Kapan Pendidikan Kita Beretika?

Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Beberapa hari yang lalu, disebuah media di beritakan, seorang guru di pindahkan ke sekolah lain oleh kepala sekolahnya, karena dia tidak mengikuti instruksi memilih buku yang di kehendaki kepala sekolah itu . konon instruksi kepala sekolah itu berdasar arahan dari pejabat di atasnya . Kasus di atas adalah satu dari beberapa fenomena yang menunjukkan kebobrokan moral pendidikan kita. Menimba pengalaman Orde baru, yang cenderung otoritif dalam penentuan kebijakannya, mungkin salah satu akar dari kebobrokan itu . Sebagaimana di ketahui sikap otoriter di tingkat pusat, berpengaruh kuat sampai ketingkat sekolah . Tidak heran, nuansa pemaksaan dan arogansisme pengambil kebijakan kerap muncul disini . Sebenarnya kita agak bisa berharap terjadi perbaikan pada reformasi . Tapi ,sekali lagi harapan itu pun urung tercapai . Banyak kebijakan pemerintah _yang diamini jajaran di bawahnya_ , masih mempertahankan kebijakan –kebijakan lama yang merugikan .Akibat intervensi birokrasi pemerintahan tersebut, Otonomi pendidikan dalam manajemen berbasis sekolah sekarang ini, belum sepenuhnya berjalan. Ketika pemerintahan baru (Yudhoyono), membuat draf Peraturan Presiden (Pepres) tentang buku sekolah, kita berharap bisa menjadi solusi . Dengan kebijakan itu di harapkan mampu menekan ( setidaknya mengurangi) praktek komersialisasi buku pelajaran di sekolah yang biasa terjadi selama ini. Tapi kenyataanya lain, banyak pengambil kebijakan kebijakan di tingkat daerah masih “bermain”. Banyak pengambilan buku –buku itu tidak diperhitungkan faktor akademisnya melainkan hanya karena ada arahan dari pejabat di atasnya .Dan faktor lain, Praktek yang mereka tunjukkan tersebut, mungkin karena dilandasi romantisme terhadap kebijakan pendahulunya . Dahulu, dalam penyediaan buku pelajaran sangat kental sekali nuansa kongkalikongisme antara kepala sekolah ,guru dan penerbit . Mereka saling bahu membahu mengegolkan proyek pengadaan buku di sekolah . Kepala sekolah –lewat kekuasan yang di miliki –,setelah mengadakan `deal-deal` khusus dengan pihak penerbit , kemudian dia memberi instruksi kepada guru unrtuk menggunakan buku pegangan muridnya dari penerbit itu. Kesepakatan yang terjadi di antara mereka, memang menguntungkan secara materi, dan hal itu berlangsung tiap membuka tahun . ajaran baru. Sehingga sangat beralasan jika ada ungkapan sinisme “tahun ajaran baru, adalah masa panen guru”. Mereka sekan tidak mau tahu efek logis negatif dari apa yang mereka perbuat . Praktek komersialisasi membuat tingginya harga buku sekaligus semakin memberatkankan biaya pendidikan Rendahnya kesejahteraan guru Kita mungkin bisa bersyukur dengan kasus guru yang dipindah sekolah tadi, setidaknya guru tersebut bisa menjadi cermin bagi guru-guru yang lain . Seorang guru seyogyanya mempunyai sikap ideal, yang berani menolak terhadap kebijakan (keliru) atasannya, dia tidak mau terlalu membebani orangtua siswa didiknya dengan biaya tambahan pendidikan yang sudah mahal. Tapi bagi guru yang lain, sikap guru tadi bisa jadi menjadi `angin lalu dan pepesan kosong `, karena menurut mereka, proyek pengadaan buku tadi bisa menunjang kebutuhan hidup mereka . Mereka merasa tidak cukup dengan gaji yang mereka terima setiap bulan . Dengan alasan itulah, mereka menganggap sah-sah saja menerima `uang lelah` unuk menambah uang saku mereka. Kenyataan di lapangan memang demikian, pemerintah belum serius untuk mensejahterakan guru –guru . Rendahnya porsi anggaran pendapatan dan belanja negara ( APBN) bidang pendidikan untuk guru, menjadi salah satu buktinya. Kebijakan pemerintah yang terlalu memanjakan dunia usaha daripada usaha peningkatan sumberdaya manusia patut di sesalkan . bukan tidak mungkin dalam hari hari ke depan akan lebih banyak dan lebih sering lagi, guru-guru turun ke jalan, untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan hidupnya . Dan tentu, praktek komersialisasi semisal pengadaan buku pelajaran tadi akan tumbuh subur untuk waktu yang akan datang . lebih memprihatinkan lagi sekarang ini, buku –buku yang menjadi pegangan siswa tersebut mutunya tidak di perhatikan . Banyak buku buku itu yang tidak sesuai dengan perkembangan sekarang, karena ada kecenderungan dari pihak penerbit hanya mengganti judul sampulnya saja dan isinya tidak lebih sama . Mereka (kepala sekolah dan guru) banyak yang tidak menyadari terjadi strategi bisnis penerbit itu, mereka terlalu asik menikmati hasil ` jerih payah mereka` . Sehingga bagi orang tua siswa yang mempunyai dua anak tentunya amat terbebani. Jika sang kakak telah lulus mestinya adiknya bisa menggunakan bukunya, tapi karena judulnya berbeda, sang adik harus membeli lagi buku baru(dengan isi yang sama ) . Dan hal tersebut tentunya sangat membebankan orang tua mereka. Kebijakan yang akan pemerintah terapkan yaitu tentang buku pegangan untuk pendidikan lima tahun perlu segera di berlakukan karena diharapkan bisa menjadi solusi, permasalahan di atas .. Gejala sporadis Fenomena lain adalah, banyaknya guru yang mengajar sekarang tidak sesuai dengan bidang spesialisasi yang diambil . fenomena ini banyak terjadi di daerah –daerah . Disamping itu, karena keterbatasan jumlah guru yang ada di Indonesia ini, banyak guru yang mengajar lebih dari satu mata pelajaran , kebijakan pemerintah untuk mengakat guru bantu pada tahun ajaran ini, ternyata masih banyak sekolah didaerah yang merasakannya. Keputusan mengangkat guru bantu , seharusnya juga di iringi dengan peningkatan kualitas guru yang sudah mengajar . Masih banyak di daerah – daerah (sebagian besar swasta) guru pengajarnya hanya lulusan sekolah dasar. Padahal harapan mereka terhadap anak didiknya adalah mereka bisa melanjutkan sampai tingkat sekolah tinggi. Permasalahan ambivalensinya muncul, ketika sang pendidik ternyata tidak mampu mempersiapkan anak didiknya sesuai yang di harapkan karena kemampuan wawasan dan keilmuan mereka yang terbatas akibat pendidikan mereka yang hanya sampai tingkat sekolah dasar . melihat fenomena ini pemerintah bisa mengadakan pelatihan – pelatihan dan sekolah –sekolah untuk para guru secara gratis untuk membantu meningkatkan kualitas Guru dan upaya logis yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan biaya perbaikan kesejahteraan guru lewat pintu APBN. Disamping itu pula pemerintah harus berusaha menghentikan gejala sporadis di beberapa daerah yang beramai –ramai mengangkat tenaga pengajar yang tidak sesuai kualifikasinya. Memang, mereka tidak bisa serta merta di salahkan dengan tindakannya itu, karena pendidikan yang mereka jalankan selama ini memang tidak pernah (jarang) mendapat perhatian pemerintah . Melihat kegagalan hasil UN tahap pertama kemarin, bisa jadi merupakan ujian tersendiri buat guru, bagaimana mereka menyikapi hasil UN dengan langkah –langkah antisipatif untuk siswa tahun berikutnya. Karena, ketika guru bereaksi negatif dengan hasil UN itu sebenarnya seolah –olah mencoreng muka sendiri .Bagaimanapun juga siswa yang ikut UN itu adalah hasil didikanya. Standar mutu yang di tetapkan pemerintah ini bisa menjadi motifasi guru untuk memperbaiki mutu dan kualitas pengajaranya . Untuk membangkitkan motifasi itu hendaknya peningkatan kualitas keilmuan harus di perhatikan . Terlebih, jika kondisi lingkungkungan pendidikan tersebut tidak memadai . Untuk mensiasatinya, guru –guru bisa menggali sendiri potensi dirinya melalui jalur informasi dan literatur luar . mereka bisa mendapatkan dari media massa :koran , majalah atau media elektronik semisal, internet. Melipatgandakan semangat Upaya keras pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan sekarang patut kita dukung,walaupun diakui masih banyak kekurangan yang terjadi. Kasus diatas menunjukkan, Otonomi pendidikan masih kental dengan nuansa paradigma hirerarki administrative dari pada substansi pendidikan yang memerdekakan dan mencerahkan. Jadi, persoalannya tidak sekedar dengan kebijakan yang bagus dan tepat ,akan tetapi kebijakan ini harus di iringi dengan langkah serius dan semangat kuat untuk merealisasikannya Pada tataran praksisnya, perlu adanya sosialisasi kuat dan benar ditingkat bawah . Mungkin sekarang diperlukan juga, kode etik bagi berbagi elemen tersebut(guru,kepala sekolah,penerbit dan masyarakat ) sehingga terjadi sinergi yang kuat dan standarsiasi yang ideal mengenai implementasi otonomi pendidikan pada tataran praksisnya. Demi, perbaikan sistem pendidikan nasional kita.

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI