Menggagas dialog Islam – Barat

Oleh: Muhammad Najib

Setelah peristiwa 11 september 2001(11/9), yang meluluhlantakan dua supremasi “adidaya”Amerika, yakni, ekonomi (gedung kembar WTC) dan militer ( gedung Pentagon), persepsi barat terhadap Islam, seketika berubah. Beberapa pihak yang di nyatakan pihak Amerika -sebagai representasi Barat - bertanggung jawab terhadap peristiwa itu adalah orang –orang yang mengatasnamakan Islam, mereka yang konon berbuat atas dasar perjuangan suci melawan “orang-orang kafir” yang bagi mereka selalu arogan dan seolah – olah menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal dunia. Hubungan “mesra” yang selama ini di bangun antar dua peradaban besar, yakni Isam dan Barat seolah sirna, tak berbekas. Hubungan tersebut-walau hanya terjadi pada level tertentu dan bersifat simbolis-, sempat menjadi peredam berbagai konflik dan ketidaksefahaman antar keduanya.

Menumbuhkan luka lama

Beberapa stigma buruk, kemudian di arahkan ke Islam . Dikatakan, Islam sebagai sosok yang penuh kekerasan dalam menyelesaikan masalah, tidak berupaya menggunakan jalan dialog untuk menyelesaikan berbagai persoalan, dan pada puncaknya, Islam dikatakan sebagai agama teroris. Persoalan stigma tadi merembet kepada berbagai persolan lain, dari masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya . Beberapa orang yang menggunaklan “simbol- simbol” Islam, dicurigai . Aminah wadud, seorang muslimah Amerika, terpaksa harus menanggalkan busana kemuslimahannya (jilbab) sekarang, karena trauma, sewaktu berada di sebuah bandara di AS ditahan dan di interograsi beberapa jam oleh pihak berwenang Amerika. Dan beberapa contoh lainnya, yang menunjukkan tindakan yang berlebihan dari pemerintah Amerika terhadap umat muslim.

Peristiwa 11/9 tadi, seolah mengobarkan kembali rasa permusuhan yang pernah terjadi ketika terjadi Perang salib ( 1096-1270). Hal ini beralasan, terutama, ketika presiden Bush (presidenAS, Sekarang) menyebut perang melawan terorisme sebagai crussade (perang suci), dan menyebut Iran dan Syiria sebagai negara “poros setan”. Hal tersebut sama seperti ketika Paus Gregorius VII menyebut perang salib sebagai perang suci terhadap apa yang di sebutnya orang kafir bagi para tentara islam.

Sebagai polisi dunia

Amerika serikat, menjadi negara adidaya, semenjak kekuatan penyeimbangnya yaitu negara sosialisme Uni Soviet runtuh awal tahun 90-an. Kekuatan lain yang akhirnya menjadi “musuh” dan dianggab berbahaya oleh amerika adalah Islam . Dan hal tersebut menjadikan seorang futurolog Samuel Huntinton menyodorkan tesis akan terjadinya benturan peradapan antara Islam dan Barat di abad 21 ini . Tesis tersebut beralsan mengingat gelombang demokratisasi dan liberalisasi di negara negara lain khususnya di negara Islam di sinyalir membawa aroma yang tidak sedap, karena di bumbui dengan “kepentingan dan ambisi terselubung”dari AS. Sangat di sayangkan, secara nyata akhirnya AS telah membuka kedoknya sendiri dengan menjadi sosok yang otoriter yang berkehendak semaunya dan penuh kesewenang-wenangan mendikte, mencampuri negara lain yang dalam ukuran apapun memang jauh dari dia. Bahkan PBB, sebagai organisasi dunia , juga dapat di “setir” oleh Amerika, demi kepentingan dan ambisinya . Amerika juga di duga kuat telah menggunakan “standar ganda” dalam urusan dan kepentingan luart negerinya, semisal, dalam menyelesaikan berbagai persoalan di berbagai negara Timur Tengah .Untuk penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina, pada satu sisi dia menyerukan perdamaian antar keduanya dan bahkan menyambut baik keinginan Palestina untuk merdeka, akan tetapi di sisi lain, dia membiarkan terjadinya pembunuhan terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa –yang bisa di kategorikan sebagai pelanggaran HAM-, dan penguasaan israel atas tanah –tanah palestina. Amerika menjadi diam bahkan memveto beberapa keputusan di dewan keamanan PBB, yang merugikan kepentingan, ambisi negara dan sekutu- sekutunya.

Dalam beberapa kesempatan, Amerika menyerukan perlunya demokratisasi bagi negara –negara lain, sebagaimana demokrasi yang telah di bangun amerika . Akan tetapi di sinyalir, sistem tersebut menjadi sebuah cara “busuk” amerika untuk masuk dan mengintervensi negara lain, baik politik maupun ekonomi. Dengan dalih membantu mewujudkan negara yang perlu menjalani proses demokratisasi amerika menggunakan berbagai cara , termasuk kekuatan militer sekalipun . Hal ini bisa di lihat dari kasus penyerangan dan pengambil alihan kekuasaan di Irak dan Afganistan- yang nota bene adalah negara –negara Islam-. Bahkan dengan dalih demokratisasi tersebut, Amerika ternyata berambisi mengambil keuntungan ekonomi atas negara - negara tersebut (semisal penguasaan minyak).

Isu –isu yang di gunakan Amerika untuk mendukung ambisi dan kepentingannya , terkadang tidak berdasar, bahan sama sekali tidak berdasar atas bukti dan vertifikasi yang ada , penyerangan terhadap Irak, Afganistan dan penangkapan berbagai aktifis Islam di Indonesia, filipina dan pakistan bisa dijadikan sebagai contoh. Dikatakan di negara –negara tersebut dijadikan pusat –pusat penggemblengan dan perekrutan teroris, bahkan menjadi donatur berbagai kegiatan terorisme , akan tetapi kalasan tersebut menjadi lemah. Hal tersebut terjadi ketika sampai sekarang, tokoh yang konon menjadi pemimpin puncak Al-qaidah- dan di sebut amerika sebagai buronan nomor satu dan menjadi aktor utama di balik penyerangan WTC dan Pentagon- belum tertangkap, dan yang terjadi sekarang, Amerika membentuk negara”boneka” di afganistan, dan menggulingkan dinasti taliban yang di anggap yang menutup kran demokrasi. Jadi motifasi politik dan ekonomi adalah menjadi alasan kenapa Amerika begitu gigih menanamkan “pohon” demokrasinya .

Dialog antar peradaban , Sebuah solusikah?

Memang, dalam membangun kebersamaan dan komunikasi antar fihak perlu di upayakan adanya dialog . Sebagaimana dikatakan Asghar Ali Engineer “ Upaya dialog merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan saling pemahaman yang lebih baik, di antar pihak pihak yang bertikai ” . Dengan berdialog diharapkanpula informasi yang di terima tidak sefihak dan dari pihak –pihak yang berkepentingan mengambil ikan di air yang keruh . Menurut Engineer, dialog dapat dilakukan dengan dalam berbagai level mulai kelompok politik, kelompok keagamaaan dan para pendukung kelompok politik dan kelompok keagamaan .

Namun upaya dialog sering terjadi hanya pada level pemimpin dan terkadang hanya bersifat seremonial belaka . Pola semacam ini tidak bisa menyelesaikan substansi permasalahan,bahkan memungkinkan terjadinya kegagalan, di butuhkan keseriusan antar berbagai fihak untuk menindaklanjuti berbagai persoalan yang di dialogkan . Persoalan stigma negatif yang di lakukan Amerika terhadap Islam, sebenarnya sudah berusaha di reduksi oleh pemerintahnya sedemikian rupa, sehingga tidak berlebihan dalam melihat Islam, bahkan menjadi phobia tersendiri bagi sebagian masyarakat barat, Sebenarnya, tidak semua rakyat Amerika mempunyai kesefahaman terhadap kebijakan pemerintah mereka . Dengan kenyataan tersebut pada gilirannya mempengaruhi kebijakan selanjutnya pemerintah amerika serikat . Mereka menyebarkan pamflet-pamflet dan buku –buku tentang Islam di Amerika, yang di gambarkan mempunyai keramahan dan simpatik dalam berhubungan dengan komunitas lain ,atau pemerintah. Mereka (pemerintah), merangkul tokoh - tokoh agama dan memfasilitasi berbagai dialog interfaith ( dialog antar keyakinan ), menyebarkan informasi yang bersifat kondusif bagi pemahaman tentang Islam . Walaupun upaya tersebut di nilai tidak, begitu berpengaruh, karena di sisi lain Amerika tetap menggunakan “tangan besi”nya untuk mendikte, meng”hegemoni” dan memperluas imperialisme mereka, sehingga upaya dialog yang di lakukan, seakan tinggal simbol dan menjadi acara seremonial belaka. Substansi permasalahan yang hendaknya di dialogkan sebenarnya terkait erat dengan ketidak adilan yang selama ini terjadi . Banyak negara –negara muslim atau negera yang kebanyakan penduduknya muslim , merasa tidak bisa menikmati kekayaaannya . Beberapa perusahaan asing mengambil alih usaha –usaha yang semestinya di atur negara dan di urus untuk kepentingan rakyatnya . Akan tetapi banyak para petinggi negara Islam seperti “sapi yang di cocok hidungnya”, yang mau menuruti kepentingan negara - negara kapitalis tersebut . Memang, negara negara Islam berada dalam posisi yang lemah, karena tekhnologi dan informasi masih jauh tertinggal dari negara barat. Dan hal tersebut bisa terjadi karena sistem pendidikan di negara – negara, di arahkan hanya untuk mengurusi “kepentingan kecil dunia” dan lebih banyak kecendrungan mengurusi urusan eskatologis.

Pendekatan kesejarahan

Persoalan politik, ekonomi bahkan teologis sebenarnya bisa di dekati, dengan pendekatan kesejarahan, yakni dengan menekankan sejarah asal mula masing –masing peradaban. Alwi Shihab pernah melontarkan tesis bahwasannya Islam, kristen dan yahudi adalah agama –agama yang mempunyai satu induk “semang”, yaitu kesemuanya berasal dari Nabi Ibrohim. Barat, sebagaimana di ketahui adalah representasi dari kristen dan yahudi, sedangkan Islam memang berasal dari budaya timur. Masing – masing dalam kesejarahannya berasal dari timur namun pada kelanjutannya harus bergerak sesuai dengan masing –masing ritme agama dan nilai-nilai kemanusiaan yang di bawanya , sehingga Islam bisa dilihat banyak berkembang di timur (Asia, Afrika dan sebagian di dan Eropa), sedangkan Kristen berkembang di barat (Amerika, Israel, sebagian besar Eropa, dan Australia) dan terakhir Yahudi pusatnya berada di Israel (dalam beberapa hal, negara ini lebih cenderung ke Barat dan Amerika). Nilai kemanusiaan dan keadilan yang di ajarkan masing- masing agama tersebut , seyogyanya menjadi pemicu terjadinya dialog dan kerjasama yang saling menguntungkan . Karena pada dasarnya mereka bersaudara, dan satu keluarga. Wallahu a`lam
Ciganjur 28,01,06, 16.01

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI