TV dan Kegelisahan Kita

Prof. Dr. Sasa Djuarsa (2011), berpendapat bahwa tayangan-tayangan pemberitaan TV tentang peristiwa-peristiwa yang mengandung "kekerasan" seperti "Demonstrasi' atau "Unjuk Rasa" yang disertai dengan kerusuhan antara para pendemo dengan aparat keamanan (seperti peristiwa Unjuk Rasa Masyarakat menuntut mundur Sekda Kabupaten Garut, Demo para mahasiswa di Makassar, Tawuran antar mahasiswa, dll.). sebaiknya dibatasi karena bisa berakibat negatif yakni memicu terjadinya peristiwa serupa ditempat lain. Bagaimana pandangan anda tentang hal ini ? Uraian anda sebaiknya juga bersifat konseptual dengan merujuk ke asumsi-asumsi teoritis yang menurut anda relevan. Saya juga berpendapat bahwa tayangan-tayangan kekerasan di televisi harus dibatasi, karena mengakibatkan pengaruh kekerasan di tempat lain. Belajar dari kasus adanya bocah sembilan tahun di Manokwari, Papua Barat, yang baru-baru ini diajukan ke pengadilan karena membunuh seorang teman bermainnya. Pada 25 Juli 2011 silam ia menusuk leher temannya dengan pisau. Kepada penyidik, ia menyatakan ide membunuh itu didorong kekerasan yang sering ia tonton di televisi (www.inilah.com). Dari hasil kajian yang dilakukan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pada tahun 2009, ditemukan bahwa unsur kekerasan merupakan unsur pelanggaran yang dominan dalam program tayangan anak-anak. Dengan berpedoman pada P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), unsur kekerasan pada program anak tersebut ditemukan dalam bentuk penayangan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-anak. Pertama, menampilkan kekerasan secara berlebihan sehingga menimbulkan kesan, kekerasan adalah hal yang lazim dilakukan. Kedua, kekerasan dalam hal ini tidak saja dalam bentuk fisik, tetapi juga verbal, seperti memaki dengan kata-kata kasar. Tidak bisa dibayangkan ketika anak tiba-tiba memukuli temannya dan hanya berdalih meniru dari menonton tawuran pelajar, pembunuhan, kerusuhan dari tayangan –tayangan televisi kita. Beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa kekerasan di TV dapat mempengaruhi perilaku masyarakat baik dalam jangka pendek dan, jangka panjang, dan efek ini dapat berkisar dari sensitisasi menurun menjadi perilaku kekerasan dan pada peningkatan perilaku kekerasan (Potter, 2003) Sears (1991) menyatakan bahwa meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam film maupun televisi melahirkan kekhawatiran akan timbulnya pengaruh negatif bagi penonton, terutama anak-anak. Kekhawatiran ini ini didasarkan pada sifat penyiaran televisi yang dengan mudah menjangkau rumah-rumah dengan begitu bebas dan tanpa kendali. Kategori pelanggaran dalam tayangan anak mencakup aspek visual, narasi, dan nilai-nilai pelanggaran, moral, serta perilaku. Anak-anak yang menjadi korban dalam hal ini. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan jam tayang untuk tontonan anak-anak yang meningkat menjadi 20 persen hingga 30 persen pada masa liburan.Konsisten dengan penjelasan priming untuk kekerasan di media, banyak penelitian mendemonstrasikan bahwa orang yang terkena klip TV kekerasan atau bermain video game kekerasan lebih mungkin untuk memikirkan pikiran-pikiran agresif (lihat Anderson, 2004). Meta-analisis menggambarkan bahwa hubungan antara paparan kekerasan TV dan perilaku agresif hampir sama kuat sebagai penghubung antara merokok dua bungkus rokok sehari dan mengembangkan kanker paru-paru (Bushman & Anderson, 2001). Menarik apa yang di tulis nabi dengan pendekatan priming kita bisa mengetahui hubungan antara tampilan kekerasan di televisi dengan perilaku kekerasan audiensnya nabi menjelaskan Pemeriksaan penelitian media yang berkaitan dengan priming mengungkapkan tiga domain utama dari penelitian: adegan kekerasan di media, penghakiman politik, dan stereotip. Penelitian yang luas juga telah dilakukan pada hubungan antara kekerasan di TV dan pikiran agresif, perasaan, dan perilaku (Anderson, Deuser, & DeNeve, 1995; lihat juga Bushman, Huesmann, & Whitaker, Bab 24, buku nabi).. Namun, menurut dalam buku nabi tersebut ada juga pertanyaan yang cukup menggelitik dan menarik tentang apakah priming pikiran agresif menerjemahkan ke dalam perilaku agresif? Jawabannya tampaknya "tergantung." Sebagai contoh, Josephson (1987) meneliti peran sifat agresi, frustrasi, dan kekerasan-terkait isyarat dalam efek priming media kekerasan pada perilaku anak-anak. Dalam studi ini, pertama, guru menunjukkan seberapa agresif anak laki-laki di kelas mereka, baik di kelas dan di tempat bermain. Kemudian, anak-anak melihat baik kekerasan atau program TV tanpa kekerasan. Segmen TV kekerasan menunjukkan karakter menggunakan walkie-talkie, tapi tidak ada walkie-talkie terlihat dalam pertunjukan kekerasan. Setelah menonton program TV, setengah anak-anak itu sengaja frustrasi dengan menonton kartun kekerasan . Selanjutnya, semua anak laki-laki mengejek diwawancarai, di mana baik sebuah walkie-talkie (kekerasan-terkait prima) atau mikrofon yang digunakan. Akhirnya, anak-anak bermain hoki dan diamati baik di dalam dan luar lapangan untuk tanda-tanda perilaku agresif. Para peneliti menemukan interaksi antara agresivitas dan paparan kekerasan-terkait seperti utama yang anak laki-laki yang tinggi dalam sifat agresivitas bertindak lebih keras. Efek ini pada anak laki-laki agresif adalah tinggi baik ketika pemrograman kekerasan adalah digabungkan dengan isyarat kekerasan terkait dan ketika pemrograman kekerasan diikuti oleh rasa frustrasi. Namun, seperti yang diperkirakan oleh penelitian tentang priming, pengaruh kekerasan di TV pada perilaku agresif hilang dari waktu ke waktu. Namun tentunya tidak cukup hanya para ahli komunikasi yang meneliti dan menteorikannya, dibutuhkan peran serta berbagai pihak untuk “mengkontrol” tayangan-tayangan di media. Mulai dari pemerintah, DPR, KPI Dewan pers dan tentunya Masyarakat memang harus mengkontrol media, terutama sekali jika masih saja ditemukan praktek-praktek kekerasan dalam tayang televise. DPR dan pemerintah lewat undang-undang harus memberi aturan yang tegas dan jelas supaya tidak terjadi lagi praktek kekerasan yang diakibatkan oleh tayangan media(TV) . Jangan ragu dan segan untuk bertindak secara tegas terhadap TV yang melanggar ketentuan yang merugikan banyak orang dan menguntungkan segelintir orang saja(kepentingan pemodal), kita tidak ingin masa depan anak kita jadi suram gara-gara setiap hari tayangan TV yang tidak bermutu. Disini, pengawasan orang tua dalam keluarga sangat penting, demi kebaikan bersama. Sumber pustaka : David R. Roskos – Ewoldsen dan Beverly Roskos – Ewoldsen “Current Research In Media Priming” dalam buku Media Process and effect tahun tidak di ketahui ,Editor Robin L Nabi dan Mary Beth Oliver, the Sage Handbook. Sumber Internet : Assegaff Basri Syafiq, 2011 “Mutu Siaran TV” dimuat www.inilah.com 25 September 2011 Fadhilah Azizah Nur, 2011 “Kekerasan Dalam Tayangan Anak-Anak Di Televisi” dimuat di opini http://kesehatan.kompasiana.com 04 March 2011

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI