Pola komunikasi pesantren dalam konteks politisasi Nahdlatul Ulama

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1.         Latar Belakang Masalah

 

Banyak ragam pola komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren.  Penyebaran informasi juga pengetahuan tidak selalu berlangsung secara baik. Pihak penerima senantiasa mendapatkan dan meyakini apa-apa yang dipahami pemberi pesan, tapi terjadi proses dialogis juga dialektis.

Pihak penerima dalam hal ini santri memiliki otonomi untuk menyeleksi informasi dan pengetahuan mana saja  yang mereka perlukan dan mana saja yang tidak. Proses dialogis muncul karena notabene santri memiliki kepercayaan dan pemahaman yang sama dengan kiai mereka. Proses pendidikan dalam pesantren berjalan sesuai harapan pihak pengasuh.

Transfer ilmu berjalan baik, sementara para santri mengikuti petunjuk dan saran kiai mereka. Mereka meyakini apa yang diajarkan sang kiai adalah benar apa adanya. Karena proses yang sama telah dijalankan sang kiai saat belajar pada kiai guru (senior) nya dan menguasai ilmu yang sama yang diajarkan kepadanya.

Proses pendidikan pedagogis berlangsung hingga siswa (santri) mencapai tahap pemikiran dewasa. Menginjak usia dewasa, santri memiliki wawasan dan cara berfikir yang lebih mandiri dalam menentukan beragam ilmu yang mereka terima. Termasuk dalam menentukan pengetahuan dari luar pesantren untuk dasar kepercayaan mereka menyangkut kebenaran.

Tentu saja, kebenaran dalam hal ini terkait dengan hal-hal yang sifatnya profan. Sesuatu yang bisa dilakukan melalui tafsir dan apa saja yang diajarkan oleh kiai adalah salah satu dari tafsir itu. Ada banyak ragam tafsir dalam Islam baik menyangkut masalah-masalah keduniawiaan maupun keabadian (akherat).

Setiap muslim memiliki kemampuan untuk melakukan pemikiran yang berbeda dari muslim lainnya selama masih dalam koridor ‘keimanan’. Seorang santri bisa saja berbeda pandangan dengan kiai mereka bila menyikapi masalah-masalah social politik sekitarnya. Ada keniscayaan bahwa urusan sosial, maupun politik adalah pilihan. Meski sang kiai menjatuhkan pilihannya pada paham politik tertentu, ada diantara santri yang memiliki pilihan lain yang berbeda. Mereka menganggap bahwa urusan politik semacam itu tak mengikat dan menjadi wilayah privat mereka.

Tentu saja, kebanyakan dari santri tetap mengikuti pilihan sang kiai. Dalam budaya pesantren, mengikuti pilihan dan semua tata cara hidup kiai merupakan kewajaran. Apa saja tindak tanduk, perilaku, dan petunjuk sang kiai dianggap benar adanya, karena semua itu melekat dan menyatu dengan penguasaan ilmu kehidupan yang sudah matang (final). Dalam kerangka itu perbedaan pandangan dengan kiai,-- meski dalam urusan pilihan sebagai warga negara—dianggap tidak wajar dan tidak mendapatkan tempat di dunia pesantren.

Hal inilah yang menjadikan transfer nilai pada diri kiai ke para santri cukup efektif. Pengajaran ilmu dan pengetahuan berlangsung lebih mudah dan tidak seperti pada sistem pendidikan umum.

Begitupun dengan pandangan-pandangan kiai terhadap dunia. Setiap wawasan dan pemahaman kiai terhadap masalah-masalah kebangsaan juga akan diikuti dan dipahami secara sama oleh santri.

Maka dari itulah, peran sentral kiai dalam pesantren menjadi salah satu titik tolak dalam penelitian ini.  peran itu menentukan penyebaran tentang corak Islam yang berkembang di dunia pesantren. Penafsiran Islam yang beragam di Indonesia, menempatkan pesantren ikut memberi andil dalam menciptakan keberagaman pandangan dan pemikiran social politik. Ada perbedaan penafsiran khususnya jika dikaitkan dengan konsep kebangsaan, seperti menyikapi pluralisme, HAM, dan instrument penunjang demokrasi lain. Tapi urusan agama, --dan paham aswaja yang menjadi pedoman NU,-- semua mengikuti pandangan kiai.

Sesuatu yang berkaitan dengan urusan sosial dan politik, sebagian menafsirkannya dengan kacamata agama. Para kiai NU lebih berorientasi fiqih, ketimbang filosofi. Hasilnya pun beragam. Kenyataan menunjukkan bahwa ada banyak kiai NU yang masih memiliki keyakinan tentang Negara Islam. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH Masdar F Masudi mengungkapkan sinyalemen mengejutkan bahwa dari kalangan NU sendiri ada banyak kiai yang berpendapat bahwa Negara Islam itu tidak menjadi masalah.

Pun jika ditanya masalah-masalah social lain seperti pemikiran Islam liberal, kasus Irsyad Manji, perkembangan syiah dan ahmadiyah yang muncul belakangan di tanah air. Para kiai NU tidak satu suara dalam hal ini. mereka memiliki keyakinan dan pandangan berbeda dan sebagian justru ada yang mengarah pada Islam militan (radikalisme). Padahal NU dikenal dengan karakter Islam yang moderat, toleran dan menjunjung tinggi kemajemukan sebagaimana pemikiran gusdur (Abdurrahman Wahid).

Ini menandakan bahwa perkembangan pemikiran di lingkungan pesantren sudah sedemikian berubah seiring dengan perkembangan modernisasi dan perubahan masyarakat. Metode pengajaran mungkin saja tak berubah, tapi tafsir kiai terhadap realitas yang menjadikannya berubah. Kiai masih mengendalikan pola pengajaran yang telah berkembang lama di lingkungan pesantren, namun apa yang ia ajarkan salah satunya adalah bentuk respon terhadap realitas. Pandangan mereka mengikuti perubahan yang terjadi.

Bagi mayoritas kiai, pandangan NU tentang kebangsaan memang sudah final. Indonesia yang majemuk, menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi oleh seluruh masyarakat. NU menjadi pelopor bagi paham kebangsaan seperti itu. Penerimaan NU terhadap pancasila dan nilai-nilai di dalamnya sudah dikumandangkan sejak pendiri NU KH Hasyim Asyari menyatakan keluar dari Masyumi. Paham kebangsaan itu terus dijaga hingga kini. Bahkan, semasa gus dur, NU menunjukan diri sebagai organisasi Islam yang memperjuangkan pluralisme, secara intensif di Tanah Air.

Kendati begitu, dalam satu dekade terakhir, keterlibatan para kader dan pengurus NU dalam politik membawa dampak negatif bagi organisasi. Praktik mone politics (suap) mulai merebak pada acara-acara NU. Para kandidat pengurus NU terpilih tak malu lagi menggunakan kekuatan financial untuk memperebutkan sebuah jabatan di kepengurusan NU, baik daerah hingga pusat.

Pada ranah politik, tafsir kiai atas realitas lebih kompleks dan majemuk. Masing-masing kiai memiliki otonomi untuk menentukan pilihan politiknya. Begitupun dengan santrinya. Harapan untuk membumikan ajaran dan nilai-nilai NU di lingkungan politik, berdampak sebaliknya. Para kiai justru larut dalam hiruk pikuk politik dan aksi dukung mendukung kandidat bupati, gubernur dan presiden serta para caleg dari partai yang berbeda-beda.

Tarik menarik kepentingan politik mendominasi kehidupan pesantren di banding masa-masa sebelumnya. Banyak kiai yang menduduki jabatan-jabatan politis di partai maupun pemerintahan, namun peran mereka tidak menentukan perubahan sebagaimana tujuan awal perjuangan. Kepentingan partai lebih mendominasi ketimbang sebaliknya. Alhasil, proses artikulasi aspirasi warga NU terbentur kendala kekuasaan yang hegemonic yang menentukan arah dan tujuan partai politik.

Jika pada masa pemerintahan Orde Baru, peran negara begitu dominan maka pada era paska reformasi, pergeseran kekuasaan beralih ke elit-elit partai yang mengendalikan kader-kadernya di parlemen dan pemerintahan.

 

1.2.         Identifikasi Masalah

Penelitian ini ingin mengungkap bagaimana komunikasi internal dan eksternal pesantren. Komunikasi melalui sistem pendidikan yang tengah berjalan di antara kiai dan santrinya. Tentu juga mencakup pertanyaan, bagaimana komunikasi yang terjadi di pesantren baik vertical (santri-kiai) dan horizontal (kiai-kiai). Juga komunikasi di luar kelas pesantren dan bagaimana penyebaran informasi dan pengetahuan berlangsung. Sementara komunikasi eksternal menyangkut komunikasi politik, termasuk sikap dan pandangan kiai dan dunia pesantren terhadap kepentingan politik baik dari parpol maupun perseorangan.   

Berangkat dari situ, persepsi NU dengan dunia pendidikan pesantren-nya yang unik mulai mengalami perkembangan. Ada banyak ragam komunikasi di lingkungan NU. Penyebaran informasi dan pemikiran tak hanya berlangsung antara kiai dengan santri, tapi antara kiai dengan kiai dari ponpes lain dan kiai-santri dengan informasi luar secara bebas. Proses komunikasi terakhir berlangsung melalui media massa baik internet dan mempengaruhi penafsiran atas teks (baik melalui buku bacaan, media internet, maupun teleconferen, dll).

Selama ini, pola komunikasi antar-kiai NU merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak berdirinya organisasi berbasis pesantren ini. Silaturrahmi merupakan bagian tak terpisahkan dari NU. Komunikasi melalui kegiatan tersebut, menciptakan ruang dialog sekaligus pertukaran pemikiran, pengetahuan dan pandangan masing-masing menyangkut tafsir Islam atas realitas.

Ada banyak perubahan dari pola komunikasi yang terjadi di pesantren beriringan dengan perkembangan penggunaan teknologi internet. Selain media TV,  setiap orang dengan mudah mengakses semua persoalan yang mereka hadapi untuk mendapatkan jawabannya di internet. Beragam penerbitan buku, jurnal dan ruang-ruang dialog publik ikut menentukan pola pikir dari pandangan Islam yang terbatas menjadi lebih luas.

Asumsi orang tentang pola komunikasi di pesantren yang relatif tertutup dibandingkan sistem pendidikan umum perlu pendalaman lebih jauh. Ada keberagaman praktik pendidikan di sejumlah pesantren NU. Umumnya, mereka masih membatasi para santrinya untuk tidak memiliki kebebasan menonton semua acara TV, interaksi santri laki-laki dan santri perempuan dan juga dengan masyarakat luar pesantren.

Lingkungan pesantren yang tertutup, memungkinkan pengajaran ilmu agama tak terkontaminasi dengan pengetahuan dari luar yang ‘merusak’. Bagi santri yang lebih dewasa, pola pendidikan pedagogis di lingkungan pesantren secara sadar akan mencari kebebasan baik secara psikis maupun dalam mendapatkan informasi yang lebih longgar. Media sosial dan internet dengan piranti  teknologi mutakhir menyediakan semua akses yang dibutuhkan.

Tak pelak, dalam periode 1990-2000-an kehidupan pesantren mengalami tantangan. Meski kurang kurang berkembang di pedesaan, tapi bagi pesantren-pesantren tradisional yang umumnya ada di pedesaan, akses internet dan informasi mudah didapat. Di bandingkan komunitas pesantren di perkotaan, keterbukaan informasi di desa masih belum berkembang baik.

Pola komunikasi yang terjadi masih didominasi dengan sistem pengajaran di dalam kelas serta kuatnya hegemoni kiai. Apa yang mereka terima tak berbeda dengan apa yang dipahami oleh kiai mereka.

Bibit penolakan pada nilai-nilai luar amat jelas di lingkungan pendidikan semacam ini. Mereka cenderung defensif dari masuknya nilai-nilai asing dan melakukan tindakan reaktif sebagai respon dari ketakutan penyebaran nilai baru tersebut.

Penyerangan warga NU pada penganut syiah di Sampang, dan pengikut MTA di Blora, Cepu dan Bojonegoro membuktikan bahwa para pesantren di daerah belum siap menerima pandangan demokrasi yang menuntut penghormatan pada kebebasan HAM,  pluralisme dan toleransi.

Berbeda dengan para santri yang kaya, yang notabene memiliki perangkat teknologi mutakhir yang memudahkannya menggunakan akses komunikasi tersebut. Mereka banyak memperoleh pengetahuan yang tidak terbatas dari luar lingkungan pesantren.

Dalam adab sopan santun, tata karma memang masih kuat. Tradisi menghormati kiai masih kental di semua pesantren NU. Namun dalam pemikiran mereka tak lagi total pada pemahaman kiai khususnya menyikapi beragam persoalan keseharian. Banyak kiai yang tak lagi mengikuti informasi dan pengetahuan terkini.

Perkembangan teknologi meniscayakan kemandirian setiap orang untuk mendapatkan informasi secara bebas. Peran kiai tetap menentukan dalam pembangunan fundamental keimanan seseorang. Tapi, banyak kenyataan menunjukkan bahwa politik kiai seringkali gagal menggiring santri ke pilihan politik mereka.

Kendati begitu, notabene peran yang dimiliki sang kiai tetap mempengaruhi dinamika politik khususnya paham kebangsaan di tanah air. Isu besar menyangkut pluralisme dan demokrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menguat setelah KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI keempat. Wacana tentang NU yang moderat, toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman di tanah air semakin jelas.

Maka tak pelak, jika ada pandangan dari beberapa kiai NU yang masih menyetujui tentang konsep  ‘negara Islam’, terasa menjadi aneh. Ketua PBNU, KH Masdar F Masudi,  pernah mengingatkan bahwa pandangan seperti itu sebenarnya sudah lama berkembang dan diyakini kiai-kiai NU. Konsep ‘negara Islam’ tidak ada salahnya dalam ajaran sejarah Islam. Ini karena notabene kiai NU lebih banyak mengutamakan kaidah fiqih yang lebih mengedepankan urusan ‘halal-haram’ ketimbang  yang lebih substansial. Kiai yang lebih faham fikih saja, tentu setuju konsep ‘Negara Islam’ dan kecenderungan itu karena Islam seolah mesti dilihat dari sudut pandang fiqih. Banyak ulama suni didominasi oleh cara pandang dunia dari latar fikih ini, sehingga mereka lebih banyak bicara soal formal, hukum, dan kurang menyentuh soal filosofi dari hukum dimaksud.

Seiring perkembangan informasi, pola komunikasi yang ‘cair’ akan mengubah cara pandang pesantren khususnya para kiai-nya dalam melihat dunia. Interaksi dengan luar menjadi keniscayaan dan komunikasi yang terjadi baik antar sesama kiai maupun dengan para santri tentu menghasilkan perubahan-perubahan yang  lebih moderat.

Bagaimana pola komunikasi yang selama ini berkembang di pesantren NU?  Mengacu pada Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh  dalam bukunya Pesantren mencari makna[1], ada dua pola komunikasi yang ada di lingkungan pesantren yang pertama, interaksi  vertical antara santri dan kyai  yang bermuara pada kepemimpinan sentralistik otoritatif dan kedua, interaksi horizontal  yang lebih ‘cair’, terbuka karena santri menjadi partner, teman dialog . Kesemuanya terangkum dalam sebuah cara hidup ala pesantren melalui system pendidikan (kurikulum dan  pengajarannya).

Pesantren mempunyai kehidupan tersendiri yang unik dan khas. Di dalamnya terdapat  tradisi yang dikenal sebagai tradisi pesantren yang menurut sahal merujuk terminology ”tradisi” Edward Shills di sebut sebagai sesuatu yang diwarisi oleh generasi sekarang ini dari generasi pendahulunya, yang bersifat non materi (nilai-nilai), serta non diskriminasi jenis kelamin. KH. Abdurahman Wahid dalam “pesantren sebagai sub kultur’ Menggerakkan tradisi: esai-esai pesantren menyebutkan nilai-nilai (mores) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama "cara kehidupan santri", yang oleh sementara kalangan (terutama oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java) dicoba untuk dikontraskan dengan apa yang dinamakan "kehidupan kaum abangan" di negeri ini[2].

Abdurahman melanjutkan disamping memiliki Selain kurikulum pelajaran yang sedemikian lentur (luwes)[3], Struktur pengajaran yang unik dan memiliki ciri khas ini tentu saja juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula[4]. Visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kelak menempati kedudukan terpenting dalam tata nilai di pesantren, visi mana dalam terminologi pesantren dikenal dengan nama keikhlasan (berbeda dengan keikhiasan yang dikenal di luar lingkungan masyarakat, yang mengandung pengertian ketulusan dalam menerima, memberikan, dan melakukan sesuatu di antara sesama makhiuk). Orientasi ke arah kehidupan alam akhirat ini (dikenal dengan tenninologi pandangan hidup ukhrawi), yang terutama ditekankan pada pengerjaan perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin, merupakan pokok dasar kehidupan pesantren,

Kehidupan pesantren sebagaimana diungkapkan sahal  diwarnai dengan norma-norma ajaran Islam, dimana ajaran Islam menekankan sikap patuh dan tawaddu . Mengutip dari  Dr. Zamakhsari Dhofir dalam karyanya  Tradisi Pesantren, sahal menegaskan sikap patuh serta tawaddu ini dapat dimaklumi , karena  para santri baik laki-laki maupun wanita, menganggap bahwa  kyai merupakan “sumber pokok “ dari kesegala kepemimpinan dan wewenangnya (leadership and authority) dalam menentukan kehidupan dan lingkungan pesantrennya , disamping  adanya rasa percaya penuh kyai terhadap dirinya sendiri  (self confidence), baik dalam masalah ritual(di antaranya belajar  kitab kuning, ngaji laku) dan maupun bidan manajemen (sistem pengajaran, berorganisasi dan sebagainya).

Dengan adanya sikap patuh dan tawaddhu, maka menurut sahal  akan tercermin pula sikap disiplin santri terhadap segala sesuatu yang menjadi kewajibannya[5]. Dari sini akan terlihat betapa para santri itu ditempa dan digembleng untuk bias mengisi dirinya dengan akhlaq yang mulia(akhlaq alkarimah) karena tingkah laku santri selama 24 jam selalu mendapat pengawasan dari kyai yang mengasuhnya-sudah barang tentu timbulnya  sikap ini di landasi dengan keikhlasan yang tinggi- serta dilatih dalam kesederhanaan, kemandirian dan kesetiakawanan. Semua  sikap dan watak tersebut merupakan fundamen dan modal yang kuat bagi para santri dalam membawa dirinya untuk memperoleh keberhasilan apa yang menjadi cita-citanya dan jika nanti terjun kemasyarakat, mampu sebagai community leader dalam masyarakat tersebut, naik sebagai pemimpin keagamaan maupun social.

Dari adanya sikap serta  watak  tersebut, menurut Sahal, maka terwujudlah  interaksi yang bersifat vertical antara kiai dengan santrinya  karena adanya kepemimpinan yang bersifat sentralistik otoritatif, dimana para santri tidak berani menentang  kepemimpinan pengasuhnya, kecuali para kyai atau ulama yang lebih besar pengaruh dan wibawanya. Disamping model kepemimpinan tersebut , dipesantren, terdapat adanya keikhlasan kyai sebagai penyalur ajaran dan pengetahuan, serta  ketaatan santri sebagai murid yang siap menerima semua wejangan yang disampaikan kyainya. Selama tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan syara`, serta interaksi yang bersifat horizontal, yang berbentuk antar santri sendiri.

Interaksi tersebut tidak membedakan status ekonomi dan social, karena adanya kesadaran dari dalam diri santri dalam mengenyam pendidikan pesantren, mereka merasa sebagai partner in  misfortune dan pengajaran.[6] Dua pendekatan tersebut menyebabkan output yang berbeda. Tidak mengherankan diantara pesantren-pesantren NU banyak sekali corak dan warna pemikiran di dalamnya.

Beberapa santri berupaya membawa warna pesantren kearah yang sangat luwes terhadap keadaan. Mereka lebih mudah terbuka untuk menerima informasi dan berani melakukan perubahan-perubahan mendasar baik dalam gagasan, sikap maupun perbuatan. Diantaranya banyak yang masuk bidang-bidang lain seperti politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Sementara beberapa santri lain tetap bersikukuh memegang apa yang selama ini mereka dapat di pesantren. Mereka relatif tertutup terhadap perkembangan dilingkungan sekitar mereka.

 

1.3.         Perumusan Masalah

Pesantren dengan sistem pendidikan dan keunikan kultur yang ada di dalamnya, menarik untuk bahan penelitian. Selain interaksi mereka dengan masyarakat lokal dan perkotaan, beberapa pesantren NU  memiliki akses ke luar negeri.  Banyak santri NU memperoleh beasiswa ke luar negeri, baik ke Arab Saudi, Afrika Utara, AS maupun Eropa. Era 2000-an menunjukkan jumlah alumni pesantren yang belajar ke luar negeri sangat besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini menambah warna kehidupan pesantren semakin beragam.

Keberagaman berkembang justru dari keterbukaan informasi yang menghampiri kehidupan pesantren. Baik kiai, guru maupun para santri bisa memperoleh informasi tidak hanya dari pelajaran di kelas dan ceramah kiai, tapi dari dialog dengan sesama santri dengan bahan pengetahuan yang mereka peroleh secara otodidak.

Lalulintas informasi dan pengetahuan tentang masalah sosial, ekonomi dan politik sedemikian cepat, kadang tanpa ada yang mampun mengontrol sedikitpun meski dari pihak pengelola pesantren. Para santri mampu mengolah sendiri pengetahuan itu menjadi bahan kajian diantara mereka dan menyebar di lingkungan pesantren. Kesadaran santri akan masalah-masalah sosial politik menjadi sebuah keniscayaan. Setiap orang memiliki kebebasan berfikir dan mengutarakan pandangan mereka sendiri atas realitas di sekitarnya.

Sikap kritis seperti itulah yang akhirnya berdampak pada penilaian santri atas perilaku politik kiai. Setiap santri tak mudah mengikuti arahan dan petunjuk kiai mereka untuk urusan-urusan politik. Peran kiai dalam hubungan internal pesantren dilihat dalam konteks guru dan murid dan tak ada kaitannya dengan aksi dukung mendukung kandidat pilihan kiai mereka.

Sang santri akan mengambil jarak dengan pilihan kiai jika hal itu dianggap bertentangan dengan hatinuraninya. Apalagi jika pilihan politik kiai dianggap tidak sejalan dengan norma-norma dan ajaran moral yang mereka terima selama ini. Hal ini akan mempengaruhi citra kiai di mata santrinya dan hubungan internal antara kiai dan santri menjadi bermasalah.

Dalam satu dasawarsa terakhir, penilaian tentang baik dan buruknya perilaku kiai kebanyakan lebih ditentukan dari penilaian atas perilaku politiknya. Maka tak heran, jika di lingkungan NU khususnya pesantren mulai berkembang penilaian kiai yang tidak terlibat dalam partai politik, justru lebih dihormati ketimbang kiai yang terjun ke dunia politik.

Penilaian masyarakat tidak hanya berdasar pada peran politik kiai yang berseberangan dengan semangat organisasi NU untuk kembali ke khittah 1926. Namun, lebih karena dalam pandangan santri, dunia politik yang berkembang saat ini cenderung pragmatis dan oportunis.  Komunikasi politik kiai gagal mendapatkan simpati dari para santrinya dan apalagi masyarakat. Justru lantaran peran kiai dalam politik sebagai bagian dari kepentingan partai politik itulah, maka citra kiai di dunia pesantren mengalami penurunan.

Dalam kerangka itulah, penelitian ini berupaya mengungkap pola komunikasi politik yang dilakukan kiai di luar pesantren, dan akibat dari kegiatan itu di lingkungan internal pesantren. Apakah hubungan santri dan kiai berubah, setelah sang kiai terlibat kegiatan politik praktis?  Apakah citra kiai di mata santri menjadi rusak karena pilihan politiknya?

Dari sinilah benang merah antara komunikasi kiai di lingkungan politik (luar pesantren) dan komunikasi kiai di lingkungan pesantren (organisasi).    

Untuk mengungkap lebih detail perihal itu, barangkali berikut ini dua pertanyaan yang perlu diajukan terkait pola komunikasi di lingkungan pesantren dan di luar pesantren:

1.          Bagaimana pola komunikasi internal pesantren NU?

2.          Bagaimana Komunikasi eksternal pesantren? Bagaimana bentuk komunikasi Politik Kiai menghadapi politisasi Pesantren?

 

1.4.         Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kenyataan lebih detail tentang pola komunikasi yang terjadi di dalam lingkungan pesantren. Komunikasi yang berlangsung secara internal organisasi baik di antara kiai dengan santri dan horizontal sesama kiai dan sesame santri menyikapi penetrasi kepentingan politik yang memasuki pesantren. Secara garis besar tujuan utama penelitian adalah mengungkap komunikasi politik kiai dan sikap pesantren atas masuknya kepentingan politik kekuasaan baik dari partai politik, maupun kepentingan politik perseorangan.

Komunikasi politik yang dilakukan para kiai, menjadi  sorotan utama mengingat bentuk interaksi sosial dan politik kiai-kiai NU notabene berkaitan dengan tarik menarik antara masuk ke wilayah politik atau mundur dari politik sebagaimana amanah organisasi yang mencanangkan kembali ke khittah 1926. Ketentuan itu mensyaratkan NU tak lagi terlibat dalam urusan kegiatan politik praktis. Meski terjadi perubahan sosial yang menyentuh wilayah pesantren, banyak cara yang dilakukan para kiai sebagai elit pesantren untuk menyiasati keadaan lewat cara komunikasi politik yang elegan.

Tentu saja, beragam interaksi dengan wilayah politik di luar pesantren, mempengaruhi pandangan kiai terhadap persoalan-persolan kebangsaan sebagaimana selama ini menjadi pegangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini selain akan menggunakan parameter pandangan kiai tentang faham kebangsaan dengan mengungkap pola komunikasi yang mereka lakukan, juga siasat kiai menghadapi kepentingan kekuasaan.

 

1.5.         Penelitian Sebelumnya

 Ada banyak penelitian yang telah dilakukan menyangkut keterlibatan politik NU dan komunikasi internal dan eksternal pesantren. Beberapa diantaranya:

Wasisto Raharjo Jati, penelitian tentang Ulama dan Pesantren Dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, tesis Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2008. Penelitian ini juga melihat relasi kuasa antara ulama dan pesantren dalam dinamika politik Nahdlatul Ulama. Wasisto mengungkapkan elemen penting politik dan kultur Nahdlatul Ulama, dan keberadaan Partai  Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai  politiknya nahdliyyin.  Adanya konflik organisasi yang terjadi di PKB turut mempengaruhi dinamika NU sehingga menimbulkan      adanya   fragmentasi    di  antara  ulama   dan  pesantren.   Implikasinya adalah terjadi divergensi politik dan kultur antar para ulama dan pesantren di basis wilayah NU yakni di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. 


BAB 2

KERANGKA KONSEPTUAL

 

2.1.         Komunikasi Organisasi

Berdasar  perspektif  tradisional (fungsionalis dan  obyektif),  komunikasi  organisasi cenderung menekankan pada kegiatan penanganan pesan yang terkandung dalam suatu batas organisasional. Fokusnya adalah menerima, menafsirkan dan bertindak berdasarkan  informasi dalam  suatu  konteks. Tekanannya  adalah  pada  komunikasi sebagai  suatu   alat yang   memungkinkan     orang  beradaptasi   dengan    lingkungan mereka.

Sedangkan bila  dipandang  dari perspektif  interpretif, komunikasi organisasi adalah proses  penciptaan  makna  atas  interaksi  yang  merupakan  organisasi.  Komunikasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara dan mengubah organisasi.  

Perspektif komunikasi organisasi mencoba  melengkapi  dan menyatukan keseluruhan   pandangan     dalam   analisis  organisasi. Menambahkan faktor teknologi dan pengaruh lingkungan luar organisasi sebagai faktor yang turut serta mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi. Salah satu model yang dapat digunakan untuk menggambarkan pendekatan ini adalah teori sistem.

Berdasarkan  konsep  sistem,  organisasi  digambarkan  sebagai  suatu  yang  terdiri dari bagian-bagian yang  saling  bergantung  dan saling  berinteraksi, juga dengan lingkungannya. Organisasi sebagai suatu sistem keberadaannya juga tidak terlepas dari sistem lain  yang  lebih  besar.  Sehingga   kelangsungan    organisasi  dipengaruhi  oleh  banyak   hal,  diantaranya  teknologi  dan  faktor-faktor  lain  yang  terdapat dalam lingkungan suatu organisasi seperti lingkungan politik, ekonomi dan sosial. Komunikasi berdasar perspektif integratif menerapkan pola-pola komunikasi yang sangat bervariasi antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

Pola  komunikasi tergantung  pada  fungsi  dalam  organisasi,  lingkungannya  dan latar belakang pendidikan dan sosial para anggota organisasi. Selain itu, perspektif  ini juga  melihat  bahwa  komunikasi organisasi tidak  hanya sebatas  pada  komunikasi  internal  tetapi juga  melibatkan  komunikasi  eksternal dengan para  pelanggan, komunitas, pemerintah dan aspek  lain dari lingkungan  yang turut mempengaruhi kelangsungan organisasi.

Pesantren Sebagai kesatuan Organisasi dalam masyarakat memiliki karakteristik budaya yang membedakan dengan beragam bentuk organisasi lainnya. Pendekatan budaya untuk melihat organisasi pesantren menentukan proses pemahaman tentang perubahan karakteristik masing-masing orang yang menjadi anggota organisasi tersebut dan yang terlibat di dalamnya.  (Pendekatan Komunikasi Organisasi , dalam Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson Wadsworth Chapter 9 dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika.

 

2.2.         Oligarki Partai

Kajian sosial masa Orde Baru didominasi wacana demokrasi dalam hubungannya dengan negara. Keadaan ini berlangsung hingga kini setelah Orde Baru tumbang dan sistem politik demokrasi ditegakkan. Hanya saja, banyak kalangan menilai demokrasi yang berjalan hanyalah demokrasi elektoral. Ketika partai dengan kekuasaan di legislatif dan ekskutif mulai mengambil alih negara dari tangan kekuasaan Soeharto dengan militernya.

Kekuasaan dengan demikian tak serta merta ada di tangan rakyat. Rakyat dalam pandangan oligarki hanya dimanipulasi suara (voters) dalam pemilu untuk mendukung partai yang mengklaim diri mewakili aspirasi mereka. Kehendak rakyat sebagaimana pengertian demokrasi klasik aristoteles, jauh dari proses  politik dan kenegaraan. Dalam hal ini elit-elit politik partai dan yang menduduki kursi ekskutif mulai menguasai kepentingan rakyat.

‘demos’ yang berarti rakyat (voters), saat ini tidak dapat merepresentasikan diri dengan otonom atau lepas dari kekuatan-kekuatan bisnis-politis yang mengendalikannya. Akibatnya, demokrasi elektoral sulit mewujudkan definisi demokrasi. Melainkan pemerintahan yang diperintah dan dikendalikan oleh segelintir orang yang oleh Aristoteles disebut ”oligarki”.

Secara sederhana pengertian oligarki berarti kekuasaan yang di pegang oleh segelintir orang atau golongan. Term oligarki ini pertama kali dipopulerkan oleh Robert Michels, dalam bukunya Political Parties (1915). Michels menemukan gejala oligarki elite pada kasus Partai Sosial Demokrat (SPD), Jerman. Oligarki adalah sebuah kontradiksi, apalagi bagi SPD yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun tipikal keparta-iannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan hitam-putihnya partai, termasuk dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan partai.

Tipikal partai semacam ini seharusnya menempatkan kader sebagai tulang punggung partai karena merekalah penggerak sekaligus penyumbang sumber daya finansial partai. Robert Michels mempelajari bagaimana sistem kepartaian yang ada di Jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan sebutan “The Iron Law of Oligarchy” atau dalam bahasa Indonesia berarti Hukum Besi Oligarki.

Salah satu fungsi partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah, Partai timbul karena adanya sistem demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanan negara secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik.

Rakyat adalah golongan mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Namun, yang perlu kita pahami adalah, apakah partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat?

Setiap partai membutuhkan bantuan finansial untuk menjalankan dan terus “memberi makan” orang-orang yang ada didalamnya. Ini adalah faktor penting yang membuat Hukum Besi Oligarki itu hidup. Layaknya manusia, organisasi-pun memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum Besi Oligarki.

Secara langsung dikatakkan dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik oleh Dr. Ichlasul Amal bahwa “Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus, barang siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara dengan oligarki”. Pertanyaannya adalah apakah Partai Politik masih tetap konsisten terhadap tujuan mulia sebagai wadah penyampai aspirasi rakyat?

Ketika sebuat partai politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya. Bukan murni dalam bentuk materiil kebaikan pengusaha oligarkis partai ini dibalas.

Melainkan dari keputusan yang setiap kader partai terpilih dalam parlemen untuk mampu mempertahankan golongan penyokong partainya dan melupakan hakikatnya sebagai Partai Politik harapan rakyat, Partai Politik pembela rakyat, dan yang ada hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan rakyat.

Pun dengan kenyataan di Indonesia sejak masa reformasi 1998 hingga kini. F. Budi Hardiman Pengajar Filsafat Poliik STF Driyakara dalam bukunya yang berjudul ‘Dalam Moncong Demokrasi’, Kanisius, 2013 menyebut sampai menjelang Pemilu 2014, demokrasi di Indonesia tidak juga menjauh dari moncong oligarki.

Dalam pengertiannya, jika yang dominan dalam proses politik adalah kehendak rakyat maka itulah sistem demokrasi. Tapi kalau dikuasai elit-elit yang dipilih oleh rakyat, maka sistem politik tersebut terjebak pada oligarki. Kepentingan bangsa dengan demikian tak lagi sesuai dengan aspirasi rakyat.

Penelitian ini tak bermaksud mengurai lebih dalam tentang realitas politik yang sudah berubah. Melainkan hendak mencari relevansi peran kiai dan pesantren dalam konstelasi politik yang didominasi sistem oligarki partai tersebut. Dominasi para elit partai membutuhkan sumber legitimasi massa melalui peran religious mereka. Ada beberapa kiai yang terjebak pada arus politik semacam itu, ada kiai yang tetap menjaga netralitasnya dan ada banyak yang antisipatif terhadap tangan-tangan kekuasaan oligarki.

Kiai dan pesantren bagaimanapun memiliki sejarah panjang dalam politik dan perhelatan terbentuknya negara  Indonesia.

Sejak awal terbentuknya Indonesia, kiai dan pesantren adalah pemersatu beragam etnis dan suku bangsa yang menyebar di seluruh daerah dengan menggunakan sentimen primordialisme agama. Para santri yang datang dari seluruh daerah di nusantara, kemudian memiliki ikatan agama dan emosional untuk membentuk satu kesatuan bangsa. Awal mulanya kesatuan itu datang dari kesamaan agama karena sesame muslim. Indonesia terbentuk dari gagasan para santri yang ada di aceh hingga ternate. Setelah itu, mereka melawan bentuk penindasan kolonialisme dengan menggandeng kelompok-kelompok lain yang non muslim untuk bergabung. Ide dasar sumpah pemuda diuntungkan oleh kondisi sosial yang berkembang sebelumnya, dimana peran pesantren di Jawa terutama menjadi ujung tombaknya.

Kini pandangan kebangsaan di kalangan pesantren banyak yang mulai berubah seiring dengan perubahan sosial dan politik. Banyak kepentingan pragmatis kekuasaan yang mencengkeram wilayah-wilayah pesantren hanya untuk mendulang suara bagi partai dan kekuasaan mereka.

Disinilah peran komunikasi diantara pesantren dan kiai-kiai mereka menghadapi realitas politik yang berubah. Penelitian ini menelisik sedikit untuk menyingkap sejauh mana kepentingan oligarki memasuki ranah pesantren, tapi juga lebih fokus pada bagaimana komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren menyikapi masalah tersebut.

Tentu ada perbedaan penafsiran di kalangan pesantren. para kiai tidak satu suara menyatakan sikap politik mereka. Adakah pandangan pragmatis melatari komunikasi kiai? Ataukah tetap teguh menghindar dari ranah oligarki, atau melawannya dengan pendidikan dan kekuasaan yang mereka miliki? Komunikasi yang bagaimana yang dilakukan para kiai tersebut agar para pengikut dan santri mereka memiliki wawasan dan pandangan yang sama dengan kiai mereka.

Mengingat lemahnya kontrol masyarakat di Indonesia, membiarkan demokrasi jatuh pada sistem oligarki akan membawa implikasi besar pada keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi adalah sebuah perjuangan bersama.

Peran kiai dan pesantren,-- yang memiliki sejarah panjang dalam berdirinya Indonesia,-- harus punya komitmen tak hanya untuk menguatkan sistem negara hukum, melainkan juga memberdayakan institusi masyarakat agar demokrasi bisa tegak kembali. Tanpa komitmen itu, demokrasi hanya akan mengumpankan suara rakyat (demos) ke dalam moncong oligarki sebagaimana terjadi sampai saat ini.

Penelitian ini mengambil fokus pada dua hal. Pertama, bagaimana komunikasi internal pesantren. Kedua, bagaimana komunikasi politik kiai saat berhadapan dengan kekuatan oligarki partai dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaannya,-- baik tawaran jabatan politis maupun organisasi di lingkungan Ormas NU. Bagaimana caranya ia mempertanggungjawabkan sikapnya itu pada masyarakat dan khususnya pada anak didik mereka. Disinilah, fokus penelitian tentang pola komunikasi politik antara pesantren dan kekuasaan, khususnya komunikasi kiai dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Apakah sistem di pesantren memiliki kaitan dengan kemandirian di bidang politik dan bagaimana komunikasi politik yang terjadi selama periode pasca Orde baru 1998 hingga sekarang (2013).  Penentuan rentang waktu penelitian ini berkaitan dengan terbentuknya kekuatan politik partai dengan ‘hukum besi oligarki’-nya yang lebih mendominasi pentas politik nasional. Dominasi itu ditandai dengan minimnya (kalau tidak bisa dikatakan ‘ketiadaan’) aspirasi masyarakat yang diwakili parpol tersebut baik dalam penetapan kebijakan-kebijakan di parlemen maupun kebijakan-kebijakan politik pemerintah.

Kenyataan adanya dominasi ‘hukum besi oligarki’ di lingkungan parlemen dan pemerintah (ekskutif) saat ini jejaknya bisa dilacak pada pada masa-masa sebelumnya.

Selama Orde Baru berkuasa, Soeharto dengan dukungan militer dan parlemen mengkooptasi sejumlah ormas dan organisasi politik untuk mendukungnya. Tak terkecuali, Ormas NU dengan ribuan pesantrennya. Rezim Orde Baru tidak memberi peluang munculnya kelompok—kelompok oposan. Tindakan represif dalam sistem politik yang otoriter tersebut menyebabkan peran kiai dan pesantren di lingkungan NU mengambil sikap berbeda. Tentu saja ada yang mendukung dan menolak menjadi bagian dari sistem tersebut. Namun sebenarnya, tidak semua kiai dan pesantren dapat diklasifikasikan pada dua kategori tersebut.

Melalui komunikasi politik yang ‘cantik’, banyak kiai NU menyatakan dukungannya pada kepentingan kekuasaan di waktu tertentu, namun di waktu lainnya, menolak. Sikap politik ini menyesuaikan kondisi situasi politik yang berkembang. Ini menandakan betapa faktor komunikasi menjadi perihal esensial selama masa Orde Baru yang otoriter tersebut.

Pun dengan masa-masa setelah Pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada era kepemimpinan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sikap dan komunikasi politik yang seperti itu, masih menjadi pilihan.           Banyak kiai yang menjatuhkan dukungannya pada partai tertentu, dan pada waktu lain mereka berubah ke partai lain. Bahkan menyangkut sikap politik pada masalah kebangsaan dan demokrasi. Sikap para kiai NU tidak mungkin diseragamkan. Lalu pertimbangan apakah yang membuat komunikasi politik para kiai dengan pesantrennya itu berbeda-beda?

Disinilah kita bisa mengkaitkan latar belakang sosial, mulai dari pola interaksi dan komunikasi yang dilakukan kiai dengan dunia internal (pesantren) dan eksternal (politik).

Apakah interaksi antar kiai itu lebih menentukan pilihan-pilihan politiknya ataukah ada interaksi lainya? Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, mengungkapkan bahwa komunikasi diantara satu dengan kiai-kiai lainnya di lingkungan NU merupakan tradisi yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam NU. Ini mencipkan kondisi kebersamaan diantara kiai senior (sepuh) dengan kiai muda (santrinya), baik dalam transfer ilmu agama maupun pengetahuan politik.

Umumnya santri yang pernah ‘berguru’ pada kiai sepuh dan telah menjadi kiai, tetap teguh menghormati dan mendengar pesan guru mereka (kiai senior). Alhasil, komunikasi itu terus terjalin dan tak terputus meski santri yang telah menjadi kiai itu menyebar di manapun. Faktor kiai kharismatik  juga  menciptakan adanya preferensi politik bagi kalangan warga NU. Faktor komunikasi seperti inilah yang melatari penelitian ini untuk mengungkap pandangan pesantren NU menyikapi sistem ‘oligarki’ baik dari kekuasaan partai maupun kekuasaan pemerintah.

Tentu saja, ini memiliki relevansinya dengan output pendidikan pesantren dan nilai-nilai yang diajarkan di dalam sistem pendidikan internal oleh kiai-kiai mereka. Bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren memang telah berlangsung lama. Dalam perkembangannya, meski komunikasi diantara kiai senior dengan kiai muridnya itu tetap terjalin, namun dalam beberapa kasus tidak selamanya, pilihan yang disarankan oleh kiai senior selalu ditaati.

Persoalan politik merupakan pilihan pribadi masing-masing orang, termasuk para santri. Notabene santri pun tak semuanya patuh pada ajakan kiai mereka untuk menjatuhkan pilihan pada salah satu partai politik saja. Juga pada kepentingan kekuasaan pemerintah maupun pilihan untuk memilih pada pemilu Pilkada. Hal ini jarang terjadi pada masa sebelumnya.

Sehingga kita bisa menyimpulkan meski pola komunikasi antar kiai tidak mengalami perubahan mendasar, tapi ada perubahan pada hasil komunikasi yang terjadi. Komunikasi di pesantren juga diwarnai dengan sumber pengetahuan yang tidak dating dari kiai sebagai guru mereka. Para santri mudah mendapatkan ilmu dan informasi lainnya dari dunia luar baik dari sistem pendidikan umum maupun akses internet.

Ini memungkinkan perubahan pilihan politik mereka sehingga tidak semata pada ketetapan yang dianjurkan oleh kiai pesantren tempat mereka belajar. Untuk mengetahui pola komunikasi itu, peneliti menggunakan variabel eksternal dengan menelisik pandangan masing-masing anggota pesantren saat menanggapi kepentingan oligarki ini.

Oligarki juga disadari oleh para santri telah menjamah wilayah pesantren. Peran kiai yang menganjurkan untuk memilih salah satu partai menunjukkan itu. Dari sikap dan pandangan para santri dan bahkan kiai-kiai yang mengasuh pesantren yang dimaksud, maka bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren bisa diketahui.

Dari titik tolak masalah politik dan kekuasaan yang memasuki pesantren, perbedaan pandangan dan pilihan politik para santri cukup beragam. Pandangan dan pilihan politik kiai-kiai yang mengasuh pesantren mereka pun juga beragam. Meski kiai utama yang menjadi panutan di pesantren tersebut menjatuhkan pilihan politik pada satu partai atau kekuasaan, tapi kiai-kiai lain yang juga menjadi pengasuh di pesantren yang sama tak ikut-ikutan pada piliha sang kiai utama.

 

2.3.PESANTREN NU

Prof Dr H Samsul Nizar, MA et Al dalam buku, “Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual (Pendidikan Islam di Nusantara) mendeskripsikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam (tafaqqah fiddin) dengan menekankan pentingnya moral sebagai pedoman hidup masyarakat. Penyelenggaraan berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan seorang kiai yang hidup di tengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan pembelajaran, serta pondok-pondok seagai tempat tinggal santri.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam tradisional pada umumnya menggunakan sistem non-klasikal. Di lembaga ini seorang kiai mengajarkan ilmu agama islam berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad pertengahan. Yang membedakan dengan pendidikan lain adalah adanya pondok (asrama) untuk santri baik laki-kali maupun wanita.

Selain itu matapelajaran pondok pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain;  tafsir, ilmu tafsir, fiqih, ilmu ushul fiqh, tauhid, tasawuf, nahwu, sharf, badi’,ma’ani, balagoh dan sebagainya. Semua pelajaran merujuk pada kitab-kitab bahasa arab yang lazim disebut kitab kuning.

Sistem pendidikan di pondok pesantren yang demikian biasa disebut pondok pesantren salafiyah. Dari lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional ini memiliki fungsi 1, transmisi dan transfer ilmu islam, 2, memelihara tradisi islam, dan 3, reproduksi ulama. [7]

Dalam penelitian ini pesantren yang dijadikan obyek penelitian merupakan pesantren modern yang selain menggunakan matapelajaran dinniyah (ilmu kitab kuning) juga menggunakan kurikulum pendidikan umum (Kemendiknas dan Kemenag) .

Untuk mengetahui bagaimana kehidupan di pesantren yang menjadi basis sosial Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, perlu melihat bagaimana sistem budaya yang berkembang di lingkungan NU. Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan NU merupakan Ormas yang secara struktural tergabung dalam satu organisasi. Namun ia juga merupakan sebuah tradisi yang dianut oleh pengikutnya yang biasa disebut “warga nahdliyin”. Pengikut NU secara kultural ini yang menjalankan tradisi beragama dengan tata cara yang telah diajarkan secara turun temurun oleh kiai-kiai mereka dalam rentang sejarah.

Secara organisasi, NU memiliki struktur yang membawahi pesantren yakni Rabithah Ma`ahid Islamiy (RMI) NU atau ikatan pesantren pesantren Islam NU. Struktur nya mulai tingkat pusat sampai ranting (desa/pesantren). Dalam Situs Resmi NU, yaitu, www.nu.or.id, disebutkan, per mei 2013 terdapat 24.000 pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia.[8]

Secara organisasi, NU juga memiliki struktur komunikasi seperti umumnya dalam organisasi massa lainnya.

Untuk melihat bagaimana bentuk komunikasi internal dalam pesantren, penelitian ini menggunakan perspektif komunikasi organisasi seperti yang dikemukakan Gareth Morgan, Image of Organization, Beverly Hills, CA : Sage, 1986 dan Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson Wadsworth Chapter 9 dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika).

Dalam teori struktural klasik pengertian Organisasi sosial merujuk pada pola-pola interaksi social yang terjadi dalam sebuah kelompok  sosial yaitu, kelompok atau kumpulan orang yang terbentuk, atas dasar kesamaan kepentingan yang saling berhubungan dan melakukan interaksi social. Hubungan yang terjadi ini menghasilkan aspek status sosial yang berbeda. Jaringan hubungan dan kepercayaan bersama suatu kelompok ini yang biasanya disebut dengan struktur.

Asumsi perpektif klasik melihat organisasi dipahami sebagai tempat (wadah) berkumpulnya orang-orang yang diikat dalam sebuah aturan-aturan yang tegas dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah terkoordinir secara sistematis dalam sebuah struktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sementara dalam perspektif modern, organisasi sebagai sebuah jaringan sistem yang terdiri dari setidak-tidaknya 2orang atau lebih dengan kesalingketergantungan, input, proses,dan output. Menurut pandangan ini, orang-orang (komunikator) bekerjasama dalam sebuah sistem untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan energy, informasi dan bahan-bahan dari lingkungan.

Di sisi lain organisasi juga memproduksi situasi/lingkungan budaya/realitas social melalui pemaknaan atas interaksi dalam organisasi. Organisasi terbentuk karena adanya interaksi (komunikasi) yang terjadi antar anggota melalui pemaknaan atas symbol-simbol, baik symbol verbal maupun non verbal. Pandangan ini berdasar perpektif interpretasi simbolik.

Sementara bagi kaum posmodernime, menempatkan organisasi dalam bentuk sistem yang rasional empiris. Sistem dalam pengertian modernism adalah hubungan rasional dari berbagai unsure yang ada dalam organisasi yang cenderung mengesampingkan intuisi dan pengalaman individu. Postmodernisme juga menganggap bahwa organisasi sebagai tempat terjadinya negosiasi kekuasaan, dominasi kelompok dan pertarungan kepentingan sehingga perlu adanya rekonstruksi kekuasaan. Untuk itu postmodernime mencoba memberikan ruang pada munculnya partisipasi anggota organisasi.

Untuk melihat pesantren sebagai sebuah organisasi, keempat perspektif ini mampu memberi alternatif bagi peneliti untuk memahami keberadaannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh.

 

2.4.         Komunikasi Politik

Landasan teoritis penelitian ini berpijak pada teori komunikasi politik yang dikembangkan Dan Nimmo yang meliputi; komunikan sebagai penyampai pesan kepada komunikan, dengan menggunakan strategi untuk mencapai tujuan politiknya berupa; kekuasaan, materi dan pangaruh. Dalam aplikasinya, diniscayakan adanya proses dalam menjabarkan bentuk-bentuk komunikasi politik, dalam hal ini dalam komunitas NU.  

Tradisi komunikasi di kalangan kaum nahdliyin tidak dapat dijelaskan secara terpisah dari konteks sosial tempat komunikasi itu berlangsung. Ia senantiasa berkaitan secara fungsional dengan situasi sosial dan budaya para pelakunya, seperti terlihat pada komunikasi komunikasi  kiai-santri yang tidak bisa dijelaskan secara terpisah dari lingkungan pesantrennya. Proses komunikasi ini bukanlah proses yang terbebas dari konteks atau kenyataan-kenyataan sosial budaya yang melatarbelakangi para pelakunya. Karena itu, pada setiap komunitas terdapat budaya komunikasi yang menjadi salah satu identitasnya, khu­susnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan interaksi dan pertukaran informasi yang mewarnai kehidupannya. Termasuk ke dalam hal ini komunitas beragama yang juga memiliki ciri-ciri tersendiri bagaimana mereka memainkan peran-peran komuni­kasi, baik di antara sesamanya (in-group) maupun ketika berhu­bungan dengan komunitas yang ada di luar dirinya (out-group).

Dari berbagai literatur yang dikaji mengenai komunikasi politik, umumnya dikaitkan dengan peranan media  massa dalam proses komunikasi yang dilaluinya. Hal ini mencerminkan adanya kecenderungan peneliteian dan karya yang terkait bentuk-bentuk komunikasi politik meliputi;

 

1).     Retorika politik

Retorika politik atau pidato politik merupakan suatu seni berbicara yang memiliki daya persuasi politik yang sangat tinggi, dengan menggunakan bahasa lisan yang indah dan memukau baik irama, mimik maupun intonasi suara sehingga pesan-pesan politiknya sampai pada konstituen atau komunikan. Sebagian kalangan menganggap retorika politik berbahaya jika kemudian digunakan sebagai medium propaganda.

 

2).     Agitasi politik.

Agitasi politik adalah suatu upaya untuk menggerakkan massa dengan lisan dan tulisan, dengan cara merangsang dan membangkitkan emosi khalayak. Dalam hal ini seorang agitator berusaha agar khalayak bersedia memberikan pengorbankan jiwa untuk mewujudkan sebuah cita-cita politik. Agitator akan berusaha menimbulkan ketidakpuasan, kegelisahan atau pemberontakan orang lain, baik melalui ucapannya atau melalui tingkah lakunya. Namun agitasi cenderung berkonotasi negatif. Melalui agitasi, seorang elite atau pemimpin mempertahanakan kegairahan para pengikutnya untuk memperoleh kemenangan, yang akan diikuti oleh usaha-usaha selanjutnya dalam serangkaian tujuan, terutama tujuan politiknya, baik berupa materi, kekuasaan atau pengaruh.

 

3).     Propaganda politik.

Propaganda politik merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan mempengaruhi seseorang atau kelompok orang, khayalak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar melaksanakan atau menganut sebuah ide (ideologi, gagasan sampai sikap) atau kegiatan tertentu atas kesadaran sendiri.

 

4).     Public relations politik.

Public relations politik merupakan suatu usaha atau kegiatan penyampaian ide atau pesan melalui hubungan masyarakat, hubungan luar secara sadar dan sistematis dengan penekanan kegiatan informasi dua arah secara timbale balik (two way traffic communication). Dengan pola komunikasi dua arah tersebut, para politikus selaku komunikator politik harus memperhitungkan perasaan, kemauan, kemampuan, keinginan dan kebutuhan pokok rakyat. Maka mereka harus memiliki moralitas yang baik di mata publik sehingga memperoleh kredibilitas dan menjadi teladan public sebagai komunikator politik yang profesional.

 

5).     Lobi politik.

Lobi politik merupakan forum pembicaraan politik yang dalam perspektif komunikasi tercakup dalam komunikasi persona, tatap muka dan dialogis. Mereka melakukan tukar pandangan tentang suatu masalah dan kemampuan melakukan negosiasi, sehingga seorang pelobi politik memiliki pengaruh pribadi dan  kepekaan.

 

6).     Pola tindakan politik.

Pola tindakan politik mencakup lobi politik, retorika politik dan kampanye politik. Sesungguhnya, tindakan politik dalam peristiwa komunikasi politik yang bertujuan untuk membentuk citra (image) politik bagi khalayak (masyarakat) dengan menggambarkan realitas politik yang memiliki makna.

 

7).     Kampanye politik.[9]

Kampanye politik  adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat. Kegiatan tersebut paling semarak sebab melibatkan massa, misalnya kampanye kandidat dalam pemilihan presiden atau kepada daerah (pilpres dan pilkada).

Masing-masing bentuk komunikasi politik tersebut adalah untuk membangun citra politik, guna mendulang suara atau membangun kekuatan politik yang diorientasikan pada kekuasaan. Kampanye politik tersebut tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh media massa, baik media cetak maupun elektronik. Konsekuensinya, pendekatan analisis yang digunakannyapun pada gilirannya lebih banyak menggunakan analisis media massa, terutama berkaitan dengan teori-teori hubungan antara media dan masyarakat, seperti teori tentang pesan, mekanisme penyebaran informasi yang terjadi, serta efek-efek psikologis dan sosiologis yang ditimbulkannya.

 

2.4.1   Unsur-unsur Komunikasi Politik

Adapun unsur-unsur komunikasi politik meliputi:

1.         Komunikator politik.

Komunikator politik adalah individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan, atau yang berada dalam suatu institusi, asosiasi, partai politik, lembaga-lembaga pengelola media massa dan elite elite masyarakat. Komunikator politik merupakan bagian integral dalam berlangsungnya proses komunikasi.

 

2.   Komunikan politik.

Komunikan politik adalah penerima pesan-pesan politik dari komunikator politik. Komunikan politik dapat bersifat perorangan, kelompok, organisasi, masyarakat atau partai politik.

 

3.    Pesan komunikasi politik.        

Pesan komunikasi politik adalah pesan yang merupakan produk dari komunikator yang disampaikan kepada komunikan. Dalam konteks komunikasi politik, maka pesan-pesan yang diterima komunikan adalah pesan politik elite selaku komunikator. Dalam pidato politik, pesan politik harus dilengkapai dengan pesan nonverbal (tidak terucapkan) berupa gerakan, pakaian dari asesoris lainnya. Dalam pesan nonverbal mempunyai fungsi repetisi (mengulang), subtitusi, kontradiksi (menolak), komplemen (melengkapi) dan aksentuasi (menegaskan) pesan-pesan politik yang sudah disajikan secara verbal.

Untuk itu sedikitnya terdapat enam fungsi pesan nonverbal yang sangat penting dalam kommukasi politik. Keenam hal tersebut Waft (1) mementukan makna dalam komunikasi antarpersona; (2) perasaan dan emosi lebih cermatdisampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal; (3) menyampaikan makna dan masud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan; (4) metakomunikatif atau lebih memperjelas makna pesan; (5) lebih efisien; dan (6) sebagai sarana sugesti yang paling tepat. Penyusunan pesan politik yang tepat sesuai dengan kondisi dan khalayaknya, sangat tergantung dari politikus dan partai politiknya. Jika politikus itu tidak cermat, pesan-pesan politiknya.

 

4.    Media komunikasi politik.

Media komunikasi politik merupakan alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik dari komunikator kepada komunikan. Oleh karenanya, media merupakan alat atau bagian cukup penting dalam sirkulasi komunikasi politik sehingga dapat tersosialisasikan dengan baik. Tulisan Reese dan Shoemaker telah coba membuka tabir tentang betapa pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang sangat memengaruhi isi media. Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap isi suatu media, di antaranya adalah pengaruh pekerja media (penyiar atau jurnalis), pengaruh organisasi media, pengaruh ekstramedia, dan pengaruh ideologi.[10] Peneliteian Reese dan Shoemaker tersebut menunjukkan bahwa pengaruh "siapa" (menurut taksonomi Lasswell) atau "kelompok yang memengaruhi isi media" (menurut Reese dan Sheomaker) atau juga "komunikator politik" (yang oleh Nimmo disebut sebagai komunikator profesional) dalam menyampaikan "isi pesan" ternyata tidak kalah penting­nya dari pengaruh lainnya, seperti "media", "khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang dilakukan.

 

5.         Sumber dan efek komunikasi politik.

Sumber komunikasi politik adalah asal keluarnya atau munculnya suatu isu yang dapat dijadikan materi pesan politik. Sumber dari berasal dari elite politik. Sementara efek komunikasi politik adalah pada respons komunikan dalam mengimplementasikan pesan-pesan politik komunikator yang biasanya terdiri dari elite politik. Efek yang cukup berhasil adalah terciptanya perilaku komunikan atau khalayak, publik, terhadap pesan politik yang mereka akses.

 

2.5. Strategi dan Tujuan Komunikasi Politik

1.    Strategi Komunikasi Politik

Keberhasilan komunikator politik menyampaikan pesan politiknya sangat ditentukan pada strategi komunikasi politik yang dikembangkannya. Strategi tersebut antara lain; memahami peta politik secara umum, mengenal kondisi sosial komunikannya serta mampu memanfaatkan publikasi media.

Dalam strategi komunikasi politik, memilah dan memilih metode yang tepat, sangat tergantung pada kondisi dan situasi khalayak. Pada dasarnya, semua metode penyampaian atau cara memengaruhi orang lain itu masing-masing dapat digunakan dan dapat menciptakan efektivitas sesuai dengan kondisi khalayak. Metode-metode yang disebutkan itu dapat saja dipergunakan secara bersama­-sama sehingga kekurangan yang satu dapat ditutupi oleh yang lain.

Dalam literatur ilmu komunikasi, dikenal beberapa metode yang dapat diterapkan dalam strategi komunikasi politik. Anwar Arifin menawarkan beberapa metode komunikasi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi dan situasi khalayak, yaitu (1) redundancy (2) canalizing; (3) informative;  (4) persuasive; (5) educative; dan (6) cursive.[11] Penerapan metode tersebut dalam komunikasi politik dapat berupa metode redundancy atau repetition, yang dapat diartikan sebagai upaya memengaruhi dengan jalan mengulang-ulang pesan politik kepada khalayak seperti yang dilakukan dalam perusahaan yang menawarkan barang dan jasa di dalan siaran radio dan televisi. Dengan metode ini, banyak manfaat yang dapat ditarik. Manfaat itu antara lain adalah khalayak akan lebih memperhatikan pesan itu, karena pesan dilakukan berulang-ulang dart kontras dengan pesan lain yang tidak diulang-ulang sehingga akan lebih menarik perhatian.

 

2.    Tujuan Komunikasi Politik

Sementara itu, komunikasi politik bertujuan bangun citra politik yang baik bagi khalayak. Citra politik itu terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima, baik langsung maupun melalui media politik, termasuk media massa yang bekerja untuk penyampaian pesan politik yang umum dan aktual.[12] Citra politik juga berkaitan dengan sosialisasi politik karena citra politik terbentuk melalui proses pembelajaran politik. Sementara menurut Dan Nimmo, bahwa citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik.[13]

Selain itu, komunikasi politik bertujuan untuk membangun citra politik yang baik bagi khalayak, maka seorang elite dituntut secara maksimal membangun akses komunikasi politiknya untuk mencapai cita-cita politiknya dalam meraih kekuasaan. Citra politik itu terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima, baik langsung maupun melalui media politik, termasuk media massa yang bekerja untuk penyampaian pesan politik yang umum dan aktual.[14] Citra politik juga berkaitan dengan sosialisasi politik karena citra politik terbentuk melalui proses pembelajaran politik. Sementara menurut Dan Nimmo, bahwa citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik.[15]

Selain citra politik, komunikasi politik juga bertujuan membentuk dan membina pendapat umum serta mendorong partisipasi politik. Partisipasi politik sebagai tujuan politik dimaksudkan agar individu-individu berperan serta dalam kegiatan politik. Salah satu bentuk partisipasi politik yang paling penting ialah khalayak memberikan suaranya pada politikus dalam pilkada, pilgub, pilpres dan partai politik dalam pemilu. Pembentukan pendapat umum dalam komunikasi politik sangat ditentukan oleh media politik, yakni media massa.[16]

 

3.     Pendekatan Kultural Organisasi

Kajian sentral dalam tradisi ini adalah tentang simbol-simbol dan pengertian yang membentuk suatu  organisasi.  Tradisi  ini memahami  bahwa   dunia   organisasi diciptakan oleh anggotanya dalam cerita-cerita, ritual-ritual, dan pekerjaan tugas. Struktur organisasi sesunguhnya tidak dirancang sebelumnya tetapi muncul dari tindakan-tindakan anggotanya secara informal dalam aktifitas mereka sehari-hari.

Penelitian pada budaya organisasi menjadi penting mengingat organisasi sosial memiliki elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya yang saling bertindak dalam cara dapat diduga ke asumsi bahwa ada pemaknaan yang terus berubah yang tersusun melalui komunikasi. Budaya organisasi dapat dipengaruhi oleh tradisi sosiokultural dalam komunikasi.

Dalam tradisi ini organisasi memberikan peluang bagi adanya penafsiran budaya. Organisasi menciptakan sebuah realitas bersama yang membedakan mereka dari organisasi dengan budaya lain.

Gareth morgan menjelaskan dalam hal ini pemaknaan bersama, pemahaman bersama, dan perasaan bersama semuanya merupakan cara yang berbeda dalam menjelaskan budaya. Dalam membicarakan budaya kita sebenarnya membicarakan sebuah proses pembentukan realitas yang memungkinkan manusia melihat dan memahami kejadian, tindakan, objek, ucapan atau  situasi tertentu dalam cara yang berbeda.

Pola-pola pemahaman ini juga memberikan dasar untuk membuat perilaku seseorang berarti dan pantas. Budaya organisasi adalah sesuatu yang dihasilkan melalui interaksi sehjatuihariu da;amorganisasi bukan hanya tugas pekerjaan, tetapi semua jenis komunikasi. [17]

 

2.6. Pola Komunikasi

Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.  Dimensi     pola   komunikasi     terdiri  dari  dua  macam,     yaitu  pola  yang berorientasi    pada    konsep   dan   pola   yang   berorientasi    pada   sosial  yang mempunyai arah hubungan yang berlainan.[18]

 Tubbs dan Moss mengatakan bahwa  pola komunikasi atau hubungan itu dapat dicirikan oleh: komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer  satu bentuk perilaku dominan dari satu  partisipan mendatangkan perilaku   tunduk  dan  lainnya.   Dalam   simetri, tingkatan  sejauh mana orang   berinteraksi   atas  dasar  kesamaan.    Dominasi     bertemu    dengan  dominasi atau kepatuhan dengan  kepatuhan.[19]

Disini kita   mulai   melihat   bagaimana   proses   interaksi   menciptakan   struktur   sistem. Bagaimana   orang  merespon   satu   sama   lain   menetukan   jenis   hubungan   yang mereka miliki. Dari pengertian diatas   maka   suatu   pola   komunikasi   adalah   bentuk   atau pola hubungan  antara dua orang    atau  lebih   dalam    proses  pengiriman  dan penerimaan pesan yang dikaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu  aktifitas dengan komponen- komponen yang  merupakan bagian penting   atas terjadinya    hubungan  komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi. [20]

 

 


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

 

3.1.      Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Interpretif. Menurut Babbie dalam Hennink (2011) paradigma adalah model atau framework  bagi observasi dan mengerti apa yang kita lihat dan bagaimana memahaminya. [21]Dengan kata lain paradigma perspektif besar dan cara pandang kita dalam melihat realitas, paradigma adalah kerangka acuan  kita dalam mengorganisir observasi kita dalam penelitian. Creswell (2010) menyebutkan paradigma dengan istilah  worldview  atau pandangan-dunia sebagaimana Cuba (1990) dalam Creswell (2010) pandangan-dunia memiliki arti kepercayaan  dasar yang memandu tindakan. Pandangan-dunia adalah orientasi umum terhadap dunia dan sifat penelitian yang dipegang kukuh oleh peneliti. [22]

Paradigma interpretif menurut Hennink (2011) merupakan respon dari paradigma positivistik  atau  sosial science, yang merupakan paradigma dominan pada tahun 1970-an. Paradigma interpretif memiliki aspek bagaimana memahami manusia, memiliki pengalaman hidup orang-orang dan memahai sesuatu dari perspektif mereka sendiri yang disebut juga perspektif emic, atau perspektif dari dalam.

Dalam penelitian ini, dengan paradigma interpretif diharapkan dapat memahami dan menjelaskan bagaimana komunikasi antar kiai yang berpandangan kaku, tradisional, modern, politis dan apolitis.

Juga masing-masing  karakteristik santri  sehingga bisa didapatkan pemahaman mendalam tentang apa, dan bagaimana masalah-masalah komunikasi antar elemen dalam komunitas pesantren. Ikhtiar diarahkan pada upaya memahami bagaimana cara pandang  kiai dan santri terhadap diri mereka sendiri serta bagaimana perspektif mereka terhadap  pemikiran kiai dan santri lain yang berbeda pendapat atas segala hal. Serta bagaimana komunikasi antar pemikiran yang terjalin diantara mereka.

Demikian pula sebaliknya, bagaimana cara pandang komunitas pesantren terhadap diri mereka sendiri dan pesantren satu yang moderat memandang  pesantren militan dan komunikasi antar budaya yang terjadi antara sesama pesantren.

Dalam penelitian dengan menggunakan paradigma interpretif sujektifitas, peneliti tentu saja akan mempengaruhi hasil penelitian, latar belakang peneliti sedikit banyak akan mempengaruhi interpretasi dari penelitian itu sendiri, tetapi perspektif yang digunakan adalah bukan peneliti melihat lingkungan pesantren khususnya  pesantren yang diasuh kiai dengan pandangan politis dan yang tidak sebagai objek penelitian, namun bagaimana memahami secara mendalam melalui sudut pandang kiai satu dengan kiai lainnya, santri satu dan santri dari pesantren lainnya.

 

3.2.      Pendekatan Penelitian

Terkait dengan paradigma interpretif adalah pendekatan kualitatif. Creswell (2010) menyebutkan penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

Penelitian kualitatif menerapkan cara pandang penelitian bergaya induktif, fokus terhadap makna individual dan berusaha menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Dalam Hennink (2011) penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dari isu-isu penelitian dengan perspektif dari studi dan konteks pemikiran. Penelitian kualitatif adalah cara yang paling pas untuk menjelaskan pertanyaan ‘mengapa’ dan pertanyaan ‘bagaimana’ untuk mendapatkan hasil yang mendalam dalam menjelaskan sebuah proses atau perilaku.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang mendalam pada komunikasi di lingkungan pesantren yang melibatkan faktor sehingga menghasilkan karakteristik pesantren NU yang berbeda-beda. Penelitian ini tidak bertujuan untuk menggeneralisir komunikasi antar kiai  karena masing-masing  kiai memiliki pengalaman keagamaan dan latar pendidikan yang berbeda.

Pembatasan dua  pesantren saja yaitu Al Amnaniyah, Ngawi yang di asuh KH. Wasik Amruri, dan Amnaniyah II yang diasuh KH Taufik Amnan,  bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus dan dianggap cukup mewakili karakter pesantren NU yang satu politis dan lainnya apolitis.

Alasan dua pesantren ini menjadi obyek penelitian juga karena masing-masing kiai pengasuh memiliki kepentingan politik yang berbeda. Satu kiai menolak tawaran menjadi pengurus partai, sementara kiai lain menerima menjadi pengurus. Latar belakang perbedaan pilihan itu turut memberi andil dalam menciptakan model pengajaran dan sistem pengelolaan pesantren.

Ini cukup relevan sebagai obyek penelitian karena tujuan penelitian yang akan mengungkap aspek komunikasi politik memiliki kaitan dengan komunikasi internal di organisasi pesantren. Gus Wasik dengan gaya dan karakter pribadi yang apolitis bahkan anti politik, mendapatkan apresiasi positif dari para santri karena prinsipnya.

Sementara Gus Taufik yang memilih terjun ke politik, tidak seperti itu. Ia  mendapatkan penilaian yang berbeda karena pandangan santri dan masyarakat pada umumnya tentang politik masih apriori. Ada semacam anggapan tentang kegagalan komunikasi politik yang dijalankan Gus Taufik, sehingga persepsi di masyarakat jadi buruk.

Para santri dari masing-masing pesantren juga memiliki alasan berbeda menyangkut pilihan politik kiai mereka. Khalayak umum pun memang lebih menghormati Gus Wasik meskipun memilih untuk tidak berpolitik adalah sebuah pilihan politik juga.

Dari dua komunitas pesantren dan masyarakat yang terlibat di dalamnya, peneliti anggap cukup mewakili tujuan penelitian khususnya untuk mengetahui komunikasi politik yang berlangsung di dalam dan luar pesantren. Tentu saja menyangkut bagaimana persepsi masyarakat dan para santri terhadap kiprah mereka dalam kehidupan sosial.   

 

3.3.      Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode partisipatif dan sosiolinguistik dimana peneliti terjun langsung dan tinggal dalam waktu tertentu bersama-sama santri Al Amnaniyah I dan II. Menurut Hennink (2011) sosiolinguistik secara literal adalah deskripsi dari bahasa kemunitas. Hal ini merupakan pendekatan penelitian yang menghasilkan deskripsi dari cara hidup dari sebuah komunitas. Unit dari penelitian adalah adalah suatu kelompok atau komunitas pesantren dan peneliti mengharapkan pemahaman yang holistik dari komunitas pesantren tersebut.

Dalam studi sosiolinguistik dan partisipatif peneliti tinggal dan berpartisipasi bersama-sama dengan masyarakat, observasi juga menjadi salah satu sarana yang penting untuk mengumpulkan data. Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu pada bulan Maret – Desember 2013 bertempat di Pesantren AlAmnaniyah I dan II, Desa Talok, Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi. 

 

3.4.      Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan tiga cara dalam pengumpulan data yaitu  in depth interview, observasi dan tinjauan referensi. Menurut Patton (2002) data kualitatif dapat terdiri dari kutipan hasil wawancara langsung, observasi langsung di lapangan dan dari dokumen-dokumen tertulis sebelumnya.

Pada penelitian ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi pola komunikasi antar kiai di lingkungan NU, peneliti juga melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa informan di lapangan serta mengumpulkan data-data lain yang dibutuhkan dari referensi-referensi sebelumnya.

Pada saat melakukan penelitian di dua pesantren di Karangjati Ngawi, peneliti tinggal menginap di asrama santri setempat, dan tempat menginap juga atas rekomendasi kiai pengasuh, dan dari situlah di dapatkan informasi seputar paham, keyakinan, dan pandangan-pandangan keagamaan dan politik kiai dan santri terhadap permasalahan sosial sekitar.

Strategi pemilihan informan di lapangan menggunakan  intensity sampling, dan criterion sampling.  Patton (2002) menyebutkan sampel intensitas adalah memilih sampel yang dianggap memiliki informasi yang kaya dan mendalam tentang isu dan permasalahan di lapangan. Sedangkan sampel kriteria adalah memilih informan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mendapatkan informasi.

Sampel intensitas dalam penelitian ini adalah informan-informan dari kalangan santri yang dianggap lebih ber’ilmu’ dan menguasai wawasan yang cukup mendalam  baik dalam bidang agama dan sosial. Diantara informan itu, alumni pesantren Al Amnaniyah I yang menjadi guru di pesantren tersebut Kang Subakir, dan alumni pesantren yang mendirikan pesantren baru di desa Bringin, Sawilan dan Sugeng. Selain itu para santri senior, dan pegawai yayasan Alamnaniyah I dan II untuk mengungkap praktik money politic di NU Ngawi dan juga para tim sukses kandidat Ketua PCNU terpilih, M Kalam. 

 

3.5.      Metoda Analisis Data

Pada penelitian kali ini analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Baxter dan Babbies (2004) menyebutkan analisis data kualitatif adalah proses-proses kreatif namun terintegrasikan dalam langkah-langkah yang sistematis, sehingga bersifat fleksibel namun masih memiliki koridor-koridor yang jelas. Hasil dari analisis wawancara akan digabungkan dengan hasil observasi dan hasil data-data dari referensi sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang isu-isu yang berada dalam ruang lingkup penelitian. Pemaparan dari hasil analisis data akan dimasukkan dalam hasil dan pembahasan penelitian. Dari penggabungan antara analisis wawancara, hasil observasi dan rujukan penelitian-penelitian sebelumnya diharapkan akan didapatkan gambaran yang mendalam tentang komunikasi di antara semua variable penunjang keberadaan komunitas dua pesantren atau lebih.

Patton (2002) menyebutkan kriteria keabsahan dari penelitian  kualitatif dapat dilihat dari beberapa aspek  diantaranya adalah validitas dan kredibilitas hasil penelitian, hasil penelitian dapat dikatakan valid apabila hasil yang disampaikan sama dengan apa yang diamati di lapangan, namun demikian pada penelitian kualitatif, validitas tidak bersifat tunggal tetapi jamak karena dipengaruhi juga oleh subjektivitas dan latar belakang peneliti. Kriteria lainnya adalah konfirmasi, hasil penelitian ini harus dapat dikonfirmasi di lapangan apa yang terjadi di lapangan baik proses maupun data dapat di kroscek ulang.  Hasil penelitian juga harus dapat di audit  pada keseluruhan proses penelitian (dependability).

Beberapa hal lainnya  adalah dasar teori yang digunakan baik komunikasi politik, konsep tentang oligarki partai untuk mengetahui sejauh mana perilaku dan kegiatan para kiai di daerah itu menyikapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Kerangka berfikir dari para kiai itu memiliki kesamaan dengan para elit NU atau tidak, semua bisa dilihat dari parameter analisa sosial politik yang terjadi. Dari situ, perlunya konsep komunikasi politik yang berkembang di lingkungan NU pada satu dasawarsa belakangan. Pengetahuan tentang itu, membantu kita mencermati gejala yang terjadi di lapangan. Begitupun dengan konsep tentang organisasi NU, Oligarki partai dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan mereka.

Selain itu juga tentang lamanya waktu penelitian, metoda sosiolinguistik dalam penelitian ini membutuhkan waktu yang lama dalam mengamati proses-proses komunikasi di lingkungan pesantren. Semakin lama waktu penelitian diharapkan pemahaman yang di dapatkan akan semakin dalam. Pemilihan informan juga mempengaruhi keabsahan dari penelitian, informan yang dipilih harus memiliki wawasan yang kaya akan bahasan yang menjadi fokus dalam penelitian, selain itu  pemilihan informan harus relevan dengan tema-tema utama pada penelitian.

 

3.6. Pola Komunikasi

Bertolak dari kerangka teori di bab II, penelitian ini memfokuskan diri pada pola komunikasi yang terbentuk di komunitas pesantren, dengan beberapa  bentuk hubungan  antara dua orang  atau  lebih dalam proses  pengiriman  dan penerimaan pesan yang dikaitkan dua komponen interaksi.

Interaksi pertama bersifat horizontal dan kedua vertical. Horizontal melibatkan kiai dengan kiai, santri dengan santri, sementara vertikal antara santri dengan kiai. Pola komunikasi itu ditandai dari gambaran atau rencana dari anggota organisasi pesantren, yang meliputi langkah-langkah menyikapi kondisi dan perubahan lingkungan dan sikap itu merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi diantara mereka.

Titik tolak pada pola komunikasi itulah yang mengantar argumentasi pada kajian bahasa (sosiolinguistik) yang dilakukan anggota komunitas tersebut. Dalam hal ini, pengungkapan perasaan, kesan dan simbol-simbol bahasa tertentu yang digunakan baik kiai maupun santri memiliki relevansinya dalam studi tentang pola komunikasi tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB 4

PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA

 

4.1.      Ponpes Al Amnaniyah Ngawi

4.1.1.     Pengasuh Ponpes Al-Amnaniyah

KH Wasik Amruri (Gus Wasis) menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Amnaniyahh, di desa Puhti Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi Jawa Timur, setelah menggantikan ayahnya KH Soleman (Gus Sol) 1993. Sejak awal berdirinya pesantren NU ini ia tidak pernah melibatkan diri dalam urusan politik praktis. Kegiatan pengajaran dilakukan secara terpisah antara pendidikan khusus ilmu agama (Diniyah) di pesantren dan pendidikan formal mulai madrasah, tsanawiyah, hingga aliyah. Bangunan pesantren yang diasuhnya terpisah-pisah berdasarkan sistem pendidikan yang diajarkan. Pengajaran dinniyah dilakukan di lokasi pesantren yang ada di Desa Talok, Karangjati, Ngawi, mengikuti sistem sebelumnya secara turun temurun setelah ia menggantikan peran sang ayah KH Soleman yang meninggal akhir 90-an. Sementara sang kakak, KH Taufik Nurazis atau yang lebih dikenal dengan Gus Taufik awalnya menjadi satu bagian dari pengasuh pesantren, sebelum akhir 1999-an ia memisahkan diri dari pesantren keluarganya.

Gus Taufik menggabungkan diri dengan partai kebangkitan bangsa kabupaten Ngawi. Ia dikenal memiliki afiliasi kuat atas pemikiran Gus Dur, dan sejak 1998 ia aktif di Dewan Pengurus Cabang Kabupaten Ngawi, sebagai sekretaris umum. Sejak awal pemilu legislatIe, ia terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Ngawi dari Partai Kebangkitan Bangsa. Bahkan saat ini ia masih menduduki jabatan itu.

Kegiatan politik, mengantarkan gus taufik memiliki banyak jaringan dan dukungan dari kalangan warga NU. Sejak menggantikan sang ayah mengasuh pesantren NU yang juga peninggalan dari sang kakek KH Mohamad Amnan, sejak itu pula basis dukungan kepadanya berasal.

Gus Taufik awalnya tidak tertarik pada partai politik karena sesuai pandangan umum di lingkungan keluarganya, pesantren dan NU tidak boleh berpolitik. Namun sejak pendiri PKB, KH Abdurrahman Wahid memiliki pandangan berbeda dengan para kiai NU lainnya tentang politik, maka pemikirannya terhadap hubungan NU dan politik pun berubah. Ia mendukung gagasan Gus Dur untuk melibatkan diri di bidang politik untuk membumikan prinsip-prinsip moralitas NU menyebar di ranah pemerintahan.

Dalam perkembangannya, perubahan pandangan tersebut, tak selamanya bertahan. Seiring dengan perkembangan sosial, kegiatan politik yang bertujuan mulia, sedikit demi sedikit mengalami distorsi. Kepentingan untuk mendapatkan dukungan dan kekuasaan, baik di legislatIe maupun ekskutif, menjadi lebih dominan dan kegiatan yang mengedepan pada akhirnya adalah ikhtiar mencari dukungan riil dari masyarakat.

Dan basis dukungan para kiai NU itu tentu tak jauh dari pesantren tempat mereka hidup dan besar.  Apalagi dengan jumlah lulusan pesantren yang cukup besar. Mereka tentu masih memiliki ikatan emosional dengan pondok pesantren dan kiai pengasuh tempat mereka belajar dulu.

Pun dengan pesantren Al Amnaniyah.  Para santri yang telah menimba ilmu di pesantren yang berdiri sejak 1918 ini, cukup banyak dan menyebar di seluruh kawasan kabupaten Ngawi dan sekitarnya. Di kalangan warga NU, pesantren Al Amnaniyah yang ada di desa Puhti (Talok) cukup dikenal seluruh warga Jatim bagian barat. Mengingat usia pesantren yang cukup tua, maka tak pelak lulusan pesantren yang ada di seluruh daerah Ngawi cukup banyak dan potensial bagi basis dukungan politik baik di tingkat lokal kabupaten maupun regional provinsi.

Kondisi ini dimanfaatkan Gus Taufik untuk meraih simpati bagi pencarian suara pemilihan legislatif untuk daerah ngawi. Sementara sang adik, Gus Wasis, lebih memilih menjauh dari arena politik. Dua perbedaan pandangan antara dua pengasuh pesantren Al Amnaniyah ini menjadi contoh terbaik bagi potret riil pesantren NU di Jatim, Jateng, dan daerah lain di Tanah Air.

Ada yang khas dari kenyataan pesantren-pesantren NU tentang pilihan afiliasi politik mereka. Meski secara structural dan cultural pesantren NU tidak mengijinkan terlibat dalam urusan politik praktis, namun para pemimpin dan pengasuh pesantren acapkali memainkan peran indIidual mereka dengan tidak mengatasnamakan pesantrennya, untuk terlibat dalam bidang politik. Mereka menggunakan dalih hak pribadi sebagai warga negara yang sah untuk dicalonkan sebagai anggota legislatIe, kepala daerah maupun kepala negara.

Hal sama dilakukan pengurus NU baik di tingkat provinsi (PWNU) dan bahkan di PBNU. Tak sulit mencari bukti keterlibatan mantan Ketua Umum PBNU  periode-periode sebelumnya yang mengajukan diri sebagai pribadi menjadi calon presiden dan wakil presiden pada pemilu-pemilu lalu. Sebut saja, Mantan Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Hasyim Muzadi. Saat didaulat oleh Megawati Soekarnoputri untuk mendampingi nya sebagai cawapres pada pemilu 2009 lalu, Hasyim berdalih bahwa ia memiliki hak politik sebagai pribadi bukan organisasi (PBNU). Hal sama dilakukan para kader dan pengurus NU lainnya baik di pusat maupun di daerah.

Kenyataan politik yang mempengaruhi kehidupan pondok pesantren Al Amnaniyah, tak dapat dielakkan akan memberi konskuensi sosial masyarakat sekitarnya. Tidak hanya itu, para alumni pesantren tersebut, terpilah pada bermacam pandangan menyangkut kemandirian pesantren NU sebagai tempat belajar mengajar dan menyebarkan ajaran-ajaran ahlu sunnah waljamaah, dengan tempat pencarian dukungan politik para pengasuhnya.

Sementara  bagi pengasuh pesantren, pesantren dilihat tetap sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan Islam dan ajaran-ajaran mulia para ahli agama yang merintis sistem pengajaran secara turun temurun. Namun, di sisi lain, pesantren juga bisa menjadi sarana pengajaran tentang masalah-masalah di luar ajaran agama seperti problem sosial, politik dan ekonomi.

Dalam kerangka itu, pesantren membawa misi menyadarkan masyarakat untuk menjalankan prinsip hidup yang jujur, benar, dan toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa. Penyadaran inilah yang menjadi tugas para kader pesantren NU untuk terjun di wilayah politik. Gus Taufik mengungkapkan bahwa tugas mulia KH Abdurrahman Wahid justru lebih berat di bidang politik, karena harapan membumikan nilai-nilai luhur NU di parlemen dan pemerintahan tidaklah mudah.

Tugas berat itulah, yang kini juga mesti dilakukan para kader NU baik para pemimpin NU di lingkungan pesantren maupun non pesantren (structural) untuk turut bertanggungjawab dan ikut membenahi sistem politik yang bobrok. “Jadi kalau kita hanya ngurusi pesantren saja, itu kurang luas pengaruh perubahannya. Kita hanya mengubah kesadaran para santri saja sementara masyarakat luas tidak menjangkau nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam ajaran NU. Nilai-nilai mulia yang dianut NU seperti tawasuth, tawazun dan tasamuth, hanya dikenal di lingkungan  pesantren saja. Ini beda kalau kita keluar dan berjuang membumikan ajaran itu melalui lembaga-lembaga politik yang ada di luar pesantren. disitulah kita perlu mempertimbangkan aktfiitas politik bagi kader NU,” kata Gus Taufik (wawancara November 2013).

Perbedaan pandangan dalam hal politik, meniscayakan perbedaan dalam pola pengasuhan pesantren Al Amnaniyah. Sang adik, Gus Wasik, menolak semua partai politik menggunakan pesantrennya untuk kegiatan pencarian dukungan. Sementara Gus Taufik memberi kelonggaran kepentingan partai politik masuk.

Guna menjaga netralitas saudaranya yang mengasuh Al Amnaniyah itu pula, Gus Taufik mendirikan pesantren baru Al Amnaniyah II di tempat lain. Sejak akhir 1998-an, yayasan Al Amnaniyah II didirikan dengan membangun sistem pendidikan dengan kurikulum Diknas mulai tingkat TK, SD, SMP dan SMK. Meski dengan sistem pendidikan umum yang mengikuti kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, namun tetap menerapkan waktu pendidikan dinniyah pada malam sore dan malam hari. Di Al Amnaniyah 2 juga disediakan asrama yang mampu menampung 300 santri dan santriwati.

Secara formal kurikulum pendidikan formal di pesantren yang masih dibawah yayasan Al Amnaniyah itu juga menerima murid yang sekaligus bisa menjadi santri seperti halnya di Al Amnaniyah I. Meski berbeda kurikulum, namun metode pengajaran dua pesantren yang masih dalam satu atap (yayasan) itu, memiliki kesamaan pada pengajaran kitab-kitab kuno sebagaimana  umumnya pendidikan pesantren NU. Dalam satu minggu, baik di Al Amnaniyah I dan II membuka pengajian rutin baik untuk kalangan santri-santrinya dan juga untuk kalangan umum, sehingga dari sini ajaran-ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah tetap lestari. Untuk pengajian rutin dilakukan di beberapa ruang pesantren dan masjid yang ada didalamnya, sementara pengajian umum dilakukan di pondok tersebut dengan melibatkan semua warga masyarakat sekitar yang berminat mendalami ilmu alquran. Sementara sistem pengajaran di Al Amnaniyah II pengajian khusus untuk santri ditiadakan dan lebih memilih pengajian umum saja, serta pendidikan umum mulai TK sampai SMK sesuai kurikulum Diknas.

 

4.1.2.     Komunikasi Organisasi

 Pondok Pesantren Al Amnaniyah I dan II yang berada di bawah yayasan AlAmnaniyah Karangjati Ngawi, adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang telah berdiri sejak 1944. Dalam perkembangannya pondok pesantren yang paling besar di kota ngawi bagian timur ini bukan lagi sekedar organisasi kecil yang terdiri dari kiai dan santri, namun bisa digambarkan sebagai miniatur NU. Pondok Pesantren ini memiliki  sebuah struktur serta sistem organisasi dan seperangkat peraturan yang mengikat seluruh komponen organisasi. Pondok Pesantren Al-Amnaniyah (untuk menyebut Alamnaniyah I) dipimpin oleh seorang kiai yang berlaku sebagai ketua umum yang disebut Dewan Pimpinan Majelis,  serta dibantu oleh beberapa orang kiai sebagai koordinator bidang, yang disebut sebagai Dewan Majelis. Kemudian dibantu oleh  Dewan Guru  serta  Dewan Harian  yang termasuk didalam nya para santri yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan.

Santri adalah sebuah sebutan bagi seseorang yang belajar agama di pondok pesantren. Santri bisa dibedakan menjadi dua kelompok, yakni  santri ngajak dengan santri mondok. Santri ngajak merupkakan santri yang tidak tinggal atau menetap di dalam pondok, mereka hanya datang untuk mengaji kemudian pulang ke  rumah. Sedangkan santri mondok adalah santri yang tinggal dan menetap di asrama yang telah disediakan oleh pondok pesantren, santri seperti inilah yang lebih terikat terhadap ketentuan pondok pesantren.

Banyaknya  jumlah santri yang bermukim di pondok pesantren menyebabkan mereka dibagi dalam beberapa asrama putra dan putri, setiap asrama diasuh oleh seorang Kiai (Gus) yang masih keturunan dari pendiri pondok Pesantren Al-Amnaniyah.

Fenomena komunikasi organisasi yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Amnaniyah umumnya berjalan dengan lancar. Mulai dari santri awalnya tidak saling kenal menjadi kenal  bahkan ada yang menjadi akrab, kemudian mereka berinteraksi sehingga dapat menjadi bekerjasama dalam satu tim dengan baik. Hubungan santri dengan pengasuh juga berjalan dengan baik,  karena ditengah padatnya kesibukan seorang kiai, sebagai pesangasuh beliau selalu menyempatkan diri untuk mengawasi  dan beriteraksi dengan santri- santri mereka seperti saat mengimami shalat berjama’ah atau ketika memberikan pengajian.  

Demikian pula dengan santri, mereka selalu menjaga hubungan baik dengan para  pengasuh, karena para pengasuh bukan lagi sekedar guru melainkan sebagai pengganti orang tua bagi para santri. Dengan adanya interaksi antar indIidu akan menimbulkan proses belajar baik bersifat kognitif maupun afektif, menyampaikan dan menerima pesan serta dapat menyesuaikan  diri  meskipun secara umum komunikasi berjalan lancar namun ada pula hambatan yang menghalangi selama melakukan proses komunikasi baik persoalan subyektif maupun obyektif.

Pondok pesantren memiliki cara yang khas serta berbeda  dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menunjukkan rasa hormat seorang murid (santri) kepada gurunya (kiai), rasa hormat  ini mereka tunjukkan dengan cara berkomunikasi yang mereka lakukan. Cara berkomunikasi yang mereka lakukan bukan hanya sekedar komunikasi verbal saja tapi juga yang sifatnya non verbal seperti jarak yang digunakan ketika santri berkomunikasi dengan kiai, cara berbicara dengan kepala tertunduk, berjalan membungkuk dan sebagainya merupakan contoh komunikasi non verbal antara santri dan kiai. Cara berkomunikasi seperti ini merupakan tradisi yang berawal dari satu kebiasaan untuk sebuah penghormatan kepada guru namun kebiasaan ini akhirnya turun temurun menjadi satu tradisi dari generasi ke generasi.

Pondok Pesantren Al-Amnaniyah mengajarkan sebuah kitab mengenai adab  ta’lim mutaalim  (tata cara mencari ilmu serta berperilaku kepada guru), salah satu cara yang diajarkan untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan barokah adalah tawadhu’ kepada guru. Tawadhu’ berasal dari bahasa arab, dari akar bahasa wadho’a yang artinya adalah merendahkan diri atau tunduk patuh  (adab).  Berdasarkan pemahaman dari ilmu inilah yang menyebabkan seorang santri harus berlaku tawadhu’ (hormat) kepada guru (kiai) .

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan menyebarnya arus globalisasi, menjadikan  tradisi yang telah ada sejak lama  mulai memudar. Para santri yang dulunya bila bertemu dengan kiai selalu  menunjukkan rasa hormat (saliman, berjalan membungkuk, kepala tertunduk),  atau  paling tidak memberikan salam.  Kini sudah mulai meninggalkan budaya-budaya serupa, budaya semacam ini tidak terlalu berpengaruh jika dilakukan  di  lingkungan luar  pondok pesantren namun dalam dunia pesantren ini merupakan suatu kemunduran moral.  Sedangkan tujuan umum dari sebuah pondok pesantren adalah menghasilkan seorang yang ahli dibidang agama memiliki moral yang baik sehingga menjadi teladan bagi masyarakat disekitarnya. Tentu kemunduran moral ini sangat memprihatinkan dan sudah tidak sesuai dengan tujuan umum pondok pesantren.

Seperti  organisasi lainnya, Pondok Pesantren Al-Amnaniyah juga memiliki visi, misi serta tujuan umum yang akan dicapai, dan untuk dapat mencapai suatu tujuan maka perlu untuk menciptakan suatu iklim  komunikasi yang baik antara pimpinan  (Dewan Kiai)  dan anggota organisasi  (Dewan Harian dan  Santri). Berangkat dari studi kasus diatas peneliti, ingin mengetahui komunikasi organisasi yang terjadi Pondok Pesantren Al-Amnaniyahh, yang nantinya ini akan dapat digunakan sebagai acuan dalam memperbaiki kualitas komunikasi yang sudah ada sehingga dapat dengan mudah mencapai tujuan organisasi (Pondok Pesantren Al-Amnaniyah I dan II Ngawi)

 

4.1.3.     Ketauladanan Kyai

Upaya pembinaan kepribadian santri di pondok pesantren lebih banyak dilakukan dalam bentuk hubungan timbal balik antara Kyai dengan para santrinya baik secara personal maupun kelompok, yang tampil secara wajar tidak dibuat-buat sehingga menimbulkan keakraban. Hubungan semacam ini sangat efektif dalam upaya pembinaan kepribadian santri, karena para santri melihat langsung keteladanan kyai dalam berbagai segi.

Kyai banyak menghabiskan waktunya untuk kepentingan pesantren, setiap santri diperhatikan perilaku dan prestasi belajarnya secara teliti. Pengawasan dilakukan dalam berbagai aktIitas belajar, beramal dan perilaku sehari-hari. Melalui  para anggota Dewan Kyai, Dewan Guru, pengurus Dewan Santri dan para pengurus asrama yang mengawasi secara langsung, Kyai dapat mengetahui para santri yang taat, berprestasi atau yang suka melanggar peraturan. Bagi santri yang berakhlak mulia, cerdas dan rajin diberi perhatian khusus dan diberi bimbingan secukupnya, karena mereka diharapkan kelak akan menggantikan posisi Kiyai. Oleh karena itu tidak jarang santri yang berprestasi dalam bidang pengajaran dan perilakunya terpuji dijadikan mantu oleh Kyai. Kyai di pondok pesantren dijadikan sebagai figur sentral bagi keluarga, para santri, dan masyarakat sekitarnya, karena disamping beliau sebagai kepala keluarga, guru dan pimpinan pesantren, juga Kyai dianggap sebagai tokoh masyarakat. Kesedernanaan, kepiawaian, ketawaduan dan keikhlasan dalam penampilan kehidupan sehari hari, merupakan ciri khas penampilan Kyai Salafiyah. Keharmonisan hubungan Kyai dengan keluarganya merupakan pencerminan dari sebuah keluarga bahagia (keluarga sakinah). Situasi semacam ini membawa kesan yang sangat mendalam bagi santri dalam mempersiapkan diri sebagai kepala keluarga, tokoh masyarakat, dan sebagai ulama. Dengan demikian pembinaan kepribadian di pesantren lebih banyak ditampilkan dalam bentuk keteladanan Kyai dan keluarganya. Namun demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa di antara keluarga Kyai baik putra atau karib kerabatnya ada yang menempatkan diri seperti kyai sepuh, hal ini merupakan pemandangan yang kurang enak dilihat dan bisa menjatuhkan wibawa kyai dan wibawa lembaga pesantren itu sendiri.

 

4.1.8      Komunikasi Pendidikan di Pesantren Al Amnaniyah

Hasil pengamatan langsung peneliti terhadap situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Al Amnaniyah, khususnya dalam komunikasi antara Kyai dengan Santri dipandang sangat padat dengan muatan nilai-nilai edukatif. Bila Kyai menyuruh, marah, berkelakar, atau mengumbar humor, semuanya dalam konteks pembinaan pribadi santri, sampai tindakan Kyai di luar kesengajaan untuk melakukan upaya pendidikan, akan ditafsirkan santri sebagai tindakan yang disengaja karena sudah terbina kepercayaan Santri terhadap kyainya.

Tindakan pendidikan yang dilakukan di luar kesengajaan (kesadaran), sesungguhnya merupakan hasil pendidikan dalam kesadararmya, karena ketidak sengajaan dalam suatu tindakan akan dipengaruhi oleh pengalaman yang disengaja. Pengalaman yang diperoleh dalam kesengajaan (kesadaran) seseorang akan mengendap menjadi ketidak sadaran. Dan pengalaman yang disengaja atau pengalaman sadar itu suka muncul dalam tindakan yang tidak disengaja atau tidak disadari. Oleh karena itu ketidak sengajaan atau ketidak sadaran dalam suatu tindakan itu akan muncul sebagai suatu tindakan positif manakala pengalaman yang disengajaannya atau disadarnya positif. Suatu tindakan di luar kesadaran dapat muncul karena kebiasaan, kebiasaan akan muncul dari pengkondisian, dan pengkondisian itu dilakukan dalam suatu tindakan yang disadari, sedangkan tindakan yang disadari lahir dari pengalamannya.

Demikian halnya dengan komunikasi Kyai-Santri di Al Amnaniyah  terkesan seolah-olah komunikasi yang tidak disadari tetapi penuh dengan nilai-nilai edukatif. Hal itu terjadi karena situasi pendidikan diciptakan sedemikian rupa sehingga komunikasi Kyai-Santri berjalan dalam suatu pola komunikasi khas pesantren. Kepatuhan dan ketaatan santri kepada kyai bersifat absolut, karena telah terbina kepercayaan dan saling pengertian antara Santri dengan Kyai.

Sistem asrama merupakan salah satu faktor yang amat mendukung bagi terciptanya komunikasi edukatif, karena hubungan Kyai-Santri berlangsung sepanjang .hari. Hubungan mereka berjalan secara intensif dan konsisten dalam suatu lingkungan tertentu, aturan tertentu dan budaya tertentu. Dalam sistem pesantren tradisional, hubungan antara guru dan murid sangat erat. Seorang santri secara permanen hidup dalam lingkungan pesantren, dekat dengan rumah Kyai dan taat secara absolut kepada Kyai. Salah satu kelebihan sistem pendidikan di pondok pesantren dibanding dengan sistem pendidikan di lembaga lain, adalah adanya hubungan yang akrab antara Kyai dengan santri. Hubungan yang akrab ini ditunjukkan oleh Kyai baik dalam hubungan fungsional, hubungan instrumental maupun hubungan Personal sesuai dengan kontek hubungannya. Dari hubungan yang akrab ini, telah menyebabkan penuangan ilmu bapak kyai kepada santrinya demikian intensif, bahkan bukan hanya terbatas pada Umunya saja, akan tetapi seluruh perilaku dan tutur kata bapak kyai sudah merupakan bahagian dari upaya pembinaan watak dan kepribadian santri, sebab kehidupan Kyai merupakan contoh bagi kehidupan santrinya.

Keutuhan situasi yang diciptakan di Al Amnaniyah  telah memperlancar Kyai dalam membina kemandirian santri, karena komunikasi interaktif yang positif antara Kyai, Ustadz, dan Santri di pondok pesantren, ditunjang oleh penciptaan situasi pendidikan yang utuh di mana penataan fisik bangunan, penataan sistem pendidikan dan pengajaran, serta ketauladanan para Kyai dilakukan secara terpadu dan utuh. Sebagai contoh, penataan bangunan fisik di komplek pesantren dilakukan secara terpadu dengan penataan sistem pendidikannya, agar memperlancar bagi kyai untuk mengawasi semua kegiatan santrinya. Langkah pertama dan utama yang dilakukan KH Wasik dalam menciptakan komunikasi edukatif adalah penciptaan situasi pedidikan yang utuh melalui pengkondisian lingkungan fisik.

Dengan penyediaan sarana dan fasilitas pesantren yang ada sekarang ini, dapat membawa dampak psikologis dalam berkomunikasi antara Kyai dengan Santrinya. Penataan bangunan-bangunan fisik yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren mengisyaratkan suatu komunikasi yang intim dan akrab antara kyai dengan santrinya.

Bangunan rumah Kyai lebih sederhana dibanding dengan madrasah atau asrama santri. Pakaian kyai yang khas merupakan komunikasi batiniyah dalam rangka pembinaan pola dan sikap hidup sederhana bagi santrinya.

Komunikasi edukatif semacam itu telah membawa santri pada perkemabangan pribadi secara bertahap, dan pada tahap-tahap perkembangan tertentu para santri tidak lagi memerlukan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak pesantren karena mereka telah sampai pada proses internalisasi nilai-nilai pengetahuan agama yang mereka peroleh dari kyai.

Salah satu contoh untuk mendidik santri agar gemar berjamaah dibuatnya suatu peraturan bahwa setiap santri wajib melakukan berjamaah pada shalat fardu tepat pada awal waktunya, dan dilakukan sekaligus, sehingga bila ada santri yang ketinggalan shalat berjamaah ia merasa malu shalat munfarid, karena dipandang oleh para santri lainnya sebagai santri yang melanggar peraturan pesantren. Pada awalnya peraturan itu dirasakan berat namun Karena kondisi lingkungan, kebiasaan dan pengetahuan tentang betapa besar nilai pahala bagi orang yang melaksanakan shalat berjaamaah, pada akhirnya kewajiban berjmaah itu tidak lagi menjadi beban.

Upaya lain yang dilakukan Kyai dalam mencipatakan suatu situasi komunikasi non fisik adalah mewujudkan suasana keakraban sehingga timbul kehangatan kasih sayang sebagai seorang bapak, seorang guru, seorang panutan, sehingga bagi para santri dan masya'rakat lingkungan pesantren tidak segan-segan menyampaikan permasalahan yang dihadapinya baik permasalahan pribadi maupun masalah yang menyangkut kepentingan pesantren.

Lingkungan pergaulan antara sesama santri nampak akrab dan saling menitipkan diri sebagai musafir penuntut ilmu yang sama sama jauh dari orang tua. Semangat kebersamaan dan saling tolong menolong, merupakan pemandangan umum dalam kehidupan pesantren yang tumbuh secara alamiah. Namun tidak menutup mata bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan pesantren suka terjadi walau tidak berani menampakkan secara demonsratif ke permukaan, oleh karena usia santri pada umumnya para pemuda yang sedang dalam usia pancaroba di mana gejolak asmara sebagai seorang pemuda yang cenderung agresif.

Dari pembahasan di atas dengan merujuk pada tiga momen dalam penciptaan pendidikan di pesantren Al Amnaniyah  diciptakan dalam suatu iklim pendidikan tertentu yang mempertimbangkan tiga momen; yaitu momen fisik, momen psikologis, dan momen sosio kultural.

Letak geografis dan Lokasi pesantren terisolir dari masyarakat luas mengandung arti bahwa pembinaan sikap hidup mandiri dalam rangka membina kepribadin santri di pesantren Al Amnaniyah  dirancang dalam rangka mengkondisikan santri ke dalam situasi pendidikan tertentu yang sangat memungkinkan terjadinya komunikasi intensif dan konsisten antara Kyai dengan Santri, pemilihan lokasi semacam ini dilakukan dengan maksud agar para santri tidak terpengaruh oleh situasi-situasi lain di luar situasi pesantren.

Penataan Letak bangunan-bangunan yang ada di komplek pesantren Al Amnaniyah  mencerminkan suatu upaya Kyai dalam menata lingkungan fisik yang sangat memungkinkan terjadinya upaya pembinaan kepribadian melalui komunikasi edukatif antara Kyai dengan Santri.

Mesjid yang megah ditempatkan di tengah komplek membawa kesan tersendiri bagi santri yaitu kebanggaan terhadap ajaran Islam. Antara asrama putra dan putri dibatasi oleh rumah para kyai mengandung makna bahwa berhubungan lain jenis yang goir mukhrim dilarang- Pintu-pintu keluar komplek dihadang oleh rumah-rumah anggota Dewan Kyai mengandung arti bahwa begitu ketat pengawasan kyai terhadap santri agar tidak keluar masuk komplek dengan seenaknya. Pemindahan kepala keluarga yang bukan anggota Dewan Kyai ke luar komplek mengandung arti bahwa lingkungan pesantren harus bersih dari pengaruh-pengaruh di luar sistem pesantren.

Tata-tertib masuk ke mesjid yang terpampang di dekat pintu masuk mesjid, mengingatkan para santri agar terbiasa bila masuk mesjid membacakan doa' dan melakukan shalat tahiyatal masjid. Wirid ba'da sholat terpampang di papan tulis diletakkan di bagian dalam mesjid merupakan suatu media sekaligus mengingatkan bahwa seusai shalat dianjurkan untuk membiasakan membaca wiridan ba'da shalat.

Di hadapan santri yang sedang mendapatkan kesulitan dan memerlukan perhatian khusus, KH Wasik  tampil sebagai seorang bapak yang penuh kasih sayang dan mengharapkan putranya menjadi orang-orang yang baik, terkadang beliau tampil sebagai seorang ulama besar yang sedang memberikan fatwa kepada ummatnya. Dari berbagai tindakan dan sangsi yang diberikan Kyai kepada para santri yang melanggar peraturan pesantren, sikap pemaaf Kyai sangat dominan. karena apa yang dilakukannya semata-mata dalam upaya mendidik para santri.

Penampilan KH Wasik  semacam ini membawa kesan yang sangat mendalam bagi santri, terkadang para santri manja kepada Kyai seperti kepada orang tuanya sendiri, terkadang mereka merasa takut bila melanggar disiplin seperti kepada seorang komandan.

Perilaku Kyai dan tanggug jawabnya terhadap santri melahirkan wibawa yang talus, sikap hormat, sayang, dan perhatian khusus dari para santrinya, sehingga seluruh keluarga dan orang-orang yang dekat dengan Kyai seperti kecipratan berkah Kyai, seperti dikatakan dalam Syair Ahmad Syauki Bey, yang artinya : "Barang siapa yang hidup bersama orang yang mulia, dia akan terbawa mulia. Dan barang siapa hidup bersama orang yang hina, maka dia tidak akan menjadi mulia. Tidakkah engkau melihat betapa kulit kambing yang hina, akan diciumi orang karena ia dipakai raembungkus Al-Quran". (Ahmad Syauqi)

Seperti pada umumnya lembaga pendidikan pesantren berada di daerah pedesaan, oleh karena itu sosio budaya masyarakat desa akan mewarnai corak pergaulan masyarakat pesantren. Pesantren Al Amnaniyah  Karangjati  berada dalam lingkungan masyarakat jawa di daerah pedesaan, yang dikenal memiliki budaya sopan santun dan gotong royong.

Dalam budaya masyarakat jawa berkenaan dengan masalah pendidikan khususnya perilaku murid terhadap guru, dikenal istilah, "guru itu harus digugu dan ditiru artinya guru itu harus dituruti perintahnya dan ditiru perilakunya. Istilah ini sangat besar pengaruhnya dalam dunia pendidikan di daerah Pajawan termasuk dalam dunia pendidikan pesantren.

Rasa hormat pada orang tua atau orang yang lebih tua, kepada para ulama, guru, dirasakan dominan mewarnai kehidupan di pesantren. Contohnya bila seorang jamaah bertemu dengan seorang ulama, kyai, atau guru, mereka lebih dulu mengulurkan tangan bahkan kepadaulama atau kyai sepuh tidak segan mereka mencium tangannya sebagai rasa hormat dan mengharap berkah. Bila tiba musim panen masyarakat. merasa bangga bila mengirimkan sebahagian hasil panennya kepada ulama atau kyainya, dan guru.

Perilaku semacam itu menunjukkan rasa hormat dari seorang santri kepada kyai atau dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Kondisi seperti ini dibiarkan berjalan secara alamiah bahkan KH Wasik mendukungnya dengan caranya sendiri.

 

4.1.9    Komunikasi Internal Organisasi

 Berdasarkan hasil observasi, peneliti juga menemukan bahwa ada kasus yang berkembang di pesantren Al-Amnaniyah ini dikarenakan iklim komunikasi yang cukup kondusif. Hal ini dapat diukur dari enam dimensi iklim komunikasi, yaitu :  Pertama, iklim kepercayaan di Pondok Pesantren Al-Amnaniyah sangat bagus, karena para santri yang belajar di pondok pesantren pada dasarnya sangat mempercayai para Kiai sebagai seorang pemimpin ataupun pentransfer ilmu bagi mereka, santri sangat percaya cukup dengan menghormati Kiai maka mereka kelak akan mendapatkan sebuah ilmu yang bermanfaat ketika mereka kembali ke masyarakat.  Kedua, adalah pengambilan keputusan partisipatif dalam keorganisasian memang baik, karena pengambilan keputusan yang dilakukan di pondok pesantren tidak hanya berdasarkan laporan dari para dewan Kiai atau pengasuh saja tapi mendengarkan masukan- masukan dari para santri atau juga para staf pelaksana yang seharusnya juga berhak memberikan masukan bagi kebijakan pondok. Ketiga, iklim kejujuran yang tercipta di organisasi sudah baik. Pengurus atau pembina asrama tidak berusaha untuk menutupi keluhan dari para santri di depan pengasuh selanjutnya pengasuh mencoba untuk menangkal sendiri masalah yang timbul di asrama untuk tidak sampai pada pihak Majelis. Perilaku seperti ini sebenarnya perlu karena bagaimanapun santri adalah segolongan orang yang memiliki keinginan untuk menyampaikan pendapat dan dihargai pendapatnya. Keempat, keterbukaan dalam komunikasi ke bawah dalam organisasi pondok pesantren dikatakan cukup baik. karena pada dasarnya komunikasi vertikal antara Kiai dan santri berjalan lancar terlebih Kiai memiliki power (kekusaan) untuk dapat menyampaikan informasi atau kebijakannya. Berbagai informasi yang dibutuhkan santri untuk melaksanakan kewajiban dan kebijakan pemimpin (Kiai) tersedia secara baik dengan berbagai bentuk lesan ataupun tulisan.  Kelima, menejemen pondok pesantren cukup terbuka dalam mendengarkan komunikasi ke atas, dengan kata lain keterbukaan dalam mendengarkan pendapat kurang baik. Dewan Pimpinan Majelis memang sering mengadakan koordinasi dengan pihak pengasuh setiap tiga bulan sekali namun pimpinan tetap memiliki otoritas penuh untuk memutuskan sesuai dengan pemikiran mereka. Selain itu para pimpinan pondok mengadakan rapat evaluasi terhadap kinerja karyawan sehingga mereka mencoba untuk mendengarkan keluhan dari para karyawan. Keenam, perhatian pada tujuan berkinerja  tinggi, lancar karena pimpinan selalu mendengarkan keluhan dari para karyawan sehingga karyawan memiliki keinginan untuk berkinerja lebih bagus lagi, para karyawan menyadari hal ini karena mereka menganggap ini adalah selain sebuah pengabdian juga bentuk penghormatan mereka kepada pengasuh pondok.  

Pimpinan majelis lebih meperhatikan kinerja dari para santri yang dididik di pesantren Al-Amnaniyah, terutama dalam hal penyeimbangan pendidikan agama maupun pendidikan umum. Perhatian terhadap kesejahteraan dan kemudahan fasilitas kepada santri untuk mempelajari berbagai bidang ilmu dengan cara memberikan wadah untuk belajar.

Berdasarkan hubungan posisional antara santri dengan Kiai bisa dikatakan lancar karena komunikasi berjalan dua arah dari atas ke bawah. Kiai tidak hanya memberikan kebijakan nya berupa perintah, larangan, dan anjuran kepada para santri. Pada komunikasi ke atas, santri diberikan keleluasaan untuk menyampaikan informasinya baik masukan maupun kritik terhadap kinerja pondok. Sebenarnya tidak ada larangan tertulis namun secara tersirat, hanya dalam etika menuntut ilmu seorang santri tidak diperkenankan untuk membantah apa yang dikatakan oleh guru, kedudukan santri dan Kiai disini adalah guru dan murid.

Hubungan posisional sesama Kiai sangat berbeda dengan sebelumnya atau bisa dikatakan cukup lancar, karena Al-Amnaniyah masih menggunakan sistem kekeluargaan maka yang memimpin di Al-Amnaniyah ini terdiri dari suatu keluarga besar yang memuliki hubungan kekerabatan yang dekat satu sama lainnya. Walaupun secara struktural ada atasan dan bawahan namun setiap indIidu menyadari bahwa Al-Amnaniyah adalah titipan nenek moyang yang harus dijaga bersama, sehingga setiap indIidu diberikan keleluasaan untuk dapat menyampaikan informasinya baik ke atas maupun kebawah.

Sedangkan hubungan antar personal antara Kiai dan santri terjalin cukup harmonis, karena ditinjau dari segi apapun santri sangat menghormati dan mengidolakan Kiainya terutama para Kiai yang menjadi figur atau tokoh utama panutan mereka (santri). Sebaliknya para Kiai juga sangat menhargai keberadaan para santri, karena bagi para Kiai santri adalah suatu amanah yang harus dijaga, diasuh dan dididik sesuai dengan tutunan agama Islam.

Secara personal santri sangat menghormati Kiai nya terutama pengasuh asramanya, karena biasanya sosok Kiai yang menjadi figur utama santri adalah pengasuh asramanya. Namun hal ini tidak terjadi pada semua santri, karena terdapat sejumlah  santri dari beberapa asrama dengan komunitas yang besar kurang mengenal keberadaan para pengasuhnya, sehingga mereka meimilih figur Kiai atau pengasuh asrama lain untuk menjadi panutan mereka.

Sedangkan untuk hubungan personal antara santri dengan Kiai non pengasuh, secara umum santri hanya mengenal para Kiai atau keluarga yang ikut terjun aktif dalam membina dan mengajar para santri, seperti Dewan Majelis, Kiai / gus yang kerap menjadi imam di masjid, Kiai (Gus) yang memberikan pengajian di asrama, dan para Kiai (Gus) yang mengajar dilembaga formal seperti  diniyah  (sekolah agama) dan sekolah umum. Jika terdapat diantara keturunan pendiri pondok (keluarga pondok) yang tidak terjun aktif dilingkungan pondok secara umum maka tidak akan dikenal oleh para santri. Perlakuan santri terhadap mereka (keluarga pondok) ini sangat beragam ada yang mencoba untuk mencari tahu dan adapula yang cuek tidak mau tahu.

Intinya santri yang bersikap kurang tawadhu’ kepada  Kiai/B.Nyai disebabkan karena kurangnya komunikasi antara santri dan para pengasuh pondok pesantren Al-Amnaniyah‘Ulum. Berbicara masalah komunikasi di pondok pesantren tentu intensitas pertemuan menjadi hal yang sangat penting, karena seseorang akan merasa memiliki kedekatan jika mereka saling mengenal atau minimal sering bersua (bertatap muka). Menilik sebuah pepatah “tak kenal maka tak sayang”, fenomena ini juga berlaku bagi hubungan santri dengan Kiai dan keluarga yang ada podok. Jika Kiai dan keluarga jarang  berinteraksi atau menampakkan diri di kalangan santri maka santri tidak tahu keberadaannya dan juga tidak mengenalnya sehingga otomatis santri akan bersikap biasa saja jika bertemu dengan mereka. Keadaan seperti ini tidak lain karena disebabkan oleh kurangnya intensitas pertemuan sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi satu sama lain. Kurangnya intensitas pertemuan sendiri merupakan sebuah akibat dari kesibukan dari masing-masing pihak baik santri dan Kiai dan keluarga.

 

4.2 Komunikasi Internal Ponpes Al Amnaniyah II

Untuk lebih mengetahui mengenai iklim komunikasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah II yang diasuh oleh KH Taufik Amnan, peneliti menggambarkan hubungan yang terjalin pada tiap elemen berdasarkan pada arah aliran informasinya, yaitu komunikasi vertikal ke atas (upward communication), komunikasi vertikal kebawah (downward communication), dan komunikasi horizontal.

 

4.2.1.  Arus Komunikasi Vertikal ke Atas (Upward Communication)

Dalam komunikasi organisasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah arah aliran komunikasi ke atas (Upward Communication) bisa berupa komunikasi hubungan posisional maupun hubungan antar personal. Jika yang komunikasi sifatnya hubungan posisional santri dapat memberikan suatu informasi secara berjenjang dari bawah ke atas.

Pendapat atau masukan biasanya disalurkan melalui pengurus asrama atau pembina terlebih dahulu, kemudian pengurus dan pembina akan mamberikan laporan kepada pengasuh asrama. Pendapat atau masukan sebisa mungkin disortir oleh pengasuh asrama jika dapat dilaksanakan langsung maka itu akan menjadi kebijakan asrama namun jika bisa digunakan pada lingkup yang lebih besar  maka akan di jadikan pertimbangan dan masukan bagi pihak majelis. Dan pada akhirnya tetap pihak majelis lah yang akan memutuskan diterima atau ditolaknya masukan yang ada.  

Sedangkan komunikasi yang sifatnya hubungan personal maka santri langsung berhubungan dan berinteraksi dengan pengasuh maupun Kiai secara umum yang ada di pondok. Dan berikut ini peneliti akan lebih menggambarkan mengenai komunikasi yang terjalin antara santri dengan Kiai dan keluarga.

 

 

 

4.2.2. Komunikasi Santri Terhadap Pengasuh

Setiap santri yang berasal dari luar kota Ngawi diwajibkan untuk berdomisili di sebuah asrama yang telah disediakan oleh pondok. Di Ponpes Al-Amnaniyah II sendiri terdapat satu asrama induk putra dan 13 asrama putra-putri yang diasuh oleh seorang Kiai yang merupakan keturunan dari pendiri pondok. Dalam wawancara yang dilakukan pada beberapa santri yang tinggal di beberapa asrama yang diasuh langsung oleh seorang Kiai, peneliti mendapati adanya perbadaan  mengenai bentuk hubungan yang terjalin serta komunikasi yang dilancarkan antara santri terhadap masing – masing pengasuh.

Wawancara pertama yang dilakukan peneliti ditujukan pada seorang santriwati yang diasuh oleh seorang kiai senior dimana kiai asrama “A” ini sangat perhatian dan dekat dengan para santrinya tidak jarang sang pengasuh mangajar dan mengimami sendiri para santrinya.  “Pengasuh sama murid sangat dekat sekali mbak…sampai-sampai Kiai sangat perhatian banget sama santrinya”(Wawancara : Sabtu,November 2013). Karena kedekatan dengan pengasuh ini juga tidak terlepas dari sering tidak nya seseorang bertemu satu sama lain, Mela mengaku cukup dekat dengan keluarga kiai karena berada satu lingkungan dengan rumah kiai, dan pengasuh sangat total dalam mengawasi para santrinya.

Iklim kepercayaan yang terjalin antara santri kepada kiai pengasuh, cukup tinggi dimana santri selalu mempercayai apa yang dikatakan pengasuh dan tidak ada penyangkalan terhadap apa yang diperintahkan oleh pengasuh. Sosok Gus Taufik yang juga anggota DPRD Kabupaten Ngawi ini adalah sosok yang kharismatik dan menjadi acuan bagi para santri.

Dalam pelaksanaan komunikasi keatas yang terjalin antara santri dengan pengasuh diasarama ini sangat baik karena dalam penyampaian informasi kepada pengasuh sangat jujur dan  terbuka.  Santri yang bisasanya diwakili oleh para pengurus senantiasa berupaya memberikan laporan yang jujur artinya tidak hanya yang bersifat positif saja tapi juga yang sifatnya negatif sehingga pengasuh benar-benar mengerti mengenai keadaan para santrinya. “ibu pasti tahu masalah apa aja yang di hadapi sama santrinya terutama yang berkaitam sama sekolah, kalo ada apa-apa sama sekolah biasanya pihak sekolah langsung laporan sama pengasuh, ato kalo masalah asram biasanya mbak-mbak pengurus yang laporan sama ibu (pengasuh).”  

Pada komunikasi keatas ini juga diketahui bahwa pengasuh asrama “A” cukup terbuka atas adanya masukan baik berupa usulan dan juga masukan yang diberikan oleh para santri. Pengasuh disini lebih sering bertindak sebagai tempat bertanya dan mejawab segala permasalahan dari para santri. Di asrama Mela, komunikasi yang dilancarkan bisa bersifat personal maupun posisional, seperti pernyataan Mela di atas pengasuh sering memberikan perhatian secara langsung kepada santrinya, dan jika secara posisional santri lebih sering memberikan masukan melewati para pengrus asrama saat ada rapat asrama atau langsung sewaktu-waktu melewati ketua asrama. Dari hasil rapat asrama yang dilakukan setiap kamis malam biasanya langsung disampaikan oleh para pengurus  kepada pengasuh. Dan kemudian masukan ini akan diproses apakah cukup menjadi sebuah kebijakan baru atau hanya sekedar wacana. 

 

4.2.3. Komunikasi Santri Terhadap Kiai Non Pangasuh Dan Dewan Majelis 

Setelah diketahui bagaimana komunikasi yang terjalin antara santri dengan pengasuh asrama, kemudian peneliti ingin mengetahui komunikasi yang terjalin antara santri dengan Kiai dan keluarga non pengasuh dan Dewan Pimpinan Majelis. Berdasarkan pengamatan peneliti hubungan yang terjalin antara santri dengan non pengasuh  juga berjalan baik, santri mengenal cukup banyak pengasuh asrama lain dengan berbagai macam cara, baik bertanya dengan teman atau karena sering bertemu dan pernah di ajar di sekolah atau melalui pengajian umum di asrama, namun ada sebagian pengasuh lainnya yang tidak dikenal oleh santri.

Banyak hal yang menyebabkan santri kurang menaruh perhatian pada perilaku kiai mereka di luar pesantren. namun ada beberapa santri yang menyatakan tidak tertarik pada persoalan-persoalan politik sebagaimana ditekuni Gus Taufik. Dari pengakuan mereka, ada beberapa santri yang sebenarnya menyayangkan sikap dan pilihan politik kiai mereka.

Sebagaimana pernyataan informan 1: “saya sebenarnya mendukung Gus Wasik yang tidak mau dicalonkan oleh partai politik. jadi kalau Gus Taufik ikut-ikutan politik, ya itu urusan beliau. Kita-kita yang penting sekolah disini. (Wawancara santri: Mei 2013).

Informan 2 : “sebagian teman menolak sikap kiai NU yang menjadi anggota dewan, karena mereka biasanya mengajak orang partai ikut ‘main’ di pemilihanpengurus NU Ngawi.” (Wawancara : Sabtu, 30 Mei 2013 Pkl.20.00 WIB)

Dari pernyataan berikut ini akan didapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan mengenai perbedaan sikap yang di tunjukan santri kepada masing-masing pihak. Jika menilai Kiai/keluarga non pengasuh namun mereka (santri) kenal bila terkait masalah politik, umumnya mereka tidak sependapat. Sementara para santri Gus Taufik, justru mengidolakan Gus Wasik untuk urusan itu.

Berbeda dengan para Kiai/keluarga non pengasuh, perlakuan santri terhadap para Kiai yang menjabat di Dewan Majelis sangat hormat seperti halnya kepada para pengasuh asramanya masing-masing, walaupun para Kiai yang berada di Majelis tidak mengajar mereka secara langsung namun santri merasa turut dididik oleh para Dewan Pimpinan Majelis dan santri juga merasa memiliki kedekatan emosional dengan para pemimpin di Al-Amnaniyah I dan II. Kepercayaan yang diberikan santri kepada para kiai sangat besar karena mereka menganggap apapun yang menjadi keputusan dan kebijaksanaan kiai adalah yang terbaik.

Pada komunikasi vertikal ke atas ini (upward communication),  biasanya santri juga turut andil dalam meberikan masukan-masukan untuk perbaikan kebijakan yang ada di pondok pesantren. Namun masukan-masukan para santri ini hanya bisa disampaikan melalui pembina atau pengurus asrama saja kemudian dari para pembina dan  pengurus asrama ini informasi akan disampaikan kepada pengasuh, oleh pengasuh informasi ini di kaji ulang jika masukan ini dapat diterima dan diterapkan di asrama maka ini akan menjadi kebijakan asrama namun jika dirasa ini bisa menjadi masukan bagi pesantren maka akan di komunikasikan kepada pihak Dewan Pimpinan Majelis melalui rapat koordinasi antar biro.

Pada komunikasi ini iklim kejujuran yang diberikan dari elemen yang bawah kepada atasan kurang terbuka ini dikarenakan pengasuh hanya ingin menyampaikan dan melaporkan bagian terbaik dari para santri yang di asuhnya dan menutupi bagian buruknya namun tidak menutup kemungkinan ada pula pengasuh yang melaporkan secara jujur apa yang terjadi di asramanya dengan tujuan untuk mencari cara penyelesaian bersama.

Karena kurangnya media untuk menyampaikan aspirasi para santri kepada dewan pimpinan majelis secra langsung, maka aspirasi yang disampaikan pun terbatas dan ini juga menunjukkan sejauh mana dewan majelis mampu untuk mendengarkan masukan dari para santrinya.

Dewan pimpinan majelis merupakan basis pimpinan yang ada di pondok pesantren Al-Amnaniyah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kinerja para santri dan bawahannya untuk mencapai tujuan dari pondok pesantren yaitu mencetak generasi yang “Berotak London Berhati Masjidil Haram.” Santri sangat dimudahkan sekali dalam hal fasilitas apapun untuk menunjang kegiatannya memperoleh ilmu yang hendak dimiliki nya baik umum maupun bidang agama.

 

4.2.4. Arus Komunikasi Vertikal Kebawah (Downward Communication)

Sama halnya dengan komunikasi ke atas yang terdapat di Al-Amnaniyah II, komunikasi ke bawah yang dilancarkan oleh Kiai kepada santrinya bisa berupa hubungan posisional maupun hubungan antar personal dan secara garis besar isi informasi yang dilancarkan bisa berupa perintah, larangan, himbauan, dan peringatan. Komunikasi ke bawah yang dilakukan oleh seorang Kiai kepada santri ini bisa bersifat langsung ataupun berjenjang karena di organisasi ini Kiai memiliki otoritas penuh untuk dapat menentukan bagaimana cara termudah untuk menyampaikan informasi kepada santrinya. Sedangkan arah aliran informasinya merupakan kombinasi antara serentak dan berurutan. 

Pada bentuk komunikasi posisional arah aliran informasi di awali dari sebuah keputusan Dewan Pimpinan Majelis yang di komunikasikan kepada Biro, anggota biro ini sebagian besar adalah sejumlah pengasuh asrama yang ada di pondok. Dari Biro inilah informasi ada yang disampaikan secara langsung ataupun melalui perantara pembina atau pengurus asrama.

Bentuk hubungan antar personal antar santri dan Kiai biasanya hanya terjalin di lingkup yang kecil sperti di asrama karena seperti yang telah dijelaskan di atas hubungan seorang santri dengan Kiai yang mengasuh ataupun mengajar disekolah seperi halnya hubungan antara anak dan orang  tua. Dan berikut ini peneliti akan menggambarkan bagaimana komunikasi yang terjalin antara Kiai terhadap para santrinya.

Bara santri mengakui juga adanya permintaan dari kiai mereka untuk membantu meloloskan diri menjadi anggota DPRD Kabupaten Ngawi periode 2009-2014. Peran para pengasuh untuk mengawasi pilihan politik santri juga menentukan perolehan suara Gus Taufik dalam pemilu.

 

4.2.5. Komunikasi Pengasuh Terhadap Santri yang Diasuh

Komunikasi yang terjalin antara santri dan pengasuh pada umumnya terjalin dengan harmonis karena seorang pengasuh minimal faham siapa santrinya, sekolah dimana dan lain sebagainya karena bagi seorang pengasuh santri adalah sebuah amanah yang harus diterima dan dididik dengan baik jadi minimal bertemu ketika mengimami sholat berjama’ah atau  ketika mengaji alqur’an mereka dapat bertemu secara langsung dan melakukan komunikasi antar personal. 

Pada komunikasi vertikal kebawah antara pengasuh dengan santrinya, seorang pengasuh akan menyampaikan sebuah informasi baik secara langsung maupun tidak langsung, penyampaian pesan secara langsung bisa berupa himbauan atau nasihat secara lesan kepada santri-santrinya. Biasanya ini dilakukan setelah mengimami sholat ataupun saat mengawasi santri dalam kegiatan muhadhoroh (latihan kepemimpinan), namun tidak menutup kemungkinan informasi dari pengasuh akan disampaikan melalui pengurus atau pembina asrama untuk disampaikan kepada santri baik lesan dan tulisan.

Namun situasi seperti ini ternyata tidak terjadi di seluruh asrama, ada beberapa asrama yang memiliki  komunikasi yang kurang baik antara santri dan pengasuhnya.

Pengasuh memiliki kepercayaan yang penuh kepada seluruh pembina yang menjadi pengawas bagi para santrinya namun kepercayaan kepada para santri sangat dipertanyakan karena pengasuh tidak benar-benar mengenal siapa  dan bagaimana sifat dari santri yang di asuhnya.

Dalam hal keterbukaan pada komunikasi ke bawah, pengasuh yang sangat jarang terlibat dengan santri biasanya hanya memberikan masukan yang digambarkan memalalui kebijaksanaan para pembina. Tidak jarang pengasuh hanya memberikan pengumuman berupa surat yang hanya ditempelkan di mading asrama. Dan memalalui pembina asrama juga pengasuh mendorong para santri untuk menghasilkan suatu buah dari kinerja yang baik. Asrama ini memang mengkondosikan para santri untuk tetap menjadi santri unggulan dengan memberikan fasilitas lebih untuk belajar karena asrama ini memiliki tujuan untuk menjaga kualitas siswa-siswa unggulan di Al-Amnaniyah II.

Kepercayaan pengasuh terhadap santri juga bisa berupa masukan yang diberikan oleh para santri menjadi hal yang cukup berharga untuk didengar oleh pengasuh dan ini juga menjadi pertimbangan pengasuh dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam pengambilan keputusan pengasuh biasanya memberikan opsi-opsi kebijaksanaan yang kemudian di sampaikan kepada para pengurus dari pengurus opsi ini di sampaikan kepada para santri untuk selanjutnya para santri yang akan memilih sendiri apa yang mereka inginkan, dan pada akhirnya tercapailah suatu kesepakatan bersama.  Seperti dukungan santri untuk pencalonan kiai pada Pemilu legislative untuk DPRD Ngawi, Gus Taufik mengaku memang pernah memberi saran khusus agar menggunakan suara mereka untuknya. Namun dia tetap membebaskan para santrinya untuk memilih siapapun caleg yang dianggap baik. Yang penting hubungan antara kiai dan santri, terbuka, dan jujur satu sama lain.

Pada dasarnya iklim kejujuran yang diberikan pengasuh kepada santrinya sangat baik dimana pengasuh tidak menutupi suatu informasi ataupun kelemahan asrama yang diasuh nya dari para santri, kedekatan pengasuh dengan santri menjadikan hubungan pengasuh dan santrinya sangat terbuka dan selalu diwarnai dengan kejujuran dalam menyampaikan informasi. Hal ini juga berhubungan dengan keterbukaan dalam menerima masukan dari para santrinya, namun seperti sifat manusia yang lainnya keterbukaan terhadap adanya kritik masih kurang.

Asrama memberikan beraga fasilitas baik dalam bentuk fisik maupun pengajaran yang diperuntukkan bagi santri. Hal ini ditujukan sebagai pembentuk perhatian dari para pengasuh untuk mendorong para santri mencapai kinerja yang optimal selama belajar di Al-Amnaniyah II. Hasil wawancara dengan santri-santri perempuan, Atik dan inet (informan 1 dan 2) membuktikan itu.

Informan I menyatakan : “memang Gus Taufik memberi kebebasan dalam menggunakan hak suara, tapi tetap saja bila kita salah pilih ada banyak sanksi yang menunggu. Jadi pada intinya untuk urusan politik kiai orangnya sangat otoriter banget.”

Informan II: “Pengasuh lebih suka mengambil keputusan sendiri dan hanya memberikan sedikit penawaran kebijakan bagi para santrinya. Ketika membuat suatu kebijakan pengasuh memberikan penawaran-penawaran yang harus dipilih oleh para santri, namun ketika santri memilih keputusan masih tetap berada di tangan pengasuh sehingga bisa dikatakan penawaran ini hanyalah sekedar formalitas saja.”

Meski terpaksa, para santri Al Amnaniyah II tetap menggunakan hak suara mereka untuk mendukung kiai sebagai anggota DPRD. Namun dalam benak mereka, rasa hormat kepada kiai seperti itu sudah mulai berkurang.

 

4.2.6. Komunikasi Kiai Terhadap Alumni Al Amnaniyah

Banyak alumni pesantren Al Amnaniyah mengetahui pilihan politik pengasuh sejak lama. Pada awalnya, mereka menyatakan dukungannya karena partai kebangkitan bangsa (PKB) yang didirikan oleh NU dianggap partai yang bersih dan amanah untuk warga NU.

Dalam perkembangannya, partai yang didukung oleh kiai mereka berubah. Dan keterlibatan kiai dalam partai, menjadi bahan perbincangan diantara sesama alumnu. Salah seorang alumni, Sawilan (Informan 4) mengungkapkan,”Kita semua sebagai alumni tentu akan lebih menghormati Gus Wasik yang berani menolak bergabung dengan partai. Toh jadi dewan dan pengurus NU di Ngawi sama-sama korup begitu,” ujar santri yang kini mengembangkan pesantren sendiri di Krompol, Bringin, Ngawi itu. (Wawancara,November 2013).

Hal sama diakui Subakir, alumni Al Amnaniyah lain.  Dia mengatakan: “Sebenarnya Gus Taufik sama halnya dengan Gus Wasik tentang prinsipnya pada kejujuran dan kerakyatan. Tapi dia jadi dewan, tentu saja banyak ‘main-main’ dengan uang rakyat.” (wawancara informan 5, November 2013). 

Pernyataan diatas adalah sebuah gambaran dari hubungan alumni santri dengan Kiai mereka yang di ungkapkan menyikapi pesantren Al-Amnaniyah II dalam kaitannya dengan politik. Menurut pengamatan peneliti iklim komunikasi antara santri dan pengasuh ini menjadi berubah setelah pilihan politik kiai masih mendukung kegiatan politik praktis.

4.2.8. Arus Komunikasi Horizontal

Komunikasi horisontal merupakan komunikasi yang sifatnya lebih bebas atau lebih personal karena melibatkan sekelompok orang yan meiliki kedudukan yang sama, komunikasi horisontal di lingkungan pesantren lebih menonjol dibandingkan komunikasi secara vertikal, karena bagaimanapun seseorang akan banyak berinteraksi dengan orang yang memiliki tingkat pengetahuan dan berlatar belakang sama. Santri lebih suka berkomunikasi dengan sesama santri karena tidak harus sungkan atau salah bicara ketika berkomunikasi dengan seorang yang dihormati seperti Kiai. Berikut ini peneliti ingin mengetahui komunikasi horisontal yang terjadi di lingkup pesantren Al-Amnaniyah.

 

4.2.9. Komunikasi Antar Santri

Komunikasi antar sesama santri secara umum berjalan harmonis, karena para santri merasa mereka adalah teman atau saudara seperjuangan yang harus saling tolong menolong dan mendukung selama belajar di pesantren ini, tapi dilain pihak mereka adalah pribadi yang berbeda dan memiliki berbagai ego masing    masing. Seperti penuturan beberapa informan berikut ini mengenai kedekatan mereka dengan sesama teman.

Informan 1 mengatakan : “ya dalam urusan politik pun kita saling tukar informasi. Kadang mencakup tema-tema panas,” sembari menunjuk kampanye di pesantren.

Informan 2 : “Kalo kampanye politik sih kita sepakat untuk tetap netral. Anjuran Gus Wasik lebih kita dengar. NU kan ga boleh ikut mendukung siapapun di politik.”

Informan 3 : “kalau semua santri di depan kiai tentu akan mengikuti saran kiai. Tapi kalau sudah di luar, yang mau pilih siapa saja itu tak ada yang bisa mengontrolnya.”. Kedekatan hubungan antar  santri biasanya selain di dasari oleh kesamaan nasib tapi juga di dasari oleh latar belakang pendidikan dan asal daerah. Proximity (kedekatan) berupa asal daerah adalah faktor terkuat dalam menjalin kedekatan.

Walaupun di pondok pesantren hubungan antara santriwan dan santriwati sangat dibatasi namun menurut pengamatan peneliti, mereka masih tetap dapat bersosialisasi secara umum di sekolah maupun di organisasi. Dan pada waktu tertentu seperti hari libur santriwan diperkenankan mengnjungi asrama santriwati atau sebaliknya walau dibatasi oleh waktu dan di awasi oleh pengurus asrama atau keamanan.

 

4.2.10. Komunikasi Antar Kiai Dewan Majelis Dengan Non Majelis

Hubungan Kiai baik yang tergabung dalam majelis maupun non majelis bisa di kategorikan hubungan secara vertikal maupun horisontal, karena dewan majelis hanya terdiri dari delapan orang Kiai perwakilan dari masing-masing keluarga yang merupakan keturunan dari pendiri pondok.

Hubungan secara vertikal ini bersifat posisional dimana Kiai Dewan Majelis berada di pimpinan teratas dari organisasi dan posisi Kiai non majelis berada di bawahnya baik sebagai biro ataupun pengasuh saja. Hungan antar personal yang terjalin pun cukup baik karena setiap tiga bulan sekali para Kiai yang termasuk dalam struktur orgsnisasi maupun tidak selalu mengadaklan pertemuan untuk membahas problem – problem yang timbul di pondok pesantren baik problem organisasi maupun problem yang menyangkut keseharian para santri.

 

4.2.11.  Komunikasi Antar Kiai Pengasuh Asrama 

Selain pertemuan yang dilakukan pihak Kiai setiap tiga bulan sekali, maka setiap ada acara di salah satu asrama setiap pengasuh mencoba mengundang pengasuh asrama lain untuk hadir. Ini juga merupakan upaya untuk mengenalkan para santri kepada para pengasuh asrama lain.

Adapula upaya lain yang dilakukan pengasuh untuk memperkenalkan santrinya kepada pengasuh asrama lain yaitu mulai menganjurkan kepada santri baru untuk sowan kepada para pengasuh yang ada di pondok pesantren Al-Amnaniyah. Ini juga merupakan upaya pengasuh untuk menjaga hubungan baik dengan para keluarga non pengasuh agar tidak ada kecemburuan sosial di antara mereka.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi organisasi di pondok pesantren Al-Amnaniyah berdasarkan enam dimensi. Kepercayaan, pengambilan keputusan partisipatif dalam keorganisasian, kejujuran, keterbukaan dalam komunikasi ke bawah, mendengarkan pada komunikasi ke atas, perhatian pada tujuan berkinerja tinggi. 

Bagi kiai (keluarga pondok) sendiri haruslah meluangkan waktunya untuk terjun atau aktif dalam membina para santri karena santri hanya akan menghargai orang yang berjasa kepadanya seperti dalam suatu hadist disebutkan, “saidul qoum khaadamuhum” (pemimpin suatu kaum adalah orang yang melayani kaum itu). Jadi jika ingin disebut sebagai pemimpin maka para kiai ini harus melayani para santrinya.

 

4.3. Komunikasi Politik Ponpes Al Amnaniyah

4.3.1. Campur tangan Politik Dalam Pesantren dan Pandangan Alumni Terhadap Pilihan Politik AlAmnaniyah I dan II

Sejak Gus Taufik menjadi anggota DPRD Kabupaten Ngawi dan Sekretaris DPC PKB Ngawi, maka sejak itu, warna politik Al Amnaniyah berubah. Masyarakat melihat afiliasi politik Gus Taufik sebagai salah satu pengasuh Al Amnaniyah II, merupakan representasi pesantren yang diasuhnya. Meski Sikap Gus Wasik dalam hal ini lebih netral,-- tidak memihak salah satu parpol dalam Pemilu,-- namun tetap saja pengaruh partai PKB yang didukung Gus Taufik amat besar.

Buktinya, dukungan Gus Taufik pada PKB memberi keuntungan besar bagi pesantren Al Amnaniyah II yang ia dirikan pada akhir 1998-an itu. Selain keuntungan dukungan financial dari beberapa sumber dana partai, akses politik dan kekuasaan selama menjadi Anggota DPRD  Kabupaten Ngawi, memberi sumbangan yang tidak sedikit bagi perkembangan pesantren yang  dikelolanya.

Pengakuan dari para tenaga pengajar dan sejumlah pegawai lembaga pendidikan di Al Amnaniyah II mengungkapkan hal itu. Sementara secara politis, Gus Taufik juga memberi kontribusi suara signifikan bagi partai yang kini dipimpin Muhaimin Iskandar untuk wilayah Ngawi. Hubungan simbioses mutualisme (saling menguntungkan) ini terjalin sejak awal berdirinya PKB hingga kini.

Sementara Gus Taufik mengaku untuk menjalankan kegiatan lembaga pendidikan yang didirikannya ini selain murni dari swadaya, iuran pendidikan dan anggaran rutin dari Kemendiknas berupa dana BOS serta sejumlah sumbangan. Maklum saja, lembaga pendidikan Al Amnaniyah II terdaftar di Diknas dan kurikulumnya berbeda dengan Al Amnaniyah I yang berada di bawah Kementerian Agama. Sementara dukungan kepada PKB tidak memiliki kaitan dengan Al Amnaniyah II yang berlokasi di Desa Bangon, Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi ini. “Kami membangun pesantren ini dari modal sendiri dan iuran dari masyarakat. Jadi murni swadaya dan tidak ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Kalau pun saat ini mendapat bantuan dana BOS, itu setelah pesantren Al Amnaniyah 2 berjalan dan iuran rutin dari para santri dan pelajar juga berdatangan,” kata Gus Taufik (informan 1).

Dalam beberapa kesempatan setiap Gus Taufik mengisi pengajian dan ceramah agama yang berlangsung di beberapa daerah di Ngawi, selalu ia mengungkapkan visi misi yang mulia dalam membumikan nilai-nilai NU di ranah politik. Ia tentu saja tak pernah menyinggung urusan aliran dana apapun menyangkut kapasitasnya sebagai calon legislatif dalam kampanye pemilu, pengurus DPC PKB Ngawi, dan anggota DPRD II Ngawi.  Juga hal ihwal dukungan finansial bagi terselenggaranya kegiatan belajar mengajar di Al amaniyah II.

Sementera Gus Wasik berbeda. Dalam hal financial, afiliasi politik dan pandangan-pandangan ke-NU-annya secara tegas dan transparan ia ungkapkan di hadapan publik lewat acara pengajian umum, maupun pengajaran-pengajaran internal di pesantrennya. Ini menurutnya, harus diutarakan secara terbuka agar para santri dan masyarakat NU Ngawi yang lainnya bisa membedakan kepentingan politik dan kepentingan syiar agama.

Bagi Gus Wasik, komunikasi kepada warga NU dan masyarakat umum dilakukan dengan mengatakan apa adanya tanpa menggunakan bahasa yang bias kepentingan. Sebagai warga NU, katanya, ia harus menjaga jarak dari partai politik, pemerintahan daerah dan tawaran-tawaran ekonomi para pencari dukungan. Banyak pengakuan dari para santri dan alumni Al Amnaniyah yang mengungkapkan sodoran bantuan pembangunan masjid pesantren dari Pemkab Ngawi, dan dinas pendidikan kabupaten ditolaknya. Menurut Ahmad Subakir (informan dari alumni pesantren) pembangunan masjid Al Falah yang berada di dalam pesantren memang murni iuran dan infak dari kalangan santri sendiri dan beberapa sumbangan masyarakat sekitar.

Menurut Gus Wasik, pilihan untuk menggunakan dana masyarakat karena ia sebagai pengasuh pesantren ingin menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam bersodakoh. Pesantren memberi sarana beribadah bagi para santri, keluarga santri dan masyarakat lain untuk mendapatkan pahala dengan cara mengeluarkan infak, zakat, dan sodakoh untuk pembangunan masjid Al Amnaniyah itu. “Kalau semua kebutuhan pembangunan fisik masjid dipenuhi oleh Dinas Agama Pemkab Ngawi, maka masyarakat tidak punya tempat untuk beramal dong?” Kata Gus Wasik berdalih.

Namun sejatinya, pilihan tersebut bagi para santri dan guru (disapa kang) di Al Amnaniyah, sebagai wujud dari sikap tawadu kiai dalam menjalani hidup yang baik. Islam mengajarkan anjuran luhur untuk mencari nafkah, sumber rizki dari cara halal dan dana yang benar. Sang pencipta kata Gus Wasik, telah menggariskan masing-masing pihak sumber kemakmurannya masing-masing. “Kalau kita percaya pada pandangan itu, dan yakin akan karunia-Nya yang berlimpah, tentu tidak akan mencari sumber ekonomi dari wilayah ‘abu-abu’” tuturnya (wawancara November 2013).

Gus wasik memang tak mengatakan secara jelas apakah dana sumbangan Pemkab Ngawi tersebut dicurigai dari sumber yang tidak halal? Namun dalam pandangannya dan umunmnya  para santri, prinsip hidup yang benar tidak hanya dijadikan pengetahuan semata. “Tapi harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari,” kata santri senior Ahmad Subakir (informan 2).

Pengakuan subakir dibenarkan santri lainnya, H Sugeng (57). Menurut pengusaha pupuk organik ini, gurunya memiliki kepribadian yang kuat, jujur dan tak mudah menyerah oleh keadaan sosial-ekonomi yang menghimpit. Selama mengabdi di pesantren Al Amnaniyah sejak remaja (masa KH Soleman) ia mengetahui detail sejauh mana komitmen Gus Wasik dalam hal sumber dana pesantren. Ini berbeda dengan sang kakak, Gus Taufik yang tidak membeda-bedakan asal muasal dana untuk pembangunan pondoknya di Bangon.

Dalam ranah politik, Gus Wasik juga secara terang-terangan menolak DPC PKB Ngawi untuk mencalonkannya sebagai anggota legislatif, menolak sumbangan partai untuk membangun gedung pesantren dan banyak penolakan lainnya terkait jabatan di Organisasi PKB maupun Struktural PCNU. Pada akhirnya, sikap tegas dan netralitas Gus Wasik ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat dan tentu saja dari para alumni dan santri Al Amnaniyah. Sebagaimana ayahnya, KH Soleman, ia cukup luas wawasan ilmu keagamaan dan cara pengajarannya pun mudah dipahami. Prinsip moralitas yang dipegang Gus Wasik, mengikuti jejak panjang sang ayah dalam menjaga warisan pesantren dari sang kakek, dengan memegang teguh ajaran moral yang baik dan benar. Ini juga dipahami oleh pada santri-santri mereka dan masyarakat kebanyakan di wilayah Ngawi dan sekitarnya.

 

4.3.2. Campur Tangan Politik Dalam Pemilihan Ketua PCNU Ngawi

Sikap netral kiai NU seperti ini pula jamak dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Dari komunikasi politik yang terbuka yang dilakukan Gus Wasik, memberi warna berbeda dengan komunikasi politik yang dilakukan Gus Taufik. Meski keduanya, sama-sama memiliki dasar argumen yang kuat, namun pilihan-pilihan itu sebenarnya cermin dari perkembangan dunia pesantren NU ketika berhadapan dengan kekuasaan partai politik.

Kepentingan partai politik di satu sisi, dengan kepentingan pesantren NU di sisi lain, adalah dua wilayah yang senantiasa berinteraksi sepanjang dasawarsa terakhir. Sejak berdirinya PKB yang cikal bakalnya adalah para kiai-kiai besar di lingkungan NU, maka silang sengkarut tarik menarik kepentingan itu masih akan terus berlanjut, meski para tokoh NU yang juga pendiri PKB sudah tak ada lagi.

Bagaimana para kiai NU baik di pusat maupun di daearah memainkan opini politik mereka guna meraih dukungan dari khalayak NU yang jumlahnya besar? Inilah yang menjadi bahan kajian menarik yang tak akan habis-habisnya.

Bagiamana pola komunikasi para kiai itu dalam percaturan politik lokal mereka, juga apa saja alasan mereka melibatkan diri dalam pilihan politiknya itu? Tentu penelitian ini akan mencoba mengungkap argumen apa saja yang diutarakan para kader NU baik di Pusat dan Daerah, guna mendapatkan legitimasi dari warga NU sendiri.

Legitimasi inilah yang menjadi dasar dari beragam argumen mereka saat mereka menjatuhkan pilihan-pilihan politik dan setidaknya inilah bentuk pertanggungjawaban para kiai pada para santri dan warga NU pada umumnya. Ungkapan-ungkapan yang mereka utarakan dalam berbagai kesempatan kepada publik adalah bagian dari komunikasi politik, apalagi dalam kondisi saat ini dimana kepentingan partai politik sangat dan amat dominan dalam kehidupan politik nasional.

Partai politik dalam pengertian akademis, sangat menentukan para kader-kader mereka di daerah baik kader dari kalangan NU maupun luar NU. Kader-kader ini lebih banyak diatur dan ditentukan kepentingannya oleh para elit parpol. Bagi kader yang tidak menaati aturan main itu, tentu akan terpinggirkan, baik  secara jabatan maupun dikalahkan lewat pemilihan.

Sebut saja, proses pemilihan pengurus PCNU Kabupaten Ngawi yang dilakukan di Ponpes Al Amnaniyah I Talok, Karangjati, Ngawi, 12 November 2013 lalu. Para pengurus PCNU terpilih adalah kader-kader NU yang mendapat sokongan dana besar dari partai PKB, dan kader NU yang tidak memiliki kemampuan financial yang cukup akhirnya kalah suara. Ketua Tanfidziyah PCNU Ngawi H Isrodin dikenal memiliki usaha agrobisnis yang sukses dan DPC PKB Ngawi mendukungnya. Ia dengan kemampuan financial yang cukup, mampu mengendalikan suara peserta sehingga secara aklamasi ia terpilih lagi sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Ngawi untuk periode lima tahun mendatang.  Ia bisa mengatur permainan yang menurut pengakuan sejumlah peserta tergolong curang.

Bagaimana tidak, untuk menjadi bakal calon saja, ia bisa menentukan lolos tidaknya kandidat lain yang ingin bersaing dengannya. Suara peserta yang selama proses pemilihan berlangsung ia atur sedemikian rupa sehingga hanya dia seorang yang berhasil lolos. Dua calon  lain gagal memperoleh suara yang disyaratkan oleh panitia Konferensi Cabang (Konfercab) NU yang diselenggarakan di Ponpes Al Amnaniyah Talok Karangjati, Ngawi, 12 November 2013.

Praktik money politic yang ia lakukan diakui para peserta sendiri yang mendapatkan hak suara. Sekretaris MWC NU Kecamatan Paron, Wahyudianto, mengungkapkan sebelum acara Konfercab berlangsung, H Isrodin mengumpulkan sekitar 100-an peserta di Rumah Makan Karangasri untuk konsolidasi. Masing-masing juga mendapatkan uang akomodasi Rp 350 ribu  sebagai wujud solidaritas atas dukungan kepadanya. Bagi pengurus ranting dan MWC yang berasal dari Ngawi bagian barat, memang disediakan transportasi 3 bus untuk mengantarkan mereka ke tempat acara yang berada di Ngawi bagian timur (Karangjati).

Bagi pengurus ranting lain yang belum mendapatkan ‘akomodasi’ dari H Isrodin, mereka pun menanyakan hal itu kepada Koordinator. Selama proses pemberangkatan dari Ngawi barat ke Timur, semua peserta akhirnya mendapatkan ‘jatah’ yang sama melalui Kalam (coordinator pemenangan H Isrodin).

Dari kalkulasi perolehan suara, dan aktIitas lain yang dilakukan Kalam kepada peserta lain dari Ngawi Selatan, Utara dan Timur, akhirnya bisa diatur mekanisme pelolosan Isrodin sebagai satu-satunya calon untuk posisi Ketua PCNU (tanfidziyah) Ngawi. “Beberapa pengurus MWC dan ranting dari Bringin, Pangkur, dan desa-desa di kecamatan Padas juga banyak yang mendapatkan kucuran ‘dana akomodasi’ dari Isrodin melalui Kalam,” kata Wahyudianto.

Hal ini diakui Sekretaris MWC kecamatan Padas, Mualimin. Ia mengakui menerima dana akomodasi dari Kalam dengan persyaratan tidak menggunakan suaranya pada proses penjaringan bakal calon. Hal sama juga dibenarkan oleh ketua ranting NU kedungprahu, Mukhlis. “Saya dan pengurus dari Padas lain yang berjumlah 10 orang memang memperoleh uang itu. Dan saya yakin para pengurus ranting dari ploso, dero dan desa-desa di kecamatan pangkur ikut menerima dana yang sama. Saya telpon sarmidi di Pangkur, katanya memang menerima,” ucap Mukhlis (Informan 3).

Menanggapi tudingan itu, koordinator pemenangan H Isrodin, Muhamad Kalam, mengatakan kalau bantuan dana Rp 350 ribu per orang itu tidak terkait pencarian dukungan bagi Isrodin. Sebagai ketua PCNU yang masih terpilih periode sebelumnya, tentu tak ada salahnya jika para kader-kader NU yang berasal dari wilayah jauh dari lokasi acara Konfercab diberi bantuan. “Kami memang juga yang menyediakan angkutan bus kota itu,” ujar Kalam (wawancara informan 4).

Proses pemilihan pengurus NU di Ngawi kenyataannya, didominasi oleh kekuatan suap yang dilakukan oleh calon terpilih. Sementara KH Wasik Amruri yang dikenal jujur, sederhana, dan tidak menggunakan dana apapun untuk mencari dukungan pemilih, kalah. Informasi lebih detail tentang bagaimana praktik money politic menentukan kemenangan H Asrori sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Ngawi diungkapkan Sekretaris MWC Kecamatan Bringin, Sawilan (informan 5).

Sebagai bentuk tanggungjawab moral kepada organisasi, sawilan menolak untuk mengakui kepemimpinan H Isrori karena cara-cara yang ia lakukan untuk menang dalam Konfercab akhir 2013 kemarin, tidak benar. Sebagai salah satu pendukung dan santri Gus Wasik, ia berpendapat bahwa tradisi kejujuran di lingkungan NU, sudah mulai luntur. Praktik money politik yang dijalankan H Isrodin justru mendapat sambutan luar biasa dari para pengurus ranting NU lain. Ini menandakan bahwa para peserta Konfercab sendiri banyak yang sudah mengganggap money politic sebagai hal wajar dan tidak lagi dipandang ‘tercela’.

Dalam wawancara, Gus Wasik secara eksplisit tidak terang-terangan menuding praktik money politik terjadi pada Konfercab 2013 lalu. Namun, ia menengarai ada perubahan pandangan hidup yang dialami para pengurus NU daerah tentang memaknai proses politik yang terjadi.

Pada acara Konferensi Cabang (Konfercab) NU Ngawi, yang diselenggarakan di Ponpes tempatnya, 12 November 2013, Gus Wasik tak begitu ngotot untuk memenangkan pemilihan. Ia mundur dari proses pemilihan lanjutan setelah proses penjaringan untuk penetapan bakal calon berakhir. Dia sebenarnya mendapatkan dukungan 256 dari selisih 12 suara saja dari pesaingnya. Namun ia menyatakan menyerahkan kepercayaan pada kandidat lain yakni, KH Abdul Azis untuk jabatan Rais Syuriah PCNU Kabupaten Ngawi periode 2014-2019.

Sementara Ketua Tanfidziyah PCNU, KH Isrodin juga terpilih untuk kedua kalinya melalui proses yang hampir sama. Pada seleksi bakal calon Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten Ngawi, ia satu-satunya kandidat yang lolos seleksi bakal calon dalam Konfercab tersebut. 

Kendati proses pemilihan berlangsung lancar dan cepat, beberapa peserta mengaku ada permainan kotor dibalik kemenangan Ketua Tanfidziah dan Syuriah PCNU Ngawi. Sekretaris Umum MWC (Musyawarah Wilayah Cabang) Bringin, Sawilan, mengungkapkan bahwa para kader NU yang menjadi pengurus ranting dan MWC di sebagian besar wilayah ngawi, tak memiliki kepekaan pada kearifan, kejujuran, dan nilai-nilai kebaikan sebagaimana diajarkan di dunia pesantren.

Notabene para pengurus ranting dan kader NU yang ia kenal, lebih mudah menganggap uang bantuan dari siapapun sebagai satu bentuk rizki. Para kader di bawah itu lanjutnya, bukan melihat ‘bantuan’ baik berupa uang dan tawaran-tawaran reward lain (seperti janji posisi kepengurusan di jajaran PCNU) sebagai bagian dari suap.

Kendati mereka mengerti itu suap, pengurus ranting --yang sebagian juga adaah kawan dekatnya itu,-- tidak terlalu peduli apakah praktik itu akan merugikan bagi moralitas masyarakat atau tidak. Orientasi para kader lebih pada pencapaian materi dalam waktu singkat dan meski hanya untuk sesaat. Sawilan menunjuk bukti suap yang dilakukan calon bupati Ngawi yang kini terpilih, Budi Sulistiyo (Kanang) kepada ketua PCNU Ngawi.

Meski Isrodin menolak anggapan adanya suap berupa satu unit kendaraan Toyota Innova untuk pemenangan calon bupati Kanang pada periode 2010-2015, tapi sejumlah pengakuan dari tim sukses Kanang, dan pengurus PCNU lain menunjukkan bukti berbeda. Secara teknis kendaraan tersebut diberikan melalui skema kredit (angsuran) yang selama proses pembayaran ditanggung oleh Kanang. Meski skema pembelian kendaraan atas nama Isrodin, tapi jika dalam proses pemilihan bupati 2010 para pengurus dan kader NU Ngawi tidak membuktikan dukungan suaranya, maka Kanang tidak akan membayar angsuran selanjutnya. “Skema ini kami berikan kepada para tokoh NU lain yang ada di Bringin, Paron dan daerah lainnya,” kata Agung, salah satu orang kepercayaan bupati Ngawi terpilih, mengungkapkan (wawancara informan 7, tim sukses bupati terpilih).

Agung mengungkapkan salah satu tokoh NU yang memiliki pesantren di Bringin, awalnya menerima sumbangan mobil untuk pesantrennya berupa Toyota Avansa. Tapi perolehan suara dari kantong NU yang ada di daerahnya tidak menunjukkan suara yang signifikan, akhirnya bantuan ‘suap’ untuk tokoh itu tak dilanjutkan. Artinya, untuk proses kredit mobil yang sudah dibayar down payment (DP) nya oleh tim sukses Kanang, setelah pemilihan selesai, tak diteruskan. “Kami paling hanya kehilangan uang DP (kredit kendaraan) saja, setelah itu biar mereka (tokoh-tokoh  NU) itu yang akan meneruskan pembayaran kreditnya,” imbuh Agung. 

Kasus suap kepada para kader NU baik pada proses pemilihan kepala daerah maupun pemilihan-pemilihan jabatan lain di lingkungan structural NU sudah terjadi sejak lama. Bagi Sawilan, praktik itu merupakan bantuk kelunturan moral yang sudah mewabah di masyarakat tidak hanya NU saja. Siapapun mereka bila dihadapkan pada tawaran kemudahan yang bersifat duniawi tanpa melihat aspek moralitas di dalam menentukan pilihan politiknya, akan mudah menerima suap secara biasa. Seolah kegiatan suap menyuap dalam proses pemilihan jabatan politis sebagai hal wajar dan sudah semestinya diterima apa adanya.

Padahal bagi Sawilan, penerimaan uang suap sebagai bagian dari bentuk perbuatan tercela yang mesti dijauhi keberadaannya. Nilai-nilai yang tertanam pada diri semua santri yang pernah menekuni dunia belajar mengajar di pesantren Al Amnaniyah dengan gus wasik sebagai kiai mereka, tentu akan mengerti hal itu. Tidak semua santri memang memahami apa-apa yang baik dan yang tidak baik. Banyak hal yang menjadi catatan selama menyelami pemikiran kiai pengasuh pesantren Al Amnaniyah I itu bila sudah mengenalnya.

Pandangan para santri terhadap Gus Wasik, tak terbatas pada sosok tauladan yang patut mereka tiru dalam kehidupan sehar-hari. Tapi tatacara hidup zuhud yang ia ajarkan merupakan bentuk perlawanan terhadap merebaknya dekadensi moral yang terjadi di masyarakat sekitarnya. Hasil wawancara dengan semua informan, peneliti menemukan satu kesamaan penilaian pada diri Gus Wasik sebagai figure pengasuh pesantren yang meneruskan sifat sang ayah (KH Soleman) dan kakeknya (KH Amnan). Sifat-sifat itu kata mereka, menurun pada diri Gus Wasik, dengan tata cara hidup jujur, sederhana dan tidak terlibat pada dunia kebendaan.

Ajaran paling mengesankan yang dialami para santri termasuk Sawilan, adalah bagaimana memprioritaskan hal ihwal kehidupan yang kekal. Dunia akherat, penerimaan amal dan ibadah oleh sang Khalik, menjauhi perbuatan tercela, menganjurkan perbuatan baik (amar ma’ruf nahi mungkar), dan beragam konsep tentang kema’rifatan. Keyakinan pada semua ajaran sang kiai mutlak dilakukan dalam ranah sosial.

Bagi gus taufik, justru keyakinan pada ajaran-ajaran itulah yang juga mesti disebarkan dan dijalankan di ranah politik. “kita jangan apriori pada politik, tapi bagaimana mengubah budaya politik yang kotor itu menjadi lebih baik. Itulah tugas kita,” kata Gus Taufik (wawancara informan 1).  Meski dalam beberapa hal, ia tak menampik banyak sumbangan dari pihak luar, namun sumbangan-sumbangan itu menurutnya, tidak bermotif kepentingan. Kecuali kalau sumbangan itu berpengaruh pada sikap politiknya, maka itu sudah bentuk suap. Selama ini ia mengaku sumbangan ke Amnanniyah II murni tercatat secara sah baik dalam bentuk BOS (kemendiknas) maupun dari para donator yang menyebutkan niatnya memang untuk amal. “Kalau ada sahabat kita memberi bantuan agar ia dapat beramal, kita tak boleh menolaknya. Karena pembangunan pesantren bagaimanapun akan memberi manfaat baik bagi masyarakat maupun pemberi donator. Terkecuali kalau bantuan ke pesantren itu dalam rangka pemenangan salah satu calon bupati, misalnya. Itu yang tak boleh dilakukan,” ucap Gus Taufik.

Kasus pemberian bantuan dari salah satu calon bupati Ngawi ke pengurus NU, menurutnya, tidak bisa dibenarkan. Ia mengakui praktik suap telah menjadi kelumrahan di lingkungan NU. Ini lantaran dalam banyak hal para kader dan warga NU melihat kenyataan politik baik di tingkat propinsi maupun nasional yang menampakkan dinamika yang sama.

Sebut saja pada setiap acara pemilu, maupun pemilihan presiden, para pemimpin (elit) NU di tingkat nasional menyambutnya dengan gegap gempita. Hajatan besar itu dipandang sebagai bagian dari momen untuk bertarung pada wilayah politik, dan ironisnya yang dipertontonkan oleh mereka adalah praktik politik praktis. Para tokoh NU nasional tersebut, kata Gus Taufik, cenderung mengejar pencapaian kekuasaan semata, tanpa membawa misi mulia dari para pendiri NU di masa lalu.

Untuk membuktikan hal itu, Gus Taufik memberi contoh pada komentar para pemimpin NU di Jakarta, yang melakukan komunikasi politik secara verbal. Kalaupun mereka menggunakan dalih agama dan ajaran-ajaran Aswaja sebagaimana dianut NU, itu hanya untuk menutupi realitas politik yang sebenarnya.

Senada dengan Gus Taufik, pandangan yang tak jauh berbeda diakui Gus Wasik. Dalam wawancara November 2013 lalu, mantan Rais Syuriah PCNU Ngawi itu melihat banyak tokoh NU nasional terjebak pada kegiatan politik praktis. Ini memang menjadi preseden yang kurang baik bagi warga NU di bawah. Pola serupa akan ditiru dan dilakukan para kader dan tokoh-tokoh NU lokal untuk mencari legitimasi atas kegiatan politik yang sama.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa pada Muktamar NU di Makassar, para kandidat Ketua Umum PBNU menggunakan praktik suap kepada para peserta yang dari daerah. Para pengurus PCNU dari seluruh kabupaten di Tanah Air, menjadi sasaran perebutan suara oleh para kandidat. Praktik suap kepada peserta Muktamar saat itu, diketahui oleh Gus Wasik sendiri yang saat itu hadir mendampingi Pengurus PCNU Ngawi. “Saya sendiri mengetahui bagaimana tim sukses masing-masing calon, menawarkan sejumlah dana untuk dukungan yang akan diberikan,” kata Gus Wasik yang dibenarkan Gus Taufik. Jadi dalam pemilihan pengurus PBNU saja seperti itu, maka bisa dibayangkan perilaku yang terjadi di tingkat kabupaten.

Tentu saja, ini menjadi preseden buruk bagi NU di Ngawi. Kiblat para kader dan pengurus NU di daerah tak lagi melihat bahwa praktik lacung itu tidak baik. Mereka memaklumi bahwa siapa yang membayar dengan nilai rupiah lebih besar akan mendapatkan dukungan. Parameter pemimpin NU terpilih dengan demikian bukan lagi pada kepribadian sang tokoh yang baik budi pekertinya, jujur, sederhana dan amanah menjalankan tugas organisasi NU di daerah, melainkan murni hanya suap.

Ironisnya, kekuatan financial untuk memenangkan calon pemimpin NU di daerah datang dari parpol. PKB yang memiliki kepentingan peraihan suara mereka di daerah Ngawi dan sekitarnya, merasa perlu untuk mengegolkan calon-calon pengurus NU yang mereka dukung dengan sokongan dana. Praktik ini terungkap dari pengakuan para peserta pemilihan pengurus NU di Puhti, Ngawi, 2012 lalu.

Bentuk intervensi partai politik dalam ranah organisasi NU, membawa implikasi besar bagi proses belajar mengajar di Pondok Pesantren Al Amnaniyah I dan II, Karangjati Ngawi. Bagi pengasuh pesantren NU yang memiliki afiliasi politik tertentu, dukungan parpol membawa perubahan pada meningkatnya pembangunan fisik bangunan pesantren yang bersangkutan.

Perolehan dukungan financial pesantren, memang tidak serta merta datang langsung dari partai yang menopangnya, melainkan juga dari jaringan lobi kader partai tersebut di tingkat pemerintahan dan legislatIe. Dinas pendidikan setempat misalnya, tentu akan sulit menolak tekanan yang diutarakan salah satu fraksi di DPRD kabupaten maupun provinsi untuk membantu pesantren yang mereka dukung.

Jaringan lobi di parlemen dan pemerintahan inilah yang menjadi alasan pihak Diknas untuk memasukkan pesantren yang bersangkutan masuk dalam daftar program pengembangan pendidikan yang dilakukan Kemendiknas. Inilah awal muasal alokasi dana BOSS misalnya, bisa dengan mudah didapatkan sejumlah pesantren NU di daerah-daerah.

Jaringan dukungan dari parlemen tempat para kader NU berkecimpung, menjadi sumber kekuasaan yang menentukan bagi perolehan anggaran pemerintah untuk bidang pendidikan. Sementara dukungan para pengasuh pesantren NU kepada parpol yang bersangkutan senantiasa bisa berubah dan tidak tetap. Bagi masing-masing parpol, menarik dukungan para kiai NU tentu akan menguntungkan secara politik. selain perolehan suara, legitimasi politik bisa didapatkan dari suara yang datang dari dunia pesantren tersebut.

Hal ini tentu dimanfaatkan para kiai-kiai NU untuk memainkan bidak catur mereka dalam ranah politik. penelitian ini tentu tidak akan mengurai lebih jauh masalah seperti itu, namun pada komunikasi yang digunakan para kiai saat mereka berhadapan dengan kepentingan parpol. Oligharki parpol dengan kepentingannya seperti itu, dalam hal ini, tentu hanya sebagai variabel saja dari potret komunikasi yang terjadi di lingkungan pesantren NU.

Lebih lanjut, komunikasi politik, Gus Wasik dan Gus Taufik menjadi contoh karakteristik dan perilaku politik kiai-kiai NU baik di Jawa Timur, dan Jawa Tengah serta kiai NU pada umumnya. Di satu sisi, mereka yang meyatakan penolakannya pada kegiatan politik (apolitik) kecuali politik kebangsaan, dan mereka terlibat dalam kegiatan politik (politis), baik politik kepartaian maupun perseorangan (Pilkada, Pilpres, dan pemilihan legislatif).

 

4.3.3. Sikap Politik Pengasuh Pesantren

Sikap dan pandangan politik pengasuh pesantren Al Amnaniyah sebagaimana digambarkan di awal bertolak dari perbedaan penafsiran pada ajaran Islam sendiri. Bagi sebagian umat Islam khususnya warga NU, hubungan antara Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Sementara yang lain berpendapat bahwa tugas politik NU tidak seperti yang dilakukan para kadernya yang berorientasi pada posisi-posisi politis semata baik di pemerintahan maupun legislatif. Tapi perjuangan politik yang lebih luas, yakni, kerakyatan dan kebangsaan.  

Bila demikian yang terjadi, maka tugas para ulama untuk membumikan ajaran-ajaran ahlussunnah waljamaah dan memberdayakan warga NU yang notabene masih terbelakang, menjadi terhambat. Dalam perkembangannya, NU senantiasa lebih dijadikan kendaraan saja dan sumber legitimasi bagi kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan.

Dalam catatan sejarah, hubungan antara NU dan politik tak selalu membawa implikasi positif bagi umat. Umumnya, para elit NU yang terpilih dalam posisi politik tertentu, acapkali lupa pada misi dakwah yang seharusnya mereka emban. Umat NU masih bisa membedakan antara kepentingan pribadi aktor politik yang mereka pilih dengan yang tulus memperjuangkan aspirasi warganya.

Selain itu, prinsip-prinsip islam Ahlussunnah wal jamaah yang dijunjung tinggi sebagai pandangan hidup warga NU, tidak memberi tempat pada watak keserakahan, cinta duniawi, kekayaan dan juga kekuasaan yang ada di dunia politik. Konsep hidup aswaja, menurut mereka, bertolak belakang dari sifat-sifat manusiawi yang seperti itu. Tak heran, jika figur pemimpin spiritual yang tepat bagi mereka adalah para kiai, alim ulama yang hidupnya zuhud (sufi), sederhana, tidak ambisius, dan menjauhi arena politik.

Banyak contoh ulama NU yang dijadikan rujukan mengenai sifat hidup yang baik itu yang patut jadi tauladan oleh santrinya. Gus Wasik menyebut nama-nama kiai sepuh di awal masa perjuangan seperti pendiri NU KH Hasyim Asyari, KH Cholil Bangkalan, KH Wahid Hasyim, KH Mustofa Bisri, KH Sahal Mahfudh, dan  lainnya.

Ini berbeda dengan peran politik yang dijalankan para politisi dari NU masa sekarang.  Notabene mereka hanya menjadikan NU sebagai kendaraan politik dan parahnya lagi, menyerahkan suaranya untuk instrument pencarian legitimiasi bagi pusat-pusat kekuasaan. Tentu saja, para politisi itu mendapat imbalan dari sikap politik dan dukungannya tersebut berupa keuntungan yang bersifat material. Praktik suap dan korupsi,--meski dalam ranah ini perlu kajian lebih dalam,-- sudah sedemikian dalam memasuki wilayah sakral dalam tubuh NU, yakni Pesantren.

Bagi pengasuh Ponpes Al-Amnaniyah, Gus Wasik, kenyataan seperti itu sudah ia pahami sejak lama. Jauh sebelum ketua umum PBNU KH Abdurrahman Wahid membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mewadai aspirasi politik warga NU, banyak kiai di pedesaan Jawa sudah mampu melihat arah dan kemungkinan mobilisasi warga NU untuk memasuki bidang politik kepartaian.

Legitimasi Gus Dur (sapaan Abdurrahman Wahid) saat itu kata Gus Wasik, cukup kuat di kalangan warga nahdliyin. Setelah diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim Soeharto selama Orde Baru berkuasa, simpati cukup besar tentu akan diberikan kepada cucu pendiri NU itu. Ini terlihat setelah Rezim Orde Baru runtuh, tak ada yang berani menyanggah legitimasi Gus Dur dalam ranah politik bahkan hingga menjadi presiden RI keempat.

Namun, seiring perkembangan politik, pencarian sumber kekuasaan dan dukungan politik akan menyeret NU sebagai organisasi dalam sebuah dilema. Satu sisi amanat Khittah untuk mundur dari kegiatan politik praktis, sementara sisi lain perlunya warga NU memberikan support politik bagi pemimpin mereka yang sangat dihormati. Tarik menarik diantara dua kutub inilah yang akan menentukan perilaku dan komunikasi politik para kiai NU yang ada di bawah.

Bagi gus wasik, pilihan menjauhi panggung politik konsisten ia pegang sampai kapanpun. Dalam wawancara dengan peneliti, ia mengungkapkan bahwa apapun alasan orang menekuni peran politis baik di DPRD maupun Kepengurusan PCNU di Ngawi, akan membawa konskuensi spiritual dan sosial yang akan mereka terima.

 

4.4. Komunikasi Politik Pengasuh Pesantren

Bagaimana komunikasi politik yang mereka jalankan? Dari analisa di lapangan, peneliti menemukan kaitan mendasar antara pilihan politik para elit NU yang ada di pusat (pengurus NU di tingkat wilayah (PWNU dan PBNU) dengan pilihan politik para kiai pengasuh pesantren di tingkat kabupaten.

Para kiai NU di tingkat kabupaten menggunakan referensi para elit NU yang ada di propinsi dan pusat guna menyikapi masalah-masalah yang mereka hadapi di daerahnya. Peran para elit NU tersebut dengan mudah dipahami dan ditafsirkan oleh para kiai di Kabupaten untuk mengarahkan kebijakan-kebijakan serta retorika yang mereka gunakan untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat dan warga NU khususnya.

Dalam beberapa kesempatan, Gus Wasik dan Gus Taufik mengungkapkan bahwa dalam melihat realitas politik di tingkat nasional, alasan mereka sependapat dengan pilihan politik para kiai sepuh baik di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jakarta yang menjadi referensi dalam setiap ceramahnya. Pertimbangan itulah yang menjadi dasar menentukan pilihana-pilihan politis. Bagi Gus Taufik, kiprah Gus Dur dalam politik adalah contoh nyata bahwa warga NU memiliki hak sama dengan warga lainnya untuk memperebutkan posisi politik baik di tingkat legislatif maupun pemerintahan.

Argumen rasional yang ia kemukakan menyatakan bahwa mengamalkan ajaran agama ‘amar maruf nahi mungkar’ tidak cukup melalui dunia pendidikan pesantren yang ia kelola. Dakwah islam akan lebih membumi melalui bidang politik dan gaungnya akan lebih luas. Ia mengungkapkan pandangan-pandangan politik keagamaannya itu melalui ceramah-ceramah dan pengajian rutin setiap minggu di pesantrennya, dan beberapa kesempatan seperti acara khatmil (khataman alquran). 

Semantara bagi Gus Wasik, sikap politik Gus Mus (KH Mustofa Bisri) dan KH Sahal Mahfudh, adalah tauladan yang baik bagi kader NU di daerah. Kedua tokoh NU itu tak mudah tergiur oleh tarik menarik kepentingan politik yang memasuki Organisasi NU. Baik secara structural dan cultural, NU harus membatasi diri pada kegiatan-kegiatan sosial yang tidak melibatkan diri pada politik kekuasaan.

 

4. 4.1. Tauladan Sikap Elit NU Bagi Kader Di Bawah

Bahkan untuk menegaskan sikapnya itu, KH Sahal adalah orang yang mengusulkan agar ada reorientasi NU untuk pembelaannya pada paham kebangsaan dan keutuhan NKRI semata. Bukan pada urusan politik praktis seperti sekarang.

Awalnya memang pada isu disintegrasi bangsa sejak wal pasca runtuhnya rezim Orde Baru. NU sebagai bagian dari bangsa Indonesia, melalui sejumlah elitnya turut merespons isu NKRI yang diusahakan dan yang dipetahankan oleh NU bukan sembarangan NKRI, tetapi NKRI yang benar-benar bebas dan mandiri dari segala intervensi asing.

Dalam pernyataannya mengenai isu tersebut, Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh mengungkapkan dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Ia menegaskan, bukan menunjuk suatu hal yang ada sudah sempurna, justru saat ini terlihat berbagai problem yang dihadapi oleh NKRI. Selain persoalan sparatisme, soal pudarnya identitas nasional, maka saat ini serangan terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa ini juga semakin gencar, sehingga ketahanan nasional, baik dari segi akidah, ideologi, politik dan ekonomi juga mengalami kebobolan.[23]

Sebagai akibat dari semua itu, menurut Rais Aam Syuriah PBNU itu, pemerintah dan negara kehilangan kemampuannya untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Munculnya berbagai kelompok ekstrem yang manggangu keutuhan bangsa, serta menganggu ketenangan tradisi dan budaya masyarakat lokal, belum mendapat jaminan dari pemerintah yang ada. Terlebih lagi soal kesejahteraan rakyat saat ini benar-benar memprihatinkan, karena hampir semua sektor ekonomi yang strategis diserahkan pada pihak asing, sehingga hasilnya tidak bisa ditasyarufkan untuk kepentingan rakyat, tetapi dihisap oleh bangsa lain yuang sengaja menjajah bangsa ini.

Sudah semestinya penegasan Kiai Sahal tersebut direspons oleh elit NU lainnya serta warga NU secara keseluruhan, sehingga bisa dirumuskan sebagai agenda kerja. Agenda itu kemudian diaplikasikan sebagai sebuah gerakan nyata. Ini arti sesungguhnya bagi penegasan pada NKRI, bahawa ini siap mempertahankan, siap membela dan berjuang serta melawan siapa saja yang mengganggu  atau mengancam keutuhan NKRI. Yang di dalamnya termasuk usaha untuk mengikis komitmen pada Pancasila dan upaya pengikisan paham kebangsaan. Dalam hal ini, menjalankan kehidupan, NU berangkat dari nilai spiritualitas, yang kemudian mengapliksikannya dalam realitas, sehingga lahirlah manusia yang memiliki integritas. Dengan adanya integritas moral dan intelektual itu, maka NU bisa menjadi panutan, baik oleh warganya sendiri dan oleh seluruh bangsa ini. Penegasan pada NKRI yang dilakukan NU, dengan demikian bukan penegasan yang kosong, tetapi penegasan yang penuh makna dan syarat nilai, sebab penegasan itu dilandasi beberapa prinsip sebagaimana yang disebutkan di atas, baik bersumber dari Islam maupun Pancasila. Itulah landasan pertama dalam memerkuat kesatuan dan keutuhan negeri ini.[24]

Dari segi proses perumusannya, Pancasila sangat cocok dengan tradisi pemikiran yang berkembang di NU, yang mempertemukan agama dengan realitas empirik, sebagai upaya menghormati tradisi dan budaya yang sudah ada. NU tidak ingin agama dan sistem ketatanegaraan yang dibangun lepas dari nilai agama dan tercerabut dari akar kultural. Adanya kesamaan metode serta filosofi itulah NU menetapkan Pancasila sebagai pilihan terbaik. Bukan terpaksa memilih atau pilihan buruk.[25]

Pancasila dan NKRI bukan pilihan sebenarnya, melainkan hanya pilihan taktis, sebab bagaimanapun Pancasila memiliki prinsip yang bisa menghambat selera liberal mereka. Bagaimanapun Pancasila tidak sesuai dengan Undang-Undang yang telah mereka amandir. Maka ketika mereka menegaskan pancasila, maka Pancasila juga akan mereka amandir dan dimodulir agar sesuai dengan UUD yang sudah sangat liberal. Bagaimanapun Pancasila masih mengangkat sistem permusyawaratan dan menjunjung keadilan, sebuah prinsip yang tidak mereka kehendaki. Bagi NU problem relasi agama vis a vis negara sudah selesai sejak keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo melalui penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Momentum ini juga dimanfaatkan NU untuk menyatakan diri sebagai organisasi sosial keagamaan dengan kembali ke khittah 1926.[26]

Berbeda dengan kelompok NU, ketika Pancasila digunakan Orde Baru untuk menstigma kelompok lain, tanpa ragu-ragu NU malah menegaskan Pancasila sebagai landasan kehidupan bersama yang harus diberi muatan kemanusiaan dan keadilan. Karena itu ketika proses desintegrasi bangsa ini kembali mengancam, maka NU juga menegaskan kembali kesetiaannya pada Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan karena takut pada kelompok Islamis atau risau terhadap kelompok liberal, melainkan sebagai sebuah pilihan pasti, mengingat kebaikan substansinya.

Pancasila merupakan jalan tengah antara liberalisme, komunisme dan Islamisme, sebagaimana yang terjadi dan disepakati pada awal perumusannya. Ketika jalan tengah itu kembali dibelokkan oleh kelompok Islamis yang menghendaki ditegakkannya Negara Islam. Dan juga tarikan kelompok sekuler yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal, dengan mangamandemen konstitusi habis-habisan, maka NU kembali meluruskan, menegakkan kembali dan menegaskan kembali komitmennya pada Pancasila dan UUD 1945, agar tidak terus dibelokkan.

Penegasan itu tidak hanya dari pengurus Tanfidziyah, tetapi juga dari jajaran Syuriyah, sebagaimana ditegaskan oleh KH Ma’ruf Amin bahwa kalau NU dihadapkan pada pilihan Negara Islam atau Pancasila, maka NU dengan tegas akan menghatakan tetap meilih Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan alasan Pancasila merupakan pemikiran terbaik bangsa ini dan merupakan kesepakatan terbaik  dari bangsa ini, maka keberadaannya harus dipertahankan untuk mewadahi keanekaragaman yang ada. Hal sama juga ditegaskan oleh KH Hasyim Muzadi dihadapan para Pengurus PBNU dan wilayah. Sangat jelas antara NU dengan kelompok lain dalam menyikapi Pancasila.[27]

Implementasi politik kultural atau moral-kebangsaan NU pasca Orde Baru sebagai cerminan komitmen NU untuk meneguhkan Khittah NU 1926. Selepas NU dari partai politik pasca kembali ke Khitah 1926, sesungguhnya NU telah kembali menempuh jalur kultural. Politik kultural itu muncul sebagai pengejawantahan dari moral force yang dimilikinya. Dengan massanya yang besar, dengan pengaruhnya yang besar dan dengan kekuatan moralnya yang besar pula, maka sebenarnya NU tidak hanya memiliki kekuatan politik secara kultural atau politik moral, yakni bagaimana bisa mempengaruhi proses perjalanan bangsa ini, tanpa berharap memperoleh kekuasaan. Tetapi dengan kekuatan itu NU dengan sendirinya juga memiliki kekuatan politik formal, untuk meraih kekuasaan.

Kalau kekuatan kedua itu diambil, maka NU akan kehilangan jati diri sebagai organisasi sosial keagamaan, karena secara substansial telah berubah menjadi organisasi politik riil. Hal itu sebenarnaya yang dikhawatirkan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh pada Rapat Pleno PBNU beberapa waktu lalu, sehingga ia menegaskan agar NU tetap memegang perannya dalam menjalankan politik kultural, yaitu agar NU selalu berupaya mempengaruhi proses kemajuan bangsa ini, tanpa berharap imbalan kekuasaan.[28]

Selain itu pernyataan tersebut juga sebagai bentuk penegasan terhadap problem politik nasional dewasa ini, ketika para politisi tidak lagi peduli lagi terhadap nasib bangsa ini, karena masing-masing sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sementara negeri ini menghadapi ancaman yang sangat besar. Dari dalam dirongrong oleh para penjahat ekonomi dan para penjahat politik, sementara dari luar diancam berbagai intervensi dan inflitrasi yang sangat gencar dilakukan untuk memporakporandakan keutuhan negeri ini.

Dalam situasi galau semacam ini NU perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap keutuhan bangsa ini. Oleh karena itu mempertahankannya merupakan suatu kewajiban, baik diminta atau tidak, bahkan dihalangi sekalipun NU akan tetap melakukan sebagai sebuah tanggung jawab moral. Politik kultural memang tidak popular, bahkan beresiko, untuk membela keutuhan republik ini melawan berbagai pemberontakan, atau melawan kampanye negatif dari negara asing,  NU sering dituduh sebagai kelompok oportunis yang mengikuti apa saja kemauan negara. Sikap itu juga sering dianggap NU sebagai organisasi yang chauvinis dan konservatif bahkan dianggap fasis, karena pikiran ini sejalan dengan sikap tentara. Dengan berbagai caci-maki dan nistaan itu NU tetap dengan pendiriannya, karena semuanya dijalankan dengan penuh perhitungan, niat yang lurus untuk membela kemaslahatan bangsa dan rakyat. Itulah rasionalitas politik NU dan rasionalitas politik kultural dalam rangka politik kebangsaan yang dijalankannya.

Sikap kebangsaan NU bahkan telah dikukuhkan dalam khittahnya, sebagai ukhuwah wathoniyah, yang menegaskan pentingnya solidaritas kebangsaan. Visi kebangsaan itu mempunyai dua arah dan tujuan, baik sebagai upaya menjembatani berbagai perbedaan etnik, agama dan cultural yang ada, maupun untuk menghadapi berbagai serangan militer, budaya dan politik dari luar. Karena itu di dalam negeri NU berupaya menjaga harmoni kehidupan antar komponen masyarakat, sementara keluar berusaha menempatkan diri sebagai penekan dan pengawal bangsa ini. Tugas itu terus diemban NU walaupun penuh risiko, termasuk risiko dikecam oleh kawan sendiri, tetapi itu sebuah tugas suci, karena itu tetap dijalankan.

Dalam mengatasi krisis keorganisasian yang dihadapi NU di tengah kancah perpolitikan nasional yang sedang goncang saat ini, maka solusi yang ditawarkan oleh Rois Aam dalam pidato iftitahnya untuk kembali menegaskan gerakan politik moral NU adalah sebuah langkah yang sangat tepat dan sekaligus relevan untuk saat ini. Suatu solusi yang sangat ditunggu dan sangat diharapkan, muncul dari seorang pemimpin tertinggi NU dalam mengemudikan organisasi ulama ini di tengah gelombang politik dan kekuasan. Untuk itu, NU harus  berpegang teguh pada prinsip-prinsip khittah. Kekurangteguhan dan kekurangpahaman terhadap nilai dasar NU baik yang dituangkan dalam khittah maupun Qonun Asasi itu membuat  NU limbung dalam menghadapi topan politik, sehingga NU secara kelembagaan terseret arus akhirnya tercampur aduk  dengan urusan politik  sehingga kalau terus dibiarkan lambat laun NU kehilangin visi dan orientasi  kejamiyahannya. Arah ini yang selalu dijaga oleh segenap jajaran pengurus PBNU syuriyah dan tanfidziyah.[29] 

Penegasan kembali pada politik moral sebagai penguatan moralitas warga, sehingga kaum Nahdliyin kembali mampu menghayati dan mengamalkan moralitas ke-NU-an dalam segala aspek kehidupan, yang diwarnai dengan pola hidup sederhana ditengah kehidupan yang rakus dan serba duniawi. Menjujung nilai kejujuran di tengah suasana yang penuh dengan manipulasi, menegakkan rinsip keadilan di tengah masyarakat yang timpang, baik dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam arti itulah politik warga NU dijalankan sebagai sarana penegakan moral.

Penegakan politik moral ini mempunyai dua alasan yang sangat penting yaitu untuk memperkuat politik kebangsaan dan politik kerakyatan, karena menurut penilaian Kiai Sahal, gerakan poltik praktis telah merusak visi kebangsaan dan gerakan kerakyatan NU. Bisa kita saksikan saat ini maraknya politik berdasarkan agama atau etnis tertentu, juga, hilangnya integritas nasional, sehingga kita tunduk pada kemauan bangsa lain, menjadi bangsa terjajah. Demikian juga berbagai undang undang dan kebijakan yang menggusur hak-hak rakyat dibiarkan berlalu tanpa mendapat pembelaan dari NU, padahal sebagian mereka warga NU. Persoalan itulah yang menjadi kegelisahan Rois Aam, oleh karenanya politik moral perlu ditegakkan untuk meneguhkan orientasi kebangsaan dan gerakan kerakyatan.  

Prinsip-prinsip politik kebangsaan itu menjadi pegangan pemikiran dan pandangan pribadi setiap kiai NU yang ada di daerah. Hanya saja kata Gus Wasik, tidak banyak kader NU di bawah yang menjalankan ketentuan moral para kiai sepuh seperti yang ditunjukkan KH Sahal Mahfudh danKH Mustofa Bisri.

Pilihan politik untuk mencapai kursi kekuasaan baik di DPRD maupun kepala daerah, lebih menarik daripada berjuang tanpa pamrih untuk keberlangsungan tatanan hidup berbangsa dan bernegara dalam semangat toleransi, pluralisme dan demokrasi. Isu-isu itu justru dipakai para kader NU yang duduk di jabatan politis untuk menutupi kegiatan komersialisasi jabatan yang mereka kuasa. Komunikasi yang muncul dari mereka adalah senantiasa memperjuangkan nilai-nilai aswaja itu, dan sejalan dengan perjuangan para tokoh-tokoh NU di tingkat nasional.

Tapi dalam urusan korupsi, para kader politik NU tidak memiliki sikap yang tegas, dan jelas apalagi menentang secara sukarela untuk memberantasnya. Retorika antikorupsi, kata Gus Wasik, memang menjadi makanan keseharian, baik melalui ceramah-ceramah dan kampanye-kampanye pemilu, tapi setelah itu mereka sendiri yang melakukan korupsi.

Gus Wasik mengungkapkan keadaan itu, karena pengalaman dia sebagai Ketua Syuriah PCNU Kabupaten Ngawi dan pengasuh Ponpes yang cukup ternama di daerahnya, membuktikan betapa banyak dari orang-orang NU yang ia kenal, mengakui sendiri praktik yang kotor itu tanpa merasa canggung. Ini menunjukkan bahwa urusan moralitas memang tergantung pada masing-masing indIidu, dan kesempatan dari manapun adalah masalah cara.

Sayangnya, cara untuk mencapai korupsi di bidang politik, adalah lewat organisasi masyarakat (Ormas) yang bernama NU. Tak dapat dipungkiri bagi para pendahulu pesantren yang ada di Ngawi melihat kenyataan sosial yang sudah sedemikian berubah. Para kader NU generasi baru, rata-rata tidak memiliki pengalaman pendidikan di pesantren, dan justru mereka datang dari kalangan masyarakat umum yang mengatasnamakan warga NU.

Disinilah persoalan sebenarnya untuk mencermati perubahan sosial di tubuh NU Ngawi. Apakah ini jamak terjadi di lingkungan NU lain? Dalam perpektif organisasi, munculnya kader-kader luar NU ke dalam tubuh NU ditandai dengan terpilihnya sejumlah pengurus NU baik di tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga ranting dengan cara money politics.

Konsekuensinya, para pengurus yang terpilih itu, menggunakan jabatan organisasi mereka untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Komersialisasi jabatan akan muncul ketika para pengurus NU mendapatkan tawaran dari luar organisasi terkait Pemilu, Pilkada, dan bahkan Pilpres. Tentu saja, komersialisasi jabatan akan sulit terdeteksi oleh masyarakat karena kegiatan mereka senantiasa bergerak di ‘bawah meja’.

Gus Wasik sendiri merasakan bahwa proses pemilihan ketua tanfidziyah dan syuriah NU Ngawi pada rentang 10 tahun terakhir, syarat dengan nuansa itu. Hal sama juga terjadi pada saat pemilihan umum baik untuk perebutan kursi anggota dewan (legislatIe) di semua tingkatan. Masing-masing caleg akan berbondong-bondong mendatangi para kiai yang dianggap memiliki basis dukungan santri banyak. “Organisasi NU dengan sayap organisasi di bawahnya, menjadi sasaran empuk dan lahan subur bagi pencarian suara yang signifikan bagi para actor politik tersebut,” ujarnya.

Tak pelak, bagi kader dan pengurus NU yang tak mempunyai landasan iman yang kuat serta tak memahami visi misi organisasi NU secara benar, maka akan mudah larut pada permainan politik praktis seperti itu. Komersialisasi jabatan juga menjanjikan keuntungan baik materi dan kemudahan hidup yang cukup menggiurkan. Kendati demikian, sebagai tokoh yang mendapat kepercayaan dari para santri dan masyarakat sekitar pesantren, Gus Wasik merasa tidak pada tempatnya untuk ikut-ikutan terjun di dunia politik. Ia secara terbuka tidak akan bersaing secara politis memperebutkan sebuah jabatan di pengurus NU sekalipun, meski sebenarnya itu bisa menentukan bagi arah NU ke depan. 

Namun bagi pengurus lain, kewenangan yang ada pada posisi pengurus di jajaran PCNU, akan membantu mereka menyuarakan aspirasi warga NU agar di dengar di tingkat pusat kekuasaan. Ketua PCNU Ngawi, H Isrodin mengatakan siapapun yang terpilih sebagai pengurus NU cabang, harus bisa memposisikan diri sebagai pembawa amanah dari masyarakat.

Menyikapi tudingan maraknya praktik korupsi di tubuh NU kabupaten, ia membantahnya. Selama ini kata dia, memang banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dan tak ada bukti bahwa ada permainan suap di balik setiap kegiatan politik itu. Sebagai kader NU, ia tak akan memberi tempat pada praktik kotor itu di setiap lembaga pemerintahan apalagi di tubuh NU. Sebagai Ormas keagamaan, NU harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat tentang prinsip-prinsip moral, kejujuran, kesederhanaan dan jauh dari sifat korup. “Kalau ada tuduhan tentang suap yang dialamatkan ke pengurus NU, itu pasti datang dari pihak-pihak yang tidak ingin NU tumbuh besar. Di setiap organisasi tentu ada saja orang yang tak suka pada yang lain, dan selama ada aturan organisasi itu ditaati, maka hal itu tidak masalah,“ katanya (wawancara informan 8).

Begitupun dengan fasilitas yang dia berikan kepada para kader NU yang menjadi peserta Konfercab di Karangjati, ia berpendapat bahwa hal itu merupakan tugas dia sebagai Ketua PCNU yang masih menjabat. Jika lokasi Konfercab jauh di Timur, maka wajar saja panitia menyediakan jasa transportasi kepada mereka. “Dan kami tak pernah memberi dana apapun kepada mereka selain menyediakan 3 bus itu,” tambahnya menanggapi laporan suap kepada peserta Konfercab.

Isrodin juga menyatakan alasan dia terpilih sebagai Ketua PCNU lagi untuk kedua kalinya karena memang para pengurus NU di MWC dan ranting memilihnya.

 

4.4.2. Politik Moral NU

Meski NU dalam khittah 1926 disebut sebagai organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik, besarnya syahwat politik para pengurus dan kader-kadernya akan menyeret NU sebagai organisasi politik. Artinya, peran NU sama halnya dengan peran partai politik. Masuknya sejumlah pengurus NU dari tingkat pusat, wilayah, dan cabang untuk memenangkan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) tertentu dan calon legislative (Caleg) partai-partai yang ada menunjukkan NU telah berperan sebagai “partai politik”.

Di sisi lain, PKB sebagai partai yang mayoritas konstituennya warga NU tak mau kalah. PKB kian mematangkan kecenderungan politik dalam tubuh NU. Masuknya sejumlah kiai/nyai sebagai calon anggota legislatif (caleg), bupati, dan anggota DPD kian menyempurnakan wajah NU sebagai entitas politik. Kentalnya aroma politik pengurus NU dan kecenderungan kekuasaan pengurus PKB makin menguatkan kesan NU adalah organisasi politik yang paling diperebutkan banyak pihak, tidak hanya oleh kekuatan di luar NU, tetapi oleh elite NU sendiri.

Di sinilah sebenarnya NU sedang menghadapi dilema luar biasa, setidaknya karena dua hal. Pertama, NU akan kehilangan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyyah ijtimaiyyah). Sekali lagi, ini bukan hal baru dalam tubuh NU. Greg Fealy mencatat pemandangan itu sudah menjadi perhatian Syuriah PBNU tahun 1960 agar elite NU tidak terjebak dalam politik hubbul jah, yaitu politik yang hanya berorientasi kekuasaan atau jabatan. Dan, wujud mereka jelas tidak lagi membesarkan NU, justru mengerdilkannya.

Kedua, NU akan semakin asing bagi warganya, khususnya dalam ranah politik. Ini dibuktikan dengan migrasi politik warga NU dalam pemilu presiden 5 Juli. Banyaknya warga NU yang memilih SBY-JK pada Pilpres 2004 dan SBY-Budiono pada Pilpres 2009 menunjukkan mereka tidak lagi percaya pada elite NU dan PKB.

Pemahaman pada pentingnya moral NU sebagaimana sering disampaikan para tokoh NU di Jakarta, sebenarnya sudah sampai pada kader-kader NU di kabupaten. Isrodin dan pengurus PCNU lain mengatakan pemikiran itu memang harus menjadi catatan penting warga NU. NU tidak boleh menerjunkan diri ke dunia politik, kecuali sebagai ormas yang memperjuangkan paham kebangsaan dan moralitas aswaja.

Apa dan bagaimana moralitas aswaja? Isrodin mengungkapkan moralitas itu tumbuh dan berkembang di lingkungan NU sejak awal berdirinya organisasi keagamaan ini. Selain menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan masyarakat, dan kesetaraan bagi kaum perempuan, NU mesti lantang menyuarakan gerakan anti-korupsi. “Gerakan antikorupsi merupakan salah satu agenda penting untuk mendukung sistem pemerintahan yang bersih dan sesuai dengan ajaran islam.”

Dalam beberapa kesempatan, pandangan itu menjadi semacam salah satu platform NU di daerah-daerah menyikapi realitas sosial politik yang berkembang. Ketua PCNU Ngawi, H Isrodin sering mengemukakan bahwa kader NU harus memiliki kejelian membedakan wilayah ‘abu-abu’ dan yang bersih. Jebakan sering muncul saat Pemilu dan Pilkada datang. Para calon kontestan yang mencari dukungan ke basis-basis NU sering menggunakan cara suap dengan cara halus.

Umumnya para caleg dari partai, kata Isrodin, terang-terangan membagikan kaos dan sejumlah uang agar warga NU memberikan suaranya kepada nya. Pun dengan proses Pilkada. Calon bupati bisa mengucurkan dana politiknya ke para kader dan pengurus NU bahkan langsung ke warga NU. Ini akan membuat cara berfikir warga NU menganggap suap sebagai hal yang wajar dan tak perlu dilawan.

Pandangan tentang moralitas NU, ia sampaikan kepada khalayak, juga forum diskusi yang ada di lingkungan PCNU Ngawi. Semangat antikorupsi harus dimiliki semua pengurus NU dan para kader mereka yang duduk di legislatif, dunia bisnis dan pemerintahan. Kalau ada bukti pengurus melakukan tindak pidana korupsi, maka siapapun bisa melaporkannya ke pihak berwenang. “Jadi kalau saya dituduh korupsi, ya silahkan di proses hukum. Tentu harus disertai bukti yang kuat. Jangan hanya tuduhan saja,” katanya.  Meski ia membantah, pengakuan dari para peserta dan tim suksesnya mengungkapkan hal berbeda.

Tak ada yang baru dari ‘bahasa moralitas’ yang digunakan oleh para tokoh politik. menurut Gus Wasik, semua orang tentu tidak akan mengatakan dirinya pencuri, meski sebenarnya melakukan pencurian. Apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan, berbeda.

Pandangan tentang moralitas NU seperti itu juga sudah sewajarnya diutarakan di setiap acara politik baik yang melibatkan massa NU maupun khalayak umum. Permasalahan sebenarnya, adalah apakah khalayak tahu bahwa kegiatan korupsi itu merusak, dan menjadi agenda pribadi masing-masing orang untuk memberantasnya? Bagi sebagian besar warga NU, menurut Gus Wasik, sebenarnya cukup tahu tentang adanya praktik-praktik politik uang (money politic) di tubuh organisasi. Informasi adanya praktik politik uang di setiap kegiatan NU mudah menyebar dari orang per orang, dari satu pengurus ke pengurus dan dari kader ke kader NU lainnya mulai dari tingkat paling bawah sekalipun.

Bagi khalayak, mereka yang melakukan kegiatan money politic baik untuk memperebutkan jabatan kepengurusan organisasi maupun jabatan di legislative bagi para caleg seolah menjadi hal yang lumrah karena sering dilakukan. Namun, mereka seolah tidak mempunyai kekuatan untuk mengubahnya kecuali berharap pada pihak lain.

Dan pihak lain itulah, salah satunya ada pada diri kiai sekaligus pemimpin kharismatik yang mendapatkan kepercayaan dari umatnya. Bertolak dari asumsi itulah, Gus Wasik menilai bahwa proses penyadaran yang terbaik bagi waga NU dalam bidang politik, adalah tidak terlibat dalam urusan politik pragmatis, yang hanya mengejar posisi dan jabatan tertentu baik di parlemen maupun pemerintahan.

Inilah yang ia utarakan dalam beberapa acara pengajian di Pesantren Al Amnaniyah maupun di luar pesantren. Pandangan-pandangan NU yang memperjuangkan visi kerakyatan dan kebangsaan menjadi tema utama, ketimbang merekomendasikan salah satu caleg atau calon bupati yang akan maju dalam pemilu dan pemilukada. Seperti pada pengajian khatmil alquran pada 3 Desember 2013, ia mengungkapkan beberapa persoalan terkait ajang Pemilu 2014 nanti.

Dalam sambutannya, Gus Wasik mengatakan,”..sebagai bagian dari warga NU, kita harus paham watak gerakan kerakyatan yang lebih mengedepankan kepekaan atas problem riil yang dihadapi warga NU dan harus menjadi mainstream dari gerakan NU secara keseluruhan. Selama ini komitmen demikian baru sebatas mendirikan lembaga-lembaga, namun belum diikuti dengan tindakan dan komitmen yang lebih nyata. Bahkan, institusi NU sendiri cenderung kalah kiprahnya bila dibandingkan dengan LSM-LSM yang dikelola secara kultural oleh anak-anak muda NU. Sayangnya, selama ini banyak dari kita yang suka pada hiruk pikuk politik praktis, dukung-mendukung salah satu calon. NU sesuai khittah tidak akan mendukung salah satu calon baik perseorangan ataupun partai politik…” (ceramah Gus Wasik, 3 Desember 2013 di Pesantren Al Amnaniyah I, Karangjati, Ngawi).

Lebih lanjut menyikapi khittah NU, pengasuh Ponpes Al Amnaniyah I ini mengungkapkan, “..sesuai petunjuk dari Rois Aam Pengurus Besar (PB) NU KH Sahal Mahfudh yang menyatakan NU harus sepenuhnya kembali sebagai jamiyyah diniyyah wa ijtimaiyyah. Oleh karena itu, sekarang ini kita perlu segera mengembalikan NU sebagai jamiyyah dinniyyah wa ijtimaiyyah.”

Dalam menyikapi persoalan kebangsaan, Gus Wasik selalu menjadikan Rais Aam PBNU KH. Sahal Mahfudh sebagai bahan rujukan. Ia sering mengingatkan, bahwa latar belakang pendirian NU adalah sebagai jamiyyah diniyyah, sehingga fokus kegiatannya pada bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Pengurus NU di tingkat mana pun harus mampu memberikan pengarahan tentang politik dan demokrasi kepada warganya, sehingga jama'ah toleran terhadap perbedaan.

Sementara Gus Taufik merujuk pandangan dan pemikiran Gus Dur dalam setiap ceramahnya. Pertarungan diantara dua pandangan itu, merupakan refleksi dari kondisi elit NU yang terlibat dalam proses tarik menarik antara kepentingan kiai yang politis dan yang tidak.

Sejatinya, kepentingan yang lebih menentukan adalah partai politik dengan strategi menempatkan para kiai dalam jajaran kepengurusan di tingkat pusat hingga daerah di kabupaten. Mereka mendapatkan posisi tersebut, lantaran faktor ketokohannya sebagai vote getters (pendulang suara) di basis pesntren.

Para kiai memperoleh keuntungan material, dan sedikit kekuasaan, namun tidak menentukan sebagaimana peran elit parpol. Contoh nyata dari kuatnya kepentingan parpol atas kiai,  seperti penentuan garis kebijakan partai dan tata aturan organisasi yang menempatkan ketua umum, sekjen dan pengurus di DPP maupun DPW yang bisa mengeluarkan keanggotaan siapapun dari organisasi Partainya.

Kasus pencopotan jabatan anggota DPR, DPRD oleh pengurus partai menunjukkan bahwa sewaktu-waktu para kiai yang duduk di jabatan politis itu dengan mudah di lengserkan. Di titik inilah, kekuasaan oligarki partai yang mengerucut pada elit politik begitu nyata.

 

 

4.5. Karakteristik Budaya Komunikasi Politik Elite NU

4.5.1. Pengaruh  Otoritas Elite dalam Budaya Politik NU

Melacak akar budaya  dan basis komunikasi komunitas NU, tidak terlepas dari pengaruh determinan kiai dengan basis pesantrennya sebagai bagian utama komunitas Nahdliyin. Dalam konteks penelitian ini, kiai diposisikan sebagai elite NU yang juga memainkan peran dan perilaku politik dalam pengertian luas. Pada dasarnya, tradisi komunikasi di kalangan kaum Nahdliyin tidak dapat dijelaskan secara terpisah dari konteks sosial tempat komunikasi itu berlangsung. Artinya, komunitas Nahdliyin senantiasa berkaitan secara fungsional dengan situasi sosial dan budaya komunitasnya, seperti terlihat pada perilaku komunikasi kiai-santri yang tidak bisa dijelaskan secara terpisah dari lingkungan pesantrennya. Dalam tradisi pesantren, kiai sebagai elite NU memiliki otoritas yang dapat mempengaruhi opini dan perilaku politik publik NU.

Jika meminjam, kategorisasi Dan Nimmo, maka dengan menggunakan karakteristik kiai-kiai dalam komunitas NU dapat dika­tegorikan ke dalam kelompok komunikator profesional, mereka memiliki keahlian mengendalikan dan mempengaruhi orang dengan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol. Kiai sebagai komunikator politik mampu memainkan peran-peran so­sial yang signifikan, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Kiai adalah semacam makelar simbol, atau orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komu­nitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain yang berbeda, tetapi tetap menarik dan mudah dimengerti.[30]

Di kalangan NU, adalah kiai merupakan figur elite yang mampu menerjemahkan atau mengomunikasikan bahasa politik ke dalam bahasa agama yang mudah dipahami dan diterima para jama'ahnya atau nahdliyin sebagai komunikan. Selain itu, kiai juga sekaligus menjadi sumber informasi utama dalam pengambilan keputusan politik untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam sesuatu proses politik. Di antara faktor-faktor yang memperkuat sosok kiai sebagai komunikator politik adalah karena kekuatan kharisma yang menyebabkan munculnya kepengikutan massa secara irrasio­nal.[31] Komunikasi irrasional se­perti ini, dalam banyak hal, tentu akan berdampak pada meningkatnya efek kepengikutan massanya secara signifikan. Simbol-simbol komunikasinya ditafsirkan secara subjektif, se­suai dengan konteks lingkungan pada saat berlangsungnya komunikasi. Komunikasinya tidak berlangsung dua arah. Komunikasi khas NU ini hanya berlangsung satu arah (one-way-communication), dan bahasa yang disampaikannya pun banyak yang perlu ditaf­sirkan secara khusus.

Selain itu, di kalangan NU terdapat sejumlah simbol-simbol keagamaan, misalnya, kiai selalu diidentifikasi sebagai sosok yang berpakaian khas seperti; sarung, serban dan peci. Karena kekhasan ini pula komunitas muslim tradisionalis ini, terutama kiai, santri dan warga pesantren pada umumnya, sering disebut kaum sarungan. Isyarat nonverbal lainnya adalah mencium tangan ketika bersalaman. Para santri yang baru masuk pesantren pertama kali diajarkan etika bersalaman ini sebagai salah satu akhlak (perilaku) yang baik, terutama ketika bersalaman kepada kiai dan orang-­orang yang lebih tua dari mereka. Caranya, ada yang hanya mencium punggung ujung tangan sebelah kanan, ada pula yang mencium telapak tangan dan punggungnya dari tangan yang digunakan untuk bersalaman. Bagi para santri, perilaku ini dimaksudkan sebagai tabarruk (untuk memperoleh berkah) dari kiai. Sebab kiai diyakininya sebagai orang bersih yang dapat memberikan berkah kepada siapa saja yang dekat dengannya. Kiai juga dianggap, sebagai ahli hikmah yang selalu diminta do'anya untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena alasan tabarruk ini pula para santri di pesantren-pesantren tradisional biasa memanfaatkan sisa-sisa makanan dan minuman kiai, atau pakaian bekas yang pernah digunakan kiai.[32]

Akan tetapi, penting pula untuk dicatat bahwa suasana komunikasi seperti ini hanya mungkin terjadi jika para kiai yang berkumpul adalah mereka yang memiliki tingkat yang sama. Mereka memiliki tingkatan pengetahuan, rujukan, dan Tatar belakang pengalaman yang relatif sama. Biasanya mereka adalah kiai-kiai yang sejak menjadi santri telah bersama-sama hidup dalam satu generasi. Hubungan ini akan terus terpelihara meskipun di antara keduanya telah berstatus sebagai kiai. Sebalik­nya, jika di antara mereka tidak memiliki posisi sejajar, maka pola hubungan yang terjadi akan mencerminkan hubungan atas­ bawah dengan menempatkan para pelaku komunikasi dalam peran-peran yang biasanya melekat pada status hubungan guru­-murid atau kiai-santri. Tidak jarang komunikasi di antara pihak­-pihak yang terlibat dalam proses itu berlangsung kaku, tidak dekat dan tidak komunikatif. Mereka juga tidak membeda­bedakan suasana, baik dalam kesempatan informal maupun acara­acara formal, pola-pola hubungan ini tetap terpelihara seperti apa adanya. Keterpeliharaan status guru-murid ini terutama dilandasi oleh sikap tawadlu, rendah hati, dan kesadaran untuk tetap menghormati guru.

Simbol-simbol atau lambang-lambang yang biasa berlaku dalam komunikasi jamaah NU juga memperlihatkan keter­kaitannya dengan upacara-upacara ritual atau tradisi-tradisi keagamaan. Upacara-upacara atau tradisi-tradisi tersebut pada mulanya merupakan khazanah yang berkembang di dunia pesantren, kemudian berkembang secara lebih luas, baik karena masyarakat sendiri yang mengikuti tradisi pesantren ini maupun karena kiai dan para santri yang sengaja membawa dan me­nyebarkannya kepada masyarakat. Sehingga karena proses interaksi sosial seperti ini, NU juga seringkali diidentifikasi sebagai sebuah komunitas (jamaah) yang dicirikan oleh tradisi yang berbasis pesantren. Karena itu, simbol-simbol yang berlaku di lingkungan pesantren otomatis menjadi simbol kultural organisasi NU.[33]

Hubungan komunikasi kiai-santri sebagai cerminan hubungan sosial jamaah nandliyin tidak hanya terjadi di wilayah keilmuan, tetapi lebih dari itu terjadi pula hampir di semua wilayah kehidupan.[34] Tata nilai yang merujuk pada fikih ini pada gilirannya menghasilkan simbol-simbol komunikasi yang selalu mengenakan piranti-piranti di sekitar ilmu fikih. Nilai-nilai yang bersumber dari kerangka fiqh ini juga yang kemudian menjadi etika komunikasi kaum nahdliyin. Misalnya, dari rumusan fiqh al­-muhâfadzat `alâ qâdimi al-shâlih dapat diturunkan nilai dasar yang menjadi simbol dan pedoman dalam berperilaku kaum nahdliyin. Sedangkan simbol-simbol keagamaan yang muncul dari pola-pola kehidupan tasawuf berakar pada pola hubungan antara guru atau mursyid dengan muridnya. Pemberian ijazah dalam ilmu kebatinan, misalnya, atau amalan-amalan tarekat tertentu lainnya, biasanya diberikan oleh mursyid setelah ia mendapatkan petunjuk dari guru sebelumnya lewat mimpi. Isyarat lewat mimpi ini biasanya diperoleh setelah melakukan shalat istikharah.[35]

Demikian halnya, tradisi pembelajaran dikalangan pesantren yang menjadi basis NU menerapkan pola-pola komunikasi yang berlaku di lingkungan pesantren bersifat; monolog, yakni, komunikasi tatap muka, personal, dan lebih bertumpu pada bentuk komunikasi lisan (oral communication).[36] Seorang kiai berada didepan atau ditengah-tengah santrinya menyampaikan pesan atau materi pengajian tanpa disertai pembicaraan atau proses komunikasi lainnya dengan kiai. Dalam hal ini, kiai berfungsi sebagai sumber informasi, guru belajar yang utama, dan sekaligus berperan sebagai pemimpin yang memainkan kekuasaan "mutlak". Menurut Zamakhsyari Dhofier,  "Kiai merupakan cikal-bakal dan elemen yang paling pokok dari sebuah pesantren." Karena itu, dalam penyelesaian masalah, kiai cenderung otoriter, dan dengan kekuatan kharismanya, komunikasi kiai-santri berlangsung satu arah.[37]

Tradisi ini menjadi sumber nilai yang membentuk pola ko­munikasi di kalangan warga nahdliyin. Pesantren menjadi alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakatnya. Meskipun dalam tradisi komunikasi, misalnya, kiai cenderung monopoli. Kondisi ini digambarkan KH. Cholil Bisri. Menurutnya, kiai itu nyaris tidak demokratis di kalangan sendiri, di kalangan dekatnya dan terhadap "anak buah" terutama terhadap santri-santri. Maka dari itu oleh kalangan sendiri, kalangan dekatnya dan terhadap santri-santrinya, kiai itu terkesan otoriter. Kalau kiai punya mau, punya pendirian, pendapat atau gagasan, orang dekatnya atau santri-santri jangan coba-coba mengoreksi, apalagi menentang. Bisa-bisa mereka akan dipinggirkan – untuk tidak menyebut, dibenci – dan jangan berharap memperoleh sapaan yang familiar. Namun mereka yang "diam saja" meski tidak setuju dan tidak menentang, akan mendapat pembelaan mati-matian. Kalau perlu kiai rela berkorban demi kalangan dekatnya itu. Terhadap mereka kiai menggembol toleransi yang amat tinggi.[38]

Tradisi komunikasi ini tampak menjadi pemandangan yang menarik dan merupakan warna tersendiri seperti terlihat dalam forum bahts al-masail, suatu tradisi bermusyawarah para kiai dalam membahas masalah-masalah kontemporer. Forum ini dihadiri oleh sejumlah kiai. Mereka berdiskusi. Jalannya diskusi pun berlangsung sangat demokratis dan egaliter, seperti layaknya sekelompok santri yang sedang berdebat dengan sesamanya di suatu pondok.

Tapi, suasana itu hanya berlangsung pada lapisan "elite" kiai yang biasanya mengambil posisi paling depan. Peserta bahts al-mâsâ'il lainnya cenderung memosisikan diri sebagai pendengar, seperti layaknya sekelompok santri yang sedang mengaji. Mereka hadir untuk "mengaji", mendengar penjelasan­-penjelasan kiai dan, yang lebih penting lagi, untuk tujuan tabarruk (memperoleh berkah dari para kiai senior)." Komunikasi timbal balik dalam suasana demokratis dan egaliter ini memang hanya terjadi di antara pelaku komunikasi yang posisinya sejajar. Sebaliknya, komunikasi akan kembali searah terutama ketika melibatkan pelaku komunikasi yang tidak sejajar, seperti halnya kiai dengan santri.[39]

Akan tetapi, etika berkomunikasi terutama antara kiai dengan santri, anak buah, bawahan, atau bahkan masyarakat sekalipun, sangat memperhitungkan tata krama, sopan santun, serta ke­tentuan-ketentuan lainnya yang bersumber pada nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam pengertian menghormati orang yang lebih tua.

Dalam realitasnya, tradisi komunikasi pesantren sangat kuat mempengaruhi pola komuni­kasi warga Nahdliyin, baik dalam konteks formal maupun infor­mal. Selain itu, saluran ko­munikasi masih bertumpu pada bentuk face-to-face communication, sehingga sering terjadi keterlambatan dan keterhambatan informasi di lingkungan NU. Di antara kelebihan bentuk komunikasi ini, seperti terjadi pada umumnya kaum Nahdliyin, adalah kedekatan emosional yang lebih dominan memengaruhi jalannya komunikasi. Banyak saluran yang biasa dimanfaatkan kalangan NU untuk menyampaikan pesan-pesan lisan. Tradisi istighosah, misalnya, seringkali digunakan sebagai saluran ko­munikasi politik dengan memanfaatkan watak istighosah sebagai arena pertemuan spiritual (spiritual gathering). Selain lebih bernuansa spiritual, pertemuan juga cenderung informal, sehingga dapat mempermudah proses penyampaian pesan-pesan.

Sementara itu, saluran komunikasi politik NU dapat diamati melalui keterlibatannya dalam dunia politik praktis menyiratkan fenomena politisasi agama ditandai, digunakannya isu agama, baik sebagai simbol pesan-pesan maupun sebagai salah satu bentuk saluran potensial komunikasi politik NU. Wacana agama menjadi kemasan yang dominan dalam proses komunikasi politik yang diperankan NU. Sebagai organisasi sosial keagamaan, pesan-pesan politik NU memberikan kesan kuat sebagai pesan-pesan agama yang disampaikan melalui proses simbolisasi politik dalam nuansa agama.

Hal itu pada gilirannya dapat memberikan efek kesan yang mudah diterima massa, karena proses pembentukan suasananya yang dipadang relevan dengan suasana psikologis setiap partisipan komunikasi yang terlibat. Sebab dalam ko­munikasi, pesan juga bergantung pada konteks fisik atau ruang, waktu, sosial, dan psikologis.[40] Demikian pula figur komunikator yang menjadi juru bicara utama komunikasi politik NU hampir selalu memperlihatkan warna ganda yang diperankannya, antara pemimpin politik dan pemimpin agama.

Dalam konteks seperti itu, agama menjadi simbol yang dapat memperlicin proses komunikasi untuk menemukan kesamaan-­kesamaan rujukan dan pengalaman di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Sebab sebagai animal sym­bolicum,[41] manusia selalu membutuhkan lambang-lambang untuk memenuhi hasrat komunikasi dengan sesamanya. Lambang atau simbol, seperti dikatakan Deddy Mulyana, adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. la meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (pesan nonverbal), dan objek-objek yang mak­nanya disepakati bersama.[42]

Kemudian menelusuri relasi antara agama, komunikasi politik, dan aktor politik kaum Nahdliyin dapat merujuk pada perspektif interaksi simbolik yang diperkenalkan George Herbert Mead, bahwa perilaku manusia muncul melalui proses pemaknaan terhadap objek di sekitarnya. Prinsip ini kemudian dijelaskan Deddy Mulyana bahwa orang-orang seba­gai peserta komunikasi (communicators) bersifat aktif, reflektif, dan kreatif menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.[43]

Penulis menegaskan pemetaan komunikasi politik kaum Nahdliyin untuk mengelaminir adanya kesan umum sebagai perilaku NU yang inkonsisten. Menurut penulis, sebetulnya komunikasi politik NU tidak lebih dari proses pemaknaan terhadap isyarat-isyarat politik yang berlangsung secara aktif, reflektif, dan kreatif dalam ranah konstelasi politik yang berkembang dan bukan doktriner. Hal ini dibenarkan pada realitas politik NU yang mewarnai perubahan-perubahan komunikasi politik NU, yakni  berlangsung sejalan dengan perubahan-perubahan politik yang melingkupinya.

Sementara pemaknaan agama yang digunakan NU tidak lebih sebatas untuk menjustifikasi perilaku tersebut muncul karena ketersediaan bahan rujukan yang dimiliki para pelaku politik itu serta kuatnya ikatan emosional dengan "lambang-lambang" agama yang telah akrab dalam kesadaran hidupnya.

Dalam kasus hubungan kiai dan politik di Amnaniyah I dan II, peran kiai sebagai komunikator politik memanfaatkan aspen keagamaan sebagai basis legitimasi mereka dalam bertindak. Seperti saat para santri menanyakan alasan Gus Taufik mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Ngawi, maka jawaban pengasuh Alamnaniyah II itu bersumber dari sikap dan pilihan politik yang juga dilakukan para pemimpin NU seperti KH AbdurrahmanWahid dan kiai lainnya.

Gus Taufik juga beralasan bahwa yang membuat politik jadi kotor karena faktor pelakunya bukan wilayah dakwah. Tugas ulama tidak cukup melakukan dakwah di lingkungan yang sudah benar seperti pesantren, tapi juga di wilayah ‘hitam’ seperti politik.

Jika ada pejuang dakwah terlibat dalam kegiatan politik korup, maka tugas ulama adalah membersihkan politik dari praktik korupsi. Jadi bukan malah ikut-ikutan korupsi, katanya.

Sementara bagi Gus Wasik menggunakan juga bisa menggunakan alasan dari pendapat Gus Dur ketika sebagai presiden RI, ia membubarkan  Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Dua lembaga itu yang sudah dipandang sarang korupsi, tak bisa lagi dipertahankan. Kalau tikus sudah menguasai lumbuh padi, maka lumbung padinya tak bisa dibersihkan, melainkan mesti dibakar, tuturnya.

Sikap politik kiai harus tegas melawan tindak korupsi yang sudah menjalar di dunia politik. Sistem politik yang berkembang saat ini menurut Gus Wasik, sudah sedemikian korup, sehingga tak memungkinkan ulama untuk memperbaiki dari dalam. “Bila tidak bisa diubah dari dalam, maka pilihannya ya keluar, dan melawan dari luar arena,” kata Pengasuh Alamnaniyah I.

Persoalan moralitas bagi Gus Wasik dan Gus Taufik menjadi pertimbangan utama untuk bertindak di ranah sosial maupun politik. Hanya saja, umat NU telanjur apriori pada kepentingan politis yang merusak tatanan budaya pesantren dengan nilai-nilai akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa dan negara ini sebelumnya.

 

4.5.2. Basis Budaya Komunikasi Politik dalam NU

Basis utama politik NU adalah pesantren sebagai wadah yang memberi ruang memmahami agama dipertautkan dengan politik. Diluar dari kurikulumnya, perilaku kiai pesantren yang mengambil peran politiknya, cukup berpengaruh kemudian terhadap konstruksi doktrin, pemahaman, kesadaran dan perilaku para santri dan jama'ahnya. Kepiawaian kiai membungkus tema politik dalam bingkai agama yang efektif dalam mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya. Dalam pengamatan penulis, warna agama menjadi khas dalam perjalanan politik NU, tidak berbeda dengan semua kekuatan sosial politik di Indonesia, khususnya partai-partai Islam telah menggunakan agama sebagai kendaraan politik yang ditungganginya. Penilaian ini diperkuat realitas politik dengan hadir sejumlah elite politik NU menjadikan arus informasi politik semakin dominan. Akibatnya,  NU, selain iden­tik dengan tradisi khas komunitas pesantren, dengan mengguna­kan kacamata politik, NU juga dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai komunitas politik.[44]

Berkenaan dengan lambang-lambang komunikasi yang digunakan dalam aktivitas politik yang diperankannya, maka alasan mengapa NU memilih tema agama sebagai salah satu kendaraan komunikasi politiknya, tidak terlepas dari alasan kultur internal NU yang memang berakar pada tradisi pesantren dan kaum tradisional. Bagi kalangan pesantren, tema-­tema di luar agama tidak termasuk agenda penting dalam kehidupannya. Sebaliknya, bahasa agama dapat dengan mudah dicerna komunitas tersebut meskipun esensi pesan-pesan yang dikandungnya tidak termasuk pada tema agama dalam arti yang terbatas. Karena itu, melalui pendekatan yang sama, kampanye pembangunan yang dialamatkan kepada komunitas pesantren seringkali dilakukan dengan menggunakan bahasa agama, melalui momentum keagamaan, serta dengan menampilkan elite agama sebagai aktor komunikasinya.[45]

Dominasi kiai sebagai pemimpin sosial (social leaders) di lingkungan NU  juga berperan sebagai komunikator politik sebab pengaruh yang dimilikinya menjadikan kiai memiliki otoritas. Di kalangan NU juga banyak pemimpin simbolik yang berperan sebagai komunikator politik. Bahkan karena citra NU dipandang sebagai organisasi keulamaan, maka kelompok pemimpin ini pun, khususnya mereka yang tidak memiliki kualifikasi sebagai seorang ulama, memiliki citra sebagai seorang ulama. Komu­nikasinya tetap efektif sejauh citra yang membentuk kepriba­diannya masih terpelihara. Jika pesan-pesannya tersosialisasi melalui fasilitas publikasi yang memadai, mereka dapat menjadi sumber pembentuk opini publik.

Mereka menjadi pemimpin karena alasan-alasan tertentu, seperti karena kepribadiannya, keeliteannya dalam suatu komunitas, atau karena karisma dan senioritas yang dimilikinya dalam komunitas ter­sebut, dan bukan karena posisi formalnya dalam. organisasi. Seca­ra sosiologis, mereka biasa disebut sebagai pemimpin simbolik.[46] Di lingkungan NU banyak kiai yang tidak menduduki jabatan formal dalam organisasi, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka adalah figur spiritual yang selalu dimintai "petunjuk" sekaligus menjadi tempat berkonsultasi para pemimpin organisasi. Dalam kasus pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, misalnya, seperti diberitakan berbagai media massa yang meliput muktamar, para kandidat dan muktamirin selalu menunggu "restu kiai sepuh".[47]

Dalam konteks ini, beberapa manuver politik KH Taufik Amnan juga termasuk pada kategori pesan "agama" karena kapasitas komu­nikatornya sebagai seorang kiai. Meskipun tema-tema yang diangkatnya tidak termasuk pada lingkup agama dalam penger­tian terbatas, kasus KH. Taufik Amanan dipandang tetap menarik — paling tidak dalam konteks komunikasi politik — karena dua hal. Pertama, ia merupakan sosok yang sangat kental dengan agama: seorang kiai yang dipandang ahli dalam ilmu-ilmu agama, pengasuh Ponpes AlAmnaniayah II yang merupakan pesantren ternama di Ngawi bagian Timur.

Jadi, ia tetap memiliki karisma agama, sehingga pernyataan­-pernyataan politiknya hampir selalu mendapat respons berbagai kalangan. Demikian pula dengan elite-elite NU Ngawi lainnya yang hampir selalu berkaitan dengan keluarga pesantren, baik melalui ikatan pendidikan hubungan guru-murid atau kepentingan lain.

Pernyataan-­pernyataannya tidak bisa dipandang sederhana, karena ia akan berimplikasi pada proses pembentukan pandangan, sikap dan perilaku para pengikutnya atau jama'ahnya.

Kedua, meskipun tidak eksplisit memiliki muatan agama, pesan-pesan yang dikemukakannya berkaitan dengan persoalan yang juga sensitif. Masalah pelembagaan moralitas NU di lingkungan pemerintahan Kabupaten Ngawi misalnya, sepanjang sejarah perkembangan NU di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah tersebut, secara mendalam dan demonstratif dapat mengundang perhatian banyak kalangan. Bahkan, meskipun tema-tema yang dibicarakannya tidak secara langsung berkaitan dengan agama, tapi jika hal itu muncul dari sosok kiai, maka efeknya pun akan bermuatan agama.

Ia bisa dianggap semacam fatwa dan menjadi kata akhir dalam pengambilan keputusan. Jadi, faktor komunikatorlah sesungguhnya yang menentukan arah kesan dari sesuatu pesan. Sementara agama, baik langsung maupun tidak langsung, merupakan faktor potensial dalam proses pembentukan kesan itu. Sehingga agama, dalam konteks ini, merupakan sumber dinamisasi masyarakat, khususnya melalui kegiatan-kegiatan yang bermuatan politik.

Penulis menilai bahwa efektifitas komunikasi politik di lingkungan pesantren, salah-satunya, berkaitan dengan adanya kemasan agama dalam pesan-pesan yang disampaikan kiai sebagai komunikator politik. Karena karakteristik sensitif yang dimilikinya, agama dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyampaikan pesan apa pun bagi para pemeluknya. Agama secara tidak langsung menjadi wacana yang memungkinkan sesuatu provokasi dapat mudah tersosialiaasi.

Lebih-lebih pada masyarakat beragama yang masih didominasi oleh dimensi-­dimensi emosional, seperti umumnya kaum tradisionalis, apa pun yang dapat menyentuh kesadaran religiusitas atau keya­kinannya dapat mengubah keyakinan itu menjadi perilaku agresif. Itulah sebabnya, perang wacana selama musim kampanye dan dalam rangkaian kegiatan pemilu, misalnya, hampir selalu me­ngangkat tema-tema agama, atau sekurang-kurangnya meng­gunakan terma-terma yang secara umum telah menjadi milik agama.

Fenomena politik yang diwarnai muatan agama, telah menjadi saluran komunikasi politik NU. Selain yang menjadi komunikatornya adalah sosok pemuka agama, kiai, dan momentum yang menjadi salurannya adalah acara pengajian yang bermuatan agama.

Selain itu, nuansa agama juga dapat melekat pada dimensi media. Fungsinya sama, untuk memperlicin proses komunikasi sekaligus meningkatkan kualitas efek yang ditimbulkannya. Dengan meminjam kategorisasi sistem dasar beroperasi dalam transaksi komunikasi dari Deddy Mulyana, dimensi media ini termasuk pada sistem eksternal yang meliputi unsur-unsur dalam ling­kungan di luar individu.[48]

Nuansa komunikasi politik dalam aktivitas agama ini menjadi sulit dihindari terutama karena adanya sejumlah variabel yang satu sama lain saling menjelaskan. Salah satunya adalah variabel hubungan yang sulit dipisahkan antara KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI yang menjadi sasaran memorandum dengan posisinya sebagai kader dan elite Nahdlatul Ulama yang dalam kasus ini menjadi lembaga tunggal penyelenggara istighosah. Maka untuk mengetahui lingkungan komunikasi politik di kalangan kaum Nahdliyin, salah satunya dapat ditelusuri watak sosio-antropologis dunia pesantren.[49]

Dalam konteks ini jelas bahwa kebanyakan warga NU sesungguhnya masih terjebak pada budaya primordialisme, otoritas dan keelite­an sang komunikator. Namun demikian, ucapan dan gagasan mereka selanjutnya diseleksi dan diformat ulang oleh media yang memiliki kepentingan khusus, sehingga yang muncul di dalam berita-berita tidak selalu sama dengan yang dimaksud­kan oleh sang komunikator.

Kiai yang penulis posisikan sebagai komunitas elite itu, dalam komunitas NU merupakan elemen yang paling esensial bagi pesantren. Ia yang menjadi pengasuh pesantren sekaligus menjadi penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan pesantren.[50] Kiai bersama pesantren ,yang dipimpinnya dianggap dan dapat diibaratkan sebagai kerajaan kecil yang di dalamnya kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and outhority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tak seorang pun santri atau orang lain yang dapat "melawan" kekuasaan kiai, kecuali kiai lain yang lebih besar pengaruhnya.[51] Kiai yang satu dengan lainnya selalu terjalin hubungan oleh intellectual chains (mata rantai intelektual) yang tidak terputus. Ini berarti bahwa antara satu pesantren dengan pesantren lainnya daIam kurun zaman tertentu, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya terjalin hubungan intelektual yang mapan sehingga perkembangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan pesantren menggam­barkan sejarah intelektual Islam tradisional.[52]

Penggunaan kerangka teoritis dalam proses komunikasi politik yang menempatkan dominasi otoritas elite NU, baik secara institusional maupun individual sebagai faktor determinan dalam pola dan perilaku serta komunikasi politik Nahdliyin. Konstruksi komunikasi secara institusional dibangun atas otoritas yang dimiliki para pengurus struktural atau organisatoris NU, setiap kebijakan dan pesan politiknya didasarkan pada keputusan organisasi. Sementara secara personal, otoritas yang dimiliki kiai kharismatik dengan segala pengaruhnya menempati posisi komunikator eliteis sehingga pesan politiknya dapat diterima baik komunikan Nahdliyin. Tinggi rendahnya partisipasi politik NU tidak terlepas dari pengaruh faktor determinasi elite NU tersebut. Faktor determinasi dari otoritas, keelitean dan kharisma dari elite NU, selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politik, memberi pengaruh atau efek yang signifikan. Figur kiai senantiasa memiliki otoritas kharismatik sehingga selalu menjadi sorotan, tidak terkecuali dalam konteks politik.

Ruang lingkup kepemimpinan politik elite NU terbagi dua; pertama, dunia NU dan partai-partai politik di lingkungan NU merupakan gambaran nyata dari kehidupan pesantren yang bercorak tradisional. Kedua, kepemimpinan NU yang jaringan keeliteannya berada di pesantren-pesantren, secara otomatis menggambarkan struktur kepemimpinan yang bersifat absolut dan hirarkis, patron klien, atasan-bawahan. Gambaran ini tidak bisa dilepaskan dari basis kepemimpinan NU yang bertumpu pada kepemimpinan kiai pesantren dengan segenap otoritas yang dimilikinya.

Maka, dalam penelitian Ali Anwar, otoritas kiai pada pesantrennya inilah yang menjadikan NU secara struktural, tidak memiliki kewenangan pengaturan apalagi menjatuhkan sanksi pada kiai dan pengurus pesantren atas pikiran, sikap, dan tindakannya, termasuk dalam hal politik. Meskipun sikap tersebut berbeda dengan kebijakan dan tindakan NU sebagai organisatoris. Jadi, otoritas kiai dalam kepemimpinan NU menempati posisi paling tinggi, bahkan dalam hal tertentu, mampu mengalahkan kebijakan NU yang diputuskan sebagai keputusan jam'iyah.[53]

Perubahan sosial yang terjadi di awal masa reformasi paska runtuhnya Orde Baru, membuka peluang bagi NU untuk terlibat di ranah politik. Peluang itu menempatkan banyak kiai sebagai pengurus partai dan anggota legislatif. Dalam perkembangannya, peran politis mereka tidak menguntungkan kemandirian NU sebagai organisasi masyarakat.

Begitu pula ketika ajang Pilkada dan Pilpres datang. Peran kiai ikut menentukan perolehan suara bagi kandidat yang mereka dukung. Tak lebih dari itu. Kalaupun ada bentuk artikulasi kepentingan dari pimpinan partai kepada para kiai NU, itupun bersifat sesaat.

Dikotomi antara elit partai yang menentukan garis besar kebijakan partai, dan peran kiai di sisi lain bisa dibuktikan dari pemecatan jabatan yang dilakukan oleh pimpinan partai terhadap anggotanya yang dianggap tidak patuh pada organisasi. Termasuk pula pemecatan pada kiai NU dari jabatan-jabatan politik di parpol maupun parlemen.

Ini menunjukkan bahwa elit parpol,--sebagaimana dimaksud oleh konsep oligharki politik—memang jauh lebih berkuasa dan menentukan hitam putihnya sistem perpolitikan nasional dalam satu dasawarsa terakhir.

Menghadapi kondisi tersebut, NU sebagai entitas sosial keagamaan mulai intropeksi diri. Melalui beragam acara dan kegiatan organisasi, sejumlah kiai kharismatik mengutarakan perlunya penataan kembali NU agar tidak larut dalam arus politik pragmatis itu. Rais Aam KH Sahal Mahfudh, salah satunya.

Pada Muktamar NU di Surakarta 2004 lalu, ia meminta para peserta untuk membuat kesepakatan bagi para pengurus yang terpilih untuk tidak merangkap jabatan di institusi politik, baik parpol, parlemen, maupun pemerintahan. Forum Muktamar sepakat dengan usulan tersebut karena pemisahan NU dari politik sesuai dengan amanah khittah NU 1926.

Keputusan itu pula yang menjadi landasan politik para kader dan pengurus NU di daerah untuk menyikapi persoalan-persoalan politik di sekitarnya. Penelitian ini mengungkapkan perbedaan penafsiran atas keputusan kembali ke khittah 1926 bagi warga NU, dengan beragam cara mengungkapkannya melalui komunikasi politik. 

Bagi sebagian warga NU, semangat kembali ke khittah tidak berarti meninggalkan sama sekali dunia politik. Mereka masih bisa mencalonkan diri sebagai caleg, calon bupati/gubernur, dan bahkan capres/cawapres, dengan kapasitasnya sebagai pribadi dan bukan pengurus NU. Dalih inilah yang digunakan para kader NU lainnya untuk masuk politik.  

Tapi sikap apriori warga NU dan para santri terhadap pilihan politik kiai mereka, menciptakan bentuk perlawanan atas praktik-praktik politik kotor seperti suap dalam banyak acara pemilihan pengurus NU. Sikap menolak pilihan kiai adalah juga bagian dari kegiatan politik, namun untuk tujuan mulia; menjauhkan pesantren dan NU dari wilayah ‘kotor’ itu.

Persepsi negatif Gus Wasik, para santri dan sejumlah kader NU lainnya di Ngawi atas proses politik yang berkembang, membuktikan bahwa NU sebagai organisasi sosial dan keagamaan sudah semestinya menjauhi politik praktis dan menjalankan politik kebangsaan, sesuai amanah khittah 1926.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

 

5.1. KESIMPULAN

Tarik menarik kepentingan politik memasuki ranah keagamaan. NU sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, tentu tak luput dari jangkauan kekuasaan. Partai politik sering mencari dukungan untuk perolehan suara maupun untuk sumber legitimasi sosial bagi setiap kebijakan yang mereka keluarkan. Aktivitas  partai dan ormas baik di tingkat lokal desa, kabupaten hinga nasional semakin terbuka setelah banyak para kiai yang notabene elit NU, didaulat menjadi bagian dari kepengurusan partai.

Dinamika politik itu membawa perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Tak terkecuali dunia pesantren.  Dalam satu dasawarsa terakhir, banyak kader NU yang berasal dari dunia pesantren menggabungkan diri dengan partai politik hanya untuk urusan yang sifatnya pragmatis.

Selain menjadi pengurus partai, banyak kiai menjadi anggota legislative, DPD hingga kepala daerah. Selain berseberangan dengan khidmat organisasi NU yang menegaskan kembali ke khittah 1926, aktifitas pengurus dan warga NU di partai membawa efek buruk bagi organisasi. Pola hidup pragmatis, dan materialis akhirnya lebih mendominasi ketimbang perjuangan NU sebelumnya, kerakyatan dan kebangsaan.

Keterlibatan NU dalam politik juga menimbulkan perpecahan di tubuh oranisasi baik di pusat maupun daerah. Para kiai sepuh,--yang menjadi tauladan warga NU-- ikut terbelah pada aksi dukung mendukung partai ataupun perseorangan dalam ajang politik, sehingga umat ikut terpilah pada pilihan-pilihan mereka.

122

Baaimanapun peran kiai dalam pesantren begitu menentukan. Selain sumber ilmu agama, ia juga rujukan bagi perilaku dan sikap hidup umat. Dalam perspektif komunikasi politik, meminjam istilah Dan Nimmo (1993: 33), kiai dapat dikategorikan kepada kelompok komunikator profesional yang dapat mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol untuk membangun jaringan antarindividu dalam suatu kelompok.

Seorang komunikator profesional, kata Nimmo, adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa lain yang berbeda-beda tetapi dipandang menarik dan dapat dimengerti. Oleh karena itu, komunikator profesional, seperti halnya seorang kiai dalam komunitas muslim, berperan sebagai sosok yang dapat menghubungkan golongan elite atau sesuatu komunitas tertentu dengan khalayak umum. Secara horizontal, kiai juga berperan sebagai penghubung dua komunitas bahasa yang berbeda pada tingkat struktur sosial yang sama.

Mereka menjadi pemimpin karena alasan-alasan tertentu, seperti karena kepribadiannya, keelitannya dalam suatu komunitas, atau karena karisma dan senioritas yang dimilikinya dalam komunitas ter­sebut, dan bukan karena posisi formalnya dalam organisasi. Seca­ra sosiologis, mereka biasa disebut sebagai pemimpin simbolik.

Karena peran yang menentukan itulah, banyak parpol yang mendatanginya. Interaksi antara kiai yang bertanggungjawab atas pelestarian nilai-nilai agama dan budaya NU dengan Parpol yang menawarkan aspek pragmatisme membawa konkuensi panjang di tubuh ormas Islam terbesar di tanah air ini.

Budaya politik praktis menjalar di dunia pesantren. Kiai lebih suka terlibat dalam urusan pemilu, pemenangan calon kepala daerah dan pilpres ketimbang memperjuangkan visi misi NU sebagai organisasi keagamaan untuk kemaslahatan umat.

Tentu saja, tidak semua kiai NU memilih jalur itu. Diantara para elit NU yang masih jeli melihat dampak buruk dari politisasi di tubuh NU adalah Rais Aam PBNU, KH Sahal Mafudz. Keprihatinan Rais Syuriah  atas perkembangan NU, ternyata ada benarnya. Banyak kiai-kiai NU lebih memperjuangkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan organisasi. Jabatan structural di organisasi, menjadi rebutan banyak kepentingan dan komersialisasi jabatan sebagai pengurus NU --baik di pusat (PBNU, wilayah (PWNU) maupun di daerah (PCNU),-- pun tak terelakkan.

Proses pemilihan para pengurus NU pun menjadi tercemar oleh praktik suap yang dilakukan para kader-kader mereka sendiri. Budaya suap (money politic) yang awal munculnya dari parpol, kini menyebar di lingkungan pesantren.  Misi NU di bidang keagamaan dan kebangsaan menjadi terabaikan. Konflik antarkiai sebagai elit-elit agama dan elit politik pun sulit dihindari. Ini juga menandakan bahwa terjadi masalah komunikasi di tubuh NU.  Miskomunikasi terjadi baik antarkiai maupun antar elit NU di lingkungan organisasi maupun di lingkungan partai politik. 

Lebih menyedihkan lagi, masalah komunikasi politik tersebut melibatkan massa pendukung di bawah. Dari penelitian ini terungkap selain pola komunikasi internal NU, khususnya pesantren, proses komunikasi politik yang terjadi masih didominasi otoritas elite NU, baik secara institusional maupun individual sebagai faktor determinan dalam pola dan perilaku serta komunikasi politik Nahdliyin.

 Konstruksi komunikasi secara institusional dibangun atas otoritas yang dimiliki para pengurus struktural atau organisatoris NU, setiap kebijakan dan pesan politiknya didasarkan pada keputusan organisasi. Sementara secara personal, otoritas yang dimiliki kiai kharismatik dengan segala pengaruhnya menempati posisi komunikator elitis sehingga pesan politiknya dapat diterima baik komunikan Nahdliyin.

Tinggi rendahnya partisipasi politik NU tidak terlepas dari pengaruh faktor determinasi elite NU tersebut. Faktor determinasi dari otoritas, keelitean dan kharisma dari elite NU, selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politik, memberi pengaruh atau efek yang signifikan. Figur kiai senantiasa memiliki otoritas kharismatik sehingga selalu menjadi sorotan, tidak terkecuali dalam konteks politik.

Dari ranah politik, budaya persaingan dengan kekuatan modal menyebar juga di lingkungan NU. Para kader NU yang menjadi pengurus partai pun ikut-ikutan melakukan hal serupa saat pemilihan pemilihan kepengurusan organisasi di tubuh NU baik di pusat maupun daerah. Pola komunikasi yang dilakukan para elit NU menunjukkan persaingan yang berpotensi memecah belak NU. Persaingan politik di ranah organisasi, terlihat saat praktik suap (money politic) secara terang-terangan menjadi budaya tersendiri.

Budaya ini sebelumnya jarang terlihat di NU, lantaran, proses pemilihan jabatan sebagai pengurus NU tidak terlalu memberi implikasi politik yang besar. Sementara pada era setelah runtuhnya Orde Baru, jabatan-jabatan pengurus di NU memberi keuntungan yang menggiurkan bagi para politisi. Peralihan orientasi pun bergeser. Para pengurus organisasi NU dan juga kiai-kiai pendukungnya mulai pragmatis dalam memaknai sebuah jabatan organisasi.

Kasus politik yang terjadi di lingkungan NU kabupaten Ngawi membuktikan bahwa para pengurus NU tidak lagi ‘amanah’. Pun dengan beberapa elit agama yang menguasai pesantren, mereka abai pada persoalan-persoalan umat dan lebih menyukai kegiatan politik lokal. Selain meraih kursi DPRD, para elit NU mengkomersialkan posisinya untuk kepentingan-kepentingan politis.

Komunikasi diantara kiai pun berlangsung dalam kerangka menyikapi realitas itu. Sebagian kiai NU di Ngawi menolak campur tangan politik dalam NU, dan melarang kader dan warga NU untuk terlibat di dalamnya. Sementara kiai lain berpendapat bahwa selama para elit NU itu tidak menggunakan kapasitasnya sebagai pengurus NU maka dunia politik tidaklah masalah.

Hanya saja, kedua pihak sama-sama menggunakan bahasa yang sama dalam komunikasi mereka. Mereka sepakat untuk memerangi korupsi, menjalankan amanat NU, dan menghormati garis ketentuan NU untuk kembali ke khitah 1926. Mereka berbeda pandangan dalam menyikapi fenomena politik yang ada di sekitarnya. Sebagian kiai menggabungkan diri pada partai politik, sebagian lain menjauh dari arena itu. Satu hal yang menjadi catatan warga NU, bahwa kiai yang tidak melibatkan diri dalam politik, justru mereka mendapatkan apresiasi yang positif dan lebih dihormati pandangan dan pemikirannya.

Para kiai dan warga NU seperti itu seperti merujuk pada perilaku dan sikap tokoh NU di tingkat nasional seperti pandangan dan pemikiran Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh, untuk lebih perhatian pada dimensi kerakyatan, kebangsaan dan perjuangan sosial demi kemaslahatan masyarakat banyak. 

 

5.2. SARAN

Saran penulis terhadap penelitian lanjutan adalah perlu kajian mendalam mengenai pesantren NU lain, terutama pesantren NU di luar jawa  dan juga pola-pola komunikasi pesantren  tidak hanya terbatas pada pesantren NU saja, tetapi juga pesantren ormas yang lain seperti muhammadiyah, Majelis Tafsir Alqur`an (MTA) dan   lain sebagainya, karena meskipun secara jumlah mereka tidak sebanyak pesantren NU tetapi mereka patut juga diperhitungkan dan memiliki kekhasannya masing-masing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amal, Ichlasul, 1986, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Jogjakarta, PT Tiara Wacana.

Anam, Choirul, 1999, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,  Surabaya, Bisma Satu Printing.

Anwar, Ali, 2005, Avonturisme” NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan-Politik Kaum Nahdliyin, Bandung, Humaniora.

Arifin,  Anwar, 2003, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Arifin, Anwar 1984, Komunikasi Politik, Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia,  Jakarta, Balai Pustaka.       

Baxter, Leslie A., Earl Babbie, 2004,  The Basic of Communication Research, California, Thompson Wadsworth 

Bertrand, Jacques, 2012, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Yogyakarta, Ombak.

Burhanuddin, Kontroversi Parodi KH. Abdurrahman Wahid  dalam Republika, edisi  24 Novem­ber 2000.

Creswell, John W, 2003, Research Design, qualitative, quantitative, and mixed methods approach, California, SAGE Publication.

Creswell, John W, Research Design, Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods Approach, SAGE Publication, California, 2010.

Crowley, David, David Mitchell, (ed), 1998, Communication Theory Today, Oxford.

Dhofier, Zamakhsyari, 1984,  Tradisi    Pesantren,    Studi   tentang   Pandangan     Hidup    Kyai, Jakarta, LP3ES.

Dhofier, Zamakhsyari, September 2011, Tradisi Pesantren - Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta, Edisi revisi, LP3ES.

 

Gareth Morgan, Image of Organization, Beverly Hills, CA : Sage, 1986 dan Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition, USA, Thomson Wadsworth Chapter 9 dalam (teori komunikasi,2009, penerbit salemba humanika).

Hardiman, F. Budi, 2013, Dalam Moncong Demokrasi, Kanisius.

Hennink,  Monique, Inge Hutter,  Ajay Bailey, 2010, Qualitative Research Methods, London, SAGE Publications Ltd.

Hennink, Monique, Inge Hutter, Ajay Bailey, 2011,  Qualitative Research Methods, London, SAGE Publications Ltd.

Horikoshi, Hiroko, 1987, Kiai dan Perubahan Sosial, Jakarta, LP3ES.

J. Shoemaker, Pamela, Stephen D. Reese, 1996, Mediating the Massage: Theories of Influences on Mass Media Content,  New York, 2nd edition, Longman.

Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss, 2010, 2011, Teori Komunikasi (Theories of Human Communication) , Jakarta, edisi 9, Penerbit Salemba Humanika, hal. 359-382 (u/ organisasi).. hal 386-387 (u/ budaya).

Littlejohn, Stephen W, 2002, Theoris of Human Communication, New Mexico,  Sevent Edition.

Littlejohn, Stephen W, Kathy Domenici, 2007, Communication, Conflict, and the Management of Difference, Illinois, Waveland Press.

 Mahfudh, Sahal, KH, 1999, Pesantren Mencari Makna, Jakarta, Cet.I, Pustaka Ciganjur.

 Martin, Judith N., Thomas K. Nakayama, 2007,  Intercultural Communication in Contexts, 4th  Edition, New York, McGraw-Hill

Muhammad, 2010, Volume 12, Nomor 1: 57-65. Nahdlatul Ulama dan Perubahan Budaya Politik di Indonesia, Jurnal el-Harakah.

Mulkhan, Abdul   Munir,  2009,  Politik   Santri   :   Cara   Merebut   Hati   Rakyat,   Yogyakarta, Kanisius.

Mulyana, Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar , Bandung, Remaja Rosda Karya.

 

Neuliep, James W., 2006,  Intercultural Communication; A Contextual Approach, 3rd  Edition, London, SAGE Publications.

 Nimmo, Dan, 1999, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Terjemahan Jun Sumajan, Bandung, Remaja Rosda Karya.

Nimmo, Dan, 2000, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung, Rosdakarya.

Nizar, Samsul Prof Dr H, MA et Al, 2013 Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual (Pendidikan Islam di Nusantara), Jakarta, Kencana Predana Media Grup.

Pacanowsky, Michael dan O'dONNEL-Trujillo, Nick, 1983, Organizational Communication As Culturalperformance, Communication Monographs 50,  lihat juga Viktor Turner, 1974, Drama, Fields, and Metaphors, Ithaca, New York, cornell University Press.

Patton, Michael Quinn, 2002,  Qualitative Research and Evaluation Methods, California, SAGE Publications.

Saeful Muhtadi, Asep, 2004, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, Jakarta, LP3ES.

Said Ali, As’ad, 2008, Pergolakan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati, Jakarta : LP3S.

Saiful Mujani, 27 Juli 1998 Partai Agama: Sebuah Penjelajahan Global, Jakarta, Harian Republika.

Van Bruinessen, Martin, 2013, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik,   Jogjakarta, Penerbit Gading.

Wahid, Abdurahman,....... Menggerakkan Tradisi : Esai-esai Pesantren, Jogjakarta, LkiS.

Wahid, Abdurrahman 2009, Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta, The Wahid Institute Press.

Wahid, Abdurrahman, 2009, Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa, Volume 15, Nomor 1:25-34.

Wahid, Marzuki, Abd Moqsith Ghazali, 2005, Vol. 04 No. 01, Relasi Agama dan Negara: Refleksi Pemikiran NU,  Jurnal Istiqro.

 

Lampiran

Wawancara dengan Pengasuh Pesantren Al Amnaniyah KH Wasik Amruri (50)

Tanya : Assalamu’alaikum gus.. gimana kabarnya?

Jawab : Wa’alaikum salam, Alhamdulillah baik. Maaf memang begini, harus malam hari bisa ada waktu (wawancara). Jadi apa yang mau ditanyakan.

Tanya : Seperti janji kemarin (janji untuk menjelaskan semua hal terkait pesantren), apakah kiai mendukung salah satu parpol? Kenapa?

Jawab : Kita tidak pernah mendukung mereka (parpol manapun). Kita ingin NU memegang tegung khittah organisasi agar tidak melibatkan diri dalam urusan-urusan politik. Apapun bentuknya, baik di partai politik, caleg, pilihan bupati, maupun pilihan-pilihan politik lain.

Tanya : Apakah ada tawaran dari partai untuk bergabung?

Jawab: Ada banyak. Yang kemarin datang kesini saja dari demokrat, nasdem kemudian caleg dari gerindra juga ada dan ada perwakilan dari partai-partai itu.

Tanya : Bagaimana dengan PKB       ?

Jawab : PKB itu sudah lama sekali. Kang Taufik (Gus Taufik, saudara) yang sampai kini masih jadi DPRD (angota DPRD Ngawi). Kalau saya ikut-ikutan ya tidaklah.. yang pasti, kalau ada caleg atau apa yang minta untuk sowan ya kita terima. Wong mereka tamu kita, masak ditolak. Saya juga kenalkan dengan para pengasuh pondok lain, gus yus, sugeng dan subakir..

Tanya:  Kenapa Kiai menolak semua tawaran partai? Bukankah gusdur yang melibatkan diri di PKB juga jadi panutan wara NU?

Jawab : Memang gusdur yang membidani lahirnya PKB. Saya dulu yang pertama ikut mendukung PKB di Ngawi. Tapi itu dulu, ketika PKB mempunyai visi misi kebangsaan. Awalnya kan begitu. Seiring perjalanan, banyak orang NU yang  membesarkan PKB melihat perubahan perjuangan. Jika dulu kebangsaan kini untuk polotik DPR saja. Banyak orang NU yang kecewa. Maka pada muktamar di Solo, KH Sahal membuat kontrak agar NU kembali ke khittah ditegaskan lagi,. Ini karena KH Sahal melihat PKB sudah tidak mewakili khittah NU. Kalaupun ada yang mengaku masih memperjuangkan politik kebangsaan itu hanya ‘kembang lambe’.. lipsservice.. yang mereka lakukan tak beda dengan partai lain..

Tanya : Maksud Kiai sama dengan partai lain?

Jawab : ya apalagi kalau nggak untuk mereka sendiri. Mereka dapat posisi.. jadi dewan, pengurus partai dan ada yang bupati tapi untuk kepentingan materi sendiri. Nah, organisasi NU yang memayungi hanya dijadikan massa saja. Kalau ada bantuan ke NU itu lebih untuk mencari dukungan pemilu saja. Juga yang jelas untuk kekayaan mereka saja.

Tanya : Apa akibatnya bagi NU dan khususnya pesantren?

Jawab : ya.. cukup banyak. Salah satu yang pasti cara-cara partai seperti KKN, dan sogok menyogok diikuti oleh orang orang NU yang ada di organisasi. Lihat saja pemilihan kemarin (Konfercab PCNU 2013).. anda bisa dengar sendiri kan.. semua peserta seolah sudah di set (diatur) agar salah calon ketua PCNU saja yang masuk.. dan hasilnya sudah jelas bisa dipastikan (Ketua PCNU Isrodin). Juga dengan Syuriahnya..

Tanya : Apakah Kiai merasa ada kecurangan di Konfercab untuk memilih pengurus NU Ngawi ?

Jawab : bukan hanya saya saja.,. semua orang bisa mengetahui itu. Coba anda Tanya deh, ke peserta-peserta itu apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Makanya, yang kita sayangkan bukan pada kalah menangnya ketua NU, tapi cara cara mereka yang akhirnya orang NU di bawah ikut-ikutan..

Tanya : Jadi budaya money politics sudah menyebar di NU Ngawi?

Jawab : Tentu saja  ada.. mengenai berapa besarnya duit yang digunakan untuk menyuap orang-oran NU di bawah itu kita tak tahu.. yang jelas., praktik seperti itu yang seharusnya dihindari di NU. Kenyatannya, hal sama kan banyak terjadi di daerah-daerah lain. Bahkan di pusat pun antara kiai-kiai sepuh masih bersilang pendapat mengenai hal itu. Maka kita-kita di bawah ya jelas sudah bahwa sesuai hati nurani kita yang mengharapkan NU terus menjaga faham aswaja juga menjunjung tinggi perilaku akhlakul karimah. Perilaku kiai harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak ikut-ikutan KKN apalagi main suap untuk memenangi suatu jabatan. Tidak baik itu,..,

Tanya : Bagaimana pandangan Kiai atas khittah NU?

Jawab : NU yang harus menghindari politik, itu sudah final,. Namun yang perlu menjadi instrospeksi kita bersama adalah budaya KKN itu tidak digunakan di NU. Semua memang berasal dari para kader NU sendiri di partai. Mereka sudah nyaman dengan jabatan dewan atau apalah yang menghasilkan banyak uang. Dan uang mereka dibagi-bagikan ke NU untuk mencari dukungan. Akhirnya NU di bawah ikut-ikutan budaya itu. Nah, ini yang harus kita cegah. NU harus kembali ke khittah dan menegakkan faham kebangsaan juga kejujuran dan perilaku akhlakul karimah. Itu yang penting.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wawancara dengan Pengasuh Pesantren Al Amnaniyah II KH Taufik Amnan (52)

Tanya : Assalamuailaikum. Gimana kabarnya DPRD gus?

Jawab : Alhamdulillah baik.. mungkin tahun ini (pemilu 2014) saya tak aktif lagi..

Tanya :  Maksud gus mundur dari politik?

Jawab : Bukan dari politik..  tapi dari caleg. Saya tak berniat maju lagi menjadi anggota dewan. Capek.. sudah tiga peroide saya mengabdi di sana (Anggota DPRD Ngawi). Sudah saatnya ngurusi pondok..

Tanya : Kenapa mundur?

Jawab : ya itu tadi sudah saatnya merawat umat di bawah.. pondok saya membutuhkan penataan yang lebih baik agar masyarakat sini bisa memanfaatkan pendidikan yang baik. Kita kasihlah pelayanan yang baik kepada masyarakat..

Tanya: Apakah selama ini kurang memberi perhatian kepada umat?

Jawab : Bukan begitu, kalau selama ini saya aktif di PKB dan dewan, itu juga untuk kepentingan masyarakat khususnya NU juga. Tapi sekarang saya merasa perlu untuk lebih dekat dengan mereka.. lebih dekat dengan kaum dhuafa yang membutuhkan bantuan pendidikan, dan itu prioritas saja..

Tanya : Bagaimana dengan jabatan di PKB?

Jawab : Masih.. di pengurusan masih.. itu juga amanah dari umat NU juga. Kan PKB didirikan oleh NU. Jadi kita wakili suara NU di ranah politik.

Tanya : Bagaimana dengan kritik warga NU sendiri yang memandang praktik politik yang dilakukan kader NU tidak lagi mencerminkan budaya NU?

Jawab : Wah.. itu NU yang mana? Kalaupun itu ada, yang jelas tidak seperti itu kondisinya. PKB ini kan partainya orang NU. Kita harus ikut menjaganya agar tetap eksis demi memperjuangkan kepentingan NU di politik. kalau sarana untuk menyalurkan kepentingan politik itu tidak ada, maka NU akan terjun ke partai-partai lain. Yang bisa menyuarakan NU adalah PKB. Persoalannya kalau ada kader-kader NU di politik itu bermain kotor, maka ya kader itulah yang harus kita singkirkan. Jangan kita lalu menjauh dari PKB, lalu teriak-teriak PKB sudah korup seperti partai lain. Tidak seperti itu..

Tanya : Bagaiamana pandangan Khittah menurut anda?

Jwab : kita sebagai warga NU sudah seharusnya menjalankan amanah Khittah 1926 itu. Saya di partai politik ini pun juga menjalankan khittah itu.

Tanya : Bagaimana penjelasannya?

Jawab : begini. Substansi khittah itu kan substansinya menjalankan politik kebangsaan. Karena politik NU adalah politik kebangsaan. Nah, sarana untuk memperjuangkan politik kebangsaan itu apa kalau tidak lewat partai. Oleh karena itu, kader-kader NU yang ada di PKB, semuanya memiliki visi yang sama untuk menjalankan amanah khittah di bidang politik. selain visi keagamaan, nilai-nilai aswaja juga disuarakan lewat PKB. PKB ibarat kendaraan untuk membawa cita-cita NU. Saya kira pendapat Gus Dur tentang politik dan juga KH Hasyim Muzadi tentang NU dan PKB, ada benarnya. Gusdur dan kiai Hasyim sama-sama mendukung keterlibatan kader NU di partai.

Tanya : Bagaimana dengan akibat dari keterlibatan kader NU bagi NU yang dianggap merusak ?

Jawab : Merusak seperti apa?

Tanya : Maraknya praktik suap dan KKN di lingkungan NU dan pesantren?

Jawab : Lhoo itu kan masalah pribadi-pribadi.. itu oknum-oknum yang tak bisa dijadikan representasi institusi. Kalau ada pengurus NU Ngawi yang main curang dalam politik, ya kita harus singkirkan dia. Jangan terus dibuat larangan NU untuk berpolitik. Itu tidak bisa.. kita semua sependapat dengan prinsip NU yang harus menjaga nilai-nilai kejujuran, toleransi dan akhlakulkarimah dipertahankan. Prinsip itu sudah final. Masalahnya, bagaimana menjalankan nilai-nilai kebaikan itu ke masyarakat. Kita tidak bisa apriori pada partai, karena itu tempat kita menjadikan sarana untuk membumikan nilai-nilai kebaikan itu.

Tanya : Bagaimana dengan ketidakberdayaan kader NU berhadapan dengan kekuasaan partai?

Jawab :  kita tak boleh kalah dalam memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan NU. Itulah tugas kita memberi kesadaran kepada kawan-kawan kita juga yang ada di partai. Kalau ada yang salah, kita ajak mereka kembali ke jalan yang benar. Intinya, jangan mundur dan jangan menyerah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wawancara dengan alumni Pesantren Al Amnaniyah, Sawilan (45):

Tanya : Slamat siang. Gimana pandangan bapak pada sosok kiai Al Amnaniyah?

Jawab  : Al Amnaniyah yang mana ni.. yang diasuh Gus Wasik atau Gus Taufik..

Tanya : Keduanya.

Jawab : Ya.. saya hormat pada keduanya. Mereka bersaudara adalah putra Gus Sol (KH Soleman) guru saya dulu disitu. Saya lebih sering sowan juga ke situ (pondok) dan banyak diskusi dengan Gus Wasik tentang segala hal. Termasuk pesantren, NU dan politik.

Tanya : Apa pendapat anda tentang aktifnya kiai di politik?

Jawab : Ya sama dengan Gus Wasik lah,.,. kita tak ingin peran kiai dikalahkan oleh orang-orang partai. Selama ini kan begitu. Mana ada kiai yang di partai bisa mengegolkan usulan-usulan yang baik dijalankan. Nyatanya orang partai tetap seperti semula, mereka menerima dana-dana yang ‘tak jelas’ dan itu bukan rahasia lagi. Bahkan di pemilihan ketua NU Ngawi saja, saya sendiri yang mengetahui bagaimana para calon menggunakan dana untuk menyuap peserta. Ini kan sudah parah. Itu yang tidak dibenarkan oleh Gus Wasik.

Tanya: Bagaimana dengan Gus Taufik?

Jawab : Gus-e.. (Gus Taufik) baik juga. Dia aktif di PKB dan dewan ngawi. Hanya saja, jabatannya disitu banyak orang termasuk santri-santri sesama saya banyak yang memberi masukan.

Tanya : Masukan bagaimana? Apa saja?

Jawab : masukan banyak hal.. mulai dari diskusi juga masalah-masalah yang berkembang sekarang dan kita juga ingin tahu banyak tentang perpolitikan di Ngawi dari beliau.

Tanya : Apakah termasuk saran tentang perihal praktik suap menyuap di NU Ngawi?

Jawab : hahaha.. ya itu tak mungkin lah.. Gus-e lebih tahu dari pada kita-kita. Memang di antara kawan-kawan santri dan alumni termasuk saya juga, sudah banyak tahu tentang permainan para kader NU di partai dan NU. Mereka seperti di partai lain, mulai banyak berkecimpung di dunia politik sehingga lupa pada misi perjuangan NU untuk menyebarkan ajaran islam yang baik. Seperti tidak sombong, jujur, amanah dan tidak terlibat korupsi.

Tanya : Apakah ada yang melakukan praktik itu?

Jawab : Ya tentu saja. Saya tahu sendiri orangnya. Bahkan saat pemilihan ketua NU kemarin di pondoknya gus wasik, ada peserta yang menerima aliran dana dari calon ketua. Ini kan yang tidak baik bagi organisasi. Apalagi ini NU gitu.. jadi ya tentu orang partai juga yang membantu pemenangan menjadi ketua NU.

Tanya: Apakah Isrodin (Ketua PCNU terpilih) yang melakukan?
Jawab : Kawan-kawan saya yang menjadi peserta mengatakan itu. Memang ada fasilitas dari pak isrodin sehingga peserta Konfercab mengikuti petunjuk salah satu tim suksesnya, kalam. Dan itu berlangsung di pondok pesantren. masyaallah.,. kok begitu.. makanya, dari awal Gus-e (Gus Wasik) benar sekali menyarankan agar mundur dari politik. akibatnya ya itu tadi, suap-menyuap yang biasa dilakukan di politik kini akhirnya masuk ke pesantren. makanya diantara teman-teman bahkan kurang begitu menghormati kiai yang terjun ke politik.  

 

 

 

 

 

 

 

 

Wawancara dengan santri Pesantren Al Amnaniyah, Ahmad Subakir (37)

Tanya : Bagaimana pandangan anda tentang Gus Wasik dan Gus Taufik?

Jawab : Tentang apanya?

Tanya : pandangan kedua kiai itu pada masalah-masalah politik?

Jawab : oo.. ya semua orang bisa tau lah kalau Gus Wasik jauh lebih berilmu dan tidak berpolitik.

Tanya : Apa seharusnya kiai tidak berpolitik?

Jawab : menurut saya ya harus begitu. Kiai tidak boleh mengurusi pemenangan caleg, partai dan lainnya, yang membuat umat jadi tidak menghormati.

Tanya : Kenapa tidak menghormati?

Jawab : Karena sudah bukan rahasia lagi kalau politik baik di DPRD dan PKB sekarang ini banyak membuat orang kaya-kaya. Masak kiai bisa kaya dari politik. kan rasanya tidak tepat gitu.

 



[1] Mahfudh Sahal, KH 1999, Pesantren Mencari makna Pustaka Ciganjur cet.I

[2] Wahid Abdurahman, KH,  Pesantren Sebagai Sub Kultur,  Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren , Jogjakarta, LkiS.

[3] Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan sering kali pembahasan serupa yang diulang-ulang selama jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlain-lainan. Dimulai dengan "kitab kecil" (mabsutặt) yang berisikan teks ringkas dan sederhana, pengajian akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkat "kitab sedang" (mutawassitặt). Kiai bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk memilih mana yang akan ditempuhnya. Kalau si santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, tentu saja akan dibutuhkan waktu yang sangat lama, yang bahkan dapat mencapai masa belasan tahun. Akan tetapi, keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada kiainya, karena tidak adanya keharusan menempuh ujian atau memperoleh diploma dari kiainya itu. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya kepada sang kiai dan kernampuannya untuk memperoleh ngelmu dari sang kiai. Dengan

demikian, kebesaran seorang kiai tidak ditentukan oleh jumlah bekas santrinya yang di kemudian hari menjadi kiai atau menjadi orang-orang yang berpengaruh di masyarakat (Abdurahman Wahid, pesantren sebagai sub kultur ) hal2-3

.

[4] keunikan pengajaran di pesantren juga dapat diternui pada cara pemberian pelajarannya, dan kemudian dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, di mana sang kiai membaca, menerjemahkan, dan kemudian menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan dalam teks yang sedang dipelajari. Kemudian si santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan sang kiai atau setelah ia kembali ke biliknya, ataupun dalam pengajian ulang antara sesama teman setmgkat pengajian (pengajian ulang ini memiliki nama bermacam-macam: musyawarah, takrar, mudrasah, jam'iyah, dan sebagainya). Karena semua mata pengajian yang diberikan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, tentu saja segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya menjadi perhatian pokok sang kiai. Karena hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan dari cara-cara menyuakan diri untuk melakukan ibadat ritual hingga pada ketentuan prosedural tata niaga yang diperkenankan oleh agama, maka pemberian pengajian oleh sang kiai kepada para santrinya sama saja artinya dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri (Abdurahman Wahid, pesantren sebagai sub kultur ) hal 3

 

[5] Ibid 22

[6] Ibid 22

[7] Prof Dr H Samsul Nizar, MA et Al, “ Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, (Jakarta, Kencana Predana Media Grup, 2013) hal.120.

[8]Tercatat, sebanyak 13.477 pesantren dari jumlah tersebut masih tradisional. Pengertian pesantren tradisional (salafiyah) mengacu pada pola pembelajaran yang mengedepankan kitab kuning tanpa terlalu menekankan adanya lembaga pendidikan formal semacam madrasah atau sekolah. Sementara jumlah  pesantren modern (‘ashriyah) adalah 3166.  Pesantren modern (‘ashriyah) menekankan pendidikan formal, meski juga mengaji kitab berbahasa Arab, totalnya sekitar 3166.  Jadi, masih lebih banyak pesantren tradisionalnya.

[9] Lihat Stephen W. Littlejohn, Theoris of Human Communication (sevent edition), (New Mexico, 2002) dan David Crowley dan David Mitchell, (ed), Communication Theory Today, (Oxford, 1998) dan Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 65-89.

[10] Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese, Mediating the Massage: Theories of Influences on Mass Media Content, 2nd edition, (New York: Longman, 1996).

[11] Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.72-73.

[12]  Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 105

[13]  Selain itu, untuk mencapai tujuan komunikasi politik adalah menciptakan kebersamaan antara politikus dengan khalayak (rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofihs. Hal itu diperlukan agar komunikator politik dapat melakukan empati. Komunikasi politik yang ditujukan kepada khalayak (rakyat) atau individu yang selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan individu-individu lain, dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, (Bandung: Rosdakarya, 2000, h. 7.

[14] Dalam proses komunikasi politik, peranan media menjadi penting, tidak hanya dalam konteks pendistribusian secara umum, tetapi pada nilai berita yang diterima khalayak atau publik. Karena itu, persoalan yang paling esensial dalam komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis memanfaatkan media massa dalam membentuk citra dan pendapat umum yang positif bagi partai politik atau lembaganya atau aktivitasnya dalam masyarakat sebagai pekerja politik atau aktivis yang peduli politik. Komunikasi politik, sosialisasi politik, citra politik dan pendapat umum, pada akhirnya menuju pada sasaran dan tujuan yaitu; terciptanya partisipasi politik dan kemenangan para politikus dan partai politiknya dalam pemilu sebagai jembatan meraih kekuasaanAnwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 105

[15] Dan Nimmo, Komunikasi Politik: (Komunikator, Pesan, dan Media. Terje     mahan Tjun Sumajan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 7

[16] Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 99.

[17] Gareth morgan dalam Stephen w littlejjohn, Karen Afoss, Teori Komuniasi, edisi 9 salemba humanika, Jakarta, 2009, hal.383.

[18] Sunarto, dalam Jalaluddin Rakhmat,  “ Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung,  2009, hal.21.

[19] Tubbs dan Moss dalam Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, suatu pengantar,  Rosda Karya, Bandung, 2001 hal.26.

[20] Rakhmat Jalaluddin,  “ Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung,  2009, hal.46.

[21] Monique Hennink; Inge Hutter; Ajay Bailey, Qualitative Research Methods – 2010.

[22] John W Creswell, Research Design, qualitative, quantitative, and mixed methods approach, Sage Publication, California, 2003.

[23] Demikian penegasan Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya.

 

[24]  Kapan pun NU selalu menegaskan bahwa Pancasila merupakan dasar dan ideologi Negara. Hal itu tidak lain karena sejak awal berdirinya republik ini NU telah sepakat menerima Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan, Pancasila merupakan kesepakatan terbaik yang pernah dibuat bangsa ini, sebab Pancasila tidak hanya memuat nilai-nilai agama secara substantif, tetapi juga merupakan ekspresi yang dalam dari budaya Nusantara. Lihat Sahal Mahfudh dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya, tahun 2007.

[25] Bagi kelompok itu Pancasila bukan sesuatu yang berharga, tetapi akibat desakan untuk penegasan syariat Islam belakangan ini, baik di level lokal maupun nasional yang begitu marak. Mereka yang mengidap Islamofobia itu segera bereaksi dengan serta merta mengajak kembali mengunakan Pancasila sebagai landasan hidup bersama. Dengan demikian posisi dan kepentingan mereka relatif terlindungi oleh Pancasila yang pluralistik. Jadi pilihan mereka pada Pancasila didasarkan pada prinsip akhafu dloruraini (pilihan di antara dua marabahaya yang lebih ringan). Bagi mereka Pancasila lebih kurang bahaya dibanding syariat Islam, maka mereka memilih Pancasila sebagai bahaya kecil yang bisa diatasi dengan cara memanipulasi atau mengamandemen di kemudian hari. Berbeda dengan beberapa kelompok yang muncul belakangan ini, banyak orang dan kelompok yang dulunya tidak pernah menyebut kata Pancasila, bahkan anti terhadap wawasan kebangsaan. Mereka kelompok liberal yang hanya mengenal Declaration of Independence, atau UnIersal Declaration of Human Right, tetapi tiba-tiba menegaskan pilihannya terhadap Pancasila. Bagi mereka ini, Pancasila bukan pilihan terbaik, melainkan pilihan buruk di antara pilihan terburuk lainnya.

[26] Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali, "Relasi Agama dan Negara: Refleksi Pemikiran NU", dalam Jurnal Istiqro Vol. 04 No. 01. tahun 2005, h.159

[27] Bagi NU Pancasila memang sebuah pilihan filosofis bahkan menjadi pilihan ideologi. Tetapi kelompok lain baik dari kalangan komunis, Islamis dan liberalis, Pancasila hanya pilihan taktis, karena itu setiap saat akan diganti dengan landasan baru sesuai dengan aspirasi politik mereka. Karena itu tuntutan pada liberalisme, Islamisme dan mungkin komunisme kembali muncul. Sementara NU tetap tegar pada pilihannya, bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila itu merupakan bentuk final. Tinggal mewujudkan komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Ahmad Sidiq, Khittah Nahdliyah, (Jakarta; PBNU, 1984).

 

[28] Pernyataan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh tersebut disampaikan pada Rapat Pleno PBNU, april 2005

[29] Apa yang disebut khittah sebenarnya bukan sekadar pro-politik atau anti-politik, tetapi lebih pada kuatnya integritas moral dan kuatnya penguasan ilmu serta besarnya amal sosial, apabila kesemuanya itu dikerjakan dengan kesungguhan sesuai dengan mabadi khaira ummah (prinsip pengembangan umat) maka akan membawa perubahan sosial yang mendasar sehingga imbasnya akan melahirkan kekuatan politik, sebagai kekuatan moral. Sayangnya justeru hal itu yang pudar dari NU selama ini, bukan oleh politisasi, tetapi lebih oleh pragmatisasi dan materialisasi. Derasnya arus pragmatisme  dan materialisme  telah menghilangkan nilai-nilai moral, sedikitnya pengetahuan membuat tidak jelasnya langkah  dan tujuan. Demikian juga hilangnya semangat pengabdian , karena kuatnya keinginan mencari keuntungan dari organisasi, maka hilang pula rasa pengabdian pada organisasi dan masyarakat. Lihat Ahmad Sidiq, Khittah Nahdliyah, (Jakarta; PBNU, 1984).

 

 

[30] Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: Rosda Karya, 1993), h.33.

[31] Otoritas karismatik, menurut Tiachler (1990: 492), berpe­ran sebagai sumber inspirasi di antara para pengikutnya. Sehingga pesan-pesan yang disampaikan kiai akan diterima se­cara taken for granted oleh para pengikutnya. Sebagai contoh menarik dapat disebutkan di sini, misalnya, ketika salah seorang elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan dukungan dan ketaatannya kepada KH. Abdurrahman Wahid, sehingga berani mengambil keputusan politik apa pun asal sesuai dengan kehendak KH. Abdurrahman Wahid. Ia akan mengatakan "kuning" kepada sesuatu yang sebetulnya bukan "kuning" jika KH. Abdurrahman Wahid telah mengatakannya bahwa sesuatu itu adalah "kuning".

[32] Simbol-simbol yang biasa diguna­kan NU dalam berkomunikasi biasanya dengan menggunakan lambang-lambang tertentu yang hanya bisa dipahami oleh dunianya sendiri. Gaya komunikasi lisan yang dilakukan dalam suasana egaliter, rileks, dan cenderung penuh lelucon merupakan media penting yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan pesan-pesan apa pun, mulai dari masalah­masalah pribadi, keluarga, agama, hingga persoalan-persoalan sosial politik tingkat tinggi. Jika telah terlibat dalam suasana yang seolah-olah hanya bisa dinikmati oleh dunianya sendiri, mereka bisa mengesampingkan acara apa pun, menolak dan bahkan membatalkannya dengan otoritas yang tak bisa dibantah, jika ternyata ada hal lain yang meminta keterlibatannya. Mereka larut dalam keakraban suasana yang bisa menghabiskan waktu seolah-olah tanpa batas. Sinansari Ecip dalam catatannya, "Komunikasi Lambang Alias Simbol dalam NU", dalam Republika, edisi 25 Nopember 1999.

[33]  Di antara simbol-simbol keagamaan yang berkembang di dunia pesantren adalah upacara manaqiban. Inti acara ini adalah membaca manaqib yang berarti riwayat hidup seseorang. Dalam acara ini biasanya dibacakan riwayat hidup Rasulullah (dengan membacaan qasidah barjanzi) atau riwayat hidup Syekh Abdul Qadir Jailani. Seorang kiai biasanya menjelaskan kandungan naskah yang dibacakan. Lewat acara ini seperangkat transmisi nilai dan ajaran dilakukan, baik sebelum kiaah-kiaah itu dibaca­kan dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, maupun sesudahnya. Acara ini pada awalnya berkembang di dunia tarekat, khususnya Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah. Tapi kemudian berkembang di dunia pesantren, karena pesantren juga sebetulnya diakui sebagai lembaga penyangga tradisi tarekat. Para santri di pesantren umumnya belajar manaqiban, agar pada saat-saat diperlukan mereka dapat membacakannya secara bergiliran.

[34]  Dalam pendekatan tasawuf yang menjadi warna khas kehidupan pesantren, posisi kiai sebagai guru dianggap memiliki kelebihan dalam memberikan berkah yang dapat menentukan diperoleh-tidaknya suatu ilmu. Hal inilah yang kemudian bisa menerangkan mengapa jamaah NU khususnya santri meletakkan kiai di atas segalanya; mereka selalu berebut lengan kiai untuk disalami dan dicium, berebut sisa makanan dan minuman, atau rela melakukan apa pun demi sang kiai. Suatu penghargaan yang didasarkan pada keper­cayaan bahwa di akhirat keiak, umat Islam berada di belakang kiai, dan kiai berada di belakang Rasulullah, yang dengan demikian mereka akan selamat dan masuk sorga.

[35]  Mimpi sebenarnya merupakan salah satu saja dari sekian banyak isyarat yang diperoleh setelah melakukan shalat istikharah. Tetapi mimpi merupakan hal terpenting dalam dunia pesantren. Orang-orang Jawa biasanya menggunakan istilah diimpeni untuk mimpi yang mengandung arti. Dalam perkataan tersebut tersimpul seolah-olah mimpi itu merupakan kejadian yang dikehendaki oleh alarn gaib sebagai media untuk menyampaikan suatu pesan. Jadi bukan suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Kemudian, karena mimpi berarti mendapatkan isyarat dari alam gaib, kalangan pesantren juga terbiasa melakukan upaya memperoleh isyarat lewat mimpi dengan melakukan ibadah tertentu terutama untuk memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupannya. Misalnya dengan mencari impian melalui tirakat atau semadi di makam-makam para wali atau guru-guru tarekat. Itulah sebabnya, berziarah atau mengunjungi makAamakam keramat menjadi tradisi yang mengandung nilai religius di kalangan kaum Nahdliyin.

[36]  Tradisi belajar yang dikembangkan di pesantren-pesantren umumnya meliputi dua jenis sistem pembelajaran, yaitu sistem sorogan dan bandongan. Dalam sistem sorogan murid-murid dibim­bing secara individual sesuai dengan kemampuan dan kitab-kitab yang dipelajarinya. Sistem sorogan biasanya diberikan kepada santri-santri yang baru masuk untuk memperoleh binaan secara intensif. Sedangkan dalam sistem bandongan, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan dan menerangkan sesuatu mata pelajaran. Jumlah santri yang mengikuti sistem ini bisa mencapai ratusan orang dan sedikit sekali waktu yang diaediakan untuk tanya-jawab. Kiai menyam­paikan materi pelajarannya secara monolog. Sistem ini biasa juga disebut sistem wetonan dan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren tradisional. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Suatu Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES,1994), h. 60.

[37] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Suatu Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES,1994), h.61.

[38]  Karakteristik kiai yang digambarkan Cholil Bisri di atas tampaknya sangat mempengaruhi perilaku komunikasi kiai ke­tika melakukannya dengan pihak-pihak lain. Sifat-sifat kiai yang terbiasa berada di lingkungan "kerajaan" (pesantren) dengan pendirian atau gayasannya yang tidak bisa digugat, pada bebe­rapa segi cenderung terbawa pada kehidupan di luar pesantren dan dalam urusan yang berbeda. Apalagi, meminjam istilah Kiai Bisri, sikapnya yang "tak bisa dikoreksi" itu tidak hanya berlaku di kalangan santrinya sendiri tapi juga berlaku bagi kelompok lain yang dianggapnya sebagai "anak buah". Dalam kasus organisasi politik, misalnya, kiai sebagai pemimpin sering me­nerapkan sikap, "tidak bisa dikoreksi" tersebut, sehingga memberikan kesan organisasi politik sama dengan pesantren. Pada saat yang sama, jajaran elite politik lainnya juga cenderung mengikuti apa kata kiai, baik dalam kapasitasnya sebagai pe­mimpin partai maupun sebatas elite karismatik yang berada di luar wilayah formal. Secara spesifik, perkataan Kiai Cholil Bisri ini ditulis ketika mendiskusikan posisi KH. Abdurrahman Wahid dalam konteks politik yang mengitarinya. Lihat, M. Cholil Bisri, "KH. Abdurrahman Wahid di Antara Para Kiai", dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla, (ed.), Gila KH. Abdurrahman Wahid.- Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 79.

[39] Meskipun demikian, pada tingkat tertentu, budaya berbeda pendapat juga tetap berkembang di kalangan Nahdliyin. Seperti dikemukakan di atas, perdebatan dalam forum bahts al-masail adalah gambaran umum budaya berbeda pendapat yang dianut para kiai NU. Seolah tidak ada sekat pembatas hierarkis di antara sesama kiai. Bahkan kritik sekalipun, biasa terjadi di antara sesama kiai. Perdebatan dan kritik biasanya disampaikan dalam suasana persahabatan, egaliter, yang sesekali diselingi guyonan spontanitas. Para kiai itu kalau sudah “jagongan" dengan sesamanya, sangat sering tidak mempertimbangkan waktu. Manakala mereka merasa 'gayeng", bisa sampai semalam suntuk. Mereka bisa saling "locoh", seperti ketika mereka masih menghuni pesantren.

[40] Deddy Mulyana, Komunikasi politik: Suatu Pengantar, (Bandung: Rosda,2001),         h. 103.

[41]  Menurut Ernest Gassier, di antara keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah karena keistimewaannya sebagai animal symbolicum. Karena kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, menurut Susanne K Langer, merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia memang satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah pula yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikas Suatu Pengantar (Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 83-84.

[42]          Mulyana Komunikasi politik: Suatu Pengantar, (Bandung: Rosda Karya, 2001),h.84. Kata "ishlah", misalnya, lebih mudah diterima oleh kalangan muslim daripada kata "rekonsiliasi" ketika digunakan untuk mewakili kebutuhan pertemuan politik dalam penyelesaian konflik. Demikian pula dalam kegiatan kampanye politik, sosok kiai lebih mudah diterima komunitas muslim daripada sosok pejabat. Dalam kaitan ini, menurut Nimmo (1993: 94), kata-kata dalam pembicaraan politik, termasuk pada bentuk kegiatan simbolik. Manusia meng­amati berbagai objek dalam bentuk tanda, isyarat, dan petunjuk. Mereka kemudian menginterpretasikan objek-objek itu dengan cara-cara yang bermakna, dan dengan demikian membentuk citra mental tertentu tentang objek-objek tersebut. Karena itu, unsur-unsur primer dalam komunikasi politik meliputi: (1) lam­bang-lambang, (2) hal yang dilambangkan, dan (3) interpretasi yang membuat sesuatu lambang itu bermakna. Dalam komunitas politik beragama (religious politisal community) seperti halnya kaum nahdliyin, tema-tema, isyarat-isyarat ataupun lambang-­lambang agama akan mempermudah pemaknaan sehingga memungkinkan terjadinya proses komunikatif. Makna pembicaraan politik sebagai kegiatan simbolik itu mengisyaratkan bahwa kata-kata atau lambang dalam wacana politik tidak memiliki makna intrinsik yang independen dari proses berpikir para penggunanya.

[43]  Deddy Mulyana,  Komunikasi politik: Suatu Pengantar, (Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 160.

[44]  Dalam konteks ini, kebijakan kembali ke khittah juga telah memperkuat asumsi adanya keterkaitan antara NU sebagai organisasi sosial keagamaan di satu pihak, dan di pihak lain, ia juga sulit menghindari masuknya dimensi­-dimensi politik yang memang telah menjadi bagian integral dari sejarah perjalanan yang dilaluinya. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 135.

[45] Untuk memahami lebih jauh posisi agama dalam proses komunikasi politik kaum Nahdliyin, selanjutnya akan dilakukan identifikasi peluang munculnya wacana agama dalam aspek-aspek komunikator, pesan, dan media. Sebagai aktivitas simbolik, agama dapat menjadi warna komunikator seperti hadirnya sosok kiai, pemuka agama, dalam proses komunikasi. Pesan-pesannya dapat dikemas dalam bahasa agama sehingga memungkinkan terbangunnya kedekatan (intimacy) dan kesamaan (commonness) baik dalam rujukan (reference) maupun pengalaman (experience). Sedangkan untuk kepentingan media, komunikasi dapat berlangsung dengan memanfaatkan situasi-situasi keagamaan ataupun tradisi-tradisi yang menjadi identitas komunitasnya. Selain faktor latar belakang sosio-kultural yang pada gilirannya banyak mewarnai kiprah NU dalam panggung politik, kiai sebagai figur sentral dalam komunitas NU, pada dasarnya juga merupakan komuni­kator politik yang memiliki peran signifikan. Sikap ketaatan santri-jama'ah kepada kiai yang dianggapnya sebagai pimpinan dan sumber informasi, cukup memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkah laku politik yang diperankannya. Watak seperti ini pada dasarnya berakar pada tradisi kaum santri yang seringkali dikesani tunduk tanpa reserve. Pada masyarakat muslim tradisional, khususnya di kalangan mayoritas jama'ah NU, fatwa kiai menjadi kata kunci, sekaligus kata akhir dalam menentukan banyak hal. Termasuk dalam menentukan sikap dan komunikasi politiknya. Karena itu, tidak berlebihan jika pada situasi yang sangat membingungkan berkenaan dengan munculnya lebih dari satu partai di kalangan NU menjelang Pemilu 1999, masyarakat akan menunggu isyarat kiai dalam menentukan sikap dan pilihan­nya. Meskipun ada gejala yang menunjukkan bahwa KH. Abdurrahman Wahid, seorang pemimpin karismatik dan Ketua Umum PBNU, telah menjatuhkan dukungannya kepada PKB, tetapi harus diakui pula masih banyak elite karismatik lainnya yang berpengaruh. Pada dasarnya tidak ada elite sentral dalam NU sebab di kalangan kaum Nahdliyin, kebesaran karisma seorang kiai, salah satunya, juga ditentukan oleh pemilikan pesantren dan kiai yang memenuhi kriteria itu jumlahnya ribuan dalam komunitas NU. Tetapi kiai yang tidak memiliki pesantren bias tereleminir. Kasus terpentalnya KH. Anwar Musaddad dari peluang menduduki jabatan Rois Aam menggantikan Kiai Bisri, salah satunya, karena dianggap tidak memiliki pesantren, meskipun keeliteannya diakui oleh banyak kalangan. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 132.

[46]  Berbeda dengan pemimpin organisasi, pemimpin simbolik biasanya tidak memiliki posisi formal dalam organisasi. Mereka sangat dikenal di dalam masyarakat karena faktor-faktor tertentu, sehingga komunikasinya tetap efektif. Lihat, Dan Nimmo, Komunikasi Politik:Khalayak dan Efek, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 46. Dalam perspektif komunikasi politik, meminjam istilah Nimmo (1993: 33), kiai dapat dikategorikan kepada kelompok komunikator profesional yang dapat mengendalikan keteram­pilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol untuk mem­bangun jaringan antarindividu dalam suatu kelompok. Seorang komunikator profesional, kata Nimmo, adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa lain yang berbeda-beda tetapi dipandang menarik dan dapat dimengerti. Oleh karena itu, komunikator profesional, seperti halnya seorang kiai dalam komunitas muslim, berperan sebagai sosok yang dapat menghubungkan golongan elite atau sesuatu komunitas tertentu dengan khalayak umum. Secara horizontal, kiai juga berperan sebagai penghubung dua komunitas bahasa yang berbeda pada tingkat struktur sosial yang sama.

[47] Jika restu itu turun, otomatis ia menjadi sumber pembentuk opini publik. Sebaliknya, jika restu itu belum turun, maka seorang kandidat dianggap belum memenuhi kualifikasi untuk dipilih. Beberapa bentuk wacana restu yang sempat diangkat media cetak, antara lain, "Mbah Lim Restui Said" dalam Jawa Post; "Kiai Faqih setujui Hasyim" dalam Surya; dan "Para Kandidat Ketua Umum NU Mulai Berebut Restu Kiai" dalam Republika.

[48]  Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001),   h. 106.

[49]  Studi tentang latar sosio-antropologis Nahdliyin memperlihatkan adanya ikatan kuat NU dengan pesantren. Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982). Pentingnya mencatat kultur pesantren dalam wacana perpolitikan NU, sebetulnya karena pesantren, secara sosiologis, dikenal sebagai institusi agama Islam. Pesantren merupakan simbol agama yang dapat diperankan dalam proses dinamisasi masyarakat, baik untuk kepentingan pembinaan moral, maupun sebagai alat perekat bangunan sosial politik.

[50] Dalam bahasa Jawa, kata kiai dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat yang memi­liki daya linuwih. Misalnya, "kiai" Garuda kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogya-karta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang tua secara umum. Ketiga, gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab­-kitab Islam klasik kepada para santrinya, lihat Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhofir,1994:55. Sebenarnya, istilah kiai menunjuk kepada elite ulama yang di Jawa Barat lebih dikenal dengan nama ajengan, berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang biasa disebut kiai. Kini, banyak ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapatkan gelar kiai walaupun tidak memimpin pesantren. Keterkaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar Kiai biasanya dipakai untuk menunjuk pada ulama dari kelompok Islam tradisional. Dalam pengertian seperti inilah perkataan kiai banyak dan umumnya digunakan (Dawam Rahardjo,1993:171), sedangkan menurut Cliford Geertz (1960: 134), kiai merupakan sebutan yang menunjuk kepada guru di pondok pesantren. Karel Steenbrink dalam bukunya, madrasah, sekolah dan pesantren, terbit di 1987, ia menjelaskan tentang kiai dalam posisi yang bertentangan dengan penghulu. Penjelasannya, ia nukil dari sejarah pergumulan Islam pada masa Kolonial Belanda. Penghulu merupakan pejabat resmi di lingkungan pemerintahan Kolonial Belanda yang diangkat oleh gubernur jenderal atau atas namanya melalui pencalonan dari bupati dengan persetujuan residen. Umumnya, mereka datang dan berasal.dari keluarga kenalan bupati yang mengurusi bidang agama. Dalam hal ini, kiai bersifat independen yang tumbuh dan berkembang atas pengakuan masyarakat, sedangkan kiai sebagai kelompok yang muncul di tengah-tengah masyarakat berada di luar pemerintahan atau keraton. Pengetahuan mereka dinilai lebih mendalam, serta cara dan pan­dangannya pun diakui dan diikuti oleh masyarakat secara tulus.

[51] Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kiai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self­ confident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun kekuasaan dan manajemen pesantren. Meskipun kiai di Jawa umumnya tinggal di pedesaan, mereka juga merupakan kelompok elite dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai sebuah kelompok, para kiai memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat  Jawa. Ia merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia. Kebanyakan mereka memiliki sawah yang cukup luas, meskipun tidak berarti menjadi pekerja sawah. Mereka bukan petani karena mereka adalah seorang pemimpin dan pendidik yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.

[52] Matarantai transmisi tersebut, dalam tradisi pesantren, disebut sanad. Ini berarti bahwa dalam satu angkatan terdapat kiai tertentu yang dianggap sah sebagai satu matarantai, sedangkan lainnya dianggap batal atau diragukan. Kiai Munawir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta, misalnya, terkenal di Jawa sebagai seorang kiai yang paling kompeten dalam tajwid. Di dalam biografinya, ia menelusuri matarantai transmisi pengetahuan tajwidnya: ia belajar qira'ah kepada Imam 'Asyim dari Syekh Abdul-karim bin Umar al­-Badri al-Dimyathi. Setiap individu di dalam sanad itu disebut isnad. Tradisi tarekat juga menggunakan istilah yang sama, tetapi lebih sering disebut sebagai silsilah. Ini berarti bahwa setiap ajaran tarekat diajarkan kepada generasi penerus melalui silsilah yang berkesinambungan. Karena itu, seorang guru tarekat merupakan pewaris spiritual yang sah dari pendiri tarekat tersebut. Dalam silsilah ini, setiap guru tarekat yang menjadi matarantai memiliki watak eksoteris dari gurunya.

[53] Ali Anwar, “Avonturisme” NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan-Politik Kaum Nahdliyin, (Bandung: Humaniora, 2005), h. 185.

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI