakan untuk bersalaman. Bagi para santri,
perilaku ini dimaksudkan sebagai tabarruk (untuk memperoleh berkah) dari kiai.
Sebab kiai diyakininya sebagai orang bersih yang dapat memberikan berkah kepada
siapa saja yang dekat dengannya. Kiai juga dianggap, sebagai ahli hikmah yang
selalu diminta do'anya untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena alasan tabarruk ini
pula para santri di pesantren-pesantren tradisional biasa memanfaatkan
sisa-sisa makanan dan minuman kiai, atau pakaian bekas yang pernah digunakan
kiai.[32]
Akan tetapi, penting
pula untuk dicatat bahwa suasana komunikasi seperti ini hanya mungkin terjadi
jika para kiai yang berkumpul adalah mereka yang memiliki tingkat yang sama.
Mereka memiliki tingkatan pengetahuan, rujukan, dan Tatar belakang pengalaman
yang relatif sama. Biasanya mereka adalah kiai-kiai yang sejak menjadi santri
telah bersama-sama hidup dalam satu generasi. Hubungan ini akan terus
terpelihara meskipun di antara keduanya telah berstatus sebagai kiai. Sebaliknya,
jika di antara mereka tidak memiliki posisi sejajar, maka pola hubungan yang
terjadi akan mencerminkan hubungan atas bawah dengan menempatkan para pelaku
komunikasi dalam peran-peran yang biasanya melekat pada status hubungan guru-murid
atau kiai-santri. Tidak jarang komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat
dalam proses itu berlangsung kaku, tidak dekat dan tidak komunikatif. Mereka
juga tidak membedabedakan suasana, baik dalam kesempatan informal maupun acaraacara
formal, pola-pola hubungan ini tetap terpelihara seperti apa adanya.
Keterpeliharaan status guru-murid ini terutama dilandasi oleh sikap tawadlu,
rendah hati, dan kesadaran untuk tetap menghormati guru.
Simbol-simbol atau
lambang-lambang yang biasa berlaku dalam komunikasi jamaah NU juga memperlihatkan
keterkaitannya dengan upacara-upacara ritual atau tradisi-tradisi keagamaan.
Upacara-upacara atau tradisi-tradisi tersebut pada mulanya merupakan khazanah
yang berkembang di dunia pesantren, kemudian berkembang secara lebih luas, baik
karena masyarakat sendiri yang mengikuti tradisi pesantren ini maupun karena
kiai dan para santri yang sengaja membawa dan menyebarkannya kepada
masyarakat. Sehingga karena proses interaksi sosial seperti ini, NU juga
seringkali diidentifikasi sebagai sebuah komunitas (jamaah) yang dicirikan oleh
tradisi yang berbasis pesantren. Karena itu, simbol-simbol yang berlaku di
lingkungan pesantren otomatis menjadi simbol kultural organisasi NU.[33]
Hubungan komunikasi
kiai-santri sebagai cerminan hubungan sosial jamaah nandliyin tidak hanya
terjadi di wilayah keilmuan, tetapi lebih dari itu terjadi pula hampir di semua
wilayah kehidupan.[34]
Tata nilai yang merujuk pada fikih ini pada gilirannya menghasilkan
simbol-simbol komunikasi yang selalu mengenakan piranti-piranti di sekitar ilmu
fikih. Nilai-nilai yang bersumber dari kerangka fiqh ini juga yang kemudian
menjadi etika komunikasi kaum nahdliyin. Misalnya, dari rumusan fiqh al-muhâfadzat
`alâ qâdimi al-shâlih dapat diturunkan nilai dasar yang menjadi simbol dan
pedoman dalam berperilaku kaum nahdliyin. Sedangkan simbol-simbol keagamaan
yang muncul dari pola-pola kehidupan tasawuf berakar pada pola hubungan antara
guru atau mursyid dengan muridnya. Pemberian ijazah dalam ilmu kebatinan,
misalnya, atau amalan-amalan tarekat tertentu lainnya, biasanya diberikan oleh
mursyid setelah ia mendapatkan petunjuk dari guru sebelumnya lewat mimpi.
Isyarat lewat mimpi ini biasanya diperoleh setelah melakukan shalat istikharah.[35]
Demikian halnya,
tradisi pembelajaran dikalangan pesantren yang menjadi basis NU menerapkan
pola-pola komunikasi yang berlaku di lingkungan pesantren bersifat; monolog,
yakni, komunikasi tatap muka, personal, dan lebih bertumpu pada bentuk
komunikasi lisan (oral communication).[36] Seorang kiai
berada didepan atau ditengah-tengah santrinya menyampaikan pesan atau materi
pengajian tanpa disertai pembicaraan atau proses komunikasi lainnya dengan
kiai. Dalam hal ini, kiai berfungsi sebagai sumber informasi, guru belajar yang
utama, dan sekaligus berperan sebagai pemimpin yang memainkan kekuasaan
"mutlak". Menurut Zamakhsyari Dhofier, "Kiai merupakan cikal-bakal dan elemen
yang paling pokok dari sebuah pesantren." Karena itu, dalam penyelesaian
masalah, kiai cenderung otoriter, dan dengan kekuatan kharismanya, komunikasi
kiai-santri berlangsung satu arah.[37]
Tradisi ini menjadi
sumber nilai yang membentuk pola komunikasi di kalangan warga nahdliyin.
Pesantren menjadi alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakatnya. Meskipun
dalam tradisi komunikasi, misalnya, kiai cenderung monopoli. Kondisi ini
digambarkan KH. Cholil Bisri. Menurutnya, kiai itu nyaris tidak demokratis di
kalangan sendiri, di kalangan dekatnya dan terhadap "anak buah"
terutama terhadap santri-santri. Maka dari itu oleh kalangan sendiri, kalangan
dekatnya dan terhadap santri-santrinya, kiai itu terkesan otoriter. Kalau kiai
punya mau, punya pendirian, pendapat atau gagasan, orang dekatnya atau
santri-santri jangan coba-coba mengoreksi, apalagi menentang. Bisa-bisa mereka
akan dipinggirkan – untuk tidak menyebut, dibenci – dan jangan berharap
memperoleh sapaan yang familiar. Namun mereka yang "diam saja" meski
tidak setuju dan tidak menentang, akan mendapat pembelaan mati-matian. Kalau
perlu kiai rela berkorban demi kalangan dekatnya itu. Terhadap mereka kiai
menggembol toleransi yang amat tinggi.[38]
Tradisi komunikasi ini
tampak menjadi pemandangan yang menarik dan merupakan warna tersendiri seperti
terlihat dalam forum bahts al-masail, suatu tradisi bermusyawarah para kiai
dalam membahas masalah-masalah kontemporer. Forum ini dihadiri oleh sejumlah
kiai. Mereka berdiskusi. Jalannya diskusi pun berlangsung sangat demokratis dan
egaliter, seperti layaknya sekelompok santri yang sedang berdebat dengan
sesamanya di suatu pondok.
Tapi, suasana itu hanya
berlangsung pada lapisan "elite" kiai yang biasanya mengambil posisi
paling depan. Peserta bahts al-mâsâ'il lainnya cenderung memosisikan
diri sebagai pendengar, seperti layaknya sekelompok santri yang sedang mengaji.
Mereka hadir untuk "mengaji", mendengar penjelasan-penjelasan kiai
dan, yang lebih penting lagi, untuk tujuan tabarruk (memperoleh berkah dari
para kiai senior)." Komunikasi timbal balik dalam suasana demokratis dan
egaliter ini memang hanya terjadi di antara pelaku komunikasi yang posisinya
sejajar. Sebaliknya, komunikasi akan kembali searah terutama ketika melibatkan
pelaku komunikasi yang tidak sejajar, seperti halnya kiai dengan santri.[39]
Akan tetapi, etika
berkomunikasi terutama antara kiai dengan santri, anak buah, bawahan, atau
bahkan masyarakat sekalipun, sangat memperhitungkan tata krama, sopan santun,
serta ketentuan-ketentuan lainnya yang bersumber pada nilai-nilai akhlaq
al-karimah dalam pengertian menghormati orang yang lebih tua.
Dalam realitasnya,
tradisi komunikasi pesantren sangat kuat mempengaruhi pola komunikasi warga
Nahdliyin, baik dalam konteks formal maupun informal. Selain itu, saluran komunikasi
masih bertumpu pada bentuk face-to-face communication, sehingga
sering terjadi keterlambatan dan keterhambatan informasi di lingkungan NU. Di
antara kelebihan bentuk komunikasi ini, seperti terjadi pada umumnya kaum
Nahdliyin, adalah kedekatan emosional yang lebih dominan memengaruhi jalannya
komunikasi. Banyak saluran yang biasa dimanfaatkan kalangan NU untuk
menyampaikan pesan-pesan lisan. Tradisi istighosah, misalnya, seringkali
digunakan sebagai saluran komunikasi politik dengan memanfaatkan watak
istighosah sebagai arena pertemuan spiritual (spiritual gathering).
Selain lebih bernuansa spiritual, pertemuan juga cenderung informal, sehingga
dapat mempermudah proses penyampaian pesan-pesan.
Sementara itu, saluran
komunikasi politik NU dapat diamati melalui keterlibatannya dalam dunia politik
praktis menyiratkan fenomena politisasi agama ditandai, digunakannya isu agama,
baik sebagai simbol pesan-pesan maupun sebagai salah satu bentuk saluran
potensial komunikasi politik NU. Wacana agama menjadi kemasan yang dominan
dalam proses komunikasi politik yang diperankan NU. Sebagai organisasi sosial
keagamaan, pesan-pesan politik NU memberikan kesan kuat sebagai pesan-pesan
agama yang disampaikan melalui proses simbolisasi politik dalam nuansa agama.
Hal itu pada gilirannya
dapat memberikan efek kesan yang mudah diterima massa, karena proses
pembentukan suasananya yang dipadang relevan dengan suasana psikologis setiap
partisipan komunikasi yang terlibat. Sebab dalam komunikasi, pesan juga
bergantung pada konteks fisik atau ruang, waktu, sosial, dan psikologis.[40]
Demikian pula figur komunikator yang menjadi juru bicara utama komunikasi
politik NU hampir selalu memperlihatkan warna ganda yang diperankannya, antara
pemimpin politik dan pemimpin agama.
Dalam konteks seperti
itu, agama menjadi simbol yang dapat memperlicin proses komunikasi untuk
menemukan kesamaan-kesamaan rujukan dan pengalaman di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi. Sebab sebagai animal symbolicum,[41] manusia selalu
membutuhkan lambang-lambang untuk memenuhi hasrat komunikasi dengan sesamanya.
Lambang atau simbol, seperti dikatakan Deddy Mulyana, adalah sesuatu yang
digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok
orang. la meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (pesan nonverbal), dan
objek-objek yang maknanya disepakati bersama.[42]
Kemudian menelusuri
relasi antara agama, komunikasi politik, dan aktor politik kaum Nahdliyin dapat
merujuk pada perspektif interaksi simbolik yang diperkenalkan George Herbert
Mead, bahwa perilaku manusia muncul melalui proses pemaknaan terhadap objek di
sekitarnya. Prinsip ini kemudian dijelaskan Deddy Mulyana bahwa orang-orang
sebagai peserta komunikasi (communicators) bersifat aktif, reflektif,
dan kreatif menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.[43]
Penulis menegaskan
pemetaan komunikasi politik kaum Nahdliyin untuk mengelaminir adanya kesan umum
sebagai perilaku NU yang inkonsisten. Menurut penulis, sebetulnya komunikasi
politik NU tidak lebih dari proses pemaknaan terhadap isyarat-isyarat politik
yang berlangsung secara aktif, reflektif, dan kreatif dalam ranah konstelasi
politik yang berkembang dan bukan doktriner. Hal ini dibenarkan pada realitas
politik NU yang mewarnai perubahan-perubahan komunikasi politik NU, yakni berlangsung sejalan dengan
perubahan-perubahan politik yang melingkupinya.
Sementara pemaknaan
agama yang digunakan NU tidak lebih sebatas untuk menjustifikasi perilaku
tersebut muncul karena ketersediaan bahan rujukan yang dimiliki para pelaku
politik itu serta kuatnya ikatan emosional dengan "lambang-lambang"
agama yang telah akrab dalam kesadaran hidupnya.
Dalam kasus hubungan
kiai dan politik di Amnaniyah I dan II, peran kiai sebagai komunikator politik
memanfaatkan aspen keagamaan sebagai basis legitimasi mereka dalam bertindak.
Seperti saat para santri menanyakan alasan Gus Taufik mencalonkan diri sebagai
anggota DPRD Ngawi, maka jawaban pengasuh Alamnaniyah II itu bersumber dari
sikap dan pilihan politik yang juga dilakukan para pemimpin NU seperti KH
AbdurrahmanWahid dan kiai lainnya.
Gus Taufik juga
beralasan bahwa yang membuat politik jadi kotor karena faktor pelakunya bukan
wilayah dakwah. Tugas ulama tidak cukup melakukan dakwah di lingkungan yang
sudah benar seperti pesantren, tapi juga di wilayah ‘hitam’ seperti politik.
Jika ada pejuang dakwah
terlibat dalam kegiatan politik korup, maka tugas ulama adalah membersihkan
politik dari praktik korupsi. Jadi bukan malah ikut-ikutan korupsi, katanya.
Sementara bagi Gus
Wasik menggunakan juga bisa menggunakan alasan dari pendapat Gus Dur ketika
sebagai presiden RI, ia membubarkan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial. Dua lembaga itu yang sudah dipandang sarang
korupsi, tak bisa lagi dipertahankan. Kalau tikus sudah menguasai lumbuh padi,
maka lumbung padinya tak bisa dibersihkan, melainkan mesti dibakar, tuturnya.
Sikap politik kiai
harus tegas melawan tindak korupsi yang sudah menjalar di dunia politik. Sistem
politik yang berkembang saat ini menurut Gus Wasik, sudah sedemikian korup,
sehingga tak memungkinkan ulama untuk memperbaiki dari dalam. “Bila tidak bisa
diubah dari dalam, maka pilihannya ya keluar, dan melawan dari luar arena,”
kata Pengasuh Alamnaniyah I.
Persoalan moralitas
bagi Gus Wasik dan Gus Taufik menjadi pertimbangan utama untuk bertindak di
ranah sosial maupun politik. Hanya saja, umat NU telanjur apriori pada
kepentingan politis yang merusak tatanan budaya pesantren dengan nilai-nilai
akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa dan negara ini
sebelumnya.
4.5.2. Basis
Budaya Komunikasi Politik dalam NU
Basis utama politik NU adalah pesantren sebagai wadah yang memberi ruang
memmahami agama dipertautkan dengan politik. Diluar dari
kurikulumnya, perilaku kiai pesantren yang mengambil peran politiknya, cukup
berpengaruh kemudian terhadap konstruksi doktrin, pemahaman, kesadaran dan
perilaku para santri dan jama'ahnya. Kepiawaian kiai membungkus tema politik
dalam bingkai agama yang efektif dalam mengkomunikasikan pesan-pesan
politiknya. Dalam pengamatan penulis, warna agama menjadi khas dalam perjalanan
politik NU, tidak berbeda dengan semua kekuatan sosial politik di Indonesia,
khususnya partai-partai Islam telah menggunakan agama sebagai kendaraan politik
yang ditungganginya. Penilaian ini diperkuat realitas politik dengan hadir
sejumlah elite politik NU menjadikan arus informasi politik semakin dominan.
Akibatnya, NU, selain identik dengan
tradisi khas komunitas pesantren, dengan menggunakan kacamata politik, NU juga
dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai komunitas politik.[44]
Berkenaan dengan
lambang-lambang komunikasi yang digunakan dalam aktivitas politik yang diperankannya,
maka alasan mengapa NU memilih tema agama sebagai salah satu kendaraan
komunikasi politiknya, tidak terlepas dari alasan kultur internal NU yang
memang berakar pada tradisi pesantren dan kaum tradisional. Bagi kalangan
pesantren, tema-tema di luar agama tidak termasuk agenda penting dalam
kehidupannya. Sebaliknya, bahasa agama dapat dengan mudah dicerna komunitas
tersebut meskipun esensi pesan-pesan yang dikandungnya tidak termasuk pada tema
agama dalam arti yang terbatas. Karena itu, melalui pendekatan yang sama,
kampanye pembangunan yang dialamatkan kepada komunitas pesantren seringkali
dilakukan dengan menggunakan bahasa agama, melalui momentum keagamaan, serta
dengan menampilkan elite agama sebagai aktor komunikasinya.[45]
Dominasi kiai sebagai
pemimpin sosial (social leaders) di lingkungan NU juga berperan sebagai komunikator politik
sebab pengaruh yang dimilikinya menjadikan kiai memiliki otoritas. Di kalangan
NU juga banyak pemimpin simbolik yang berperan sebagai komunikator politik.
Bahkan karena citra NU dipandang sebagai organisasi keulamaan, maka kelompok
pemimpin ini pun, khususnya mereka yang tidak memiliki kualifikasi sebagai
seorang ulama, memiliki citra sebagai seorang ulama. Komunikasinya tetap
efektif sejauh citra yang membentuk kepribadiannya masih terpelihara. Jika
pesan-pesannya tersosialisasi melalui fasilitas publikasi yang memadai, mereka
dapat menjadi sumber pembentuk opini publik.
Mereka menjadi pemimpin
karena alasan-alasan tertentu, seperti karena kepribadiannya, keeliteannya
dalam suatu komunitas, atau karena karisma dan senioritas yang dimilikinya
dalam komunitas tersebut, dan bukan karena posisi formalnya dalam. organisasi.
Secara sosiologis, mereka biasa disebut sebagai pemimpin simbolik.[46] Di
lingkungan NU banyak kiai yang tidak menduduki jabatan formal dalam organisasi,
tetapi memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan.
Mereka adalah figur spiritual yang selalu dimintai "petunjuk"
sekaligus menjadi tempat berkonsultasi para pemimpin organisasi. Dalam kasus
pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, misalnya, seperti
diberitakan berbagai media massa yang meliput muktamar, para kandidat dan
muktamirin selalu menunggu "restu kiai sepuh".[47]
Dalam konteks ini, beberapa manuver politik KH Taufik Amnan juga
termasuk pada kategori pesan "agama" karena kapasitas komunikatornya
sebagai seorang kiai. Meskipun tema-tema yang diangkatnya tidak termasuk pada
lingkup agama dalam pengertian terbatas, kasus KH. Taufik Amanan dipandang
tetap menarik — paling tidak dalam konteks komunikasi politik — karena dua hal.
Pertama, ia merupakan sosok yang sangat kental dengan agama: seorang kiai yang
dipandang ahli dalam ilmu-ilmu agama, pengasuh Ponpes AlAmnaniayah II yang
merupakan pesantren ternama di Ngawi bagian Timur.
Jadi, ia tetap memiliki
karisma agama, sehingga pernyataan-pernyataan politiknya hampir selalu
mendapat respons berbagai kalangan. Demikian pula dengan elite-elite NU Ngawi lainnya
yang hampir selalu berkaitan dengan keluarga pesantren, baik melalui ikatan pendidikan
hubungan guru-murid atau kepentingan lain.
Pernyataan-pernyataannya
tidak bisa dipandang sederhana, karena ia akan berimplikasi pada proses
pembentukan pandangan, sikap dan perilaku para pengikutnya atau jama'ahnya.
Kedua, meskipun tidak
eksplisit memiliki muatan agama, pesan-pesan yang dikemukakannya berkaitan
dengan persoalan yang juga sensitif. Masalah pelembagaan moralitas NU di
lingkungan pemerintahan Kabupaten Ngawi misalnya, sepanjang sejarah perkembangan
NU di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah tersebut, secara
mendalam dan demonstratif dapat mengundang perhatian banyak kalangan. Bahkan,
meskipun tema-tema yang dibicarakannya tidak secara langsung berkaitan dengan
agama, tapi jika hal itu muncul dari sosok kiai, maka efeknya pun akan
bermuatan agama.
Ia bisa dianggap
semacam fatwa dan menjadi kata akhir dalam pengambilan keputusan. Jadi, faktor
komunikatorlah sesungguhnya yang menentukan arah kesan dari sesuatu pesan.
Sementara agama, baik langsung maupun tidak langsung, merupakan faktor
potensial dalam proses pembentukan kesan itu. Sehingga agama, dalam konteks
ini, merupakan sumber dinamisasi masyarakat, khususnya melalui
kegiatan-kegiatan yang bermuatan politik.
Penulis menilai bahwa
efektifitas komunikasi politik di lingkungan pesantren, salah-satunya,
berkaitan dengan adanya kemasan agama dalam pesan-pesan yang disampaikan kiai
sebagai komunikator politik. Karena karakteristik sensitif yang dimilikinya,
agama dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyampaikan pesan apa pun bagi
para pemeluknya. Agama secara tidak langsung menjadi wacana yang memungkinkan
sesuatu provokasi dapat mudah tersosialiaasi.
Lebih-lebih pada
masyarakat beragama yang masih didominasi oleh dimensi-dimensi emosional, seperti
umumnya kaum tradisionalis, apa pun yang dapat menyentuh kesadaran religiusitas
atau keyakinannya dapat mengubah keyakinan itu menjadi perilaku agresif.
Itulah sebabnya, perang wacana selama musim kampanye dan dalam rangkaian
kegiatan pemilu, misalnya, hampir selalu mengangkat tema-tema agama, atau
sekurang-kurangnya menggunakan terma-terma yang secara umum telah menjadi
milik agama.
Fenomena politik yang diwarnai muatan agama, telah menjadi saluran
komunikasi politik NU. Selain yang menjadi komunikatornya
adalah sosok pemuka agama, kiai, dan momentum yang menjadi salurannya adalah
acara pengajian yang bermuatan agama.
Selain itu, nuansa agama juga dapat melekat pada dimensi media. Fungsinya
sama, untuk memperlicin proses komunikasi sekaligus meningkatkan kualitas efek
yang ditimbulkannya. Dengan meminjam kategorisasi sistem dasar beroperasi dalam
transaksi komunikasi dari Deddy Mulyana, dimensi media ini termasuk pada sistem
eksternal yang meliputi unsur-unsur dalam lingkungan di luar individu.[48]
Nuansa komunikasi
politik dalam aktivitas agama ini menjadi sulit dihindari terutama karena
adanya sejumlah variabel yang satu sama lain saling menjelaskan. Salah satunya
adalah variabel hubungan yang sulit dipisahkan antara KH. Abdurrahman Wahid
sebagai Presiden RI yang menjadi sasaran memorandum dengan posisinya sebagai
kader dan elite Nahdlatul Ulama yang dalam kasus ini menjadi lembaga tunggal
penyelenggara istighosah. Maka untuk mengetahui lingkungan komunikasi politik
di kalangan kaum Nahdliyin, salah satunya dapat ditelusuri watak
sosio-antropologis dunia pesantren.[49]
Dalam konteks ini jelas
bahwa kebanyakan warga NU sesungguhnya masih terjebak pada budaya
primordialisme, otoritas dan keelitean sang komunikator. Namun demikian,
ucapan dan gagasan mereka selanjutnya diseleksi dan diformat ulang oleh media
yang memiliki kepentingan khusus, sehingga yang muncul di dalam berita-berita
tidak selalu sama dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.
Kiai yang penulis
posisikan sebagai komunitas elite itu, dalam komunitas NU merupakan elemen yang
paling esensial bagi pesantren. Ia yang menjadi pengasuh pesantren sekaligus
menjadi penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan pesantren.[50]
Kiai bersama pesantren ,yang dipimpinnya dianggap dan dapat diibaratkan sebagai
kerajaan kecil yang di dalamnya kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan
kewenangan (power and outhority) dalam kehidupan dan lingkungan
pesantren. Tak seorang pun santri atau orang lain yang dapat
"melawan" kekuasaan kiai, kecuali kiai lain yang lebih besar
pengaruhnya.[51]
Kiai yang satu dengan lainnya selalu terjalin hubungan oleh intellectual
chains (mata rantai intelektual) yang tidak terputus. Ini berarti bahwa
antara satu pesantren dengan pesantren lainnya daIam kurun zaman tertentu, dan dari
satu generasi ke generasi berikutnya terjalin hubungan intelektual yang mapan
sehingga perkembangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan pesantren
menggambarkan sejarah intelektual Islam tradisional.[52]
Penggunaan kerangka
teoritis dalam proses komunikasi politik yang menempatkan dominasi otoritas
elite NU, baik secara institusional maupun individual sebagai faktor determinan
dalam pola dan perilaku serta komunikasi politik Nahdliyin. Konstruksi
komunikasi secara institusional dibangun atas otoritas yang dimiliki para
pengurus struktural atau organisatoris NU, setiap kebijakan dan pesan
politiknya didasarkan pada keputusan organisasi. Sementara secara personal,
otoritas yang dimiliki kiai kharismatik dengan segala pengaruhnya menempati
posisi komunikator eliteis sehingga pesan politiknya dapat diterima baik
komunikan Nahdliyin. Tinggi rendahnya partisipasi politik NU tidak terlepas
dari pengaruh faktor determinasi elite NU tersebut. Faktor determinasi dari
otoritas, keelitean dan kharisma dari elite NU, selaku komunikator dalam
menyampaikan pesan-pesan politik, memberi pengaruh atau efek yang signifikan.
Figur kiai senantiasa memiliki otoritas kharismatik sehingga selalu menjadi
sorotan, tidak terkecuali dalam konteks politik.
Ruang lingkup
kepemimpinan politik elite NU terbagi dua; pertama, dunia NU dan partai-partai
politik di lingkungan NU merupakan gambaran nyata dari kehidupan pesantren yang
bercorak tradisional. Kedua, kepemimpinan NU yang jaringan keeliteannya berada
di pesantren-pesantren, secara otomatis menggambarkan struktur kepemimpinan
yang bersifat absolut dan hirarkis, patron klien, atasan-bawahan. Gambaran ini
tidak bisa dilepaskan dari basis kepemimpinan NU yang bertumpu pada
kepemimpinan kiai pesantren dengan segenap otoritas yang dimilikinya.
Maka, dalam penelitian
Ali Anwar, otoritas kiai pada pesantrennya inilah yang menjadikan NU secara
struktural, tidak memiliki kewenangan pengaturan apalagi menjatuhkan sanksi
pada kiai dan pengurus pesantren atas pikiran, sikap, dan tindakannya, termasuk
dalam hal politik. Meskipun sikap tersebut berbeda dengan kebijakan dan
tindakan NU sebagai organisatoris. Jadi, otoritas kiai dalam kepemimpinan NU
menempati posisi paling tinggi, bahkan dalam hal tertentu, mampu mengalahkan
kebijakan NU yang diputuskan sebagai keputusan jam'iyah.[53]
Perubahan sosial yang
terjadi di awal masa reformasi paska runtuhnya Orde Baru, membuka peluang bagi
NU untuk terlibat di ranah politik. Peluang itu menempatkan banyak kiai sebagai
pengurus partai dan anggota legislatif. Dalam perkembangannya, peran politis
mereka tidak menguntungkan kemandirian NU sebagai organisasi masyarakat.
Begitu pula ketika
ajang Pilkada dan Pilpres datang. Peran kiai ikut menentukan perolehan suara
bagi kandidat yang mereka dukung. Tak lebih dari itu. Kalaupun ada bentuk
artikulasi kepentingan dari pimpinan partai kepada para kiai NU, itupun
bersifat sesaat.
Dikotomi antara elit
partai yang menentukan garis besar kebijakan partai, dan peran kiai di sisi
lain bisa dibuktikan dari pemecatan jabatan yang dilakukan oleh pimpinan partai
terhadap anggotanya yang dianggap tidak patuh pada organisasi. Termasuk pula
pemecatan pada kiai NU dari jabatan-jabatan politik di parpol maupun parlemen.
Ini menunjukkan bahwa
elit parpol,--sebagaimana dimaksud oleh konsep oligharki politik—memang jauh
lebih berkuasa dan menentukan hitam putihnya sistem perpolitikan nasional dalam
satu dasawarsa terakhir.
Menghadapi kondisi
tersebut, NU sebagai entitas sosial keagamaan mulai intropeksi diri. Melalui
beragam acara dan kegiatan organisasi, sejumlah kiai kharismatik mengutarakan
perlunya penataan kembali NU agar tidak larut dalam arus politik pragmatis itu.
Rais Aam KH Sahal Mahfudh, salah satunya.
Pada Muktamar NU di
Surakarta 2004 lalu, ia meminta para peserta untuk membuat kesepakatan bagi
para pengurus yang terpilih untuk tidak merangkap jabatan di institusi politik,
baik parpol, parlemen, maupun pemerintahan. Forum Muktamar sepakat dengan
usulan tersebut karena pemisahan NU dari politik sesuai dengan amanah khittah
NU 1926.
Keputusan itu pula yang
menjadi landasan politik para kader dan pengurus NU di daerah untuk menyikapi
persoalan-persoalan politik di sekitarnya. Penelitian ini mengungkapkan
perbedaan penafsiran atas keputusan kembali ke khittah 1926 bagi warga NU,
dengan beragam cara mengungkapkannya melalui komunikasi politik.
Bagi sebagian warga NU,
semangat kembali ke khittah tidak berarti meninggalkan sama sekali dunia
politik. Mereka masih bisa mencalonkan diri sebagai caleg, calon
bupati/gubernur, dan bahkan capres/cawapres, dengan kapasitasnya sebagai
pribadi dan bukan pengurus NU. Dalih inilah yang digunakan para kader NU
lainnya untuk masuk politik.
Tapi sikap apriori
warga NU dan para santri terhadap pilihan politik kiai mereka, menciptakan
bentuk perlawanan atas praktik-praktik politik kotor seperti suap dalam banyak
acara pemilihan pengurus NU. Sikap menolak pilihan kiai adalah juga bagian dari
kegiatan politik, namun untuk tujuan mulia; menjauhkan pesantren dan NU dari
wilayah ‘kotor’ itu.
Persepsi negatif Gus
Wasik, para santri dan sejumlah kader NU lainnya di Ngawi atas proses politik
yang berkembang, membuktikan bahwa NU sebagai organisasi sosial dan keagamaan
sudah semestinya menjauhi politik praktis dan menjalankan politik kebangsaan,
sesuai amanah khittah 1926.
SIMPULAN
DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Tarik menarik
kepentingan politik memasuki ranah keagamaan. NU sebagai ormas keagamaan
terbesar di Indonesia, tentu tak luput dari jangkauan kekuasaan. Partai politik
sering mencari dukungan untuk perolehan suara maupun untuk sumber legitimasi
sosial bagi setiap kebijakan yang mereka keluarkan. Aktivitas partai dan ormas baik di tingkat lokal desa,
kabupaten hinga nasional semakin terbuka setelah banyak para kiai yang notabene
elit NU, didaulat menjadi bagian dari kepengurusan partai.
Dinamika politik itu
membawa perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Tak terkecuali dunia
pesantren. Dalam satu dasawarsa
terakhir, banyak kader NU yang berasal dari dunia pesantren menggabungkan diri
dengan partai politik hanya untuk urusan yang sifatnya pragmatis.
Selain menjadi pengurus
partai, banyak kiai menjadi anggota legislative, DPD hingga kepala daerah.
Selain berseberangan dengan khidmat organisasi NU yang menegaskan kembali ke
khittah 1926, aktifitas pengurus dan warga NU di partai membawa efek buruk bagi
organisasi. Pola hidup pragmatis, dan materialis akhirnya lebih mendominasi
ketimbang perjuangan NU sebelumnya, kerakyatan dan kebangsaan.
Keterlibatan NU dalam
politik juga menimbulkan perpecahan di tubuh oranisasi baik di pusat maupun
daerah. Para kiai sepuh,--yang menjadi tauladan warga NU-- ikut terbelah pada
aksi dukung mendukung partai ataupun perseorangan dalam ajang politik, sehingga
umat ikut terpilah pada pilihan-pilihan mereka.
122
Seorang komunikator
profesional, kata Nimmo, adalah seorang makelar simbol, orang yang
menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam
istilah-istilah komunitas bahasa lain yang berbeda-beda tetapi dipandang
menarik dan dapat dimengerti. Oleh karena itu, komunikator profesional, seperti
halnya seorang kiai dalam komunitas muslim, berperan sebagai sosok yang dapat
menghubungkan golongan elite atau sesuatu komunitas tertentu dengan khalayak umum. Secara horizontal, kiai juga berperan
sebagai penghubung dua komunitas bahasa yang berbeda pada tingkat struktur
sosial yang sama.
Mereka menjadi pemimpin
karena alasan-alasan tertentu, seperti karena kepribadiannya, keelitannya dalam
suatu komunitas, atau karena karisma dan senioritas yang dimilikinya dalam
komunitas tersebut, dan bukan karena posisi formalnya dalam organisasi. Secara
sosiologis, mereka biasa disebut sebagai pemimpin simbolik.
Karena peran yang
menentukan itulah, banyak parpol yang mendatanginya. Interaksi antara kiai yang
bertanggungjawab atas pelestarian nilai-nilai agama dan budaya NU dengan Parpol
yang menawarkan aspek pragmatisme membawa konkuensi panjang di tubuh ormas
Islam terbesar di tanah air ini.
Budaya politik praktis
menjalar di dunia pesantren. Kiai lebih suka terlibat dalam urusan pemilu,
pemenangan calon kepala daerah dan pilpres ketimbang memperjuangkan visi misi
NU sebagai organisasi keagamaan untuk kemaslahatan umat.
Tentu saja, tidak semua
kiai NU memilih jalur itu. Diantara para elit NU yang masih jeli melihat dampak
buruk dari politisasi di tubuh NU adalah Rais Aam PBNU, KH Sahal Mafudz.
Keprihatinan Rais Syuriah atas
perkembangan NU, ternyata ada benarnya. Banyak kiai-kiai NU lebih
memperjuangkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan organisasi. Jabatan
structural di organisasi, menjadi rebutan banyak kepentingan dan komersialisasi
jabatan sebagai pengurus NU --baik di pusat (PBNU, wilayah (PWNU) maupun di
daerah (PCNU),-- pun tak terelakkan.
Proses pemilihan para
pengurus NU pun menjadi tercemar oleh praktik suap yang dilakukan para
kader-kader mereka sendiri. Budaya suap (money politic) yang awal munculnya
dari parpol, kini menyebar di lingkungan pesantren. Misi NU di bidang keagamaan dan kebangsaan
menjadi terabaikan. Konflik antarkiai sebagai elit-elit agama dan elit politik
pun sulit dihindari. Ini juga menandakan bahwa terjadi masalah komunikasi di
tubuh NU. Miskomunikasi terjadi baik
antarkiai maupun antar elit NU di lingkungan organisasi maupun di lingkungan
partai politik.
Lebih menyedihkan lagi,
masalah komunikasi politik tersebut melibatkan massa pendukung di bawah. Dari
penelitian ini terungkap selain pola komunikasi internal NU, khususnya
pesantren, proses komunikasi politik yang terjadi masih didominasi otoritas
elite NU, baik secara institusional maupun individual sebagai faktor determinan
dalam pola dan perilaku serta komunikasi politik Nahdliyin.
Konstruksi komunikasi secara institusional
dibangun atas otoritas yang dimiliki para pengurus struktural atau
organisatoris NU, setiap kebijakan dan pesan politiknya didasarkan pada
keputusan organisasi. Sementara secara personal, otoritas yang dimiliki kiai
kharismatik dengan segala pengaruhnya menempati posisi komunikator elitis
sehingga pesan politiknya dapat diterima baik komunikan Nahdliyin.
Tinggi rendahnya
partisipasi politik NU tidak terlepas dari pengaruh faktor determinasi elite NU
tersebut. Faktor determinasi dari otoritas, keelitean dan kharisma dari elite
NU, selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politik, memberi pengaruh
atau efek yang signifikan. Figur kiai senantiasa memiliki otoritas kharismatik
sehingga selalu menjadi sorotan, tidak terkecuali dalam konteks politik.
Dari ranah politik,
budaya persaingan dengan kekuatan modal menyebar juga di lingkungan NU. Para
kader NU yang menjadi pengurus partai pun ikut-ikutan melakukan hal serupa saat
pemilihan pemilihan kepengurusan organisasi di tubuh NU baik di pusat maupun
daerah. Pola komunikasi yang dilakukan para elit NU menunjukkan persaingan yang
berpotensi memecah belak NU. Persaingan politik di ranah organisasi, terlihat
saat praktik suap (money politic) secara terang-terangan menjadi budaya
tersendiri.
Budaya ini sebelumnya
jarang terlihat di NU, lantaran, proses pemilihan jabatan sebagai pengurus NU
tidak terlalu memberi implikasi politik yang besar. Sementara pada era setelah
runtuhnya Orde Baru, jabatan-jabatan pengurus di NU memberi keuntungan yang
menggiurkan bagi para politisi. Peralihan orientasi pun bergeser. Para pengurus
organisasi NU dan juga kiai-kiai pendukungnya mulai pragmatis dalam memaknai
sebuah jabatan organisasi.
Kasus politik yang
terjadi di lingkungan NU kabupaten Ngawi membuktikan bahwa para pengurus NU
tidak lagi ‘amanah’. Pun dengan beberapa elit agama yang menguasai pesantren,
mereka abai pada persoalan-persoalan umat dan lebih menyukai kegiatan politik lokal.
Selain meraih kursi DPRD, para elit NU mengkomersialkan posisinya untuk
kepentingan-kepentingan politis.
Komunikasi diantara
kiai pun berlangsung dalam kerangka menyikapi realitas itu. Sebagian kiai NU di
Ngawi menolak campur tangan politik dalam NU, dan melarang kader dan warga NU
untuk terlibat di dalamnya. Sementara kiai lain berpendapat bahwa selama para
elit NU itu tidak menggunakan kapasitasnya sebagai pengurus NU maka dunia
politik tidaklah masalah.
Hanya saja, kedua pihak
sama-sama menggunakan bahasa yang sama dalam komunikasi mereka. Mereka sepakat
untuk memerangi korupsi, menjalankan amanat NU, dan menghormati garis ketentuan
NU untuk kembali ke khitah 1926. Mereka berbeda pandangan dalam menyikapi
fenomena politik yang ada di sekitarnya. Sebagian kiai menggabungkan diri pada
partai politik, sebagian lain menjauh dari arena itu. Satu hal yang menjadi
catatan warga NU, bahwa kiai yang tidak melibatkan diri dalam politik, justru
mereka mendapatkan apresiasi yang positif dan lebih dihormati pandangan dan
pemikirannya.
Para kiai dan warga NU
seperti itu seperti merujuk pada perilaku dan sikap tokoh NU di tingkat
nasional seperti pandangan dan pemikiran Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh, untuk
lebih perhatian pada dimensi kerakyatan, kebangsaan dan perjuangan sosial demi
kemaslahatan masyarakat banyak.
5.2. SARAN
Saran penulis terhadap penelitian lanjutan adalah perlu kajian mendalam
mengenai pesantren NU lain, terutama pesantren NU di luar jawa dan juga pola-pola komunikasi pesantren tidak hanya terbatas pada pesantren NU saja,
tetapi juga pesantren ormas yang lain seperti muhammadiyah, Majelis Tafsir
Alqur`an (MTA) dan lain
sebagainya, karena meskipun secara jumlah mereka tidak sebanyak pesantren NU
tetapi mereka patut juga diperhitungkan dan memiliki kekhasannya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Amal, Ichlasul, 1986,
Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Jogjakarta, PT Tiara Wacana.
Anam, Choirul,
1999, Pertumbuhan dan Perkembangan
Nahdlatul Ulama, Surabaya, Bisma Satu
Printing.
Anwar,
Ali, 2005, “Avonturisme” NU: Menjejaki Akar Konflik
Kepentingan-Politik Kaum Nahdliyin, Bandung, Humaniora.
Arifin, Anwar, 2003, Komunikasi Politik: Paradigma,
Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia,
Jakarta, Balai
Pustaka.
Arifin, Anwar 1984, Komunikasi
Politik, Paradigma, Teori, Aplikasi,
Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Baxter, Leslie A., Earl
Babbie, 2004, The Basic of Communication Research,
California, Thompson Wadsworth
Bertrand, Jacques, 2012, Nasionalisme
dan Konflik Etnis di Indonesia, Yogyakarta, Ombak.
Burhanuddin, Kontroversi Parodi KH. Abdurrahman Wahid dalam Republika,
edisi 24 November 2000.
Creswell,
John W, 2003, Research Design, qualitative, quantitative,
and mixed methods approach, California, SAGE Publication.
Creswell, John W, Research Design, Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods Approach,
SAGE Publication, California, 2010.
Crowley,
David, David Mitchell,
(ed), 1998, Communication
Theory Today, Oxford.
Dhofier,
Zamakhsyari, 1984, Tradisi Pesantren, Studi
tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta, LP3ES.
Dhofier,
Zamakhsyari,
September 2011, Tradisi Pesantren - Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta, Edisi revisi, LP3ES.
Gareth
Morgan, Image of Organization, Beverly Hills, CA : Sage, 1986 dan
Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson
Wadsworth Chapter 9 dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika).
Hardiman, F. Budi, 2013, Dalam Moncong Demokrasi, Kanisius.
Hennink, Monique, Inge Hutter, Ajay Bailey,
2010, Qualitative Research
Methods, London,
SAGE Publications Ltd.
Hennink, Monique, Inge Hutter, Ajay Bailey, 2011, Qualitative
Research Methods, London,
SAGE Publications Ltd.
Horikoshi, Hiroko,
1987, Kiai dan Perubahan Sosial,
Jakarta, LP3ES.
J. Shoemaker,
Pamela, Stephen D. Reese, 1996, Mediating the
Massage: Theories of Influences on Mass Media Content, New York, 2nd
edition,
Longman.
Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss, 2010, 2011, Teori Komunikasi (Theories of Human
Communication) , Jakarta, edisi 9, Penerbit Salemba Humanika,
hal. 359-382 (u/ organisasi).. hal 386-387 (u/ budaya).
Littlejohn, Stephen W, 2002, Theoris of Human Communication, New
Mexico, Sevent Edition.
Littlejohn, Stephen W, Kathy Domenici, 2007, Communication, Conflict, and the Management
of Difference, Illinois, Waveland Press.
Mahfudh, Sahal, KH, 1999, Pesantren Mencari Makna,
Jakarta,
Cet.I, Pustaka Ciganjur.
Martin, Judith N., Thomas K. Nakayama, 2007, Intercultural Communication in Contexts, 4th Edition, New York, McGraw-Hill
Muhammad, 2010,
Volume 12, Nomor 1: 57-65. Nahdlatul
Ulama dan Perubahan Budaya Politik di Indonesia, Jurnal el-Harakah.
Mulkhan, Abdul Munir,
2009, Politik Santri :
Cara Merebut Hati
Rakyat, Yogyakarta,
Kanisius.
Mulyana, Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar , Bandung, Remaja Rosda Karya.
Neuliep, James W., 2006, Intercultural
Communication; A Contextual Approach, 3rd Edition, London, SAGE Publications.
Nimmo,
Dan, 1999, Komunikasi
Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Terjemahan Jun Sumajan, Bandung, Remaja Rosda Karya.
Nimmo, Dan, 2000, Komunikasi Politik:
Khalayak dan Efek, Bandung, Rosdakarya.
Nizar, Samsul Prof Dr H, MA et Al, 2013 Sejarah
Sosial dan Dinamika Intelektual (Pendidikan Islam di Nusantara), Jakarta,
Kencana Predana Media Grup.
Pacanowsky, Michael dan O'dONNEL-Trujillo, Nick, 1983, Organizational Communication As
Culturalperformance, Communication Monographs 50, lihat juga Viktor Turner, 1974, Drama, Fields, and Metaphors, Ithaca, New York, cornell University Press.
Patton, Michael Quinn, 2002, Qualitative
Research and Evaluation Methods, California, SAGE Publications.
Saeful
Muhtadi, Asep, 2004, Komunikasi
Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, Jakarta, LP3ES.
Said Ali, As’ad,
2008, Pergolakan
di Jantung Tradisi,
NU yang Saya Amati,
Jakarta : LP3S.
Saiful Mujani, 27
Juli 1998 Partai Agama: Sebuah
Penjelajahan Global, Jakarta, Harian Republika.
Van
Bruinessen,
Martin, 2013, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, Jogjakarta, Penerbit Gading.
Wahid, Abdurahman,....... Menggerakkan
Tradisi : Esai-esai Pesantren, Jogjakarta,
LkiS.
Wahid, Abdurrahman
2009, Ilusi Negara Islam : Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta, The Wahid Institute
Press.
Wahid, Abdurrahman,
2009, Fenomena Kiai dalam Dinamika
Politik NU. Karsa, Volume 15, Nomor 1:25-34.
Wahid, Marzuki, Abd
Moqsith Ghazali, 2005, Vol. 04 No. 01, Relasi Agama dan Negara: Refleksi Pemikiran NU, Jurnal Istiqro.
Lampiran
Wawancara dengan Pengasuh Pesantren
Al Amnaniyah KH Wasik Amruri (50)
Tanya
: Assalamu’alaikum gus.. gimana kabarnya?
Jawab
: Wa’alaikum salam, Alhamdulillah baik. Maaf memang begini, harus malam hari
bisa ada waktu (wawancara). Jadi apa yang mau ditanyakan.
Tanya
: Seperti janji kemarin (janji untuk menjelaskan semua hal terkait pesantren),
apakah kiai mendukung salah satu parpol? Kenapa?
Jawab
: Kita tidak pernah mendukung mereka (parpol manapun). Kita ingin NU memegang
tegung khittah organisasi agar tidak melibatkan diri dalam urusan-urusan
politik. Apapun bentuknya, baik di partai politik, caleg, pilihan bupati,
maupun pilihan-pilihan politik lain.
Tanya
: Apakah ada tawaran dari partai untuk bergabung?
Jawab:
Ada banyak. Yang kemarin datang kesini saja dari demokrat, nasdem kemudian
caleg dari gerindra juga ada dan ada perwakilan dari partai-partai itu.
Tanya
: Bagaimana dengan PKB ?
Jawab
: PKB itu sudah lama sekali. Kang Taufik (Gus Taufik, saudara) yang sampai kini
masih jadi DPRD (angota DPRD Ngawi). Kalau saya ikut-ikutan ya tidaklah.. yang
pasti, kalau ada caleg atau apa yang minta untuk sowan ya kita terima. Wong
mereka tamu kita, masak ditolak. Saya juga kenalkan dengan para pengasuh pondok
lain, gus yus, sugeng dan subakir..
Tanya: Kenapa Kiai menolak semua tawaran partai?
Bukankah gusdur yang melibatkan diri di PKB juga jadi panutan wara NU?
Jawab
: Memang gusdur yang membidani lahirnya PKB. Saya dulu yang pertama ikut
mendukung PKB di Ngawi. Tapi itu dulu, ketika PKB mempunyai visi misi
kebangsaan. Awalnya kan begitu. Seiring perjalanan, banyak orang NU yang membesarkan PKB melihat perubahan perjuangan.
Jika dulu kebangsaan kini untuk polotik DPR saja. Banyak orang NU yang kecewa.
Maka pada muktamar di Solo, KH Sahal membuat kontrak agar NU kembali ke khittah
ditegaskan lagi,. Ini karena KH Sahal melihat PKB sudah tidak mewakili khittah
NU. Kalaupun ada yang mengaku masih memperjuangkan politik kebangsaan itu hanya
‘kembang lambe’.. lipsservice.. yang mereka lakukan tak beda dengan partai
lain..
Tanya
: Maksud Kiai sama dengan partai lain?
Jawab
: ya apalagi kalau nggak untuk mereka sendiri. Mereka dapat posisi.. jadi dewan,
pengurus partai dan ada yang bupati tapi untuk kepentingan materi sendiri. Nah,
organisasi NU yang memayungi hanya dijadikan massa saja. Kalau ada bantuan ke
NU itu lebih untuk mencari dukungan pemilu saja. Juga yang jelas untuk kekayaan
mereka saja.
Tanya
: Apa akibatnya bagi NU dan khususnya pesantren?
Jawab
: ya.. cukup banyak. Salah satu yang pasti cara-cara partai seperti KKN, dan
sogok menyogok diikuti oleh orang orang NU yang ada di organisasi. Lihat saja
pemilihan kemarin (Konfercab PCNU 2013).. anda bisa dengar sendiri kan.. semua
peserta seolah sudah di set (diatur) agar salah calon ketua PCNU saja yang
masuk.. dan hasilnya sudah jelas bisa dipastikan (Ketua PCNU Isrodin). Juga
dengan Syuriahnya..
Tanya
: Apakah Kiai merasa ada kecurangan di Konfercab untuk memilih pengurus NU
Ngawi ?
Jawab
: bukan hanya saya saja.,. semua orang bisa mengetahui itu. Coba anda Tanya
deh, ke peserta-peserta itu apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Makanya,
yang kita sayangkan bukan pada kalah menangnya ketua NU, tapi cara cara mereka
yang akhirnya orang NU di bawah ikut-ikutan..
Tanya
: Jadi budaya money politics sudah menyebar di NU Ngawi?
Jawab
: Tentu saja ada.. mengenai berapa
besarnya duit yang digunakan untuk menyuap orang-oran NU di bawah itu kita tak
tahu.. yang jelas., praktik seperti itu yang seharusnya dihindari di NU.
Kenyatannya, hal sama kan banyak terjadi di daerah-daerah lain. Bahkan di pusat
pun antara kiai-kiai sepuh masih bersilang pendapat mengenai hal itu. Maka
kita-kita di bawah ya jelas sudah bahwa sesuai hati nurani kita yang
mengharapkan NU terus menjaga faham aswaja juga menjunjung tinggi perilaku
akhlakul karimah. Perilaku kiai harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk
tidak ikut-ikutan KKN apalagi main suap untuk memenangi suatu jabatan. Tidak
baik itu,..,
Tanya
: Bagaimana pandangan Kiai atas khittah NU?
Jawab
: NU yang harus menghindari politik, itu sudah final,. Namun yang perlu menjadi
instrospeksi kita bersama adalah budaya KKN itu tidak digunakan di NU. Semua
memang berasal dari para kader NU sendiri di partai. Mereka sudah nyaman dengan
jabatan dewan atau apalah yang menghasilkan banyak uang. Dan uang mereka
dibagi-bagikan ke NU untuk mencari dukungan. Akhirnya NU di bawah ikut-ikutan
budaya itu. Nah, ini yang harus kita cegah. NU harus kembali ke khittah dan
menegakkan faham kebangsaan juga kejujuran dan perilaku akhlakul karimah. Itu
yang penting.
Wawancara dengan Pengasuh Pesantren
Al Amnaniyah II KH Taufik Amnan (52)
Tanya
: Assalamuailaikum. Gimana kabarnya DPRD gus?
Jawab
: Alhamdulillah baik.. mungkin tahun ini (pemilu 2014) saya tak aktif lagi..
Tanya
: Maksud gus mundur dari politik?
Jawab
: Bukan dari politik.. tapi dari caleg.
Saya tak berniat maju lagi menjadi anggota dewan. Capek.. sudah tiga peroide
saya mengabdi di sana (Anggota DPRD Ngawi). Sudah saatnya ngurusi pondok..
Tanya
: Kenapa mundur?
Jawab
: ya itu tadi sudah saatnya merawat umat di bawah.. pondok saya membutuhkan
penataan yang lebih baik agar masyarakat sini bisa memanfaatkan pendidikan yang
baik. Kita kasihlah pelayanan yang baik kepada masyarakat..
Tanya:
Apakah selama ini kurang memberi perhatian kepada umat?
Jawab
: Bukan begitu, kalau selama ini saya aktif di PKB dan dewan, itu juga untuk
kepentingan masyarakat khususnya NU juga. Tapi sekarang saya merasa perlu untuk
lebih dekat dengan mereka.. lebih dekat dengan kaum dhuafa yang membutuhkan
bantuan pendidikan, dan itu prioritas saja..
Tanya
: Bagaimana dengan jabatan di PKB?
Jawab
: Masih.. di pengurusan masih.. itu juga amanah dari umat NU juga. Kan PKB
didirikan oleh NU. Jadi kita wakili suara NU di ranah politik.
Tanya
: Bagaimana dengan kritik warga NU sendiri yang memandang praktik politik yang
dilakukan kader NU tidak lagi mencerminkan budaya NU?
Jawab
: Wah.. itu NU yang mana? Kalaupun itu ada, yang jelas tidak seperti itu
kondisinya. PKB ini kan partainya orang NU. Kita harus ikut menjaganya agar
tetap eksis demi memperjuangkan kepentingan NU di politik. kalau sarana untuk
menyalurkan kepentingan politik itu tidak ada, maka NU akan terjun ke
partai-partai lain. Yang bisa menyuarakan NU adalah PKB. Persoalannya kalau ada
kader-kader NU di politik itu bermain kotor, maka ya kader itulah yang harus
kita singkirkan. Jangan kita lalu menjauh dari PKB, lalu teriak-teriak PKB sudah
korup seperti partai lain. Tidak seperti itu..
Tanya
: Bagaiamana pandangan Khittah menurut anda?
Jwab
: kita sebagai warga NU sudah seharusnya menjalankan amanah Khittah 1926 itu.
Saya di partai politik ini pun juga menjalankan khittah itu.
Tanya
: Bagaimana penjelasannya?
Jawab
: begini. Substansi khittah itu kan substansinya menjalankan politik
kebangsaan. Karena politik NU adalah politik kebangsaan. Nah, sarana untuk
memperjuangkan politik kebangsaan itu apa kalau tidak lewat partai. Oleh karena
itu, kader-kader NU yang ada di PKB, semuanya memiliki visi yang sama untuk
menjalankan amanah khittah di bidang politik. selain visi keagamaan,
nilai-nilai aswaja juga disuarakan lewat PKB. PKB ibarat kendaraan untuk
membawa cita-cita NU. Saya kira pendapat Gus Dur tentang politik dan juga KH
Hasyim Muzadi tentang NU dan PKB, ada benarnya. Gusdur dan kiai Hasyim
sama-sama mendukung keterlibatan kader NU di partai.
Tanya
: Bagaimana dengan akibat dari keterlibatan kader NU bagi NU yang dianggap
merusak ?
Jawab
: Merusak seperti apa?
Tanya
: Maraknya praktik suap dan KKN di lingkungan NU dan pesantren?
Jawab
: Lhoo itu kan masalah pribadi-pribadi.. itu oknum-oknum yang tak bisa
dijadikan representasi institusi. Kalau ada pengurus NU Ngawi yang main curang
dalam politik, ya kita harus singkirkan dia. Jangan terus dibuat larangan NU
untuk berpolitik. Itu tidak bisa.. kita semua sependapat dengan prinsip NU yang
harus menjaga nilai-nilai kejujuran, toleransi dan akhlakulkarimah
dipertahankan. Prinsip itu sudah final. Masalahnya, bagaimana menjalankan
nilai-nilai kebaikan itu ke masyarakat. Kita tidak bisa apriori pada partai,
karena itu tempat kita menjadikan sarana untuk membumikan nilai-nilai kebaikan
itu.
Tanya
: Bagaimana dengan ketidakberdayaan kader NU berhadapan dengan kekuasaan
partai?
Jawab
: kita tak boleh kalah dalam
memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan NU. Itulah tugas kita
memberi kesadaran kepada kawan-kawan kita juga yang ada di partai. Kalau ada
yang salah, kita ajak mereka kembali ke jalan yang benar. Intinya, jangan
mundur dan jangan menyerah.
Wawancara dengan alumni Pesantren
Al Amnaniyah, Sawilan (45):
Tanya
: Slamat siang. Gimana pandangan bapak pada sosok kiai Al Amnaniyah?
Jawab : Al Amnaniyah yang mana ni.. yang diasuh Gus
Wasik atau Gus Taufik..
Tanya
: Keduanya.
Jawab
: Ya.. saya hormat pada keduanya. Mereka bersaudara adalah putra Gus Sol (KH
Soleman) guru saya dulu disitu. Saya lebih sering sowan juga ke situ (pondok)
dan banyak diskusi dengan Gus Wasik tentang segala hal. Termasuk pesantren, NU
dan politik.
Tanya
: Apa pendapat anda tentang aktifnya kiai di politik?
Jawab
: Ya sama dengan Gus Wasik lah,.,. kita tak ingin peran kiai dikalahkan oleh
orang-orang partai. Selama ini kan begitu. Mana ada kiai yang di partai bisa
mengegolkan usulan-usulan yang baik dijalankan. Nyatanya orang partai tetap
seperti semula, mereka menerima dana-dana yang ‘tak jelas’ dan itu bukan
rahasia lagi. Bahkan di pemilihan ketua NU Ngawi saja, saya sendiri yang
mengetahui bagaimana para calon menggunakan dana untuk menyuap peserta. Ini kan
sudah parah. Itu yang tidak dibenarkan oleh Gus Wasik.
Tanya:
Bagaimana dengan Gus Taufik?
Jawab
: Gus-e.. (Gus Taufik) baik juga. Dia aktif di PKB dan dewan ngawi. Hanya saja,
jabatannya disitu banyak orang termasuk santri-santri sesama saya banyak yang
memberi masukan.
Tanya
: Masukan bagaimana? Apa saja?
Jawab
: masukan banyak hal.. mulai dari diskusi juga masalah-masalah yang berkembang
sekarang dan kita juga ingin tahu banyak tentang perpolitikan di Ngawi dari
beliau.
Tanya
: Apakah termasuk saran tentang perihal praktik suap menyuap di NU Ngawi?
Jawab
: hahaha.. ya itu tak mungkin lah.. Gus-e lebih tahu dari pada kita-kita.
Memang di antara kawan-kawan santri dan alumni termasuk saya juga, sudah banyak
tahu tentang permainan para kader NU di partai dan NU. Mereka seperti di partai
lain, mulai banyak berkecimpung di dunia politik sehingga lupa pada misi
perjuangan NU untuk menyebarkan ajaran islam yang baik. Seperti tidak sombong,
jujur, amanah dan tidak terlibat korupsi.
Tanya
: Apakah ada yang melakukan praktik itu?
Jawab
: Ya tentu saja. Saya tahu sendiri orangnya. Bahkan saat pemilihan ketua NU
kemarin di pondoknya gus wasik, ada peserta yang menerima aliran dana dari
calon ketua. Ini kan yang tidak baik bagi organisasi. Apalagi ini NU gitu..
jadi ya tentu orang partai juga yang membantu pemenangan menjadi ketua NU.
Tanya:
Apakah Isrodin (Ketua PCNU terpilih) yang melakukan?
Jawab : Kawan-kawan saya yang menjadi peserta mengatakan itu. Memang ada
fasilitas dari pak isrodin sehingga peserta Konfercab mengikuti petunjuk salah
satu tim suksesnya, kalam. Dan itu berlangsung di pondok pesantren.
masyaallah.,. kok begitu.. makanya, dari awal Gus-e (Gus Wasik) benar sekali
menyarankan agar mundur dari politik. akibatnya ya itu tadi, suap-menyuap yang
biasa dilakukan di politik kini akhirnya masuk ke pesantren. makanya diantara
teman-teman bahkan kurang begitu menghormati kiai yang terjun ke politik.
Wawancara dengan santri Pesantren
Al Amnaniyah, Ahmad Subakir (37)
Tanya
: Bagaimana pandangan anda tentang Gus Wasik dan Gus Taufik?
Jawab
: Tentang apanya?
Tanya
: pandangan kedua kiai itu pada masalah-masalah politik?
Jawab
: oo.. ya semua orang bisa tau lah kalau Gus Wasik jauh lebih berilmu dan tidak
berpolitik.
Tanya
: Apa seharusnya kiai tidak berpolitik?
Jawab
: menurut saya ya harus begitu. Kiai tidak boleh mengurusi pemenangan caleg,
partai dan lainnya, yang membuat umat jadi tidak menghormati.
Tanya
: Kenapa tidak menghormati?
Jawab
: Karena sudah bukan rahasia lagi kalau politik baik di DPRD dan PKB sekarang
ini banyak membuat orang kaya-kaya. Masak kiai bisa kaya dari politik. kan
rasanya tidak tepat gitu.
[1] Mahfudh Sahal, KH 1999, Pesantren Mencari makna Pustaka Ciganjur
cet.I
[2] Wahid
Abdurahman, KH, Pesantren Sebagai Sub Kultur, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai
Pesantren , Jogjakarta, LkiS.
[3] Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran
yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan
yang diajarkan sering kali pembahasan serupa yang diulang-ulang selama jangka
waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlain-lainan.
Dimulai dengan "kitab kecil" (mabsutặt) yang berisikan teks
ringkas dan sederhana, pengajian akan memakan waktu bertahun-tahun untuk
mencapai tingkat "kitab sedang" (mutawassitặt). Kiai bertugas
mengajarkan berbagai pengajian untuk tingkat pengajaran di pesantrennya, dan
terserah kepada santri untuk memilih mana yang akan ditempuhnya. Kalau si
santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, tentu saja akan
dibutuhkan waktu yang sangat lama, yang bahkan dapat mencapai masa belasan
tahun. Akan tetapi, keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan oleh
panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada kiainya, karena tidak
adanya keharusan menempuh ujian atau memperoleh diploma dari kiainya itu.
Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya kepada sang kiai dan
kernampuannya untuk memperoleh ngelmu dari sang kiai. Dengan
demikian, kebesaran seorang
kiai tidak ditentukan oleh jumlah bekas santrinya yang di kemudian hari menjadi
kiai atau menjadi orang-orang yang berpengaruh di masyarakat (Abdurahman Wahid,
pesantren sebagai sub kultur ) hal2-3
.
[4] keunikan pengajaran di pesantren juga dapat diternui pada
cara pemberian pelajarannya, dan kemudian dalam penggunaan materi yang telah
diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam
pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, di mana sang kiai membaca,
menerjemahkan, dan kemudian menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan
dalam teks yang sedang dipelajari. Kemudian si santri membaca ulang teks itu,
entah di hadapan sang kiai atau setelah ia kembali ke biliknya, ataupun dalam
pengajian ulang antara sesama teman setmgkat pengajian (pengajian ulang ini
memiliki nama bermacam-macam: musyawarah, takrar, mudrasah, jam'iyah,
dan sebagainya). Karena semua mata pengajian yang diberikan bersifat
aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan
sehari-hari, tentu saja segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan
pelajaran yang diterimanya menjadi perhatian pokok sang kiai. Karena hampir
tidak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh oleh aplikasi pengajian yang
diberikan dari cara-cara menyuakan diri untuk melakukan ibadat ritual hingga
pada ketentuan prosedural tata niaga yang diperkenankan oleh agama, maka
pemberian pengajian oleh sang kiai kepada para santrinya sama saja artinya
dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian
dan orientasinya sendiri (Abdurahman Wahid, pesantren
sebagai sub kultur ) hal 3
[5] Ibid 22
[6] Ibid 22
[7] Prof Dr H Samsul Nizar, MA et Al, “ Sejarah Sosial dan
Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara,
(Jakarta, Kencana Predana Media Grup, 2013) hal.120.
[8]Tercatat,
sebanyak 13.477
pesantren dari jumlah tersebut masih tradisional. Pengertian pesantren tradisional (salafiyah)
mengacu pada pola pembelajaran yang mengedepankan kitab kuning tanpa terlalu
menekankan adanya lembaga pendidikan formal semacam madrasah atau sekolah.
Sementara jumlah pesantren modern (‘ashriyah)
adalah 3166. Pesantren modern (‘ashriyah)
menekankan pendidikan formal, meski juga mengaji kitab berbahasa Arab, totalnya
sekitar 3166. Jadi, masih lebih banyak
pesantren tradisionalnya.
[9] Lihat Stephen W. Littlejohn, Theoris
of Human Communication (sevent edition), (New Mexico, 2002) dan David
Crowley dan David Mitchell, (ed), Communication Theory Today, (Oxford,
1998) dan Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi,
Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
h. 65-89.
[10] Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese, Mediating the Massage:
Theories of Influences
on Mass Media Content, 2nd edition, (New York: Longman, 1996).
[11] Anwar Arifin, Komunikasi
Politik, Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik di
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h.72-73.
[12]
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi,
Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), h. 105
[13]
Selain itu, untuk mencapai tujuan komunikasi
politik adalah menciptakan kebersamaan antara politikus dengan khalayak
(rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofihs. Hal
itu diperlukan agar komunikator politik dapat melakukan empati. Komunikasi politik yang ditujukan kepada khalayak
(rakyat) atau individu yang selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan individu-individu
lain, dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Dan Nimmo, Komunikasi
Politik: Khalayak dan Efek, (Bandung: Rosdakarya, 2000, h. 7.
[14] Dalam proses komunikasi politik, peranan media menjadi penting, tidak
hanya dalam konteks pendistribusian secara umum, tetapi pada nilai berita yang
diterima khalayak atau publik. Karena itu, persoalan yang paling esensial dalam
komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis memanfaatkan
media massa dalam membentuk citra dan pendapat umum yang positif bagi partai
politik atau lembaganya atau aktivitasnya dalam masyarakat sebagai pekerja
politik atau aktivis yang peduli politik. Komunikasi politik, sosialisasi
politik, citra politik dan pendapat umum, pada akhirnya menuju pada sasaran dan
tujuan yaitu; terciptanya partisipasi politik dan kemenangan para politikus dan
partai politiknya dalam pemilu sebagai jembatan meraih kekuasaanAnwar
Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan
Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 105
[15] Dan
Nimmo, Komunikasi Politik: (Komunikator, Pesan, dan Media. Terje mahan Tjun Sumajan, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1999), h.
7
[16] Anwar Arifin, Komunikasi
Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 99.
[17] Gareth morgan dalam Stephen w littlejjohn, Karen Afoss, Teori Komuniasi, edisi 9 salemba humanika, Jakarta, 2009, hal.383.
[18] Sunarto, dalam Jalaluddin
Rakhmat, “
Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, hal.21.
[19] Tubbs
dan Moss dalam Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, suatu pengantar, Rosda Karya, Bandung, 2001 hal.26.
[20] Rakhmat Jalaluddin, “ Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2009, hal.46.
[21] Monique Hennink; Inge Hutter; Ajay
Bailey, Qualitative Research Methods – 2010.
[22] John W Creswell, Research
Design, qualitative, quantitative, and mixed methods approach, Sage
Publication, California, 2003.
[23] Demikian penegasan Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh
dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional
Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya.
[24] Kapan pun NU
selalu menegaskan bahwa Pancasila merupakan dasar dan ideologi Negara. Hal itu
tidak lain karena sejak awal berdirinya republik ini NU telah sepakat menerima
Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan, Pancasila merupakan kesepakatan terbaik
yang pernah dibuat bangsa ini, sebab Pancasila tidak hanya memuat nilai-nilai
agama secara substantif, tetapi juga merupakan ekspresi yang dalam dari budaya
Nusantara. Lihat Sahal Mahfudh dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat
pembukaan Musyawarah nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di
Surabaya, tahun 2007.
[25] Bagi kelompok itu Pancasila bukan sesuatu yang berharga,
tetapi akibat desakan untuk penegasan syariat Islam belakangan ini, baik di
level lokal maupun nasional yang begitu marak. Mereka yang mengidap Islamofobia
itu segera bereaksi dengan serta merta mengajak kembali mengunakan Pancasila
sebagai landasan hidup bersama. Dengan demikian posisi dan kepentingan mereka
relatif terlindungi oleh Pancasila yang pluralistik. Jadi pilihan mereka pada
Pancasila didasarkan pada prinsip akhafu dloruraini (pilihan di antara
dua marabahaya yang lebih ringan). Bagi mereka Pancasila lebih kurang bahaya
dibanding syariat Islam, maka mereka memilih Pancasila sebagai bahaya kecil
yang bisa diatasi dengan cara memanipulasi atau mengamandemen di kemudian hari.
Berbeda dengan beberapa kelompok yang muncul belakangan ini, banyak orang dan
kelompok yang dulunya tidak pernah menyebut kata Pancasila, bahkan anti
terhadap wawasan kebangsaan. Mereka kelompok liberal yang hanya mengenal Declaration
of Independence, atau UnIersal Declaration of Human Right, tetapi
tiba-tiba menegaskan pilihannya terhadap Pancasila. Bagi mereka ini, Pancasila
bukan pilihan terbaik, melainkan pilihan buruk di antara pilihan terburuk
lainnya.
[26] Marzuki Wahid dan Abd Moqsith
Ghazali, "Relasi Agama dan Negara: Refleksi Pemikiran NU", dalam Jurnal
Istiqro Vol. 04 No. 01. tahun 2005, h.159
[27] Bagi NU Pancasila memang sebuah pilihan filosofis bahkan
menjadi pilihan ideologi. Tetapi kelompok lain baik dari kalangan komunis,
Islamis dan liberalis, Pancasila hanya pilihan taktis, karena itu setiap saat
akan diganti dengan landasan baru sesuai dengan aspirasi politik mereka. Karena itu tuntutan pada liberalisme, Islamisme dan
mungkin komunisme kembali muncul. Sementara NU tetap tegar pada pilihannya,
bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila itu merupakan bentuk final. Tinggal
mewujudkan komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Ahmad Sidiq, Khittah
Nahdliyah, (Jakarta; PBNU, 1984).
[28] Pernyataan Rais Aam PBNU KH
Sahal Mahfudh tersebut disampaikan pada Rapat Pleno PBNU, april 2005
[29] Apa yang disebut khittah sebenarnya bukan sekadar pro-politik
atau anti-politik, tetapi lebih pada kuatnya integritas moral dan kuatnya
penguasan ilmu serta besarnya amal sosial, apabila kesemuanya itu dikerjakan
dengan kesungguhan sesuai dengan mabadi khaira ummah (prinsip pengembangan
umat) maka akan membawa perubahan sosial yang mendasar sehingga imbasnya akan
melahirkan kekuatan politik, sebagai kekuatan moral. Sayangnya justeru hal itu
yang pudar dari NU selama ini, bukan oleh politisasi, tetapi lebih oleh
pragmatisasi dan materialisasi. Derasnya arus pragmatisme dan
materialisme telah menghilangkan nilai-nilai moral, sedikitnya
pengetahuan membuat tidak jelasnya langkah dan tujuan. Demikian juga
hilangnya semangat pengabdian , karena kuatnya keinginan mencari keuntungan
dari organisasi, maka hilang pula rasa pengabdian pada organisasi dan
masyarakat. Lihat Ahmad Sidiq, Khittah Nahdliyah, (Jakarta; PBNU, 1984).
[30] Dan Nimmo, Komunikasi
Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: Rosda Karya, 1993), h.33.
[31] Otoritas karismatik, menurut Tiachler (1990: 492), berperan sebagai sumber inspirasi di antara para
pengikutnya. Sehingga pesan-pesan yang disampaikan kiai akan diterima
secara taken for granted oleh para pengikutnya. Sebagai contoh menarik dapat
disebutkan di sini, misalnya, ketika salah seorang elite Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) menyatakan dukungan dan ketaatannya kepada KH. Abdurrahman Wahid,
sehingga berani mengambil keputusan politik
apa pun asal sesuai dengan kehendak KH. Abdurrahman Wahid. Ia akan mengatakan "kuning" kepada
sesuatu yang sebetulnya bukan "kuning" jika KH. Abdurrahman
Wahid telah mengatakannya bahwa sesuatu itu
adalah "kuning".
[32] Simbol-simbol yang biasa digunakan NU dalam berkomunikasi biasanya dengan menggunakan lambang-lambang tertentu yang hanya
bisa dipahami oleh dunianya sendiri.
Gaya komunikasi lisan yang dilakukan
dalam suasana egaliter, rileks, dan cenderung penuh lelucon merupakan
media penting yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan
pesan-pesan apa pun, mulai dari masalahmasalah pribadi, keluarga, agama, hingga persoalan-persoalan sosial politik tingkat tinggi. Jika telah terlibat
dalam suasana yang seolah-olah hanya
bisa dinikmati oleh dunianya sendiri, mereka
bisa mengesampingkan acara apa pun, menolak dan bahkan membatalkannya
dengan otoritas yang tak bisa dibantah, jika
ternyata ada hal lain yang meminta keterlibatannya. Mereka larut dalam
keakraban suasana yang bisa menghabiskan waktu seolah-olah tanpa batas.
Sinansari Ecip dalam catatannya,
"Komunikasi Lambang Alias Simbol dalam NU", dalam Republika, edisi
25 Nopember 1999.
[33] Di antara
simbol-simbol keagamaan yang berkembang di dunia pesantren adalah upacara
manaqiban. Inti acara ini adalah membaca manaqib yang berarti riwayat hidup
seseorang. Dalam acara ini biasanya dibacakan riwayat hidup Rasulullah (dengan
membacaan qasidah barjanzi) atau riwayat hidup Syekh Abdul Qadir Jailani.
Seorang kiai biasanya menjelaskan kandungan naskah yang dibacakan. Lewat acara
ini seperangkat transmisi nilai dan ajaran dilakukan, baik sebelum kiaah-kiaah
itu dibacakan dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, maupun sesudahnya. Acara ini pada awalnya berkembang di dunia
tarekat, khususnya Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah. Tapi
kemudian berkembang di dunia pesantren, karena pesantren juga sebetulnya diakui sebagai lembaga penyangga tradisi
tarekat. Para santri di pesantren umumnya belajar manaqiban, agar pada saat-saat diperlukan mereka dapat membacakannya
secara bergiliran.
[34] Dalam pendekatan tasawuf yang menjadi warna khas kehidupan pesantren, posisi kiai
sebagai guru dianggap memiliki kelebihan dalam memberikan berkah yang dapat menentukan diperoleh-tidaknya suatu ilmu. Hal
inilah yang kemudian bisa menerangkan
mengapa jamaah NU khususnya santri
meletakkan kiai di atas segalanya; mereka selalu berebut lengan kiai untuk disalami dan dicium, berebut sisa
makanan dan minuman, atau rela melakukan apa pun demi sang kiai. Suatu penghargaan yang didasarkan pada kepercayaan bahwa di akhirat keiak, umat Islam berada di
belakang kiai, dan kiai berada di
belakang Rasulullah, yang dengan demikian mereka akan selamat dan masuk
sorga.
[35] Mimpi sebenarnya merupakan salah satu saja dari
sekian banyak isyarat yang diperoleh setelah melakukan shalat
istikharah. Tetapi mimpi merupakan hal terpenting dalam dunia pesantren.
Orang-orang Jawa biasanya menggunakan istilah diimpeni untuk mimpi yang mengandung arti. Dalam perkataan
tersebut tersimpul seolah-olah mimpi
itu merupakan kejadian yang dikehendaki oleh alarn gaib sebagai media
untuk menyampaikan suatu pesan. Jadi bukan
suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Kemudian, karena mimpi berarti mendapatkan isyarat dari alam
gaib, kalangan pesantren juga terbiasa melakukan upaya memperoleh isyarat lewat
mimpi dengan melakukan ibadah tertentu
terutama untuk memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupannya. Misalnya dengan mencari impian melalui tirakat
atau semadi di makam-makam para wali atau guru-guru tarekat. Itulah sebabnya, berziarah atau mengunjungi makAamakam keramat menjadi tradisi yang mengandung nilai
religius di kalangan kaum Nahdliyin.
[36] Tradisi belajar yang dikembangkan di
pesantren-pesantren umumnya meliputi dua jenis sistem pembelajaran, yaitu
sistem sorogan dan bandongan. Dalam sistem sorogan murid-murid
dibimbing secara individual sesuai dengan kemampuan dan kitab-kitab yang
dipelajarinya. Sistem sorogan biasanya diberikan kepada santri-santri
yang baru masuk untuk memperoleh binaan secara intensif. Sedangkan dalam sistem
bandongan, sekelompok murid mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan dan menerangkan sesuatu mata pelajaran.
Jumlah santri yang mengikuti sistem ini bisa
mencapai ratusan orang dan sedikit sekali
waktu yang diaediakan untuk tanya-jawab. Kiai menyampaikan materi pelajarannya secara monolog. Sistem
ini biasa juga disebut sistem wetonan
dan merupakan metode utama sistem
pengajaran di lingkungan pesantren tradisional. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Suatu Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES,1994), h. 60.
[37] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Suatu Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES,1994), h.61.
[38] Karakteristik kiai yang digambarkan Cholil Bisri
di atas tampaknya sangat mempengaruhi
perilaku komunikasi kiai ketika melakukannya dengan pihak-pihak lain.
Sifat-sifat kiai yang terbiasa berada di
lingkungan "kerajaan" (pesantren) dengan pendirian atau gayasannya yang tidak bisa digugat,
pada beberapa segi cenderung terbawa
pada kehidupan di luar pesantren dan
dalam urusan yang berbeda. Apalagi, meminjam istilah Kiai Bisri, sikapnya yang "tak bisa dikoreksi"
itu tidak hanya berlaku di kalangan
santrinya sendiri tapi juga berlaku bagi kelompok lain yang dianggapnya sebagai "anak
buah". Dalam kasus organisasi politik, misalnya, kiai sebagai
pemimpin sering menerapkan sikap, "tidak bisa dikoreksi" tersebut,
sehingga memberikan kesan organisasi politik sama
dengan pesantren. Pada saat yang
sama, jajaran elite politik lainnya juga cenderung mengikuti apa kata kiai, baik dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin partai maupun
sebatas elite karismatik yang berada di luar wilayah formal. Secara
spesifik, perkataan Kiai Cholil Bisri ini ditulis ketika mendiskusikan posisi KH. Abdurrahman Wahid dalam konteks politik yang
mengitarinya. Lihat, M. Cholil Bisri, "KH. Abdurrahman Wahid di Antara
Para Kiai", dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla, (ed.), Gila KH.
Abdurrahman Wahid.- Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS,
2000), h. 79.
[39] Meskipun demikian, pada tingkat tertentu, budaya berbeda
pendapat juga tetap berkembang di kalangan Nahdliyin. Seperti
dikemukakan di atas, perdebatan dalam forum bahts al-masail adalah
gambaran umum budaya berbeda pendapat yang dianut para kiai NU. Seolah tidak ada sekat pembatas hierarkis di antara
sesama kiai. Bahkan kritik sekalipun, biasa terjadi di antara sesama kiai.
Perdebatan dan kritik biasanya disampaikan dalam suasana persahabatan,
egaliter, yang sesekali diselingi guyonan spontanitas. Para kiai itu kalau
sudah “jagongan" dengan sesamanya, sangat sering tidak mempertimbangkan waktu. Manakala mereka merasa 'gayeng", bisa sampai semalam
suntuk. Mereka bisa saling "locoh", seperti ketika
mereka masih menghuni pesantren.
[40] Deddy Mulyana, Komunikasi politik: Suatu Pengantar, (Bandung:
Rosda,2001), h. 103.
[41] Menurut Ernest
Gassier, di antara keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah karena keistimewaannya sebagai animal
symbolicum. Karena kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, menurut Susanne K Langer, merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia. Manusia memang satu-satunya hewan yang
menggunakan lambang, dan itulah pula yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya. Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu
Komunikas Suatu Pengantar (Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 83-84.
[42] Mulyana Komunikasi politik: Suatu Pengantar,
(Bandung: Rosda Karya, 2001),h.84. Kata "ishlah", misalnya,
lebih mudah diterima oleh kalangan muslim daripada kata
"rekonsiliasi" ketika digunakan untuk mewakili kebutuhan pertemuan
politik dalam penyelesaian konflik. Demikian
pula dalam kegiatan kampanye politik,
sosok kiai lebih mudah diterima komunitas muslim daripada sosok pejabat.
Dalam kaitan ini, menurut Nimmo (1993: 94), kata-kata
dalam pembicaraan politik, termasuk pada
bentuk kegiatan simbolik. Manusia mengamati berbagai objek dalam bentuk
tanda, isyarat, dan petunjuk. Mereka kemudian menginterpretasikan objek-objek
itu dengan cara-cara yang bermakna, dan
dengan demikian membentuk citra mental tertentu tentang objek-objek
tersebut. Karena itu, unsur-unsur primer dalam komunikasi politik meliputi: (1)
lambang-lambang, (2) hal yang dilambangkan,
dan (3) interpretasi yang membuat sesuatu lambang itu bermakna. Dalam
komunitas politik beragama (religious
politisal community) seperti halnya kaum nahdliyin, tema-tema,
isyarat-isyarat ataupun lambang-lambang agama akan mempermudah pemaknaan
sehingga memungkinkan terjadinya proses komunikatif. Makna pembicaraan politik sebagai kegiatan simbolik itu mengisyaratkan bahwa kata-kata atau lambang dalam
wacana politik tidak memiliki makna
intrinsik yang independen dari proses berpikir para penggunanya.
[43] Deddy Mulyana, Komunikasi
politik: Suatu Pengantar,
(Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 160.
[44] Dalam
konteks ini, kebijakan kembali ke khittah
juga telah memperkuat asumsi adanya keterkaitan antara NU sebagai organisasi sosial keagamaan di
satu pihak, dan di pihak lain, ia juga sulit menghindari masuknya dimensi-dimensi
politik yang memang telah menjadi bagian integral dari sejarah perjalanan yang
dilaluinya. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama:
Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES,
2004), h. 135.
[45] Untuk memahami lebih jauh
posisi agama dalam proses komunikasi politik kaum Nahdliyin, selanjutnya
akan dilakukan identifikasi peluang munculnya wacana agama dalam aspek-aspek komunikator, pesan, dan media. Sebagai aktivitas
simbolik, agama dapat menjadi warna komunikator
seperti hadirnya sosok kiai, pemuka
agama, dalam proses komunikasi. Pesan-pesannya dapat dikemas dalam
bahasa agama sehingga memungkinkan terbangunnya kedekatan (intimacy) dan
kesamaan (commonness) baik dalam rujukan (reference) maupun
pengalaman (experience). Sedangkan
untuk kepentingan media, komunikasi dapat berlangsung dengan memanfaatkan situasi-situasi keagamaan ataupun
tradisi-tradisi yang menjadi identitas komunitasnya. Selain faktor latar
belakang sosio-kultural yang pada gilirannya banyak
mewarnai kiprah NU dalam panggung politik, kiai sebagai figur sentral dalam komunitas NU, pada dasarnya juga
merupakan komunikator politik yang
memiliki peran signifikan. Sikap ketaatan santri-jama'ah kepada kiai yang dianggapnya sebagai pimpinan dan sumber informasi, cukup memberikan pengaruh
signifikan terhadap tingkah laku
politik yang diperankannya. Watak seperti ini pada dasarnya berakar pada
tradisi kaum santri yang seringkali dikesani
tunduk tanpa reserve. Pada masyarakat muslim tradisional, khususnya
di kalangan mayoritas jama'ah NU, fatwa kiai menjadi
kata kunci, sekaligus kata akhir dalam menentukan banyak hal. Termasuk
dalam menentukan sikap dan komunikasi politiknya.
Karena itu, tidak berlebihan jika pada situasi yang sangat membingungkan
berkenaan dengan munculnya lebih dari satu partai di kalangan NU menjelang
Pemilu 1999, masyarakat akan menunggu isyarat kiai dalam menentukan sikap dan
pilihannya. Meskipun ada gejala yang menunjukkan bahwa KH. Abdurrahman Wahid,
seorang pemimpin karismatik dan Ketua Umum PBNU, telah menjatuhkan dukungannya
kepada PKB, tetapi harus diakui pula masih banyak elite karismatik lainnya yang
berpengaruh. Pada dasarnya tidak ada elite sentral dalam NU sebab di kalangan
kaum Nahdliyin, kebesaran karisma seorang kiai, salah satunya, juga
ditentukan oleh pemilikan pesantren dan kiai yang memenuhi kriteria itu
jumlahnya ribuan dalam komunitas NU. Tetapi kiai yang tidak memiliki pesantren
bias tereleminir. Kasus terpentalnya KH.
Anwar Musaddad dari peluang menduduki jabatan Rois Aam menggantikan Kiai Bisri,
salah satunya, karena dianggap tidak memiliki pesantren, meskipun
keeliteannya diakui oleh banyak kalangan. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi
Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif,
(Jakarta: LP3ES, 2004), h. 132.
[46] Berbeda dengan pemimpin organisasi, pemimpin
simbolik biasanya tidak memiliki posisi formal dalam organisasi. Mereka
sangat dikenal di dalam masyarakat karena faktor-faktor tertentu, sehingga
komunikasinya tetap efektif. Lihat, Dan Nimmo, Komunikasi Politik:Khalayak
dan Efek, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 46. Dalam perspektif komunikasi politik, meminjam
istilah Nimmo (1993: 33), kiai dapat dikategorikan kepada kelompok komunikator profesional yang dapat mengendalikan
keterampilan yang khas dalam mengolah
simbol-simbol untuk membangun jaringan antarindividu dalam suatu
kelompok. Seorang komunikator profesional, kata Nimmo, adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap,
pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah
komunitas bahasa lain yang berbeda-beda
tetapi dipandang menarik dan dapat
dimengerti. Oleh karena itu, komunikator profesional, seperti halnya
seorang kiai dalam komunitas muslim, berperan sebagai
sosok yang dapat menghubungkan golongan elite atau sesuatu komunitas tertentu dengan khalayak umum.
Secara horizontal, kiai juga berperan sebagai penghubung dua komunitas
bahasa yang berbeda pada tingkat struktur sosial yang sama.
[47] Jika restu itu turun, otomatis ia menjadi sumber
pembentuk opini publik. Sebaliknya, jika restu itu belum turun, maka seorang kandidat dianggap belum memenuhi
kualifikasi untuk dipilih. Beberapa bentuk wacana restu yang sempat
diangkat media cetak, antara lain, "Mbah
Lim Restui Said" dalam Jawa Post; "Kiai Faqih
setujui Hasyim" dalam Surya; dan "Para Kandidat Ketua Umum NU
Mulai Berebut Restu Kiai" dalam Republika.
[48] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001), h. 106.
[49] Studi tentang
latar sosio-antropologis Nahdliyin memperlihatkan adanya ikatan kuat NU dengan pesantren. Lihat,
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982).
Pentingnya mencatat kultur pesantren dalam wacana perpolitikan NU, sebetulnya
karena pesantren, secara sosiologis, dikenal
sebagai institusi agama Islam. Pesantren merupakan simbol agama yang
dapat diperankan dalam proses dinamisasi masyarakat, baik untuk kepentingan
pembinaan moral, maupun sebagai alat perekat
bangunan sosial politik.
[50] Dalam bahasa Jawa, kata kiai dipakai untuk tiga jenis gelar yang
saling berbeda. Pertama, gelar
kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat yang memiliki daya
linuwih. Misalnya, "kiai" Garuda kencana dipakai untuk sebutan Kereta
Emas yang ada di Keraton Yogya-karta. Kedua,
gelar kehormatan untuk orang tua secara umum. Ketiga, gelar kehormatan yang diberikan
masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya,
lihat Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhofir,1994:55. Sebenarnya, istilah
kiai menunjuk kepada elite
ulama yang di Jawa Barat lebih dikenal dengan nama ajengan, berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang biasa disebut kiai. Kini,
banyak ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapatkan gelar kiai walaupun tidak memimpin pesantren.
Keterkaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar Kiai biasanya
dipakai untuk menunjuk pada ulama dari kelompok Islam tradisional. Dalam
pengertian seperti inilah perkataan kiai banyak dan umumnya digunakan (Dawam
Rahardjo,1993:171), sedangkan menurut Cliford Geertz (1960: 134), kiai merupakan sebutan yang menunjuk
kepada guru di pondok pesantren. Karel
Steenbrink dalam bukunya, madrasah, sekolah dan pesantren, terbit di
1987, ia menjelaskan tentang kiai dalam posisi yang bertentangan dengan
penghulu. Penjelasannya,
ia nukil dari sejarah pergumulan Islam pada masa Kolonial Belanda. Penghulu
merupakan pejabat resmi di lingkungan pemerintahan Kolonial Belanda yang
diangkat oleh gubernur jenderal atau atas namanya melalui pencalonan dari
bupati dengan persetujuan residen. Umumnya, mereka datang dan berasal.dari
keluarga kenalan bupati yang mengurusi bidang agama. Dalam hal ini, kiai bersifat
independen yang tumbuh dan berkembang atas pengakuan masyarakat, sedangkan kiai
sebagai kelompok yang muncul di tengah-tengah masyarakat berada di luar
pemerintahan atau keraton. Pengetahuan mereka dinilai lebih
mendalam, serta cara dan pandangannya pun diakui dan diikuti oleh masyarakat
secara tulus.
[51] Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kiai
yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self
confident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun kekuasaan dan
manajemen pesantren. Meskipun kiai di Jawa umumnya tinggal di pedesaan,
mereka juga merupakan kelompok elite dalam struktur sosial, politik, dan
ekonomi. Sebagai sebuah kelompok, para kiai memiliki pengaruh yang
sangat kuat dalam kehidupan masyarakat
Jawa. Ia merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.
Kebanyakan mereka memiliki sawah yang cukup luas, meskipun tidak berarti
menjadi pekerja sawah. Mereka bukan petani karena mereka adalah seorang
pemimpin dan pendidik yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.
[52] Matarantai transmisi
tersebut, dalam tradisi pesantren, disebut sanad. Ini berarti bahwa
dalam satu angkatan terdapat kiai tertentu yang dianggap sah sebagai satu
matarantai, sedangkan lainnya dianggap batal atau diragukan. Kiai Munawir,
pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta, misalnya, terkenal di Jawa sebagai
seorang kiai yang paling kompeten dalam tajwid. Di dalam biografinya, ia
menelusuri matarantai transmisi pengetahuan tajwidnya: ia belajar qira'ah kepada
Imam 'Asyim dari Syekh Abdul-karim bin Umar al-Badri al-Dimyathi. Setiap
individu di dalam sanad itu disebut isnad. Tradisi tarekat juga
menggunakan istilah yang sama, tetapi lebih sering disebut sebagai silsilah.
Ini berarti bahwa setiap ajaran tarekat diajarkan kepada generasi penerus
melalui silsilah yang berkesinambungan. Karena itu, seorang guru tarekat
merupakan pewaris spiritual yang sah dari pendiri tarekat tersebut. Dalam
silsilah ini, setiap guru tarekat yang menjadi matarantai memiliki watak
eksoteris dari gurunya.
[53] Ali Anwar, “Avonturisme” NU: Menjejaki Akar Konflik
Kepentingan-Politik Kaum Nahdliyin, (Bandung: Humaniora, 2005), h. 185.
Comments
Post a Comment