Pendidikan Kita Dalam Zona Kuning Kapitalisme

Melihat Demo Mahasiswa yang menolak kapitalisasi pendidikan dijakarta kemarin (8/8), semakin menguatkan kita, akan bukti keterpurukan pendidikan di Indonesia . Dan sekaligus, membuktikan ketidakberdayaan pemerintah, dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Karena, tanpa di sadari pendidikan kita sudah jauh terseret dalam zona kuning kapitalis global. zona di mana segala permasalahan diukur dari kaca mata pasar bebas . Dari sini, memungkinkan pendidikan menjadi lahan baru para pemilik modal (baca:kapitalis ) untuk menanamkan investasinya. Ini bisa dilihat dari kebijakan -kebijakan pemerintah mulai dari privatisasi Perguruan tinggi negeri(PTN), pencabutan subsidi, sekolah gratis dan sebagainya, seakan membenarkan sinyalemen Homi Bhaba dalam esainya “ Of Mimicry and men : The Ambivalence of colonial Discourse”(1984). Bhaba mengatakan” almost the same, but not quiet”; kita hampir saja menganggap kebijakan populis pemerintah tersebut sebuah solusi yang sama dengan era sebelumnya, karena pada kenyataannya, sama dengan meng`amini` pola kaum kapitalis . Persoalan selanjutnya, pemerintah dan wakil (rakyat?), seakan buta mata dan tuli telinga dengan bersikap arogansi. Mereka berniat menaikkan gaji dan tunjangan mereka. Dan, ini membuat kita tambah prihatin bercampur kesal. Ketika para elite negara ini, baik eksekutif maupun DPR, mendesak untuk “menyesuaikan” gaji. Rasa sensifitas mereka terhadap persoalan- persoalan bangsa termasuk pendidikan terindikasi kian memudar. Mereka lebih memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok dari pada memikir jutaan rakyat miskin,yang tidak memperoleh penghidupan yang layak . Mereka seakan menutup mata terhadap anak –anak terlantar, yang tidak bisa memperoleh haknya untuk memperoleh pendidikan, sebagaimana telah di amanatkan UUD 1945 . Para elite seakan seperti kacang yang lupa dengan kulitnya, mereka lupa atau sengaja terlupa, dengan siapa yang telah mendudukkan mereka di kursinya sekarang. Dan lucunya, para elite menggunakan logika keliru ketika minta di naikan gaji dan tunjangan mereka. Dianggap oleh mereka persoalan –persoalan bangsa bisa di selesaikan, selama kesejahteraan mereka juga mendapat penghargaan dengan penyesuaian gaji mereka maksud. Dan bagi mereka, penghargaan yang sekarang mereka terima tersebut belum layak. Mestinya para elit bercermin kepada pemilihnya , Mereka yang biasa hidup tanpa di gaji setiap bulannya, tanpa memperoleh fasilitas dan tunjangan yang berarti. Dan mereka tidak serta merta memaksakan kehendak Karena mereka sadar tuntutan mereka tidak ada yang di respon .Bisa jadi, pola dan gaya hiduplah yang menjadi penyebab Kearoganan para elit kita terhormat ini, dan sadar atau tidak ini menjadi pemicu mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan parlemen.Tentunya juga berimbas pada semakin hilangnya penghargaan publik terhadap mereka. Nasib Pendidikan Semangat pemerintah , ketika masa –masa awal pemerintahan memang tidak seperti biasa . Pemerintah mendobrak dengan berbagai kebijakan-kebijakan populis, yang juga berimbas di sektor pendidikan. Kebijakan itu antara lain Sekolah gratis, kenaikan gaji guru dan perbaikan pendidikan lainnya. Kebijakan tersebut sempat membuat harapan tersendiri di hati sebagian masyarakat . Mereka (sebagian besar) menyambut dengan antusias kebijakan itu, Dan sebagian lagi tetap berhati-hati, mengingat kebijakan tersebut baru sebatas wacana. Dan benar, walaupun sudah di putuskan dalam petunjuk pelaksanaan (Juk-lak) Keputusan menteri pendidikan , ternyata belum sepenuhnya bisa sampai kepada tujuan yang di inginkan. Bahkan ironisnya, sampai sekarang kebijakan sekolah gratis, ada yang tidak sampai kepada sekolah sekolah yang di harapkan, justru yang mendapat bantuan adalah sekolah unggulan, yang sebenarnya sudah kuat dalam masalah dana pendidikannya, Sehingga uang yang mereka dapat, malah digunakan untuk sesuatu yang tidak penting, membenahi pintu WC sekolahnya . Pemerintah -Depdiknas dalam hal ini - belum mampu mensosialisasikan dengan baik kebijakan sekolah gratis tersebut, Bahkan bisa di katakan terlambat, karena keputusan tersebut diambil setelah satu bulan . Sehingga, kebijakan sekolah gratis itu, belum sampai gaungnya di kalangan masyarakat bawah dan tidak mampu . Dan, banyak dari sekolah, masih membebani siswanya untuk membayar biaya tambahan, karena mereka belum mendapat kucuran dana tersebut . Dan lagipula, banyak sekolah keberatan, karena pemerintah sengaja menggenaralisasikan biaya pendidikan di semua sekolah . Biaya yang dijanjikan pemerintah untuk tingkat MI/SD, setiap siswa adalah Rp 235.000,-pertahun atau Rp 20.000 perbulan. Sedangkan, untuk tingkat SMP sebesar Rp 324.000,- . Bagi sekolah di daerah, dengan biaya tersebut sudah sangat memadai, akan tetapi bagi sekolah –sekolah di perkotaan yang biasa dengan biaya tinggi(high cost) ,biaya tersebut menjadi sangat kurang. Sehingga tidak heran, fenomena pungutan tambahan, banyak terjadi di sekolah tersebut. Sangatlah tepat apabila pemerintah mengidentifikasi secara tepat dan akurat masing-masing sekolah, sesuai dengan kadar kebutuhan yang di sesuaikan . Semangat Otonomi Banyaknya permasalahan pendidikan yang berkembang di era orde baru yang cenderung sentralistik, hendaknya segera menjadi pelajaran perhatian pemerintah di era otonomi sekarang ini. Hal tersebut menjadi penting, mengingat persoalan di daerah, bisa jadi tidak sama dengan prespektif pemerintah pusat. Kalau era orde baru semua permasalahan di pandang dari prekpektif pusat dan pada implementasinya menyebabkan pemaksaan pada pelaksanaan kebijakan di daerah. Persoalaan implementasi biaya sekolah gratis di atas semisal, Pemerintah secara tergesa- gesa menerapkan kebijakan gebyak- uyah;menyama-ratakan, yang menyebabkan biaya pendidikan semakin jauh dari jangkauan masyarakat . Daerah seyogianya di beri kesempatan untuk ikut terlibat merumuskan hal –hal yang berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi ,karena mereka lebih memahami kebutuhan yang harus di akomodir oleh kebijakan –kebijakan pusat , hal ini bisa diwujudkan melalui media Badan penelitian dan pengembangan Depdiknas. Dengan media tersebut, diharapkan dapat teridentifikasi secara jelas persolaan yang di hadapi di daerah, terutama terkait masalah rata-rata biaya hidup di daerah setempat. Sehingga, satuan (unit cost) sesuai dengan tingkat penghidupan masyarakat setempat. Kesadaran masyarakat guna mengkontrol terhadap kebijakan – kebijakan yang di terapkan pemerintah seyogyanya terus –menerus di lakukan, karena ada kecendrungan pemerintah menerapkan standar ganda pada kebijakan yang di gunakannya . Kebijakan sekolah gratis sebagai implementasi kenaikan harga BBM salah satunya . kontrol masyarakat terhadap perilaku sekolah ,penerbit ,juga menjadi penting ,karena ketika penerbit –bekerjasama dengan pihak sekolah – kadang dengan semena -mena menetapkan harga tertentu dan bersifat mewajibkan bagi siswa untuk membelinya , maka masyarakat bisa menggugat lewat jalur hukum, karena persoalan buku pegangan sekolah, telah di atur dalam UU no 2 tahun 2005 sehingga apabila terjadi penyimpangan pada implementasinya, memungkinkan pihak masyarakat mempermasalahkan secara hukum, melalui yayasan lembaga perlindungan konsumen indonesia (YLPKI), semisal. Perlu kearifan Pendidikan sebagai salah satu pilar penting bangsa,dan menjadi satu –satunya pintu pencerdasan masyarakat sebagaimana tertuang dalam UUD dasar, mestinya menjadi pijakan awal yang kuat, baik dari pemerintah selaku pelaksana UU, dan DPR sebagai legislator UU tersebut. Karena itu, dengan komitmen kuat keduanya, persoalan pendidikan tidak akan mudah melebar pada zona atau wilayah lain, yang tidak ada kompetensi dengan pendidikan. Demikian juga dengan masyarakat. Hendaknya mereka tidak takut memperoleh hak-hak mereka. Memperoleh pendidikan, sebagaimana di atur dan di lindungi dalam undang-undang . Kesepahaman langkah antar elemen tersebut hendaknya terus di bangun dengan dialog –dialog produktif , salah satunya. Sehingga, sikap arogansi , kebijakan kontradiktif dari masing –masing pihak dapat di hindari.

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI