Berharap kepada “Sekolah Gratis” ?

Seolah sinisme Eko Prasetyo dalam buku “Orang Miskin Di larang Sekolah” (2004) menemu jawaban. Menurut buku ini, sistem pendidikan kita sangat kapitalistik sehingga tidak memberi ruang bagi kaum mustadl’afin untuk menjadi “orang pintar”. Sinisme tersebut kini menemu sinar cerah, karena pemerintah telah merencanakan program sekolah gratis sebagai barokah dari dana kompensasi BBM. Beberapa hari ini, kita mendengar istilah “sekolah gratis” alias tidak bayar, ramai di bicarakan di berbagai media massa. Dalam benak sebagian orang pun terbayang akan `sesuatu` yang serba gratis . Bagi siswa , mungkin mereka hanya masuk sekolah saja tiap pagi atau sore, tanpa harus membebani orang tuanya dengan biaya apapun termasuk membayar spp, buku-buku dan alat -alat pelajaran, karena semua telah disediakan, dan dikasihkan oleh sekolah secara gratis, sehingga tidak ada lagi kasus bunuh diri karena tidak mampu membayar sekolah . Demikian juga dengan para guru. Mereka tidak perlu memikirkan kekurangan gaji yang biasanya mereka rasakan tiap selesai gaji `bulanan `, begitu pula dengan para karyawan, mereka tidak merasa risau hanya gara –gara masalah uang. Ini memang tidak sekedar bayangan dan angan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen pendidikan nasional (Depdiknas) dan Departemen agama (Depag) mulai tahun ajaran baru 2005/2006 ini menerapkan kebijakan sekolah gratis sebagai realisasi kompensasi dari kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak). Sungguh, kebijakan itu cukup melegakan terutama bagi orang – orang lemah, kaum miskin papa dan orang kecil lainnya, paling tidak untuk masa sembilan tahun pendidikan anak –anaknya (kebijakan ini berlaku untuk tingkat SD dan SMP). Ketika Presiden Yudhoyono mencanangkan pendidikan gratis tersebut untuk pertama kali, berbagai elemen masyarakat menyambut dengan antusias. Banyak yang gembira, tetapi tidak sedikit yang pesimis.Tujuan utama kebijakan sekolah gratis itu sendiri (pemerintah memberi istilah `bantuan operasional sekolah`) adalah meningkatkan akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan dasar, mengurangi tingkat putus sekolah di tingkat pendidikan dasar yang masih tinggi, serta menghapuskan peristiwa –peristiwa yang memalukan dalam pendidikan seperti kasus siswa bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah . Sepintas, kebijakan ini kembali mengangkat `popularitas` pemerintah, dan melupakan kita pada proses latar belakang lahirnya kebijakan itu . Kita memang sudah terbiasa dilupakan dengan sistem `gali lubang tutup lobang` yang sering di lakukan pemerintah dan biasanya hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Meminjam analisa Milan Kundera, bahwa kita sering lupa terhadap “kesalahan politik”, dan (pe)lupa(an) tersebut tentu di ciptakan oleh penguasa. Hanya saja untuk kebijakan sekolah gratis ini minimal kita bisa berharap akan merasakan secara langsung manfaat dari sesuatu yang semestinya menjadi hak kita . Ketika presiden membuat keputusan `berani `itu sebagai itikad baik mengimplementasikan amanat konstitusi dan UU sistem pendidikan nasional, ternyata tidak di imbangi dengan kemampuan mengurai langkah strategis tadi secara baik dan cerdas dari para pembantunya ; menteri-menteri terkait, sehingga kebijakan hanya berkutat pada hal –hal teknis. Dalam hal ini, Depdiknas dan Depag terkesan mendahulukan aspek –aspek teknis operasional pemberian bantuan itu dengan mengesampingkan substansi dari tujuan pokok yaitu pendidikan dasar gratis . Pada kelanjutannya, aspek teknis itu menimbulkan masalah – masalah. Terbukti, dalam petunjuk pelaksanaan (juklak), yang - masih belum tersosialisasi dengan baik - banyak mengandung petunjuk yang membingungkan dan tidak mempunyai dasar hukum kuat, sehingga membuka kemungkinan terbukanya peluang bagi sekolah yang bersangkutan menarik iuran tambahan (kompas,24/06). Dengan dalih untuk meningkatkan mutu pendidikan, para penyelenggara pendidikan khususnya kelas menengah atas, mengganggap dana yang di berikan pemerintah belum cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka . Persoalan redaksional dari aturan teknis (juklak)-nya pun menimbulkan tafsiran lain dalam implementasinya. Kata `boleh` dalam juklak itu bisa di tafsirkan sebagai opsi bagi sekolah untuk menarik iuran tambahan . Padahal dalam prakteknya nanti - sesuai dengan perjanjian antara pihak sekolah dan pemerintah-, pihak sekolah dilarang membebani siswanya dengan iuran tambahan . Hal ini membuat sekolah –sekolah `tertentu` tersebut merasa keberatan, semisal sebuah sekolah swasta di Jakarta yang secara tegas menolak `bantuan operasional `tersebut, karena adanya konsekuensi, tidak bisa meminta iuran tambahan dari siswa – yang tidak sepadan dengan target pendidikan yang mereka harapkan . Mereka menganggap dengan `hanya` menggunakan bantuan itu, belum cukup untuk meningkatkan mutu pendidikan, membiayai guru dan karyawan . Lucunya, menteri pendidikan nasional merespon hal (keberatan sebagian sekolah) dengan tidak mengharuskan sekolah swasta yang sudah mapan ikut kebijakan ini ( kompas 25/06). Jelas kebijakan ini mengesankan keterpaksaan dan ketidakmerataan dari subsidi yang ada . Disamping itu persoalan teknis penyampaian bantuan juga menambah kesangsian sebagian fihak terhadap prospek kebijakan ini , karena berdasar pengalaman yang dahulu, banyak sumbangan dan bantuan dari pemerintah tidak sampai sebagaimana mestinya, serta belum adanya perangkat - perangkat hukum yang jelas. Ini sebagai cerminan kebijakan yang (akan) pemerintah terapkan masih `setengah hati` (half heartedly) dan sekali lagi, tidak serius. Tidak hanya sekolah gratis Kalau melihat lebih jauh sebenarnya persoalan pendidikan tidak hanya di selesaikan hanya dengan `sekolah gratis `, meskipun setidaknya kebijakan ini sebagai awal yang baik bagi dunia pendidikan kita yang sedang terpuruk. Minimal kita nanti bisa memperbaiki peringkat pendidikan dengan negara –negara Asia, karena sementara ini kita menduduki peringkat ke-12 setingkat di bawah Vietnam, dan juga tahun 2008 sebagai target pemerintah indonesia untuk penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun akan tercapai. Persoalan lain dunia pendidikan yang tidak kalah krusialnya adalah persoalan geografis. Banyak desa –desa di daerah, terutama sekali di daerah pedalaman dan tertinggal yang belum mempunyai sekolah sendiri sehingga siswa yang ingin bersekolah harus ke desa lain, sementara untuk sampai ke lokasi belajar, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dan berat medan. Ini mestinya menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini Kementrian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sekolah –sekolah baru dan akses yang mudah mestinya menjadi prioritas, sebagai upaya mengejar ketertinggalan dari daerah lain . Penting pula menjadi perhatian pemerintah adalah memperlakukan secara adil pada lembaga pendidikan non pemerintah semisal pesantren –pesantren. Di akui atau tidak, pesantren adalah sedikit dari sistem pembelajaran yang memiliki pola dan orientasi pendidikan yang kuat dan stabil serta dengan biaya terjangkau. Pesantrenlah yang hingga sekarang tetap istiqomah dengan konsentrasi pendidikan keagamaan yang notabene menjadi benteng moral yang efektif bagi generasi selanjutnya . Tetapi selama ini pemerintah menganggapnya sebagai pendidikan alternatif sehingga perhatian yang pemerintah berikan tak lebih dari pemberian –pemberian yang relatif tidak sama dengan sekolah `milik` pemerintah . Satu lagi persoalan pendidikan yang sering luput dari perhatian pemerintah adalah kendala yang masih dominan dirasakan masyarakat yaitu krisis ekonomi yang berkepanjangan. Masyarakat merasa selama ini kebijakan pemerintah sering tidak memihak kepada mereka. Implikasinya, mereka hanya di sibukkan pemenuhan sehari -hari; bagaimana memberi makan dan menghidupi keluarganya, sehingga persoalan pendidikan yang penting bagi anak –anaknya pun, jauh dari jangkauan mereka. Akhirnya, guna menggerakkan kebijakan dan menjawab permasalahan pendidikan diatas, maka di butuhkan peran serta masyarakat dan para wakil rakyat . Pelaksanaan dan pengawasan kebijakan yang telah atau akan di implementasikan pemerintah penting di sini, terutama kebijakan-kebijakan yang populis, seperti sekolah gratis tersebut, sehingga tercapai tujuan pendidikan yang di inginkan bersama dan menguntungkan bagi masyarakat banyak . Wallahu a’lam

Comments

Popular posts from this blog

Lesung

Studi kasus : Konsep pesantren Abdurahman Wahid Di Era Orde Baru Dan Reformasi

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI