SUSAHNYA MENJADI MUSLIM YANG BAIK (DI NEGARA ISLAM)

Judul di atas merujuk pada tulisan Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari berjudul ‘How Islamic are Islamic Countries?” . Yang menarik dari artikel tersebut adalah kesimpulan bahwa banyak dari Negara Islam(menyatakan dirinya Negara Islam) justru tidak melaksanakan urusan –urusannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Kedua akademisi tersebut tentunya punya landasan kuat terhadap kesimpulan yang mereka capai. Termasuk di dalamnya beberapa indikasi-indikasi dan bagaimana mengukur tingkat “ke-Islaman” sebuah negara.

Bermula

Seolah menjadi sebuah konsensus bersama, para sosiolog menyatakan peran agama yang begitu besar bagi umat manusia. Bahkan, dalam beberapa studi menyebutkan agama menjadi factor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Sebagaimana halnya penelitian Bernard Lewis dan Robert Barro sejak akhir 2001. Mereka telah berusaha ntuk menilai hubungan antara agama, ekonomi, hukum, dan social pembangunan Negara.
Walaupun agama menjadi sangat penting sebagai factor penentu, banyak juga kajian kritis tentang pendapat tersebut, banyak perdebatan didalamnya. Inti dari ketidaksepakatan tentang bagaimana untuk menyelidiki dampak agama pada pembangunan ekonomi adalah apakah agama harus mandiri/dependen variabel dalam hubungan seperti itu, atau apakah sebaliknya (Independen). Jika agama adalah variabel dependen: maka akan berarti bahwa tingkat perkembangan ekonomi misalnya standar hidup, atau campur tangan pemerintah dalam pasar, dampak kepatuhan terhadap ajaran agama dan ritual misalnya gereja atau masjid kehadiran dan lain kegiatan yang berbasis iman. Jika agama adalah variabel independen: maka agama yang mempengaruhi kinerja yaitu ekonomi politik ekonomi, produktivitas, etos kerja, dan mengakibatkan perkembangan social. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana negara mengikuti ajaran-ajaran Islam , Sehingga, dapat dicari hubungan korelasi antara Islam dan kinerja ekonomi, standar hidup, dan pembangunan pada umumnya.
Ada dua hal yang menjadi tujuan tulisan ini:
1. Memeriksa apa yang kita yakini sebagai penting ajaran Islam yang harus membentuk kebijakan negara yang diberi label sebagai "Islam".
2. Usulan ukuran awal sejauh mana kepatuhan terhadap ajaran agama dan doktrin di negara-negara yang kita label sebagai Islam yaitu dengan mengembangkan indeks mengukur derajat "Islamicity" dari negara, didasarkan pada ajaran Islam.

Bagaimana mengukur “ke-Islaman” sebuah Negara?

Agak susah menyatakan sebuah Negara apalagi Islam menjadi “Negara Islam”, Bahkan Istilah tersebut cenderung kontoversial, terutama tentang definisinya, kemudian tolok ukur apa yang bisa digunakan untuk menjelaskannya. Penulis artikel ini berpendapat ajaran Islam menunjukkan bahwa Islam pedoman untuk ekonomi, sosial, praktek-praktek hukum, dan politik sejalan dengan praktik terbaik saat ini dan struktur kelembagaan yang direkomendasikan. Selain itu, keyakinan kami bahwa konsepsi manusia dan ekonomi pembangunan di Islam adalah mirip dengan konsepsi "modern" di Barat. Tentunya perlu penelitian lebih lanjut.
Di tulisan ini disebutkan tidak banyak negara-negara yang menyebut diri mereka Negara Islam. Hanya ada tujuh dinyatakan negara-negara Islam (Afganistan, Bahrain, Iran, Mauritania, Oman, Pakistan, Yaman) dan hanya dua belas negara yang telah menyatakan Islam sebagai agama negara (Aljazair, Bangladesh, Mesir, Irak, Kuwait,Libya, Malaysia, Maladewa, Maroko, Qatar, Tunisia, Uni Emirat Arab) . Rujukan penulis tentang criteria –kriteria negara Islam disandarkan pada keputusan OKI yakni:
(a) Pemerintah yang memiliki dan mengadopsi Islam sebagai agama resmi negara, atau
(b) Islam sebagai agama utama mereka, atau
(c) Populasi Muslim yang signifikan, atau
(d) Hanya menyatakan diri sebagai Republik Islam.

Ajaran – Ajaran Islam dan indek ke-Islaman

Kalu ibarat buah, symbol- symbol seperti Negara Islam adalah kulit sedangkan didalamnya adalah isi yakni, ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam merujuk pada sumber utama kitab suci pemeluknya yakni al-Al - Al-Quran dan Hadist ucapan dan praktek Nabi muhammad SAW keduanya sebagai pedoman hidup Muslim. Sebagai peta jalan kehidupan bagi muslim. Kedua pedoman dapat diperluas dengan Ijma, yang merupakan koleksi consensus mujtahid atau ahli agama, dan Qiyas, yang didasarkan pada pendapat religius doktrin dan analogi.
Tidak ayal, karena menggunakan pendekatan akal (analogi) disamping rujukan literalnya, ajaran –ajaran Islam mencakup hampir semua lini kehidupan: kerja, ekonomi berbasis pasar, perpajakan kompetisi berbagi,, keuangan pemerintah, perilaku lembaga keuangan, pemberantasan kemiskinan, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi pengeluaran kemiskinan, distribusi pendapatan, swasta kepemilikan, aturan hukum, kesucian kontrak, pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya depletable, dan kode etik terhadap non-Muslim, warisan dan perawatan anak, tata pemerintahan yang baik, sedekah kepada orang miskin, manusia dan sipil hak-hak pria dan wanita.
Oleh penulis artikel di atas, ajaran Islam dibagi menjadi lima bidang luas:
1. Hubungan manusia dengan Allah dan perbuatan manusia sesuai dengan prinsip-prinsip manusia tanggung jawab,
2. Sistem ekonomi dan kebijakan dan ekonomi-sosial keadilan,
3. Sistem hukum dan pemerintahan;
4. Hak asasi manusia dan politik; dan kelima, bidang hubungan internasional (terutama yang dengan non-Muslim.
Bagaimana mengukur tingkat keIslaman?
Ada empat dasar konsep mendukung sistem berbasis aturan yang adalah Islam. Ini adalah:
1. konsep Walayahh, yakni, tanpa syarat dinamis, aktif, selalu ada Cinta Agung Pencipta untuk Penciptaan-Nya dimanifestasikan melalui tindakan penciptaan dan penyediaan rezeki.
2. Konsep Karamah martabat manusia.Al-Al - Al-Quran menganggap manusia untuk menjadi pencapaian penobatan Penciptaan Allah untuk yang pribadi dan kolektif pengembangan segala sesuatu yang lain telah dibuat.
3. Konsep ketiga adalah Meethaq, perjanjian primordial dimana semua manusia disebut sebelum pencipta Agung dan diminta untuk bersaksi bahwa mereka mengenali Allah sebagai pencipta yang satu dan tiada yang lainnya, pemelihara dari seluruh penciptaan dan semua implikasi lain yang mengalir dari kesaksian ini
4. Konsep Kalifah: lembaga-amanah. Bersama-sama dengan Walayahh dan karamah memberikan dasar untuk Kalifah. Pencipta menganugerahi manusia dengan martabat dan kecerdasan sehingga untuk mewujudkan Walayahh melalui perantaraan khilafah.
Islam menyatukan prinsip-prinsip etis dengan langkah-langkah kelembagaan (hukum dan aturan) untuk membuat kerangka kerja serta untuk bagaimana ekonomi Islam memberi inspirasi dan masyarakat harus berfungsi. Lembaga yang diusulkan oleh Islam yang berkaitan dengan pemerintahan, solidaritas sosial, kerjasama dan keadilan dirancang untuk mencapai pembangunan ekonomi dan pertumbuhan.
Inti dari masyarakat Islam adalah bahwa aturan-berbasis sistem, berpusat pada konsep keadilan (Al'adl ').
Langkah-langkah untuk mengatasi kelangkaan sumber daya manusia dan untuk mencapai pemerataan kekayaan dan sumber daya di bawah panji keadilan meliputi:
a) pembinaan etika dan nilai-nilai moral seperti keadilan, kesetaraan, kejujuran, dll;
b) alat-alat ekonomi dan instrumen seperti zakat, sadaqah, dan hukum warisan dan properti; dan terakhir
c) pengembangan kapasitas kelembagaan dan kemauan politik untuk memastikan bahwa ini prinsip dan norma-norma yang memadai ditegakkan.
Inti dari model ini adalah prinsip keadilan sementara prinsip ekuitas, kehati-hatian fiskal, menghormati property hak dan cabang bekerja keras keluar dari tema sentral.
Menurut ajaran Islam semua manusia dapat didorong untuk bersaing dalam bisnis, kerja keras demi keuntungan ekonomi, dan kepemilikan pribadi sendiri, namun di bawah seperangkat aturan yang ditentukan.
Menurut Islam, yang disampaikan baik dalam Al-Al - Al-Quran dan dalam hadis, terdapat urutan-urutan yang kuat untuk standar moral yang tinggi, etika, nilai-nilai dan norma-norma perilaku, mengatur banyak aspek kehidupan ekonomi.
Selain itu, telah jelas mengakui bahwa korupsi dan praktik korupsi adalah sesuatu yang tidak Islami dan sangat terkutuk dalam Islam.
Aturan tidak membahayakan, tidak ada cedera (la dharar wa la dhirar) diundangkan oleh Rasulullah berdasarkan Al-Qur'an untuk memastikan bahwa tidak ada dampak merugikan dari swasta ekonomi perilaku pada pihak ketiga atau masyarakat. Aturan-aturan ini jelas menetapkan prioritas kepentingan masyarakat di atas orang-orang dari individu tanpa dampak buruk pada inisiatif swasta dalam produksi, pertukaran dan konsumsi.
Ada tiga prinsip yang bisa menyebabkan manusia tidak benar-benar menciptakan sumber daya alam dunia mereka tidak dapat memaksakan kepemilikan tegas atas mereka yakni,
Prinsip pertama hak milik mengakui permanen, konstan dan invarian kepemilikan properti semua oleh Allah.
Prinsip kedua diakui, dalam harmoni dengan Al - Al-Quran, transfer oleh Allah hak kepemilikan untuk seluruh umat manusia.
Prinsip ketiga mengakui kesempatan yang sama akses oleh semua sumber daya alam yang diberikan oleh Sang Pencipta, untuk digabungkan dengan kerja mereka untuk memproduksi barang dan jasa

Kesimpulan

Esensi ajaran Islam adalah apa yang tertuang dalam masyarakat Islam dan sistem ekonomi Islam .
Dalam kesimpulan awal penulis artikel ini berdasar data- data yang diambil menunjukan bahwa negara-negara Islam tidak menerapkan praktek –praktek Islami. Jadi, banyak dari Negara Islam(menyatakan dirinya Negara Islam) justru tidak melaksanakan urusan –urusannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI