Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dewasa ini adalah rapuhnya pondasi bangunan kebangsaan, sebagaimana dikatakan Ayatullah Taqi Misbah Yazdi (2006) sebagai krisis epistimologi . Krisis berkepanjangan yang berawal dari ekonomi, berlanjut pada krisis politik, krisis sosial dan budaya, krisis pendidikan dan terlebih krisis moral, seakan menunjukan betapa parah sistem yang rusak di negeri yang terkenal negeri serpihan surga ini. Berbagai upaya telah ditempuh untuk menuntaskan penghancuran sistemik rasa percaya diri kita sebagai bangsa yang bermoral dan beradab. Namun, upaya–upaya tersebut sampai sekarang belum menemukan hasil nyata. Bahkan semangat reformasi tahun 1998 yang lalu, seakan hilang tersapu arus globalisasi, multikulturalisme dan matrealisme, hedonisme dan sebagainya. Berbagai persoalan kebangsaan sekarang ini, tanpa disadari, telah membawa kita terlalu jauh dari substansi (ruh) jati diri bangsa. Kita di sibukkan dengan pelbagai hal-hal ornamental, particular, seremonial dan juga pola birokratisasi di berbagai bidang, sebagaimana terjadi pada masa (Orde Baru) sebelumnya. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan. Adanya pendekatan sentralistik yang dilakukan pemerintah –lewat Depdiknas-nya, menyebabkan kreatifitas pendidikan di pelbagai daerah –semacam pesantren terkebiri. Dalam pemberian subsidi banyak yang merasa di nomorduakan, diperlakukan tidak adil. Semisal, sekolah yang di bina pemerintah, artinya mengikuti jalur dan kurikulum pemerintah-biasa disebut sekolah umum-, mendapat perlakuan yang lebih baik, daripada, yang diterima lembaga pendidikan otonom seperti pesantren. Pola dikotomisasi tadi-membedakan antara yang khusus dan umum- semakin mengukuhkan sekularisasi pendidikan, yang sebenarnya merupakan kejahatan sistemik yang dilakukan rezim Orde Baru. Di sana, pendidikan seakan menjadi produsen intelektual; tekhnokrat, yang harus mendukung developmentalisme, yakni, sebuah ideology yang berambisi terhadap pembangunan matrial sebagai syarat membangun negara besar, sebuah ideologi yang begitu di agungkan bahkan dikeramatkan pada zaman Orde Baru. Dan, dari pendidikan yang demikian sangat berpotensi memunculkan perilaku moral manusia Indonesia yang dikatakan oleh Arief rahman (2003) sebagai perilaku yang anarkis dan permisif. Sebuah perilaku yang menekankan pendekatan frontal (langsung), tergesa-gesa dan pada akhirnya menjadi jalan pintas. Karena hanya menitikberatkan kepada pembangunan fisik dan material semata, dapat dipastikan, ketika krisis ekonomi terjadi, maka terjadilah efek domino, di mana terjadi krisis berikutnya seperti sosial, politik dan yang lebih lagi krisis moral yang berkelanjutan. Moralitas yang merupakan nilai luhur sebuah bangsa, seakan, hanya menjadi teks dan monument semata, mati!. Pada kenyataannya, moralitas tidak terlihat dan teraktualisasikan sebagai perilaku hidup. Hal ini bisa dilihat, dari berbagai prestasi yang telah ditorehkan bangsa kita ini sebagai peringkat tinggi dalam penyalahgunaan wewenang dan hak rakyat; seperti korupsi, kolusi, nepotisme, keluargaisme, dalam berbagai corak dan bahkan telah menjadi konsumsi srutktural, yang melahirkan kejahatan structural sistemik. Dan kesemuanya itu seolah menjadi gaya hidup, yang pada gilirannya melanggengkan materialisme, konsumerisme . Upaya yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis di atas hanya ada. pertama, bertahan kepada kenyataan yang ada artinya, memelihara “tradisi kebrobrokan sistemik” tersebut dan yang kedua serta pilihan terakhir yang bisa kita harapkan adalah berupaya menghidupkan moralitas dalam kehidupan berbangsa. Untuk yang terakhir tiada lain adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan, karena, selama ini pendidikan di Indonesia lebih banyak terpengaruh pendidikan model barat yang menuurut Baqir Sharif Al Qoroshi (2003) tidak menaruh perhatian pada moralitas, dan mereka (Barat) mengeluarkan etika dari kehidupan belajar. Yang pada gilirannya, menjadikan hasil pendidikan (Output) sebagai manusia manusia robot dan mesin–mesin pembangunan. Menurut Abdullah Imam (2006), Selama ini pendidikan mendahulukan prinsip “harus menjadi”, yang berakibat pada pola doktrinisme, karena memberi pengaruh anak didik menjadikan cita-cita mereka hanya untuk menjadi profesi tertentu yang akhirnya si anak harus diproses dengan mekanisme cepat, untuk segera mencapai target tersebut. Imam menawarkan pola “bagaimana cara untuk menjadi”, yang berarti memberi anak pilihan dan wawasan untuk berfikir. Bagi pemerintah, mau tidak mau harus memprioritaskan pendidikan sebagai program utama Indonesia ke depan, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan penyakit–penyakit kronis dalam tubuh pendidikan, pola sentralistik, birokratisasi pendidikan, ketidak adilan subsidi dan sekulerisasi pendidikan. Menurut Muchtar Buchory (1995) mengendalikan proses transformasi pendidikan diperlukan, dengan jalan, di masa mendatang dunia pendidikan bersikap lebih aktif dalam mengarahkan pertumbuhan dirinya, dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah, tekanan serta himbauan yang datang dari luar. Adalah sangat tidak bijaksana, tegas Buchory, apabila dunia pendidikan menerima begitu saja rancangan–rancangan pendidikan yang ditentukan oleh dunia politik, lingkungan ekonomi, dan juga lingkungan teknologi . Berbagai lembaga yang tidak mau di dikte penguasa pada masa rezim Orde Baru adalah salah satu contoh terbaik dari penyelasaian pendidikan Indonesia kedepan, artinya, memberi perhatian kepada lembaga-lembaga moral otonom, seperti pesantren, mutlak dilakukan. Tentunya kita tidak hanya berharap kepada pemerintah –yang penuh keterbatasan tersebut–. Kreatifitas, inisiatif dan tentunya kemandirian harus diperkuat dan dikembangkan pada masyarakat, terlebih lagi, bagi lembaga otonom. Khususnya pesantren, yang telah terbukti mampu menggawangi moralitas anak didiknya selama berpuluh tahun. Seperti yang di katakan Gus Dur “cara santri (istilah siswa yang sedang menuntut ilmu di pesantren) untuk mencapai kesempurnaan pandangan adalah hanya memakai perangkat moralitas/akhlaq” . Sehingga dengan moralitas itu pula para santri mampu berpandangan seluas dunia, sehingga mampu melihat persoalan secara utuh dan proporsional, dan pada gilirannya mampu membantu dalam penyelesaian berbagai masalah. Alumni pesantren terbukti mampu berkiprah secara nyata di masyarakat, dalam berbagai lapisan. Bahkan dalam sejarahnya peran tersebut di mulai sejak zaman penjajahan belanada. Peran para ulama waktu itu, menurut Abdurahman Mas`ud dalam tradisi jawa dalam menyebarluaskan pengetahuan, mengembangkan kurikulum , dan menanggapi tantangan dari luar , khususnya dari pemerintahan belanda .Walaupun dalam beberapa hal pesantren harus berbenah menyangkut cara pandang dan sistem pengajaran. Desakan untuk meninjau kembali pola pengajaran dan sistem di pesantren, hendaknya menjadi penyegaran dan kritik yang membangun. Tapi, pesantren tetap kepada kekhasan dan tradisi ilmiyah dan spiritual yang dimilikinya. B. Fokus pembahasan Supaya pembahasan tidak terlalu melebar yang bisa menimbulkan ekses serta bias-bias persoalan utama, penulis lebih memfokuskan pembahasan permasalahan terhadap : 1. Kondisi umum kondisi moral kebangsaan di Indonesia pasca reformasi dan hubungannya dengan pendidikan. 2. Kondisi umum pendidikan Indonesia ( Masa Orde dan pasca reformasi) 3. Hakikat dasar pendidikan dan nilai-nilai yang terkandung 4. Makna dasar moral/akhlaq dan hubungannya dengan pendidikan 5. Sistem pendidikan lembaga otonom pesantren (sejarah singkat, pergulatan dan perannya di berbagai masa) terlebih masa Orde Baru. 6. Pemikiran-pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pendidikan pesantren. C. Perumusan masalah Berkaitan dengan latar belakang masalah dan focus pembahasan di atas, maka penulis berupaya untuk merumuskan masalah guna tercapainya pembahasan yang lebih teliti, terarah dan komprehensif. Adapun rumusan masalahnya adalah Apakah pendidikan moral pesantren, mampu menghidupkan moralitas bangsa, yang tengah dalam kondisi krisis ? D.Tujuan penelitian Adapun tujuan diadakan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui akar permasalahan kondisi kebangsaan sekarang 2. Untuk mengetahui kondisi terakhir pendidikan di Indonesia 3. Untuk mengetahui lebih lembaga otonom pesantren, sejarah, kiprah dan pergulatannya. 4. Untuk mengetahui pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tentang pendidikan. 5. Membantu memberi pemahaman moral pesantren dalam kerangka kebangsaan. 6. Mewujudkan kehidupan kenegaraan yang bermoral dan beradab E. Metode penelitian Untuk mendekati kesempurnaan isi skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut : 1.Library research, yaitu pembahasan berdasarkan pada buku –buku yang di peroleh dari hasil penelitian yang ada relevansinya dengan materi skripsi. 2. Field research, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan KH. Abdurahman Wahid dan pemerhati pendidikan . Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni, dengan memaparkan masalah–masalah dengan disertai argumentasi-argumentasi dan metode analisis yakni, metode yang berdasarkan pendekatan rasional, logis, poporsional terhadap masalah–masalah yang akan di bahas. Dan, semuanya di sajikan secara diskursif argumentatif. F. Sistematika penulisan Penelitian ini di susun secara sistematis guna mempermudah dalam memahami serta menjelaskan gambaran tentang obyek penelitian secara jelas, proporsional dan komperehensif. Oleh karena itu penulis membagi pembahasan ini menjadi : BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, focus pembahasan, perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, sistematika penelitian. BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN, MORALITAS DAN KEBANGSAAN Dalam bab ini menjelaskan tentang hakikat pendidikan yang meliputi pengertian, tujuan dan ruang lingkup pendidikan, filsafat pendidikan factor-faktor pendidikan. Pengertian moral/akhlaq, tujuan dan pengaruh nya. Serta hubungan antara keduanya dan berbagai konsep kebangsaan, serta relasi nya dengan moral dan pendidikan. BAB III KAJIAN PELBAGAI PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN Dalam bab ini menjelaskan tentang bagaimana pendapat Gus Dur melihat secara umum pendidikan, bagaimana pandangan dia dengan pesantren dan bagaimana dia menjelaskan pendidikan dengan berbagai dimensi yang lain seperti bangsa, budaya, dan sosial. BAB IV PENDIDIKAN BERMORAL SEBAGAI SOLUSI MASALAH KEBANGSAAN Bab ini membukakan pemahaman hubungan pendidikan (pesantren) terhadap krisis yang sedang terjadi di Indonesia dan bagaimana pendidikan bermoral mampu merespon dan memberi solusi aktif. terhadap krisis berkepanjangan. BAB V PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan, renungan, evaluasi dan dorongan-dorongan berupa pendapat dan saran membangun, yang kesemuanya telah dan akan dilakukan sekaligus penutup dari skripsi . Bab II Kajian Teoritis Tentang Hakikat Pendidikan, Moralitas, Dan Kebangsaan A. Pendidikan A.1. Pengertian Pendidikan Arti leksikal Pendidikan dalam bahasa arab adalah tarbiyah yang artinya mendidik dan mengasuh anak, sebagaimana di sebutkan dalam kamus bahasa arab : Tajul Arus dan Lisanul Arab . Berdasar pemahaman tersebut, Baqir Syarif Al-Qarashi, menyatakan pendidikan dapat dimaknai sebagai pengasuhan serta pengurusan seseorang dari masa anak-anak hinggga mencapai masa muda . Dan, bahkan sampai ketika menginjak masa dewasa dan masa-masa tua. Hal tersebut dengan sebuah hadits nabi yang artinya “Tuntutlah Ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang kubur”. Proses pengasuhan tersebut meliputi dimensi moral, mental, intelektual dan spiritual. Dalam dunia pesantren, proses pengasuhan, pembimbingan sering di sebut sebagai Murobbiruh (Bimbingan ruhani ) Arti Etimologi Para Ilmuwan dan pakar pendidikan, mempunyai pendefinisian yang bermacam–macam tentang pendidikan. Definisi tersebut bahkan telah di mulai pemikir sejak zaman yunani kuno, salah satunya adalah Plato, seorang filosof besar yang mendefenisikan pendidikan untuk pertama kalinya , dia (Plato), sebagaimana dikutip Al-qarashi mendefinisikan pendidikan sebagai “mengaruniakan jiwa-jiwa serta tubuh–tubuh sebanyak mungkin dengan sejumlah estetika (keindahan) dan kesempurnaan” . Pemaknaaan pendidikan Plato meliputi fisik berupa kesehatan badaniyah dan sekaligus mental estetik yang melahirkan perilaku baik. Lebih jauh definisi tentang pendidkan pasca Plato, mulai lebih luas dan terperinci semisal definisi Hubbel yang menyatakan “pendidikan yang sempurna ialah yang memelihara kondisi fisik dan kesehatan para murid, serta memberi kekuatan–kekuatan yang memenuhi kebutuhan–kebutuhan ragawi. Ia juga meningkatkan kecepatan pemahaman intelejensi, serta membiasakan kebaikan dan penilaian yang tepat, serta menciptakan kelembutan dalam pemenuhan tugas-tugas secara sungguh” . Gold Simon, berpendapat “pendidikan adalah cara membuat seseorang intelek menjadi orang intelek yang sesungguhnya dan hati menjadi sebuah hati yang sesungguhnya” . Definisi tadi menitik beratkan pada aspek spiritual di samping menghasilkan intelektualitas. Herbert menjelaskan “pendidikan ialah melatih manusia untuk menikmati hidup dengan sempurna” . Artinya, pendidikan mempunyai orientasi pada pengembangan mental. Jhon Milton menjelaskan pendidikan yang sempurna adalah “pendidikan yang membantu seorang manusia memenuhi pekerjaannya demikian akurat dan ahli, baik pada masa perang maupun damai” , pendidikan ini lebih tepat di terapkan bagi para professional. Bagi Mistalotzi “pendididikan adalah mengembangkan semua potensi anak-anak secara sempurna dan selayaknya” . Hassel berpendapat agak senada dengan Mistalotzi, dengan mengatakan pendidikan sebagai cara-cara mendisiplinkan kemampuan alami atau bakat anak untuk membuat mereka cuckup pas dan tepat dalam bertanggung jawab akan satu bagian yang menyenangkan. Artinya dalam menyelenggarakan proses pendidikan setidaknya harus ada unsur lucunya. Gamuel menyatakan “pendidikan ialah aktivitas mendidik individu untuk memeuaskan, pertama, diri-diri mereka, dan kedua, orang lain. Hampir senada dengan definisi-definisi awal, Lither berkata “pendidikan ialah aktifitas-aktivitas yang bertujuan mendidik seorang anak atau seorang pemuda. Ia merupakan seperangkat perolehan berbagai kebisaan intelektual dan manual serta ciri-ciri etis . Jhon Dewey memiliki pandangan tersendiri tentang pendidikan ia mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyesuaian antara individu–individu dan lingkungan, lebih jelas ia menyatakan “pendidikan ialah sebuah pembentukan dan penataan berbagai aktivitas individu–individu dan kemudian memasukkan mereka kedalam cetakan-cetakan tertentu, yaitu proses menjadi sebuah aksi sosial yang diterima orang lain” Para pemerhati pendidikan di Indonesia, juga mempunyai pandangan-pandangan bermacam-macam tentang pendidikan secara definitive. Seorang pakar pendidikan yang juga pahlawan kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara –dalam pidato peresmian Taman siswa- menyatakan pengajaran dan pendidikan adalah sarana penyebar luasan benih hidup merdeka di kalangan rakyaat . Sebuah pendidikan akan menjadi sia-sia ketika mengekang kreatifitas si anak didik, bahkan bisa menimbulkan ekses doktrinasi bagi mental yang akhirnya melahirkan hasil pendidikan yang seperti manusia robot, yang harus menjadi pemuas pembuatnya. Soegarda Poerba Kawatja berpendapat bahwa pendidikan adalah meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilan kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun ruhaniah . Aktualisasi pendidikan di sini tidak hanya menekankan aspek individual tapi juga sosial. Muchtar Buchory mendifinisikan pendidikan dalam kerangka kebangsaan sebagai pendidikan yang harus mampu membentuk kedua aspek dari kepribadian para peserta didik yaitu aspek moral dan aspek intelektual . Pendidikan harus menjadi pusat penyeimbang dua factor penting manusia, terkusus aspek moral yang sering di abaikan. Seakan mempertegas dari pendapat Buchory, Abdurrahman Wahid, sebagai salah satu representasi kalangan pendidikan otonom (pesantren) menyatakan pendapat yang menjelaskan “proses belajar dan mengajar di lingkungan pondok pesantren bukanlah sekedar ”menguasai “ ilmu-ilmu keagamaaan melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup, dan penentuan perilaku para santri itu setelah mereka “kembali” dari pondok pesantren ke dalam kehidupan masyarakat” . Pendidikan, sudah selayaknya di tempatkan sebagai milik dari, oleh dan untuk masyarakat dan sebuah kebijakan yang tepat, ketika masyarakat diberi keluasaan dalam mendefinisikan dan mempraktekkan pendidikan dari situlah makna pendidikan yang sebenarnya. Dengan memahami pendidikan dari beberapa dimensinya sangat memungkinkan output (hasil) nya akan optimal dan mengena. Istilah pendidikan Al–Qarashi menambahkan ada dua makna dalam istilah pendidikan, yakni, pertama makna umum dan terakhir makna khusus. Untuk yang pertama, menjelaskan secara komprehensif istilah pendidikan, yakni, memasukkan semua tindakan yang dikehendaki ataupun tidak yang membantu mengembangkan kekuatan–kekuatan untuk mememenuhi kebutuhan badani, intelektual, etika, atau afeksi (emosional), konsepsi ini meliputi tiga faktor pendidikan : keturunan, lingkungan dan kehendak. Makna yang terakhir, makna khusus untuk menjelaskan adanya pertukaran basis–basis budaya dan pendidikan generasi-generasi. Mayoritas pakar pendidikan setuju bahwa pendidikan dalam makna spesifiknya, terlalu singkat untuk membangun entitas–entitas personal kecuali kalu ia sesuai dengan pengertian praktis yaitu kontak sosial . Kedua pemaknaan di atas –makna umum atau khusus- seharusnya saling melengkapi dan satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri. pendidikan harus mampu masuk dalam sisi fisikal dan instrumental tapi lebih dari itu harus ada internalisasi sikap yang bervisi sosial. Karena, sebagaimana dikatakan Al-Qarashi, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan hidup serta perhatian umat manusia yang sejati, yang melaluinya unsur–unsur pokok mental serta sosial di capai. Pendidikan lanjut Al-Qarashi harus mampu menyentuh inti dasarnya yakni membantu mendapatkan ciri—ciri umat manusia. Dengan demikian pendidikan perlu bagi para individu dan masyarakat dalam derajat yang sama . Sehingga, ketika pendidikan hanya mengutamakan aspek individual, maka dia sudah tercerabut dari makna dasarnya dan bahkan menjadi “sosok” yang eksklusif dan narcis . A.2 Tujuan –Tujuan pendidikan Tujuan berarti sesuatu yang diharapkan setelah segala usaha atau kegiatan selesai, kaitannya dengan pendidikan, Zakiyah Darajat menyatakan “suatu usaha atau kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat” , ada beberapa bentuk tujuan di antaranya, tujuan intermedier (menengah atau antara) yang dijadikan batas yang dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu mencapai tujuan akhir . Berbagai pemahaman di atas secara prinsipil meyakini adanya satu tanggung jawab sosial yang harus dimiliki dalam pendidikan. Dan tentunya, mempunyai tujuan-tujuan tertentu baik tujuan kebutuhan yang kongkrit maupun yang abstrak. Menurut al-Qarashi, setidaknya ada 5 (lima) tujuan dalam pendidikan : yakni 1. Tujuan Spiritual Dalam berbagai literature Islam, para cendekiawan muslim sependapat, dan menegaskan bahwa tujuan dasar pendidikan dan pembelajaran adalah kesucian diri kemurnian diri, Tadzkiyatu an-nafs, serta pembangunan hubungan dengan Allah. Ini adalah tujuan tertinggi dan Maksud yang mulia. Al-Ghazali berkata “Wahai para pemuda! telah banyak malam-malam yang engkau lalui dengan pencarian pengetahuan serta penelusuran buku-buku dan engkau pantang dari tidur. aku tidak tau niatmu. Jika itu untuk mendapatkan urusan dunia ini, mengumpulkan rongsokannya, memegang posisinya serta berlagak di depan orang lain, maka celakalah engkau! Namun apabila niatmu adalah untuk memakmurkan sunnah–sunnah Nabi SAW, Memperbaiki Akhlaqmu, serta menghinakan jiwa yang cenderung buruk maka banyak balasan membahagiakan akan menjadi milikmu . Al-Ghazali menekankan betapa penting niyat yang benar sebelum melakukan proses pembelajaran. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip Al-Qarashi juga menetapkan diri sebagai syarat menerima pengetahuan. Dengan begitu, para guru biasa mengecek moralitas seseorang sebelum diterima sebagi seorang murid. Mereka yang secara moral salah dikeluarkan dari kelas sehingga mereka tidak akan menggunakan pengetahuan dalam perbuatan yang jahat . Menurut M. Arifin tujuan akhir dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah relisasi dari cita–cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraaan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan bathindi dunia dan akhirat 2. Tujuan-tujuan materi Sekelompok pemerhati pendidikan mempercayai bahwa, pengorganisasian para pemuda untuk mendapatkan penghasilan semestinya merupakan tujuan utama pendidikan. Beberapa ahli pendidikan Inggris telah menamakan tujuan ini sebagai “tujuan roti dan mentega“ (bread and buttergoal), pendapat ini bagaimanapun memiliki sebuah nilai. Manusia, karena cenderung untuk hidup selama-lamanya, perlu mendapatkan penghasilan serta mencari sarana–sarananya, yang sungguh merupakan hal yang paling wajib demi kelangsungan individu-individu dan para tanggunganya. Telah dikatakan “pembelajaran suatu profesi ialah amannya dari kemiskinan” . Pendapat ini secara khusus tertarik pada aspek material semata. 3. Tujuan-tujuan sosial Beberapa ahli pendidikan melihat hal ini dari aspek sosial. Jean Beigie berkata” Tujuan terpenting pendidikan adalah pencapaian kesempurnaaan pribadi-pribadi, dan mendukung penghormatan hak orang lain serta hak-hak dasar. Pendidikan bertanggung jawab memeperkuat semangat penyesuaian dan kekeluargaaan di antara orang–orang, termasuk kelompok-kelompok ras serta agama. Pendidikan juga mendapat misi mengembangkan aktivitas yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk menjaga perdamaian Kondrsie berkata, pertama, pendidikan harus bertindak untuk memungkinkan setiap individu menguasai keahlian–keahlian personal, serta memenuhi tugas-tugas sosial yang diperlukan secara penuh dan mengembangkan bakat sebanyak mungkin. Selain itu, Ia harus menyampaikan semangat kesetaraaan di antara orang–orang jika tidak, apa yang hukum deklarasikan untuk mencapai persamaan politik tidak akan tercapai. Tujuan sosial pendidikan adalah pengelolaaan pembelajaran dalam sebuah cara yang menghasilkan perkembanan industrial guna mencapai kepuasan orang-orang serta memungkinkan mereka untuk menjalankan berbagai tugas sosial yang di perlukan . Islam telah menyatakan sebagian besar tujuan-tujuan ini sebagi prinsip–prinsip dasar wilayah pendidikan” . Pendidikan ialah pencapaian pertumbuhan kesempurnaan individu–individu berdasarkan kecendrungan dan kemampuan mereka warisan budaya di pandang sebagai salah satu sarana pendidikan. 4. Perkembangan individu Beberapa pakar dalam dunia pendidikan meyakini bahwa tujuan utama proses pendidikan ialah pencapaian pertumbuhan keempurnaan individu–individu berdasarkan kecendrungan dan kemampuan (pendidikan berbasis kompetensi.peny). Warisan budaya dipandang sebgai salah satu sarana pendidikan .Warisan semacam itu, harus dikelola secara psikologis agar pas dengan berbagai tahap pekembangan yang berbeda-beda Ahli pendidikan lainnya menambahkan, penilaian etika (sebagaimana Abdurahman Wahid. peny), perilaku yang baik dan aktivitas–aktivitas dalam kerja pada proses pendidikan. Mereka juga menambahkan kehendak diri, kemandirian, perbaikan hasrat, penghormatan hak-hak orang lain, hubungan baik dengan masyarakat, melarang keburukan, menyajikan factor-faktor lingkungan, serta berupaya membangun masyarakat-masyarakat manusia pada bagian dari berbagai proses pendidikan Sang Maha guru Plato berpandangan bahwa “salah satu tujuan pendidikan adalah semestinya membebaskan individu-individu bodoh dari ikatan ketidak sadaran, serta memebawa mereka dari dunia suram ke dunia yang cerah serta merdeka. watak–watak kejiwaan yang tertingggi harusnya diangkat ke tingkat–tingkat pelaksanaan berbagai perbuatan baik di dunia ini” 5. Tujuan-tujuan lainnya Para filsuf pendidikan menyebutkan tujuan–tujuan yang yang lain yang mencapai pekembangan individu dan penonjolan diri, yaitu kesejahteraan, tugas-tugas sosial serta emosi dan pengenalan alam . Para pemerhati pendidikan yang lain menyampaikan sepuluh tujuan terpenting dalam pendidikan di sekolah–sekolah menengah. 1. Pengembangan cara berpikir yang tepat. 2. Pemnbangunan kebiasaan bermanfaaat yang berkaitan dengan kerja dan pelajaran 3. Pengembangan kecenderungan–kecenderungan sosial 4. Penyediaaan seperangkat kecenderungan yang cocok 5. Pengembangan aspek-aspek artistik dan estetik 6. Pengembangan indra-indra sosial 7. Presentasi informasi prinsip 8. Pembangunan berbagai kondisi fisik 9. Pembangunan falsafah hidup yang kokoh Menurut Muchtar buchory, pendidikan harus berwawasan kebangsaan, ada dua ciri yang menonjol dari pendidikan tersebut, yakni, pertama dan yang utama adalah watak moral dan intelektual, Artinya keseluruhan materi serta kegiatan yang terdapat di dalamnya harus benar-benar mampu membentuk kedua aspek dari kepribadian para peserta didik, yaitu aspek moral dan aspek intelektual. yang darinya mencakup tiga macam pembinaan : 1. Kegiatan-kegiatan untuk pembinan daya kognitif 2. Kegiatan-kegiatan untuk pembinaan daya afektif dan 3. Pembinaan daya konatif -volatif Ciri lain yang menonjol adalah pandangan serta sikap antisipatoris. Artinya, program pendidikan untuk membentuk wawasan kebangsaaan ini harus mengutamakan pembinaaan kemampuan untuk memperhitungkan perkembangan-perkembangan yang akan terjadi di masa depan. sehingga anak didik mampu mempetakan persoalan mendasar di masa sekarang untuk jangkauan kedepan. Pada kongres pendidikan Islam yang pertama di Islamabad, di rumuskan pemahaman tentang tujuan-tujuan pendidikan Islam. Yakni,: a. pendidikan harus di tujukan kearah perumbuhan yang berkesinambungan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan dan rasio . b. perasaan dan pancaindra. Oleh karenanya maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya yaitu aspek spiritual ,intelektual ,imajinasi ,jasmaniyah,ilmiyah, linguistik baik secar individual maupun secara kolektif, serta mendorong semua aspek itu ke arah kebaikan dan pencapaian sempurna .Tujuan akhir pendidikan terletak di dalam sikap pengarahan diri sepenuhnyakepada allah pada tingkat individual , masyarakat pada tingkat kemanusiaan pada umumnya. Abdurahman Wahid mempunyai pendapat yang menarik, bahwasanya pendidikan harus mampu menjadi sebuah pertarungan antara pengajar-yang mempunyai kesempurnaan dalam pandangan hidup- dengan anak didiknya–yang sedang mencari kesempurnaan pandangan hidup- sehingga, pendidikan menghasilkan tujuan “kesempurnaan pandangan”. Hasil pendidikan ini dapat memengaruhi pola pandang santri terhadap berbagai persoalan, yang akhirnya mereka dapat selesaikan secara komperehensif dan universal. Dari pelbagai pendapat dan rumusan diatas, bisa di tarik sebuah benang merah adanya satu tujuan pembekalan yang bersifat materi maupun Immateri dari pendidikan. Filsafat dan pendidikan Filsafat sebagai ilmu nadhory, yang juga bermaksud “menegakkan” kebenaran, memiliki hubungan yang sangat mesra dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti halnya dengan pendidikan. Al-Qarashi mengutip komentar Fitshte menggambarkan hubungan ini dengan mengatakan “Tanpa kebaikan dari filsafat pendidikan tidak akan dapat mencapai sebuah kecerahan yang sempurna . Ada saling keterhubungan di antara keduanya, yang masing-masing akan menjadi tidak sempurna serta tidak efektif tanpa yang lainnya” Jhon Dewey pun memberi apresiasi yang luar biasa tentang hubungan ini sebagaimana dikutip Al-Qarashi ia menyatakan “Filsafat klasik tidak akan ada tanpa tekanan berbagai pertanyaaan pendidikan tentang intelektualitas–intelektualitas. Kaum naturalis yang terkemuka merupakan sebuah bab tunggal dalam sejarah ilmu pengetahuan. Urusan–urusan pendidikan mengharuskan para filsuf sesat dan lawan-lawan mereka untuk berfisafat. Ucapan menyangkut pendidikan mereka mendorong mereka memunculkan teory-teory filsafat.” Tidak kalah dengan keduanya Hobart Spencer berkata “Pendidikan yang tepat dapat dapat bermanfaaat melalui fisafat yang akurat semata” . Dalam perjalanannya keduanya telah menyatu dalam sebuah disiplin ilmu yang di kenal sebagai filsafat pendidikan. A.3 Faktor –faktor pendidikan Selayaknya sebuah bangunan rumah, yang memerlukan pondasi yang kuat untuk menopang bangunan di atasnya, pendidikan juga mempunyai pondasi berupa factor –faktor dasar penunjang insfratuktur bangunan pendidikan . Dalam Factor of education sebagaimana di kutip Al-Qarashi menjelaskan pendidikan merupakan suatu dasar penting dari hasil-hasil perilaku jika ia bergantung pada factor-faktor ynag mempengaruhi struktur dan komposisinya . Tanpa alas an yang mengarah pada fondasi pendidikan , buah keberhasilan akan tiada ada beberapa factor yang memepengaruhi pendidikan , di antaranya hereditas(penurunan sifat genetic dari orang tua keanak ), keluarga, sekolah dan lingkungan . 1.Hereditas Secara definitive adalah kecendrungan alami cabang-cabang untuk meniru sumber mulanya dalam komposisi fisik dan psikology. Dalam Islam sudah memahami kondisi hereditas, jauh –jauh hari sudah singgung Rasullulah dalam sabdanya “seorang pendusta telah menjadi pendusta sejak mereka berada diperut ibunya , dan orang beruntung telah menjadi beruntung semenjak mereka masih berada di perut ibunya “ menurut Al-Qarashi, Sabda ini mengindisikasikan ba hwa elemen –elemen genetis memberi para janin baik keberuntungan –ketika sifat-sifat serta kecendrungan baik ayah –ayah mereka ada atau nasib yang buruk –jika watak dan sifat ayah-ayah mereka buruk .Seyogyanya, orang tua berhati-hati dalam pola tingkah lakunya, karena secara genetis dapat mempengaruhi anaknya . Hindari perbuatan yang mempunyai efek psikis , intelektual dan spiritual , demi masa depan anaknya. Baik yang masih dalam kan dungan maupun yang sudah menginjak deasa. Dalam mendidik anak, sangat di perlukan pola –pola yang di ajarkan Rasullullah SAW. Uswatun hasanah adalah salah satunya. 2.Keluarga . Bagi para sosiolog keluarga berarti sebuah ikatan sosial yang terdiri dari suami istri dan anak-anak mereka ,juga termasuk kakek nenek serta cucu-cucu dan berapa kerabat,asalkan mereka tinggal di rumah yang sama . Keluargaa sangat menunjang proses pendidikan sang anak . Mulai dari dalam kandungan bahkan sampai dia dewasa . Keluarga disini sebagaimana di katakan Alqarashi, tidak di ragukan lagi memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku individu serta pembangunan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak . Pengawasan,dan kekompakan dalam bersikap berupa kasih sayang (tidak pilih kasih) , cinta kasih dan kedamaian dalam keluarga sangat di perlukan untuk menunjang terciptanya suasana kondusif bagi pembelajaran anak .Pembekalan nilai-nilai moral bagi anak didik semenjak dini, mutlak di lakukan dalam keluarga . bahkan harus mendapat skala prioritas yang lebih tinggi. 3. Sekolah Di samping keluarga, sekolah adalah salah satu elemen penting lain, yang menentukan keberhasilan pengajaran lanjutan terhadap peserta didik. Bahkan, dapat di katakan guru di sekolah seperti orang tua dalam keluarga . Dalam kerangka “menghidupkan” pendidikan berkuallitas, sekolah memberi andil untuk mengarahkan akan bagaimana corak intelektual dan ideology yang akan di miliki anak didik. Tentunya, dengan membukakan jendela cakrawala pengetahuan dunia yang melahirkan kreativitas –kreativitas di dalamnya . Di sini pola pembelajaran menjadi lebih terpola dan sisitematis, dengan harapan anak didik mampu berfikir secara sitematis dan komperehensif. Tapi harus di waspadai pola sentralistik dan doktriner yang justru bisa menghambat kreatifitas berfikir bagi sang anak didi. Fungsi guru tidak lebih sebagi fasilitator , yang menghantarkan siswa pada cakrawala pemahaman yang utuh dan mencerahkan 4. Lingkungan . Para pakar banyak yang sependapat bahwasanya lingkungan adalah salah satu faktor yang signifikan dalam membentuk pola perilaku dan kesalehan sosial . bagi anak . Ketika lingkungan mampu menyajikan suasana kondusif dan akomodatif bagi “hidup”nya pembelajaran yang efektif dan agamis , maka akan sangat membantu terciptanya kecerdasan sosial bagi sang anak. Dia akan lebih peka kepada lingkungan sekitarnya, yang memberi sympati ,empati dan apresiasi yang tinggi terhadap nilai –nilai pengetahuan . B.Hakekat moral /Akhlaq B.1Pengertian moral Arti leksikal Berasal dari bahasa latin mos (jamak : mores) yang berarti kebiasaan, adat,. Dalam bahasa yunani di kenal sebagai ethos yang artinya juga adat atau kebiasaan juga akhlaq . Dalam bahasa Inggris, di sebut moral , yakni, concerned with principiles of right and wrong behaviour (ukuran baik atau buruknya perbuatan ) Arti Etimologi Menurut K Bertens, secara terminology makna etika adalah nilai-nilai dan norma –norma yangmenjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, etika,moral ,akhlaq di definisikan tiga macam: 1.Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajian moral (akhlaq) 2.Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq 3. Nilai mengenai benar dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat. Lanjut Bertens, antara moral dan etika juga mempunyai makna yang hampir sama , Namun , pada moral lebih abstrak . Moral berarti, kita sedang berbicara “moralitas suatu perbuatan “ artinya segi moral sutau perbuatan atau baik buruknya . Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan denganbaik dan buruk. Sebagai gambaran, ketika seorang kepala negara tau pemerintahan sedang melakukan korupsi dan atau penyimpangan wewenang dan kekuasaan maka bisa di katakan bermoral jahat, jelek. Bahkan tidak bermoral.. B.2 Fungsi moral dalam konteks kebangsaan Menurut Shahrin harahap (2005), penegakan moral merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam rangka mengawal transisi bangsa , hingga tetap dalam jati dirinya sebagai bangsa yang religious dan berbudaya . Peran ini dapat berupa gerakan menempatkan moral sejajar dengan ilmu , pinter tapi bermoral atau bahkan, “Menempatkan moral di atas ilmu” dan seperti yang Jalaludin Rahmat tekankan “ Mendahulukan akhlaq di atas fiqh”. Proses pergerakan tersebut, melalui beberapa “focus gerakan “ , seperti yang di jelaskan Shahrin : 1. Mengupayakan agar para cendikiawan tetap berdiri dan bertindak sebagai pengembang ilmu pengetahuan dn inovasi pengembangan masyarakat . 2. Penjagaan integritas setiap ilmuwan dan cendekiawan agar tetap bertindak sebagi pelopor penegmbangan ilmu dan pencerahan . kalu dia menggunakan ilmunya sesuai dengan aksiologis yang moralis maka ia akan mendatangkan kesejahteraaan dan kebahagiaan . Sebaliknya, kalau ia lepas dari konntrol moral , maka ilmunya bukannya mendatangkan kesejahteraan dan ketenangan , melainkan sebaliknya, akan mendatangkan kesengsaraan dan penderitaaan 3. Mengingatkan kembali pentingnya moral , memperluas koridornya dalam gerak langkah pengembangan kehidupan berbangsa dan bermasyrakat. 4. Memberikan perhatian khusus pada cakupan pembicaraan moral, bukan hanya bersifat horizontal antara ilmuwan/cendekiawan dengan manusia lain atau masyararakatnya, tapi juga dengan Tuhan dan agamanya Untuk poin terakhir, –mengenai proses pembinaaan moralitas keagaamaan- , pesantren memiliki andil yang besar selama berpuluh tahun . Bahkan Abad. Selama ini, pelajaran agama –lewat Diknas – terutama pada masa Orde Baru hanya mendapat porsi yang sedikit. Sedangkan di pesantren hampir tidak adawaktu yang terlewatkan dari semangat memepelajari agama dan pengembangannya , serta pembinaan moral ,yang biasa di lakukan oleh “pengasuh pesantren” . Pola pembinaan mental, spiritual dan moral di lakukan secara terus menerus.(selain pendidikan intelektual ).Bahkan , ketika ketika sang anak didik sudah tidak berada di lingkungan pesantren . Pola ini dikenal di pesantren sebagai “bimbingan ruhaniah “(murobbyrruh). Menurut Gus dur, bahkan di pesantren sekalipun –setelah masuknya sistem sekolahan , pesantren sudah kehilangan aspek moralnya . Padahal menurut dia (Gus dur),”Ini yang sebetulnya ; dalam pendidikan sekolahan moral yang tidak di ajarkan . hanya hafalan saja , karena itu lalu banyak orang yang lari ke pesantren . kebetulan pesantren ada sekolah umumnya . bahkan saya (Gus Dur) lihat, SMP –SMA telah ada di pondok-pondok yang kuno-kuno . Jadi, persolan pokoknya adalah adalah nilai-nilainya yang telah rusak . Kalau dikatakan bahwa pesantren itu berarti membangun nilai, bukan berarti yang merusak . Dengan keberadaaan pesantren itu seharusnya menyegarkan kembali, supaya bisa mengambil kembali aspek moralitas yang hilang dari sekolah –sekolah yang ada , dan nilai-nilai perlu di masukkan ke pesantren yang telah kehilangan nilai itu . Dari uraian di atas, institusi pendidikan, terkhusus pesantren, sangat berpotensi membantu mengembalikan moral bangsa . Berupa, penanaman nilai-nilai yang positif dan mengajarkan aspek –aspek moralitas. Bab III Kajian pelbagai pemikiran Gus Dur tentang pendidikan A. Pandangan Gus Dur Terhadap pendidikan Indonesia ( Orde Baru dan pasca reformasi ) Ada beberapa pandangan yang di kemukakan Gus Dur menyoal pendidikan di sini Yakni, Era Orde Baru (70 an dan 80 an) , kemudian Era Reformasi (dan pascanya). Sebenarnya, di kedua masa itu belum banyak berubah baik pola , modus maupun ekses pendidikan . Bahkan, sekarang (di era pasca reformasi ) lebih kompleks dan berupa kejahatan structural secara sistemik . Menurut Gus Dur, pada era 70 an, dunia pendidikan kita masih dalam taraf yang boleh di kata kritis . Dia menjelaskan dengan banyaknya jumlah anak didik yang putus sekolah ( drop out) kemampuan kita semua untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih merata juga menjadi lebih terbatas lagi . Belum pula di ingat bahwa di antara mereka yang dapat melanjutkan sekolah masih cukup banyak di dapati ketimpangan antara kemampuan , biayanya , dan motivasinya . Oleh karenanya, Gus Dur memberi sebuah tawaran penyelesaian ,“ seluruh kemampuan untuk membuka lembaga - lembaga pendidikan berupa sekolah harus di gali terus menerus dari masyarakat , baik yang berasal dari dana pemerintah (sekolah negeri ) maupun non pemerintah maupun non pemerintah ( sekolah swasta) . Untuk menggali kermungkinan mendirikan sekolah lebih banyak inilah antara lain dapat di tafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan sebuah kurikulum baru untuk sekolah –sekolah agama (madrasah} Sebagai sebuah pemecahan masalah , memang secara teoritis instruksi tentang kurikulum baru itu akan dapat mendorong pertumbuhan pendidikan yang lebih seragam secara meluas . Akan tetapi, pada kenyataaanya , menurut Gus Dur instruksi tersebut tidak akan menambah penciptaaan sekolah sekolah baru secara besar –besaran . Paling banyak hanya akan di hasilkan pengalihan Tiktik berat dari “kurikulum agama “ menjadi kurikulum yang lebih berorientasi pada kebutuhan masa kini . Krisis lain yang menimpa dunia pendidikan kita adalah adanya birokratisasi dalam dunia pendidikan . Menurut Gus Dur , Hal itu lahir dari pola Otoriterisme yang selama Orde Baru berlangsung . Otoritarenisme itu menurut dia, bukanlah warisan sutau kultur atau buah suatu kepribadian suatu bangsa , tapi akibat dari suatu pranata yang bekerja di luar kontrol yang berlangsung selama belasan bahkan puluhan tahun sebagai fakta politik yang bisa di saksikan dengan mata telanjang . Terkikisnya kesadaran bahwa itulah penyimpangan dari sutau kultur yang manusiawi , dan kultur manusiawi itu adalah kemerdekaaan menunjukan adanya suatu cacat yang sungguh-sungguh perlu di persoalkan di dalam kultur suatu bangsa . Suatu aksi cultural dan pendidikan politik sebgai aksi cultural tidak akan memenuhi sasaranya bila kemerdekaaan tidak di anut sebagai asas paling mendasar bagi pengembangan kultur . Oleh karenanya, Gus Dur menandaskan, masalah kemerdekaaan adalah bagian yang sah di dalam suatu masalah kultur , kalu hal tersebut akan di bahas secara memadai . Dari proses inilah birokratisasi lahir, termasuk nantinya birokratisasi pendidikan . menurut Gus Dur , Birokratisasi yang cenderung menyeragamkan derap kehidupan masyarakat (sebenarnya) bukanlah suatu yang lain dari suatu kecendrungan untuk mengubah kebudayaaan kearah kebaliakn dari emansipasi suatu bangsa , yakni, kearah pembekuan daya cipta suatu bangsa yang berada di dalam masa perubahan besar –besaran secara sosial dan ekonomis . Dan, dari birokratisasi tersebut, lahirrlah kecenderungan monolitik.,yang menurut Gus Dur kecenderungan (monolitik ) tadi, terjadi dalam dunia pendidikan . dimana semua universitas sudah di turunkan derajatnya menjadi bagian dari Departemen pendidikan dan kebudayaan “partikulir” . Kebudayaaan ini Oleh Gus Dur di sebut sebagai peristiwa a cultural yang mengikis habis daya cipta suatu pendidikan tinggi yang semata –mata berfungsi sebagai mesin untuk melaksanakan kebijakan negara Inilah yang di sebut oleh Muchtar Buchory pendidikan telah kehilangan kendali transformasinya Pemahaman monolitik tersebut , kemudian di contohkan Gus Dur dalam bentuk penyeragaman seragam sekolah. Menurut dia, pakaian seragam yang di kenakan oleh para pendidik di universitas adalah usaha menciptakan jarak (distancing). Menurut Gus Dur lebih lanjut, pada awalnya di ciptakan jarak secara fisik (pshisical distanching)untuk kemudian menjadi sutau jarak pengetahuan (knowledge distancing) yang semuanya akan berakhir pada jarak politik(political distancing) di mana di bangun hirarki pada kalangan warga akaedemi yang tidak di dasarkan pada distribusi pengetahuan , tapi semata –mata berdasarkan pada distribusi kekuasaan. Pada akhirnya, hal itu akan melumpuhkan daya cipta di dalam suatu dunia yang menjadi tumpuan harapan suatu bangsa . Gus Dur juga mencontohkan pada hal –hal yang lebih teknis, semisal buku teks dasar sekolah, dia menjelaskan selama bertahun- tahun buku teks sekolah dasaar dan sekolah menengah di kuasai oleh suatu ideology yang pada akhirnya mengubah pendidikan menjadi suatu proses stultifikasi massa bukan jalan menuju pencerahan ( enlightenment). Masih banyak persoalan dan penggelapan sejarah di dalam mata pelajaran sejarah yang kalau tidak di jernihkan akan semakin memperdalam proses stultifikasi tersebut . Hal ini , menurut Gus Dur , semakin memprihatinkan , karena proses itu terjadi , justru di tingkat yang sangat peka (formative year) adri suatu jenjang pendidikan menuju kedewasaan . Harus ada perbedaan metode di dalam pendidikan menuju kedewasaan . Dan, kalau ada perbedaaan metode di dalam pendidikan sejarah adalah sesuatu yang lumrah . Tetapi , perbedaaan metode tidaklah berarti menyimpang dari suatu historografi (historiografi ?) yang mengacu pada kebenaran histories. Inilah masalah kultur -lanjut Gus Dur memberi solusi - yang harus mendapat perhatian . Stultifikasi ini bukan masalah metodik , tapi suatu pencemaran proses pendidikan menuju kemerdekaan. Pendidikan bukan tempat mencetak robot , tapi aksi cultural menuju kemerdekaan Sisi gelap lain, tentang pendidikan di Indonesia, yang menjadi perhatian Gus Dur di era pasca Reformasi 1998, adalah, tercerabutnya nilai-nilai moralitas dari ranah pendidikan . Ini adalah persoalan mendasar dan substansial . Menurut Al- Qarashi dalam Seni Mendidik Islami, tercerabutnya nilai nilai moralitas adalah sebagai akibat di berlakukannya sistem pendidikan Barat yang “meminggirkan” moralitas dalam proses pembelajaran Dalam Zarbu kulaim ( hal 85) seorang pakar pendidikan, menyatakan “ Sistem pendidikan pengajaran Barat tidak lebih dari persekongkolan menentang agama , etika dan keluhuran budi” Gus Dur menjelaskan akibat ketercerabutan moralitas dari pendidikan nasional , maka orang tua berbondong –bindong menempatkan anaknya di pesantren yang terkenal menjadi benteng moral terakhir dalam era Global sekarang. Akan tetapi lagi –lagi persoalan justru timbul disini , dan sangat memprihatinkan . Karena, pesantren -akibat “penerimaan”terhadap nilai nilai “kemajuan” - justru tercerabut juga nilai- nilainya , sangat menyedihkan . Ada dua solusi dari Gus Dur terhadap masalah (immoralitas )tersebut. 1. perlu memasukkan nilai –nilai yang hilang di pesantren (refresh). 2. nilai nilai lama harus setidaknya di modernisir . perlunya nilai –nilai structural dengan pembentukan masyarakat atau lembaga –lembaganya yang membebaskan manusia dari kekurangan B. Pandangan Gus Dur tentang pesantren Setidaknya ada dua (2) pemikiran yang di gagas Gus Dur mengenai pesantren yang pertama,mengenai eksistensi pesantren dalam ranah budaya, dalam bentuk pesantren sebagi sub- kultur, dan transformasi pesantren. Kedua ,tentang kondisi internal pesantren itu sendiri dengan dialektika permasalahannya, sekaligus kritik dan solusi Internal pesantren, berupa dinamisasi pesantren dan reaktualisasi moral. Kesemuanya merupakan kontruk pemikiran Gus Dur –tentang pesantren- yang saling berjalin gelendang (berhubungan) satu sama lain. Dan, masing masing merupakan bagian tak terpisahkan. B.1 Eksistensi pesantren; sebuah sub-kultur Dalam sebuah artikel Gus dur memasukkan pesantren dalam lembaga sub-kultur . Atau setidaknya ada beberapa bagian dari pesantren yang layak di nominasikan menjadi sebuah sub kultur , minimal, menurut Gus Dur hanya meliputi sedikit aspek –aspek syarat sebuah sub-kultur, yakni: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan umum di negeri ini :terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulangpunggung kehidupan pesantren ; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren , lengkap dengan simbol-simbolnya ; adanya daya tarik keluar ,sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masayarakat itu sendiri ;dan, berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan mayarakat di luarnya , yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai –nilai baru yang secara universal di terima kedua belah pihak Penanaman nilai ,moralitas di pesantren seolah menjadi trademark tersendiri bagi pesantren , karena memang di dalamnya terdapat kandungan penanaman moral /akhlaq ,sebagi bagian tak terpisahkan dari corak teologis dan warna syariah dari pesantren itu sendiri . semisal, tentang adanya sebuah kaidah yang sangat terkenal dalam dunia pesantren yang artinya” menjaga (mutu) dan mempertahankan pola /sistem ada dan meninggalkan sistem yang lama yang tidak efektif dan menggantikannya dengan yang lebih baik”. Pesantren adalah lembaga yang” lain dari yang lain” kerena menurut Gus Dur pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik , sebagaimana dapat di simpulkan dari gambaran lahiriahnya , pesantren adalah kompleks dngan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam lingkungan fisik yang demikian , Lanjut Gus dur, di ciptakan smacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri tersendiri , di mulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian ruttin kegiatan masyarakat sekitarnya . Pertama,- tama kegiatan di pesantren berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang wajib yang lima (shalat rawatib) . Dengan sendirinya , pengertian waktu pagi , siang , dansore di pesantren akan menjadi berlainan dengan pengertian di luarnya . Dalam rangka inilah , umpamanya , sering di jumpai para santri yang menanak nasi di tengah malam buta tahu yang mencuci pakaiannya menjelang terbenamnya matahari. Dimensi waktu yang unik ini tercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatkan pada pemberian pengajian buku-buku teks ( alkutub al muqarrah) pada tiap tiap habis menjalani sembahyang wajib. Jadi , semua kegiatan lain harus tunduk pada dan di sesuaikan dengan pembagian waktu pengajian; demikian pula ukuran lamanya waktu yang di pergunakan sehari-hari :pelajaran pada waktu tengah hari dan malam tentu saja lebih panjang masanya daripada di waktu petang dan subuh . Dimensi waktu yang bercorak tersendiri ini, juga terlihat pada lamanya masa belajar pesantren ; selama seorang santri merasa masih memerlukan bimbingan dari kyainya , selama itu pula ia tidak merasakan adanya keharusan menyelesaikan masa belajarnya di pesantren . Dengan demikian , sebenarnya tidak terdapat ukuran tertentu mengenai lamanya masa belajar di pesantren karena penetuan nya di serahkan kepada santri sendiri . Dalam kompleks (Pesantren) itu berdiri beberapa buah bangunan : ruamah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa jawa di sebut kiayi . di daerah berbahasa sunda ajengan dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara di singkat ra). Para kyai ini, adalah mereka yang telah memiliki kesempurnaaan pandangan tersebut (Washilun ) . Ciri kedua adalah sebuah surau atau masjid ( Menurut Gus Dur , dalam dunia tasawuf ,masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah antara keduanya merupakan tempat “pertempuran moral” yang berlangsung antara para salikun , yang akan di rubah perilakunya , oleh washilun ) , tempat pengajaran di berikan (bahasa Arab madrasah , yang juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah ) dan asrama temapat tinggal para siswa pesantren ( Di kenal sebagai Santri, berasal dari bahasa pali dari zaman kaum Budha yang artinya menguasai kitab –kitab suci ) . Gus Dur menjelaskan, dalam pesantren para santri adalah salikun (aspiran) yang berada di perjalanan , menuju ke arah kesempurnaan pandangan yang di bawakan oleh moralitas /akhlaq tertentu. Kata salikun dalam bahasa arab , menunjukan fungsi mereka yang mencari “kesempurnan pandangan” itu . Jadi , menurut Gus Dur, “proses belajar dan mengajar di lingkungan pondok pesantren bukanlah sekedar menguasai ilmu - ilmu keagamaan melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup , dan penentuan perilaku para santri itu nantinya setelah kembali dari pondok pesantren kedalam kehidupan masyarakat. Ciri sub kultur lain yang di miliki pesantren, menurut Gus Dur adalah struktur pengajaran yang di beriakn . Dari sistemasika pengajaran , di jumpai jenjang pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat , tanpa telihat kesudahannya . persoalan yang di ajarkan seringkali pembahasan serupa yang di ulang-ulang selama waktu bertahun tahun, walaupun buku teks yang di pergunakan berlain –lainan. Di mulai dengan “kitab kecil” (mabsulat) yang berisikan teks ringkas dan sederhana , pengajian akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkat “kitabs sedang” (mutawassitat) . Kiai bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk untuk memilih mana yang akan di tempuhnya . Kalau si santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang di ajarkan , tentu saja akan di butuhkan waktu yang sangat lama, yang bahkan dapat mencapai masa belasan tahun . Akan tetapi Gus Dur menambahkan , keseluruhan struktur pengajaran yang di tentukan oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada kiainya , karena tidak adanya keharusan menempuh ujian atau memperoleh dari kiayinya itu. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya kepada sang kiayi dan kemampuan nya untuk memperoleh ngelmu dari sang kiai. Dengan demikian , kebesaran seorang kiai tidak di tentukan oleh jumlah bekas santrinya yang di kemudian hari menjadi kiayi atau menjadi orang-orang yang yang berpengaruh di masyrakat. Bagaimanapun juga sistem pengajaran, memengaruhi hasil (output) pendidikan . demikian halnya kurikulum di pesantren , yang di katakan Gus Dur sebai lentur(luwes) dan unik. Keunikan pengajaran nya menurut Gus Dur dapat di temui pada cara pemberian pelajarannya , dan kemudian dalampenggunaan materi yang telah di ajarkan kepada dan di kuasai oleh para santri. Pelajaran di berikan dalm pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, dimana sang kiai membaca , menerjemahkan dan kemudia menerangkan persolan –persolan yang di sebut kan dalam teks yang sedang di pelajari . Kemudian si santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan sang kiayi . atusetelah kembali kebiliknya , taupun dalam pengajian ulang antara sesama teman setingkat pengajian (bermacam namanya, Musyawarah,takrar,mudarasah,jam`iyah dan sebagainya).Karena pellajaran yang di berikan bersifat aplikatif , dalam arti harus di terjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari , tentu saja segi kemampuan para sntri untuk mengaplikasikan pelajaran yang di terimanya menjadi perhatian pokok sang kiayi. Karena hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh oleh aplikasi pengajian yang di berikan dari cara-cara menyusikan diri untuk melakukan ibadat ritual hingga pada ketentuan prosedural tata niaga yang di perkenankan oleh agama , maka pemberian pengajian oleh sang kiayi kepada para santrinya sama saja artinya dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri. . Dan, lebih lanjut -menurut Gus Dur- Nilai-nilai(mores) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari –hari inilah yang kemudian di kenal dengan nama “cara kehidupan santri Struktur pengajaran yang unik dan memiliki ciri khas ini –menurut Gus Dur-, menghasilkan sebuah pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Dan visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kelak -menurut Gus Dur Lagi- , kelak menempati kedudukan terpenting dalam tata nilai di pesantren ,visi mana dalam terminology pesantren di kenal dengan nama keikhlasan . Pemahaman akan keihlasan di sini –oleh Gus Dur – di sebut berbeda dengan pengertian di luar lingkungan masyarakat ,yang mengandung pengertian ketulusan dalam menerima , memberikan , melakukan sesuatu di antar sesama makhluq) Orientasinya ke arah ke rah kehidupan kehidupan alam Akhirat . Hal ini merupakan pokok dasar kehidupan pesantren Menurut Saiful Arif (2006) dalam Gus Dur Muda : pergulatan”kiri”dalam Ilmu sosial Orde Baru ,ciri terakhir pesantren sebagai sub-kultur adalah hirarki kepemimpinan kyai . Gaya kepemimpinan ini terutama berciri hubungan guru-murid yang ketat dan intens, berdasarkan doktrin emanasi (al-faid) sufi. Menurut doktrin ini, keagungan Allah memancar dari wajah-Nya, sebagai Cahaya Sejati (an-nur), dan membekas pada tipe-tipe orang tertentu, seperti guru-guru tadi . Disini, Gus Dur mencoba mengandaikan sebuah konsep tasawuf yang begitu di kenal terutama dari abad pertengahan . Dengan berkhidmat kepada para kyai, serta mencontoh cara hidup mereka dari dekat, para santri akan memperoleh keagungan pula, sehingga kelak mereka dapat menjadi kyai. Kepemimpinan tersebut ditegakkan diatas kewibawaan moral sang kyai sebagai penyelamat para santri dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan. Dengan demikian, kekuasaan kyai memiliki perwatakan absolut. Hirarki internal ini, yang sama sekali tidak mau berbagi tempat dengan kekuasaan diluar, juga membedakan kehidupan pesantren dari pola masyarakat umum. Demikian besar kekuasaan kyai, sehingga si santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa terikat dengan kyainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan penunjang moral. Keterikatan ini bisa dilihat dari perasaan kewajiban untuk berkonsultasi kepada kyai, ketika seorang santri sedang dihadapkan pada permasalahan hidup semisal memilih jodoh, membagi waris, hingga penentuan lapangan kerja . Dalam struktur kepemimpinan, Lanjut Arif, “yang termasuk warga pesantren adalah kyai (ajengan, nun, atau bendara) sebagai pengasuh, para guru (ustadz), dan para santri. Kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana, dimana kyai memegang kepemimpinan secara mutlak dalam segala hal, sedangkan kepemimpinan tersebut sering diwakilkan kepada seorang ustadz senior selaku kepala pondok. Oleh karena itu, betapapun demokratisnya susunan kepengurusan, tetap terdapat jarak tak terjembatani antara kyai beserta keluarganya disatu pihak, dengan para asatidz dan santri dipihak lain; kyai bukan sebagai primus inter pares, melainkan bertindak sebagai pemilik tunggal (directeur eigenaar). Kedudukan yang dipegang kyai merupakan kedudukan ganda sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara cultural, kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di Pulau Jawa” . Disinilah, Menurut arif, “dibutuhkan kepribadian kyai yang kuat, terutama dalam hal ketekunan dan penguasaan diri yang berkadar tinggi. Kepemimpinan dengan perwatakan tersebut dengan sendirinya mengandung sikap curiga kepada pihak luar dalam urusan pesantren, yang kemudian melahirkan dua ciri subkultur, yakni sifat tertutup pesantren dan solidaritas tinggi antara sesama pesantren. Kelanjutan pribadi yang kuat tersebut kemudian melahirkan kharisma, yang juga terbentuk oleh struktur pengajaran tradisional berdasar penularan ilmu dari satu generasi ke generasi lain, melalui sistem bimbingan individual (ijasah) lisan, yang berarti perkenan kyai kepada santri untuk mengajarkan ilmu setelah dikuasai). Sistem ini membuat para santri seumur hidupnya terikat dalam arti spiritual kepada kyai mereka, minimal sebagai pembimbing seumur hidup (life-long tutor)”. Fungsi ini, menurut arif, “menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring, dan akhirnya asimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang masuk pesantren. Karena para santri nanti mengembangkan asepk-aspek kebudayaan yang telah memperoleh imprimatur dari sang kyai, maka dengan sendirinya, peranan kyai sebagai agen budaya (cultural brokers) juga tidak dapat dianggap kecil, sebagaimana disinyalir oleh para sarjana yang melakukan riset “Proyek Modjokuto”. Dalam hal ini, asetisme digunakan oleh kyai untuk mengasimilir nilai-nilai budaya baru ke dalam tata nilai yang telah dimiliki pesantren, semisal penggunaan legenda pewayangan Jawa dalam menerangkan beberapa unsur keimanan dalam tabligh keagamaan, atau penggunaan lagu Melayu terbaru sebagai medium dakwah. Pada titik ini, kyai kemudian melakukan “pembaruan terbatas” melalui gaya asimilasi yang unik. Tutur Gus Dur: “Walaupun secara kultural tidak bersifat kreatif, namun peran asimilasi tidak kurang membutuhkan kemampuan kyai untuk melakukan inovasi sendiri, setidak-tidaknya untuk “menumpulkan” ekses-ekses yang dibawa oleh setiap nilai baru yang menyentuh kehidupan di sekelilingnya. Di salah satu pesantren besar di Jawa Timur, seorang kyai mendirikan SMP, guna menghilangkan ancaman penggunaan narkotika di kalangan sementara keluarga santri, yang tadinya putera-putera mereka disekolahkan diluar pesantren. Respon kultural yang reaktif ini, bagaimanapun bergunanya disatu saat, pada akhirnya membuat para kyai sukar dalam memahami setiap gejolak nilai intrinsik masyarakat, karena setiap pemahaman atas gejolak itu, senantiasa dilakukan dari sudut kemungkinan penyerapan kedalam lingkungan pesantrennya sendiri. Dengan demikian, peranan adaptif ini pada akhirnya membawa kyai pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai oportunistik, dalam arti kata, ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural semaksimal mungkin. Pada umumnya, peranan ini menghasilkan sikap hidup datar (bland), dimana nilai yang diakui adalah nilai minimal (common cultural denominators) yang diakui bersama oleh pesantren dan masyarakat diluarnya”. Watak sub-kultur yang ditemukan Gus Dur dalam nilai, cara hidup, dan model kepemimpinan di atas, pada perjalanannya telah menempatkan pesantren dalam peran ganda: subsistem unik yang terpisah, dan oleh karena itu menjelma alternatif ideal bagi krisis sistemik masyarakat di sekelilingnya. Posisi ideal ini menurut Gus Dur sangat sesuai dengan perwujudan kultural Islam yang sampai ke Nusantara. Perwujudan kultural Islam ini mewujud dalam perpaduan antara doktrin formal Islam dengan kultus para wali (berpuncak pada kultus wali songo), sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermits) dalam agama Hindu. Perwujudan kultural tersebut nampak nyata dalam asetisme (az-zuhud, kealiman) yang mewarnai kehidupan agama Islam di kepulauan Nusantara, tidak sebagaimana terjadi di negeri-negeri Arab. Disisi lain, posisi keterpisahan kultural tersebut kemudian dibarengi oleh posisi menjadi bagian dari masyarakat, dalam arti keterlibatan aktif pesantren dalam proses perubahan sosial. Posisi kultural pesantren yang kuat (karena memiliki sub-sistem tersendiri), menjadikan pesantren mampu mewarnai kehidupan masyarakat luas, sebagaimana dicontohkan Gus Dur dalam kasus pendirian awal beberapa pesantren yang merupakan respon terhadap penyakit sosial yang ada”. B.2 Transformasi pesantren : pengukuhan eksistensi Sebagai upaya mengukuhkan eksistensi pesantren, Gus dur juga melontarkan gagasan transformasi pesantren sebagaimana di katakan Arif sebagai “klarifikasi atas pandangan miring pembangunan yang menempatkan pesantren sebagai sub-kultur anti kemajuan Hanya memang, Arif menjelaskan, “momen politik yang melingkupi telah mengalami pergeseran di mana pemerintah sudah mulai melakukan revisi bias modernisasi tersebut, sehingga pesantren kemudian dilihat secara potensial sebagai instrumen bagi sosialisasi serta mobilisasi sumberdaya masyarakat demi lancarnya proyek negara. Dalam situasi seperti inilah, lahir gagasan tentang Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren (PMMP), oleh kalangan gerakan masyarakat, yang pertama kali muncul dari seminar tentang partisipasi pada 1971 oleh LP3ES. Seminar ini antara lain mengusulkan dilakukannya penjajagan kemungkinan untuk membangkitkan lembaga pesantren agar terlibat dalam proses pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Usulan ini muncul berdasarkan asumsi bahwa pesantren adalah lembaga pedesaan yang memiliki akar kuat dan pengaruh kuat bagi masyarakat, khususnya yang beragama Islam. Dalam rangka penjajagan tersebut maka pada akhir 1971 dan awal 1972, dilakukanlah riset dengan mengambil sample Pesantren Al-Falak, Pagentong, Bogor. Sebagai studi penjajagan, riset ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mempelajari citra atau ciri khas pesantren beserta tata nilainya, baik menurut kalangan pesantren maupun masyarakat sekitar. Kedua, mempelajari motivasi dan tingkat komitmen kalangan pesantren dan masyarakat, terhadap kemungkinan pembaruan dan perubahan pesantren. Ketiga, hendak memperoleh data potensi pesantren dan lingkungannya terkait dengan kemungkinan peran pesantren sebagai sosial change di daerah pedesaan. Di sinilah diharapkan pesantren bisa memperluas fungsi kultural yang semula mengacu pada pelayanan pendidikan dan pembinaan rohani, kepada peranan pembangunan desa semisal kegiatan gotong-royong dalam pembangunan prasarana desa, pendidikan ketrampilan, penyediaan lapangan kerja, pendirian unit usaha, penyuluhan pertanian, dst. Menurut peneliti, dengan peningkatan fungsi tersebut, maka partisipasi masyarakat pasti tidak akan sulit diperoleh. Dari hasil penelitian didapatkan satu fakta bahwa pesantren sebagai lembaga pedesaan ternyata memiliki potensi untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan partisipasi masyarakat. Salah satu modal utamanya adalah nilai-nilai keagamaan yang digumuli sehari-sehari, yang bagi masyarakat sekitarnya bisa dijadikan sumber motivasi untuk peningkatan kehidupan mereka. Berdasarkan asumsi yang sangat optimistik tersebut, LP3ES kemudian menindaklanjutinya dengan menyelenggarakan LTPM (Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat) pada 1977. Pelatihan ini diikuti oleh enam pesantren di Jawa dan Madura serta beberapa perguruan tinggi. Dari pelatihan ini kemudian lahir sebuah konsep yang disebut Tenaga Pengembangan Pesantren (TPM), di mana para santri dibekali kemampuan untuk menjadi tenaga pengembang masyarakat (community development agents) yang akan ditempatkan di pesantren, sebagai eksperimentasi dari berbagai konsep partisipatoris tersebut. Dalam kaitan ini, proyek pengembangan pesantren meliputi dua pendekatan, yakni proyek langsung (direct project) dan pendekatan kelembagaan (institutional approach). Pada proyek langsung titik tekannya terdapat di posisi sentral pesantren sebagai pemilik proyek, meskipun terdapat juga lembaga lain, baik dari LSM maupun pemerintah yang menjadi konsultan. Kegiatannya bermacam mulai dari pengadaan air bersih, usaha pos obat, kegiatan simpan pinjam, dst yang mengarah pada proses belajar mengajar dari pesantren dengan lembaga konsultan, guna menciptakan proyek padat karya yang bermanfaat bagi pengembangan sektoral masyarakat. Sementara itu pendekatan kelembagaan mengacu pada penumbuhan berdirinya organisasi dilingkungan pesantren yang diharapkan mampu menjalankan fungsi pusat penggerak kegiatan pengembangan masyarakat. Organisasi ini kemudian dikenal dengan nama-nama berbeda, semisal Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat atau Biro Pengembangan Masyarakat, dsb. Dalam perjalanannya, lembaga ini berfungsi sebagai “kelas” bagi para santri untuk memahami persoalan aktual masyarakat, belajar bagaimana mengorganisir rakyat, hingga sarana bagi proses adaptasi pesantren terhadap berbagai perubahan yang terjadi disekitarnya . Hanya saja dua pendekatan ini tidak lepas dari berbagai kelemahan. Pendekatan proyek langsung meniscayakan sebuah ketegangan antara pendekatan piece meal (secuil-secuil) dan sektoral yang berwatak improvisasi di dalam proses, dengan keharusan adanya long integrated planning (rancangan terpadu jangka panjang) yang bersifat holistik. Pendekatan piece meal dan sektoral yang bersifat parsial dan temporal, memang dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek. Akan tetapi pendekatan ini mengabaikan azas sekuensial, integral, dan kontekstual dari satu program pengembangan masyarakat . Hal ini membawa akibat penerimaan kalangan pesantren, terbatas hanya di “kulit luar” dari produk pengembangan tersebut, semisal praktik peternakan ayam ditangkap hanya sebagaimana yang terlihat adanya (as it is), bukannya sebagai titik awal dari perubahan penguasaan barang milik, menuju cara produksi yang rasional, manajemen konflik dan kerjasama, hubungan egaliter berdasarkan persamaan hak, dst, atau praktik teknologi tepat guna yang oleh kalangan pesantren hanya ditangkap sebagai teknik kasat mata, tanpa adanya proses pembelajaran filsafat dan dasar pikir dari teknologi tersebut. Dengan kata lain, hakikat pengembangan masyarakat, yakni empowering : memberi kekuatan untuk menyatakan keberadaan diri, mengggalang diri menuju kemandirian dan keswadayaan, rentan terlepas dan menghilang dari praktik semacam ini. Hal senada terjadi pada pola pendekatan kelembagaan yang sering mengalami benturan struktural, terkait dengan otonomi dari organisasi tersebut, berhadapan dengan hirarki kepemimpinan pesantren yang sering bersifat tertutup dari intervensi pihak luar . Sayangnya, berbagai fungsi transformatif ini tidak tersentuh secara mendalam oleh para pengambil kebijakan, dikarenakan minimnya studi ilmiah tentangnya. Kelangkaan ini berakibat fatal, yakni sifat “serba kulit” dari pengembangan terhadap pesantren, atau bahkan timbulnya penolakan kalangan pesantren atas proyek pengembangan tersebut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan pemerintah dan organisasi kemasyarakatan terhadap sistem nilai, sejarah dan tradisi pesantren, sehingga proyek modernisasi baik yang berupa integrasi kurikulum agama dan umum, pendidikan ketrampilan oleh Depag, atau agenda pendampingan masyarakat desa melalui pesantren, tidak mampu masuk dalam “relung kebudayaan” kaum santri, sehingga sering memunculkan clash of culture. Menurut Gus Dur, kelangkaan studi tentang pesantren disebabkan beberapa hal. Pertama, elitisme pendidikan nasional yang bersifat abstraksi pengetahuan tanpa memaksimalkan pendidikan ketrampilan yang mengacu pada pembentukan life skill bagi kebutuhan masyarakat. Dikarenakan pesantren adalah lembaga pendidikan masyarakat desa, maka kebijakan elitis dari sistem pendidikan tersebut tidak mampu menyentuh watak pendidikan pesantren yang populis dan dekat dengan problem real masyarakat. Kedua, kesulitan untuk mengenal pesantren sebagai sistem budaya yang tentunya memiliki nilai unik (oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur) yang mengacu pada kekayaan literatur Islam klasik, kedalaman motivasi spiritual, serta hubungan sosial antarwarga pesantren yang sering berbeda dengan interaksi sosial di masyarakat umum. Kesulitan ini ditambah oleh banyaknya variasi dari model pesantren, sehingga para pengamat akan mengalami kesulitan dalam membuat pemetaan tipologis. B.3 Kondisi internal pesantren : sebuah kritik sekaligus solusi Fase selanjutnya Gus Dur ternyata tidak berhenti hanya memaparkan sekaligus membela pesantren , sebagai sebuah jawaban terhadap berbagai stereotif terhadap pesantren. Kirtik internal juga Gus Dur lancarkan . dengan pola dinamisasi , sebagai bentuk lain dari modernisasi. Tapi menurut Gus Dur, untuk menerapkan pola dinamisasi tersebut , perlu mengetahui secara persis kondisi dan situasi di pesantren . Di pesantren, setidaknya ada empat factor penyebab”keadaaan rawan” . yang melahirkan situasi kejiwaaan yang secara factual menjadikan tidak menentunya kalangan pesantren: 1. Sebagai pantulan keadaaan rawan yang memang melanda kehidupan bangasa kita pada umumnya sekarang ini, akibat kedudukan kita dalam suasana serba transisional dewasa ini 2. Kesadaran akan sedikitnya kemampuan untuk mengatasi tantangan –tantangan yang di hadapi oleh pesantren , terutama tantangan yang di ajukan oleh kemajuan teknik yang mulai di enyam bangsa kita 3. Statis/bekunya struktur sarana-sarana yang di hadapi pesantren pada umumnya . Baik sarana yang berupa manajemen / pimpinan yang terampil maupun sarana material(termasuk keuangan)masih berada pada kuantitas yang sangat terbatas . keterbatasan sarana-sarana itu membawa akibat tidak mungkin di lakukannya penanganan kesulitan yang di hadapi secara integral/menyeluruh 4. Sulitnya mengajak masyarakat tradisional yang berafiliasi pada pesantren ke arah sikap hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan –kebutuhan nyata pesantren , padahal pesantren tidak akan mungkin melakukan kegiatan berarti tanpa dukungan dan bantuan mereka , dalam keadaaannya yang sekarang ini. 5. Adanya krisis moral yang berlangsung akibat “efek domino” dari krisis ekonomi tahun 1998 Dari kondisi yang terjadi di atas , menurut Gus Dur perlu mendapatkan penyelesaian karena bisa berakibat rama masa bodoh (apati) tehadap mati hidupnya pesantren dan keadaan hilangnya semangat(élan) untuk maju. Karenanya élan untuk maju adalah modal utama pengembanagn suatu lembaga kemasyarakatan, maka kehilangan élan ini akan berakibat fatal bagi pesantren sendiri . Menurut Gus Dur sebenarnya kondisi rawan di atas menimbulkan reaksi -reaksi terhadap keberlangsungan nilai-nilai di pesantren, setidaknya, ada dua reaksi : 1. Reaksi yang berbentuk menutup diri dari perkembangan umum masyarakat “luar”, terutama terhadap kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama . 2. Reaksi kedua adalah justru mempergiat proses penciptaaan solidaritas(solidarity making) yang kuat antara pesantren dan masyarakat. Kedua reaksi di atas yang bertolak belakang, menurut Gus Dur, menunjukan dengan nyata kepada kiat bahwa pesantren tidak memiliki pimpinan yang efektif , yang di tunduki bersama oleh semua pihak. Ketiadaan tokoh yang dapat menjadi pimpinan yang dapat di tunduki bersama , selain factor polarisasi sosio politis yang melanda umat Islam dan watak kepimpinan pesantren yang bertopang pada kemampuan moral(bukannya bertopang pada kemampuan berorganisasi) adalah sebab pokok dari ketiaadaaan pimpinan yang efektif . Kita bisa memahami pendapat Gus dur di atas, karena lebih di dasarkan pertimbangan organisatoris. Tapi dalam kesempatan lain, terutama saat pesantren tercerabut dari nilai-nilai moralitasnya, justru Gus Dur, menekankan menggaakan kembali nilai –nilai di pesantren . Menurut Gus Dur dengan melihat kondisi diatas , perlu sebuah “strategi dasar”, sekaligus landasan blueprint, sebagai sebuah konsep perbaikan yang relevan bagi kebutuhan pesantren. Pelakunya adalah pemerintah dengan pihak –pihak lain, strategi itu adalah : 1. Usaha meyakinkan pesantren bahwa keadaan rawan yang ada hanyalah merupakan sebagian saja dari keadaan umum yang melanda kehidupan angsa kita dewasa ini. Dan keadaan ini dapat mereka atasi dengan melaksanakan proyek –proyek perbaikan yang bersifat selektif dan bertahap 2. Menumbuhkan keyakinan di kalangan pesantren secara persuasive . dan pelasanaanya tergantung atas kemampuan sendiri untuk memecahkannya 3. Di cari cara-cara terbaik untuk mempersiapkan penggarapan proyek di atas. 4. Setelah tiga pokok di atas terlaksana , langkah selanjutnya adalah penawaran konsep –konsep yang lebih lengkap dan kompleks kepada pesantren Strategi dasar di atas tidak lain adalah untuk menjelaskan bahwasanya Gus Dur, sangat concern terhadap pengembangan potensi yang besar di pesantren, yang selama ini terlewatkan . Tawaran Gus Dur selanjutnya adalah dinamisasi pesantren dengan berbagai landasan teoritisnya: 1. Perbaikan keadaaan di pesantren sebenarnya bergantung sebagian besar pada kelangsungan proses regenerasi yang sehat pada kelangsungan proses regenerasi yang sehat dalam pimpinannya . yakni secara bertahap dan teratur, yang memungkinkan penumbuhan nilai –nilai baru dalam kehidupan pesantren secarakonstan. 2. Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas lingkup penuh dan dalam adalah rekontruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu keagamaaan .baik itu kitab kuna maupun modern. Rekontruksi ini di lakukan karena beberapa kitab tersebut ,telah kehabisan daya pendorong untuk mengembangkan rasa kesejahteraan dalam beragama. Dari dinamisasi pesantren tadi, Gus Dur mengambil sebuah garis tengah;tegas yakni, Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih baik daripada sikap pseudomodernisme yang dangkal. Yang menarik, akhirnya Gus Dur menyerahkan proses dinamisasi selanjutnya . Artinya, proses yang di sebutkannya tadi bukanlah final. BAB IV Pendidikan bermoral dalam membangun bangsa A. Penyakit –penyakit pendidikan Menyedihkan, ketika melihat kondisi pendidikan kita, selama kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini . Permasalahan pendidikan timbul secara sistemik semenjak Orde Baru –dengan sekularisasi, liberlisasi, dan sentralisasi-pendidikan – dan di lanjutkan sekarang ini dengan sering bergantinya kurikulum, komersialisasi pendiidikan dan lainnya. Dan, hal itu membuat pendidikan, sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945-mencerdaskan kehidupan bangsa-, semakin jauh dari rakyat(mahal) , semakin jauh dari “proses mendidik”, semakin kehilangan orientasi kedepanya, dan kehilangan ruh nya yakni, Moralitas. Ada beberapa pokok permasalahan yang bisa kita lihat disini: A.1 Imbas sistem pasar bebas Sebenarnya proses liberalisme pendidikan di Indonesia , mempunyai akar sejarah yang cukup panjang di Indonesia . Praktek kolonialisme pendidikan dalam bungkus liberalisme menemu jawabnya di Indonesia. . Dahulu pada masa kolonialisme belanda , kebijakan hanya akibat berkah politik etisnya semata. Belanda memberi kesempatan kepada “pribumi-pribumi tertentu” Untuk menikmati sekolah –sekolah bentukan pemerintah kolonial belanda , sekolah tersebut semacam HIS dan MULO. Dengan menyekolahkan mereka (pribumi) dihadapkan , setelah selesai menempuh pendidikannya , para siswa membantu Belanda menghisap lebih dalam lagi potensi (kekayaan alam dan SDM) negeri ini . Tapi, ternyata gagal . Politik etis tersebut hanya mampu terjangkau sebagian kecil rakya kita.Sehingga, sebagaian besar rakyat tetap bodoh , dan dapat dengan mudah di eksploitasi tenaga dan sumber daya alamnya . Sebenarnya, liberalisme pendidikan yang berwatak khas kapitalis tersebut, berlanjut, pada masa Orde Baru , sekitar tahun 1970 an . Pada saat itu, pemerintah memberlakukan apa yang di sebut sebagai ideology pembangunanisme; developmentalisme .Sebuah ideology yang hanya memprioritaskan pembangunan ekonomi, berupa pembangunan “proyek –proyek besar”. Pada masa itu pertumbuhan ekonomi yang tinggi seiring dengan booming minyak berimbas ke sector lain. Dan, pendidikan pun mendapat berkah , pemerintah membiayai secar besar-besarn sekolah . Di sana terjadi perkembangan yang pesat sekolah –sekolah dasar dan sebagian menengah . pemerintah juga membuka kran bagi swasta untuk ikut membangun sekolah . Tapi, kemajuan yang dicapai itu hanya semu belaka, ornamental . Banyak orang lupa kemajuan itu tidak lebih dari akibat logis masuknya Indonesia kedalam perekonomian dunia , yang di dominasi oleh negara-negara kapitalis (Barat dan Eropa). Dengan menganut dan mengakui “prinsip-prinsip ekonomi rasional” seperti berlaku di dunia Internasional, pemerintah Orde Baru memastikan bahwa modal asing bisa di datangkan dan pinjaman luar negeri bisa di berikan kepada pemerintah untuk membangun prasarana fisik dan sosial yang di perlukan bagi kebutuhan masyarakat . Dan pendidikan hanya mendapat porsi yang kecil karena di anggap bagian kecil prasarana sosial yang di perlukan bagi massa luas untuk mobilisasi vertical dan horizontal. Pada masa sekarang, kebijakan pemerintah di dunia pendidikan juga menunjukan tren yang sama , yakni, ketika pendidikan semakin jauh dari keberpihakan terhadap rakyat. Contoh yang menguatkan hal tersebut adalah ketika pemerintah lewat UU Sisdiknas 2003 meligitimasi kebijakan privatisasi pendidikan . Kebijakan ini berupa tekanan pada standarisasi dan sertifikasi mutu pendidikan sampai tingkat Internasional , serta pengelolaaan pendidikan dalam bentuk badan hukum yang sebenarnya merupakan “kolonialisme gaya baru” . Sadar atau tidak kebijakan tersebut mencerminkan ideology liberal nan kapitalistik. Kebijakan privatisasi ini menjadi awal dari kapitalisasi pendidikan secara legal. Padahal, hukum kapital tidak pernah toleran terhadap ketidak mampuan masyarakat ;tidak memiliki kepekaan sosial dan tidak dapat bersikap adil. Orientasi mereka hanya satu , mencari untung untuk akumulasi kapital Terbukti, dengan kapitalisasi ini, subsidi pendidikan yang seharusnya di berikan negara, dengan sendirinya di cabut dan imbasnya biaya pendidikan melambung tinggi. Biaya(tinggi) tersebut, akhirnya harus di tanggung rakyat. Alasan pemerintah karena tidak mempunyai uang untuk subsisdi , tidak bisa di terima!. Karena, sebenarnya pemerintah memiliki uang tetapi untuk kepentingan lain ,seperti membayar utang luar negeri , menomboki bank-bank atau pengusaha yang bangkrut , operasi militer atu menumpuk kekayaaan para penyelenggara negara . Jadi, sama sekali tidak untuk kepentingan masyarakat luas, mereka (pemerintah) lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat ornamental , ambisius berupa pembangunan ekonomi. Bahkan, amanat undang –undang tentang anggaran pendidikan sebesar 20 persen pun belum di penuhi. Memang, ternyata kebijakan privatisasi pendidikan tersebut, bukan ide murni pemerintah kita, tapi, tekanan dari IMF. Menurut IMF , dengan adanya privatatisasi pendidikan , negara mempunyai alas an untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam pelayanan pendidikanterhadap warganya, kerena sebagian sudah di serahkan ke publik. Yang agak mengherankan, mengapa yang di privatisasi hanya PTN yang terkemuka?, tentu alas an utamanya adalah adanya pertimbangan pasar . Jika PTN-PTN itu di lepas ke pasar bebas , banyak oarng yang ingin memperebutkannya. Namun, jika PTN-PTN kecil, apalagi di luar jawa , mungkin tidak akan dilirik masyarakat. Padahal secara de facto PTN-PTN itu selama ini menyerap subsidi paling besar. Jikapasar sebagi dasar pertimbangan untuk memutuskan , maka itulah watak khas kapitalisme . Dan ini jelas, berlawanan dengan prinsip pendidikan : harus jujur ,adil dan merata . Dan, kebijakan ini menjelaskan adanya praktek dehumanisasi wilayah pendidikan , sebagaimana di singgung Edward Said dalam Oreintalism Sehingga, bisa di fahami kenapa masyarakat sekarang cenderung apatis soal kebijakan privatisasi pendidikan, Karena menurut mereka ,dengan privatisasi tai ,semakin nampak corak dan alur liberalisme pendidikan , yang pada gilirannya membuat pendidikan tidak terjangkau lagi oleh mereka. A.2 Disorientasi pendidikan Pada pemerintahan SBY, (lagi-lagi) rakyat “dibuai”dengan kebijakan yang kalau di lihat sepintas “brilian “. Tapi, sebenarnya menipu masyarakat. Karena, hal itu adalah imbal balik dari kebijakan menaikan harga BBM , dan anggaran pendidikan yang terlalu kecil (kurang dari 20 persen). Kebijakan tersebut, sebenarnya semakin mengaburkan arah kebijakan pendidikan kedepan , karena pendekatanya sudah populis dan temporer, hanya untuk kepentingan politis sesaat. Kalau melihat lebih jauh sebenarnya persoalan pendidikan tidak hanya di selesaikan hanya dengan `sekolah gratis `, meskipun setidaknya kebijakan ini sebagai awal yang baik bagi dunia pendidikan kita yang sedang terpuruk. Minimal kita nanti bisa memperbaiki peringkat pendidikan dengan negara –negara Asia, karena sementara ini kita menduduki peringkat ke-12 setingkat di bawah Vietnam, dan juga tahun 2008 sebagai target pemerintah indonesia untuk penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun akan tercapai. Persoalan lain dunia pendidikan yang tidak kalah krusialnya adalah persoalan geografis. Banyak desa –desa di daerah, terutama sekali di daerah pedalaman dan tertinggal yang belum mempunyai sekolah sendiri sehingga siswa yang ingin bersekolah harus ke desa lain, sementara untuk sampai ke lokasi belajar, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dan berat medan. Ini mestinya menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini Kementrian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sekolah –sekolah baru dan akses yang mudah mestinya menjadi prioritas, sebagai upaya mengejar ketertinggalan dari daerah lain . Penting pula menjadi perhatian pemerintah adalah memperlakukan secara adil pada lembaga pendidikan non pemerintah semisal pesantren –pesantren. Di akui atau tidak, pesantren adalah sedikit dari sistem pembelajaran yang memiliki pola dan orientasi pendidikan yang kuat dan stabil serta dengan biaya terjangkau. Pesantrenlah yang hingga sekarang tetap istiqomah dengan konsentrasi pendidikan keagamaan yang notabene menjadi benteng moral yang efektif bagi generasi selanjutnya . Tetapi selama ini pemerintah menganggapnya sebagai pendidikan alternatif sehingga perhatian yang pemerintah berikan tak lebih dari pemberian –pemberian yang relatif tidak sama dengan sekolah `milik` pemerintah . Satu lagi persoalan pendidikan yang sering luput dari perhatian pemerintah adalah kendala yang masih dominan dirasakan masyarakat yaitu krisis ekonomi yang berkepanjangan. Masyarakat merasa selama ini kebijakan pemerintah sering tidak memihak kepada mereka. Implikasinya, mereka hanya di sibukkan pemenuhan sehari -hari; bagaimana memberi makan dan menghidupi keluarganya, sehingga persoalan pendidikan yang penting bagi anak –anaknya pun, jauh dari jangkauan mereka. A.3 Pendidikan manusia robot Menarik untuk di simak apa yang pernah di kemukakan Jurgen Habermas (2005). Dia mengkritik cara mendidik yang hanya menciptakan manusia sebagai sebuah mesin . Dia menyatakan Hegemoni ratio instrumentalis . Sistem pendidikan yang di gerakkan lewat sistem satu sisi mata uang ini, menghasilkan output manusia - manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri atau one dimensi man Mendidik menurut habermas, adalah proses memanusiakan manusia .dan memanusiakan manusia membutuhkan nilai –nilai egaliter dan suasana demokratis, sebagaimana Habermas, Said Aqil Siraj (2005) secara lebih spesifik menyoroti “gejela –gejala ketidakberesan” pendidikan di Indonesia . Dia menyatakan pendidikan bukan sekedar peningkatan potensi intelegensia (IQ),tetapi dalam pendidikan juga harus mengalir proses sosialisasi dan enkulturasi .Dua proses tersebut di harapkan menjadi solusi dan penyadaran yang benar tentang pendidikan , dan melalui penekanan aspek humanisme ini, pendidikan di harapkan mampu membentuk pola pemikiran yang utuh. Untuk mencapai tahapan itu pendidikan hendaknya mempunyai pendekatan holistik (utuh). Dengan pola tersebut peran penyelanggara pendidikan sangat signifikan di sini , dalam menentukan arah pencapaian pendidikan, mereka seharusnya tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mentransfer ilmu pengetahuan saja, tapi juga mampu mengkolaborasikan dengan nilai –nilai humanisme sebagai obyek material(atitude) meliputi spiritualisme moral, etika, dan budaya . Sehingga, pendidikan menjadi rangkaian proses utuh untuk menjadikan manusia menguasai obyek formal (transfer of knowledgementand skill) dan juga obyek material(attitude) . A.4 Pendidikan di Indonesia: unformated in output? Setelah memasuki era Globalisasi, dengan tampak adanya kemajuan sains dan teknologi sebagai pertandanya . Pendidikan di Indonesia, seakan merespon dengan cepat, fenomena globalisasi tersebut, pendidikan menjadi ikut-ikutan latah dengan menjadikan target didikannya menjadi manusia ahli dalam kedua bidang itu ,padahal kemajuan dari era globalisasi itu tidak lain adalah konsekuensi logis dari pemberlakuan demokratisasi dan pemberlakuan pasar bebas yang sedang di gelontorkan pihak luar negeri . Artinya, dengan kita menerapkan pendidikan kearah pembentukan fisical unsic, maka yang di hasilkan dari pendidikan adalah produk - produk manusia bermental materialistis. Di satu sisi mereka menjadi unggul dalam bidang sains dan teknologi tapi disisi lain moral mereka mewajibkan menjadi mesin-mesin baru, yang bersiap menggantikan posisi manusia Humanis yang beretika, bermoral dan religius. Selanjutnya dengan jiwa sistemik mesin semacam itu, membuat mereka mempunyai kecendrungan menjadi borjuis seperti era prancis . Dimana pola ini berpotensi membuat korupsi di negara ini semakin luas . Seperti sekarang, di berbagai instansi terjadi korupsi, sekarang, Indonesia menduduki peringkat pertama negara ter-korup Asia . Pendidikan sebagai pintu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berubah menjadi media untuk membuat keterpurukan di berbagai lini. Guru, sebagai salah satu pilar utama dan resmi dari proses pembelajaran di Indonesia terbukti gagal dalam menjadikan anak didiknya menjadi manusia humanis , mentalistik yang di miliki guru sebagai seorang yang mengganggap dirinya sebagai profesional mungkin menjadi salah satu sebab. Dengan anggapan itu guru berpotensi menjadi agen- agen globalisasi.Contoh kasusnya adalah, ketika awal tahun pelajaran sekolah di mulai. Banyak guru yang menggunakan momen tersebut,untuk menjadi agen( sales) penerbit dengan berbagai kompensasi termasuk fee di dalamnya. Dengan kerjasama yang baik antara kepala sekolah,guru dan penerbit, maka terjadilah komersialisasi buku pelajaran yang semakin membebankan siswa (dan orang tuanya). Mestinya, harga sebuah buku dari penerbit adalah lebih murah ,akan tetapisetelah melewati beberapa pintu sebelumnya harganya menjadi lebih mahal. B. Berharap pada kebijakan baru? , Solusikah? Kebijakan pemerintah lewat perundangan no II tahun 2005 tentang buku sekolah , memang diharapkan bisa menjadi solusi (paling tidak mengurangi) permasalahan komersialisasi diatas . Dalam salah satu butir perundangan tersebut, sekolah di wajibkan menyediakan 10 buku untuk tiap –tiap mata pelajaran dan kesepuluh buku tersebut dimaksudkan untuk siswa siswa yang tidak mampu. Sedangkan bagi siwa yang mampu di beri kelonggaran untuk membeli buku di tempat lain, Sepintas, kebijakan menguntrukngkan bagi sekolah yang hanya sedidikit siswa miskinnya, terutama yang berada didaerah kota, akan tetapi ketika banyak fakta di lapangan kususnya di masyarakat desa dengan sekolah yang mayoritas siswanya miskin kebijakan ini menjadi tidak adil. Dan karena kebijakan baru,maka sosialisasi ketingkat bawah akan memerlukan waktu yang tidak sedikit .Dan ,rentang waktu tersebut bisa berimplikasi negatif yakni berpotensi di manfaatkan (lagi) oleh para oknum –oknum pendidikan untuk mengambil kesempatan berbisnis ria . Dengan potensi penyalahgunaan yang masih di hasilkan tersebut, maka yang terjadi ( dan yang selalu terjadi) kebijakan tersebut kembali merugikan rakyat banyak . Para pengam bil kebijakan (termasuk pemerintah dan DPR), hendaknya semaksimal mungkin mengukur rasio resistensi seminimal mungkin kerugian yang ditimbulkan . Ideologi liberal yang diterapkan oleh pemerintah yang secara nyata dan pasti semakin menjauhkan rakyat dari pendidikan yang menjadi haknya, seharusnya menjadi pertimbangan utama di samping perangkat perangkat pendukung perundangannya juga harus jelas dan tepat . Akhirnya, guna menggerakkan kebijakan dan menjawab permasalahan pendidikan diatas, maka di butuhkan peran serta masyarakat dan para wakil rakyat . Pelaksanaan dan pengawasan kebijakan yang telah atau akan di implementasikan pemerintah penting di sini, terutama kebijakan-kebijakan yang populis, seperti sekolah gratis tersebut, Dan terutama mengembalikan ruh pendidikan yakni moralitas, sehingga tercapai tujuan pendidikan yang di inginkan bersama dan menguntungkan bagi masyarakat banyak . Bab V Penutup A. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat kita simpulkan di bawah ini, sebenarnya penekanannya lebih pada kesimpulan yang sementara . Karena, meminjam istilah Gus Dur, adanya dinamisasi, bisa menimbulkan pengertian ,bahwasanya proses perkembangan dan pengembangan pendidikan akan selalu berjalan terus menerus, sesuai dengan ritme zaman dan situasi social yang melingkupinya.Dan, terkhusus dengan permasalahan moralitas bangsa yang berada pada tingkat kritis. Adapun beberapa kesimpulan penulis adalah sebagai berikut: 1. Kondisi terakhir bangsa, yang sedang terpuruk dengan krisis multi dimensi. Dan berujung pada krisi moral yang akut. 2. Makna sebenarnya dari sebuah pendidikan , dengan berbagai definisi dan pemahaman yang bermuara pada penekanan keseimbangan pada berbagai dimensi, baik, dimensi intelektual, material, mental,moral dan spiritual. 3. Berbagai inti pokok permasalahan pendidikan yang terkait dengan kondisi bangsa sekarang ,yang sedang mengalami krisis. Di sini, bisa di lihat akar persoalannya adalah persoalan tercerabutnya moralitas , sebuah nilai –nilai yang seharusnya di tanamkan dan menghujam di dunia pendidikan. Maka pemahaman tentang moral itu sangat penting untuk di sampaikan. 4. Kondisi pendidikan nasional kita sekarang ini, yang boleh dikata amat menghawatirkan , terkait dengan berbagai penyakit komplikasi seperti liberalisasi pendidikan-seperti privatisasi- , berupa mengamininya sistem pendidikan pada kapitalisme global yang berakibat pada mahalnya biaya sekolah; semakin jauh pendidikan dari rakyat. Sentralisasi kebijakan yang berkibat pada doktrinasi pendidikan dan terkebirinya kreatifitas daerah . 5. Terkait dengan sistem pengajaran yang statis dan hampir tidak ada kreatifitas di dalamnya berakibat wawasan anak didik terbatas . 6. Adanya fenomena menarik “migrasi” pendidikan ,yang di lakukan banyak orang ke pesantren , karena ketidakpercayaannya pada sistem pendidikan nasional, yang cenderung menepikan aspek moral, sehingga lahirlah manusia –manusia robot dan mekanis . Yang pada fase tertentu di gunakan penguasa untuk mendukung program program mereka ( hal itu terjadi secara nyata di era Orde Baru) 7. Melihat bagaimana Gus Dur “menggugat” sistem pendidikan nasional, yang menurutnya tidak bermoral .Bahkan, dia juaga “mengelupasi” kebobrokan pesantren yang nota bene benteng terakhir moral pendidikan bangsa. Tapi, sekaligus menawarkan solusi aktif dan radikal. 8. Pesantren ,sebagai sistem pendidikan , yang sedang “naik daun “ , karena prinsip kemandiriannya dalam menetukan gerak dinamis pendidikan. Tanpa harus bergantung pada penguasa.mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menentukan nasib pendidikan kedepan karena mendahulukan akhlaq atau nilai –nilai moralitas. B.Kritik dan Saran Berbagai simpul di atas menunjukan hubungan yang erat persoalan masalah bangsa . terutama sekali persolan mendasar yang di hadapi bangsa yakni, krisis nilai-nilai , yang sudah tercerabut dari kehidupan bangsa dan negara. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan , mulai dari sekarang : 1. Menumbuh kembangkan semangat kebangsaan , memeperkuat persatuan dan nasionalisme. Ini menjadi modal utama . 2. Memberikan dorongan dan masukan bagi pemerintah utnuk segera bersikap serius terhadap kondisi mendasar yang di hadapi bangsa yakni, krisis moral. 3. Jalan utama dan satu – satunya ,yang bisa di lakukan adalah menghidupkan nilai nilai moral di tengah kehidupan berbangsa, dan lewat jalur pendidikanlah, persoalan tersebut mendapat prioritas 4. Mendesak pemerintah dan DPR menaikan anggaran untuk pendidikan dan sarana –sarana pendukungnya . 5. Mendesak pemerintah memperbaiki menejen pendidikan yang cenderung sentralistik,doktriner dan statis. 6. Mendesak pemerintah untuk melepaskan diri dari “jaring-jaring” kapitalisme internasional , berupa privatisasi pendidikan dan leberalisme pendidikan. 7. Upaya yang bisa di lakukan selanjutnya adalah menghidupkan dan memeperhatikan lebih serius pada pendidikan otonom yang “terbebas” dari jaring-jaring tersebut. Dan, pemerintah jangan segan –segan belajar pada lembaga tersebut (semisal pesantren) 8. Pemerintah jangan selalu mengubah ubah kebijakan pendidikan . misalkan kurikulum , UU pendidikan nasional. Yang, berimplikasi pada disorientasi pendidikan di bawah. 9. Pesantren sebagai lembaga terakhir yang masih peduli pada pembinaaan moral/akhlaq anak didiknya(santri), Hendaknya selalu melihat kedalam , melihat kondisi sebenarnya santri, karena sebagaimana di sinyalir banyak juga nilai –nilai yang sudah tercerabut dari kehidupan pesantren 10. Upaya yang bisa di lakukan tiada lain adalah dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut. Dengan menanamkan sejak dini pendekatan “perilaku baik” kepada anak didik . 11. pesantren jangan malu untuk mengatakan masih banyak kekurangan pada orang lain. Terimalah kritik sebagai media intropeksi. 12. Pemerintah, rakyat bersama seluruh komponen bangsa lainnya , harus mempunyai komitmen kuat untuk mengakhiri krisis ini . DAFTAR PUSTAKA Al-Qarashi, Baqir Sharif, Seni Mendidik Islami, Jakarta ,Pustaka Zahra, 2003, Cet. I Arif, Saiful , Gus Dur Muda : Pergulatan “kiri”dalam ilmu social Orde Baru , belum di cetak,2006 Bertens ,K, Etika,Gramedia ,cet VIII, 2004 Buchori, Muchtar, Transformasi Pendidikan , Jakarta, Sinar Harapan dan IKIP Muhammadiyah,1995,Cet. I Ciganjur, Pesantren, Santri- Santri, Transkrip Pengajian Ramadhan 2003-2005, Ciganjur, Pesantren Ciganjur, Belum di cetak,‏2006‏‏‏ Freire, Paulo & Shor Ira, Menjadi Guru Merdeka ;Petikan Pengalaman, Yogyakarta , LKiS, 2001, Cet. I Harahap, Shahrin, Penegakan Moral Akademik di dalam dan di luar kampus, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005 Masud, Abdurahman Intelektual Pesantern : perhelatan agama dan tradisi Yogyakarta,LKiS,cet I ,2004 Najib, Muhammad, Berharap Pada Pendidikan Gratis, Duta Masyarakat (Artikel),2005 Najib, Muhammad, Pendidikan Humanis (Opini), 2005 Pen.tidak jelas, Pendidikan Islam Pada Masa Rasullulah Saw, Periode Madinah.Tahun tidak jelas. Pesantren Ciganjur, Jurnal, Mengenal Liberalisme Pendidikan , Ciganjur, 2005, Ed.I Salkah, siti, Usaha Meningkatkan Keberhasilan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Menengah Umum Negeri (Smun)99 Jakarta, Jakarta 2002 Wahid, Abdurahman , Memahami Peran Budaya Pesantren, Kompas(artikel),2004 Wahid, Abdurahman , Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren , Yogyakarta, LKiS, 2001, Cet.I Wahid, Abdurahman , Pergulatan Negara , Agama, dan Kebudayaan , Depok, Desantara, 2002, Cet. II

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI